‘Ahhh..! Andai mimpi semalam benar-benar bisa jadi nyata. Aku pasti akan menyetujuinya saja.
Semoga nanti malam Aki Buyut benar-benar hadir lagi dalam mimpiku’, bathin Elang bertekad. Elang sangat menyesali kebimbangannya, dalam mimpi semalam. Elang bertekad akan menyetujui tawaran mempelajari ilmu turunan keluarganya itu. Jika memang benar mimpi itu bisa jadi kenyataan. “Mas Elang..! Mas..! Dito nakal tuh..!" seorang anak kecil perempuan usia 6 tahunan berlari kecil, dan menubruk Elang sambil mengadu. “Aduh..! Hati-hati Nindi, kamu bisa jatuh nanti,” ujar Elang, sambil memegang tubuh Nindi yang merapat di belakangnya. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki kecil seusia Nindi datang menyusul, “Nah ya..! Kamu di sini Nindi pelit..!” seru bocah itu, sambil berusaha mendekati Nindi, seolah hendak memukulnya. “Hei..hei, Dito..! Nggak boleh begitu ya, sama anak perempuan,” ucap Elang menengahi mereka. “Habis Nindi pelit sih Mas Elang..! Masa suruh gantian main ayunan gak mau..!” ucap Dito, yang masih merasa geram sama Nindi. “Yee..! Orang Nindi juga baru sebentar main ayunannya. Masa digantiin lagi,” sahut Nindi membela diri. “Sudah..sudah ya. Sekarang ayunannya kan kosong. Kenapa Dito nggak main ayunan saja sekarang ?” tanya Elang. “Huhh. Gara-gara Nindi bikin kesal, Dito jadi malas main ayunan Mas Elang,” sahut Dito kesal, lalu berlari kembali menuju halaman panti. Elang hanya geleng-gelengkan kepalanya, melihat polah Dito. Elang jadi teringat dulu ia pun agak nakal, tapi nggak pernah sampai hati mengganggu anak perempuan teman sepantinya. “Nindi. Sementara jangan dekat-dekat Dito dulu ya,” ucap Elang lembut. “Iya Mas Elang,” sahut Nindi mengangguk. “Ini buat Nindi jajan, tapi jangan bilang sama yang lain ya,” ucap Elang pelan, seraya memberikan uang seribu rupiah pada anak itu. “Asikkk, Nindi nggak akan bilang sama yang lain. Makasih Mas Elang,” ucap Nindi senang, lalu berlari kecil keluar ruangan panti. Elang segera melanjutkan aktivitasnya menyapu ruangan itu hingga selesai, lalu mengepelnya. *** Malam usai makan bersama, Elang masuk ke ruangan Bu Nunik. Bu Nunik memang memanggil Elang ke ruangannya, untuk membicarakan sesuatu dengannya. “Elang duduklah Nak, ibu mau berbicara sesuatu kabar gembira buatmu,” ucap bu Nunik dengan wajah tersenyum. ‘Dalam keadaan panti yang sulit pun, Ibu masih tetap bisa tersenyum. Sungguh wanita luar biasa’, bathin Elang, memuji ketegaran bu Nunik. Elang pun tersenyum dan duduk di hadapan Bu Nunik. “Elang. Pihak mini market Betamart, yang baru berdiri di daerah sini itu. Mereka menawarkan kesempatan bekerja, untuk dua orang dari panti ini, Elang,” ucap Bu Nunik, dengan nada gembira. “Wah! Elang senang sekali Bu. Apakah syarat-syarat yang harus kita penuhi, untuk bekerja di sana Bu?” ucap Elang penuh antusias. “Syaratnya sangat sederhana Elang. Buat saja CVmu, lalu sertakan ijazah SMA mu. Tentunya juga etiket harus dijaga Elang. Karena kamu di sana harus melayani pembeli yang berkunjung ke Betamart,” ujar Bu Nunik. “Baik Bu. Nanti Elang akan langsung buat CV nya,” ucap Elang bersemangat. ‘Akhirnya aku punya kesempatan, untuk sedikit membantu beban panti’, bathin Elang senang. “Kamu akan bekerja di sana bersama Wulan, Elang. Ibu juga mendaftarkan Wulan pada mereka,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu. Sekarang Elang mau buatkan CVnya dulu ya Bu,” ucap Elang sambil mencium tangan Bu Nunik. “Benar Elang. Besok pagi, kamu dan Wulan bersiaplah berangkat ke sana,” jelas Bu Nunik. Elang pun keluar dari ruangan Bu Nunik. Dan dia bertemu dengan Mbak Wulan, yang rupanya juga telah menunggu di depan pintu ruangan Bu Nunik. “Wah Mbak Wulan juga mau ketemu Bu Nunik ya. ? Ada kabar gembira lho Mbak,” ucap Elang, sambil tersenyum penuh rahasia. “Kabar apa Elang..? Jangan bikin Mbak penasaran,” tanya Wulan penasaran. “Silahkan masuk saja Mbak, kabar gembiranya ada di dalam,” sahut Elang cepat, sambil bergegas berlalu meninggalkan Wulan yang masih terpaku. “Dasarr..!” gerutu Wulan pada Elang, yang main rahasia-rahasiaan padanya. Sesampainya di kamar, Elang langsung mempersiapkan alat tulisnya. Untuk membuat CVnya, yang di alamatkan pada mini market Betamart. ‘Fiuhh, akhirnya selesai juga CV ini’, bathin Elang lega. Dia melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan jam 10:50 malam. Bergegas Elang membereskan alat-alat tulisnya, dan memasukkan CVnya ke dalam map. Lalu Elang pun beranjak menuju kamar mandi, untuk buang air kecil sebelum tidur. Elang langsung merebahkan dirinya di pembaringan, usai dia dari kamar mandi. Dan sekejap kemudian, dia pun sudah tertidur pulas di buai mimpi. 'Elang.. Elangg..! Kemarilah cicitku!', suara bergema seperti dari jarak jauh itu, kembali terdengar memanggil Elang malam itu. Cukup jelas suara itu terdengar bagi Elang. “Aki Buyut Sandaka..!” seru Elang dalam mimpinya. “Benar Elang. Kemarilah cicitku,” sahut Ki Sandaka. Elang pun melihat dirinya bangkit dari tempat tidurnya. Lalu tiba-tiba saja, Elang sudah berada di dalam gubuk sang buyut. Ki Sandaka terlihat masih bersila di atas balai bambu, seperti mimpinya kemarin malam. “Elang. Apakah sudah kauputuskan pertimbanganmu..?” tanya Ki Sandaka. “Sudah Ki Buyut. Baik, Elang menerimanya,” jawab Elang tegas. Senyum senang mengembang di wajah Ki Sandaka. Dia merasa bahagia mendengar jawaban cicitnya itu. “Bagus cicitku. Itu memang jawaban yang buyut harapkan. Ilmu turunan ini tak boleh punah dan putus di tengah jalan. Karena kakekmu Balawan, telah menolak mempelajarinya,” ucap Ki Sandaka. “Namun ada satu hal yang ingin Elang tanyakan Ki Buyut. Apakah aku bisa mengobati orang nantinya, Ki Buyut..?” tanya Elang. Elang teringat pada istri Pak Baskoro, yang telah bertahun sakit-sakitan, dan menyebabkan bantuan Pak Baskoro ke pantinya terputus. “Hmm. Kalau mengobati penyakit medis tidak cicitku. Namun jika penyakit itu non medis, akibat perbuatan teluh, makhluk halus, atau santet, kau masih bisa menolongnya,” sahut Ki Sandaka. “Aku ingin menolong seseorang Ki Buyut. Dia istri Pak Baskoro, yang biasa membantu panti dengan mengirim bahan makanan. Sekarang dia menghentikan bantuannya, akibat penyakit istrinya yang tak kunjung sembuh, Ki Buyut,” ucap Elang dengan nada sedih. “Hmm. Istri Baskoro. Sebentar, biar buyut terawang dulu, Elang,” ucap Ki Sandaka. Lalu Ki Sandaka tampak pejamkan matanya, dengan kedua tapak tangan bertangkup di depan dada. Beberapa saat kemudian, tampak kedua mata Ki Sandaka kembali terbuka perlahan, “Elang. Ketahuilah, penyakit Halimah istri pak Baskoro itu, adalah penyakit buatan orang di masa lalunya. Kau bisa menolongnya. Dengan mencabut dan membuang boneka kain berdarah, yang di tanam dukun bayarannya. Boneka itu berada di halaman belakang rumahnya. Tepatnya di bawah pohon pepaya, yang berada persis di arah depan pintu belakang rumahnya. Untuk dukun bayaran itu, biarlah buyut yang memberi pelajaran padanya,” jelas Ki Sandaka. “Wah! Jahat sekali orang itu Ki Buyut. Baiklah, besok Elang akan bertanya soal alamat pak Baskoro pada Bu Nunik,” ujar Elang. “Dengan tercabutnya boneka terkutuk itu dari rumah Baskoro. Maka Halimah akan segera sembuh. Dan penyakit itu akan menyerang balik, pada orang yang menyuruh dukun bayaran itu, Elang,” ucap Ki Sandaka. “Nah Elang. Apakah ......"Wah..! Selamat datang Raja Elang sekeluarga..! Senang sekali menerima kehadiranmu dan keluarga di istana Kalpataru ini..!" sambut sang Maharaja, dengan wajah berseri gembira. Sang Maharaja bahkan anggukkan kepalanya, sebagai tanda hormat pada Elang. "Salam Paduka Maharaja Kalpataru. Senang rasanya, kami sekeluarga bisa memenuhi undangan Paduka Maharaja," sahut Elang tersenyum lebar, seraya balas memberi hormat. "Maaf Raja Elang, sebaiknya kita langsung saja menuju ke bukit Karang Waja. Karena ada yang hendak aku tunjukkan pada Raja, sebagai ungkapan rasa terimakasih dan penghargaan rakyat Tlatah Kalpataru. Karena jasa Pendekar Penembus Batas, yang tak mungkin kami sanggup membayarnya..!" ucap sang Maharaja, tersenyum penuh rasa terimakasih pada Elang. "Wah..! Tak perlu membesar-besarkan hal yang sudah berlalu, Paduka Maharaja. Hal itu sudah semestinya dilakukan, oleh penduduk yang tinggal di Kalpataru, termasuk Elang saat itu," sahut Elang agak rikuh. Namun akhirnya dia meng
"Bagus..! Jadi tepatnya 5 (lima) hari lagi. Maka pembangunan monumen itu telah selesai sempurna, juru bangun Glagah Amba..?!" seru sang Maharaja senang. "Benar Paduka Maharaja Yang Mulia," sahut sang Juru Bangun. "Baiklah, kau akan menerima penghargaan dari pihak kerajaan. Setelah monumen itu selesai dibangun. Sekarang kembalilah, dan selesaikan monumen itu dengan sempurna..!" ucap tegas sang Maharaja Mahendra. "Baik Paduka Maharaja Yang Mulia..! Hamba mohon diri..!" seru patuh sang Juru Bangun.Dia pun segera menghaturkan sembah, dan beranjak keluar dari ruang dalem istana Kalpataru. *** Akhirnya atas pertimbangan Elang, Nadya memutuskan ikut tinggal di istana Belupang selama setengah tahun. Itu sama dengan waktu setengah hari di dimensinya. Nantinya ganti Prasti dan Nadya kecil, yang akan ikut ke dimensi masa kini, dan tinggal bersama Nadya, saat Nadya kembali ke dimensinya.Sementara Elanglah yang akan sibuk mondar mandir ke dimensi masa kini dan dimensi lampau. Agar tugasn
Nadya segera melepaskan pelukkannya dari Prasti. Lalu dia menunduk, seraya memegang lembut kedua pundak Nadya kecil. Mata Nadya masih basah dengar air mata keharuan. Ikhlas sudah hatinya, melihat sambutan ramah dan bersahabat dari Prasti. Ditambah lagi dengan sikap polos Nadya kecil, yang menggemaskan hatinya itu. Suasana pun mencair seketika di ruangan itu. "Ihhh..! Nggak boleh begitu Bibi. Namaku Nadya, Bibi harus cari nama yang lain. Nama kita nggak boleh sama..!" seru Nadya kecil cemberut. Ya, si kecil rupanya tak mau namanya tersaingi oleh Nadya. "Hahahaa ...!! Hihihii..!!" bergemuruh sudah ruang dalem istana, dengan suara tawa mereka semua di dalamnya. Saat mendengar ucapan polos Nadya kecil itu. "Hihihii..! Ya sudah begini saja, panggil saja bibi Nadya besar, dan kalau kamu, bibi panggil Nadya kecil. Bagaimana..?" ucap Nadya tertawa geli, seraya bertanya pada si kecil. Hatinya seketika jatuh sayang, pada putri kecil suaminya dan Prasti itu. Nadya kecil terdiam, seolah b
"K-kenapa..?! Ram-rambutmu memutih Mas Elang..?! Tsk, tsk..!" Nadya berseru terbata, setelah dia telah bisa memastikan, jika pria itu adalah suami tercintanya. Seketika isak tangis pun tak terbendung, menyadari sosok itu bukanlah ilusi. Brughk..! Nadya pun menubruk dan memeluk Elang, dalam isak tangis haru dan kebahagiaan. Jemari Nadya tak lepas memegang dan memandangi, ujung rambut putih suaminya yang menjela dibahunya. 'Suamiku telah kembali..!' seru lirih bathinnya bahagia. Elang balas memeluk dan mencium kening istri tercintanya itu. "Maafkan aku Nadya sayang. Maafkan aku..! Takdir ini benar-benar diluar dugaanku," ucap Elang lembut di telinga Nadya. "Mas Elang. Mana wanita yang bernama Prasti itu..? Tidakkah dia Mas ajak serta ke sini..?" tanya Nadya, yang langsung teringat dengan wanita lain di kehidupan suami tercintanya itu. "Begitu aku menguasai aji 'Sabdo Jagat', aku langsung menemuimu di sini Nadya sayang. Prasti dan putri kita Nadya juga belum tahu, jika aku sud
Blashp..! Seketika muncul cahaya putih perak menyilaukan, di tengah ruang dalem istana Selaksa Naga itu. Dan saat perlahan cahaya perak itu memudar sirna. Kini nampaklah sosok Naga Perak, yang berdiri melayang tak menyentuh lantai, di tengah ruangan itu. "Hormat kami leluhur Naga Perak Yang Mulia," ucap Ki Naga Merah dan Nyi Naga Biru bersamaan. Pada saat mereka melihat kedatangan Naga Perak itu. "Salam hormat saya Ki Naga Perak," Elang turut memberi hormat. "Tidak..! Sayalah yang menghaturkan sembah hormat pada Paduka Elang Prayoga Yang Mulia," sahut Ki Naga Perak, seraya tundukkan kepala menghormat pada Elang. "Naga Merah, Naga Biru. Kalian harus ingat, bahwa akulah yang membuat 'sumpah', dengan Paduka Indra Prayoga dahulu kala. Dan itu adalah 'sumpah abadi'ku. Walau pemilik Cincin Naga Asmara ingin membebaskan kalian..! Apakah kalian memahami maksudku..?!" seru sang Naga Perak, pada Ki Naga Merah dan Nyi Naga Biru. "Kami paham dan kami patuh, pada leluhur Naga Perak..!" sa
"Ahh..! Sudahlah Ki Naga Merah. Nyatanya aku memang belum berbuat apapun, untuk negeri 'Selaksa Naga' ini," ucap Elang jujur apa adanya. Akhirnya mereka berdua beranjak, menuju ke ruang makan di istana itu. Seminggu kemudian di dimensi Selaksa Naga. Elang kembali berniat melakukan hening di air terjun Naga Moksa. Setelah dia merasa kebugaran dan powernya telah kembali 100 persen. Aura keemasan seperti sudah menyatu dengan Elang saat itu. Walau dia tak mengerahkan power sedikit pun. Bahkan orang awam akan bisa dengan mudah melihat, aura cahaya emas yang menyelimuti sosok Elang. Ya, sepertinya 'power' semesta Elang sudah pada taraf sempurna sekali saat itu. Power yang sudah menyatu dalam diam dan geraknya, dalam tidur dan terjaganya. Sungguh mengagumkan, namun juga sangat mengerikkan, bagi pihak yang menjadikan Elang sebagai musuhnya. Elang memulai heningnya sejak senja menjelang. Seperti biasanya ruang Naga Moksa dibalik air terjun itu seketika diterangi oleh cahaya keemasan,