“Bagaimana kalau kita ke rumah Pak Baskoro, setelah kamu pulang interview dari Betamart saja Elang..?" usul Bu Nunik. Hatinya jadi ikut tergerak dengan ucapan Elang.
“Baik Bu,” ucap Elang, menyetujui usul Bu Nunik. “Elang masuk dulu ya Bu. Elang mau bersiap ke Betamart," ujar Elang, seraya undur diri. “Iya Elang, bersiaplah sebaik mungkin ya. Ajaklah Wulan untuk berangkat bersama ke sana,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu,” sahut Elang, sambil beranjak menuju ke dalam panti. *** Pak Baskoro tengah terpekur di teras rumahnya. Sementara pikirannya menerawang, pada kenangan indahnya bersama sang istri. Istri yang kini terbaring lemah di pembaringannya. Ya, kenangan indah, rasa cinta, dan kesetiaan itulah. Hal yang mampu membuat Baskoro tetap bertahan, dan tegar merawat istrinya. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya dengan nafas lepas menghela. Seolah ingin menghela jauh-jauh masalah pelik, yang selama bertahun-tahun ini menyelimutinya. Sudah hampir satu setengah tahun ini. Halimah menderita penyakit aneh yang menggerogoti tubuhnya. Dalam pemeriksaan medis di rumah sakit, para dokter tidak menemukan satu penyakit pun dalam tubuh sang istri. Namun anehnya, istrinya selalu mengeluh sakit di tubuhnya. Dan yang membuat Baskoro tak habis pikir, rasa sakit istrinya itu selalu berpindah-pindah. Kadang Halimah mengeluh kepalanya sakit, lalu beberapa jam kemudian mengeluh dadanya yang sakit, dan beberapa jam kemudian mengeluh perutnya yang sakit. Begitu terus hampir setiap hari. Kondisi tubuh sang istri pun terus menurun secara perlahan, seiring berat badannya yang juga terus berkurang. Sudah tak terhitung biaya yang Baskoro keluarkan, demi menyembuhkan istrinya itu. Dan perlahan tapi pasti, saldo di rekeningnya pun terkuras. Hingga ada beberapa properti yang terpaksa dia jual, untuk menutupi biaya pengobatan sang istri tercintanya itu. Namun kesemua hasilnya adalah Nol Besar..! Dari dokter terkenal hingga tabib ternama, dari ajengan hingga paranormal. Semuanya memberikan hasil yang negatif, bagi kesembuhan istrinya. Kini dia sudah pasrah, dan hanya bisa berdoa dalam hatinya. Berharap akan munculnya suatu keajaiban dalam hidupnya..! Seorang pelayan mendatanginya dari dalam rumah, “Maaf Pak. Ibu berguling-guling terus di pembaringan, dia selalu menyebut-nyebut nama Bapak,” ucap sang pelayan, sambil menunduk sedih dan rikuh. Karena dia tak bisa menghandel ibu majikkannya. Dalam hatinya dia merasa kagum dan kasihan, pada bapak majikannya itu. Suami yang dengan sabar dan telaten, terus mengurus istrinya, yang sudah tahunan menderita sakit. Bahkan terkadang ia melihat bapak majikannya ini tak tidur semalaman. Karena menunggui ibu majikkannya, yang menggeliat sakit di pembaringannya. ‘Sungguh lelaki yang sabar’, bathin sang pelayan kagum. “Baik Bi. Bibi tolong buatkan saja bubur ya. Halimah harus makan walaupun sedikit, biar nanti saya yang menyuapinya,” ucap pak Baskoro. “Baik Pak,” ucap sang pelayan sambil bergegas ke dapur. **** Elang masuk keruangan manajer Betamart, untuk menemui Pak Johan di dalam. “Selamat pagi Pak Johan,” sapa Elang sopan. Dia sebelumnya memang telah menanyakan nama sang manajer. Pada karyawan yang bekerja di situ. “Selamat pagi. Duduklah,” sahut Pak Johan ramah, seraya mempersilahkan Elang duduk. “Mas ini siapa ya ?” tanya pak Johan. “Saya Elang, Pak Johan. Saya dari panti ‘Harapan Bangsa’, Pak,” sahut Elang. “Oh iya, anak asuh Bu Nunik ya..?” tanya pak Johan lagi, seraya tersenyum ramah. Dia memang memberi ‘pass’, bagi dua orang anak asuh di panti ‘Harapan Bangsa’. Karena memang Johan merasa kagum dan hormat, pada keuletan dan ketegaran Bu Nunik dalam mengelola panti itu. “Benar Pak Johan,” jawab Elang sopan. ‘Hmm. Anak yang berpotensi besar’, bathin pak Johan. “Kamu bawa CVnya Elang..?” tanya pak Johan. “Bawa Pak. Ini Pak Johan,” sahut Elang, sambil menyerahkan CV yang sudah dipersiapkannya sejak semalam. Pak Johan membuka CV dari Elang, membaca, dan juga mencermatinya. Dan raut wajahnya nampak terkejut, saat melihat nilai-nilai di ijazah SMA Elang. ‘Luar biasa..! Nilainya hampir sempurna semua', desis bathin pak Johan. “Baik Elang. Mulai besok, kamu mulai bekerja di sini ya. Datanglah tepat waktu Elang. Selamat ya,” ucap pak Johan sambil mengulurkan tangannya. Hal yang langsung di sambut hangat dan antusias oleh Elang. “Terimakasih atas kesempatannya Pak Johan,” ucap Elang, dengan rasa gembira dan hati bersyukur. Setelah Elang keluar ruangan itu, selanjutnya giliran Wulan yang masuk menghadap pak Johan. Dan tak lama kemudian Wulan pun keluar, dengan hasil yang sama dengan Elang. Mereka berdua pun lalu bergegas pulang. Untuk mengabarkan kabar gembira itu pada orang-orang panti. Dan khususnya pada Bu Nunik, wanita yang sudah mereka anggap bagai ibu kandung mereka sendiri. *** Sementara siang harinya. Bu Nunik dan Elang sudah sampai di kediaman Pak Baskoro, yang terlihat megah namun sunyi. Elang memencet bel rumah itu, yang terletak di sisi gerbang rumah. Tak lama kemudian keluarlah seorang wanita paruh baya, yang berjalan menghampiri mereka. “Maaf. Kalian siapa dan mencari siapa ya ?” tanya wanita tersebut. “Kami dari panti ‘Harapan Bangsa’, mau bertemu dengan Pak Baskoro, Bu ,” jawab Elang ramah. “Ohh sebentar ya Mas, Bu. Saya tanyakan pada beliau dulu,” sahut sang pelayan. “Baik Mbak,” jawab Bu Nunik maklum. Tak lama kemudian terlihat Pak Baskoro keluar bersama pelayannya, dan menghampiri mereka. Sang pelayan langsung membukakan pintu gerbang. “Wah, Bu Nunik. Maaf menunggu, silahkan masuk Bu,” ucap pak Baskoro ramah. “Terimakasih Pak Baskoro,” ucap bu Nunik tersenyum, sambil melangkah masuk di ikuti oleh Elang. “Silahkan duduk Bu Nunik, Mas," ucap Pak Baskoro, setelah mereka berada di ruang tamu yang mewah. “Terimakasih Pak Baskoro,” ucap bu Nunik. “Bagaimana Bu Nunik ? Tumben mampir ke rumah,” tanya Pak Baskoro membuka percakapan. “Begini Pak Baskoro. Maksud kedatangan kami kesini, adalah untuk menengok bu Baskoro. Kami sangat prihatin mendengar kondisi beliau, sejak pak Baskoro terakhir mampir ke panti kami,” ucap Bu Nunik, seraya meletakkan buah tangannya di atas meja. Buah tangan itu berupa buah jeruk dan mangga, di dalam wadah kantong plastik. “Terimakasih atas keprihatinan Ibu Nunik. Namun memang kondisi istri saya saat ini masih belum membaik Bu Nunik. Rasanya saya sudah hampir pasrah menerima ujian ini. Sudah hampir satu setengah tahun istri saya terbaring sakit, dan tidak juga menemukan obatnya,” ucap pak Baskoro, dengan kesedihan yang mendalam. “Bersabarlah Pak Baskoro. Karena maksud kedatangan kami yang lain, adalah karena anak asuh saya ini, Elang, Pak Baskoro. Elang ingin mencoba ikhtiar menyembuhkan istri Pak Baskoro. Semoga saja lewat tangannya, penyakit Bu Baskoro bisa disembuhkan,” ucap Bu Nunik, mencoba untuk tenang saat mengatakan hal itu. “A-apa Bu Nunik..?! Maaf Bu, saya tidak salah dengar kan Bu..?!” seruan kaget dan heran terucap dari mulut Pak Baskoro. “Saya awalnya juga tak percaya Pak Baskoro. Tapi tidak ada salahnya kita mencoba kan Pak Baskoro. Daripada diam pasrah menunggu nasib,” ucap Bu Nunik pelan dan hati-hati. Sungguh hati Bu Nunik agak berdebar saat itu. Dia cemas Baskoro akan menganggapnya bermain-main, dengan penyakit istrinya. Pak Baskoro tampak termenung sejenak. Akhirnya dia berpikir, kata-kata bu Nunik ada benarnya juga. Lalu dia menatap pada Elang dan tersenyum, “Benar Bu Nunik. Kita tak tahu dengan tangan yang mana, istri saya bisa disembuhkan,” ujar Baskoro akhirnya. Walau jujur saja. Dalam hati pak Baskoro masih meragukan kemampuan Elang, yang paling-paling belum berumur 20 tahun itu. ‘Bahkan puluhan Dokter, tabib, ajengan, dan paranormal, yang menangani istrinya. Mereka semua rata-rata sudah berpengalaman. Dan umur mereka pun sudah matang dan sepuh. Lha siapa pemuda bernama Elang ini..?’, bathin Baskoro heran, bingung, dan juga merasa tak yakin. Namun Baskoro tetap berusaha tersenyum, menanggapi pernyataan bu Nunik. “Lantas apa saja yang harus saya siapkan untuk pengobatan ini Bu Nunik ?” tanya pak Baskoro, sekaligus hendak menguji apa sebenarnya maksud semua ini. Bahkan sempat terlintas prasangka buruknya pada Bu Nunik dan pemuda bernama Elang ini. Elang yang mulai di rasuki pikiran tidak enak terhadap Pak Baskoro menjawab, “Tidak ada yang perlu dipersiapkan Pak Baskoro. Karena kami datang ke sini hanya untuk mengambil sesuatu benda jahat. Benda itu di tanam orang jahat di rumah Bapak,” jawab Elang tenang, langsung pada pointnya. “Hahh..?! B-benda apa...."Wah..! Selamat datang Raja Elang sekeluarga..! Senang sekali menerima kehadiranmu dan keluarga di istana Kalpataru ini..!" sambut sang Maharaja, dengan wajah berseri gembira. Sang Maharaja bahkan anggukkan kepalanya, sebagai tanda hormat pada Elang. "Salam Paduka Maharaja Kalpataru. Senang rasanya, kami sekeluarga bisa memenuhi undangan Paduka Maharaja," sahut Elang tersenyum lebar, seraya balas memberi hormat. "Maaf Raja Elang, sebaiknya kita langsung saja menuju ke bukit Karang Waja. Karena ada yang hendak aku tunjukkan pada Raja, sebagai ungkapan rasa terimakasih dan penghargaan rakyat Tlatah Kalpataru. Karena jasa Pendekar Penembus Batas, yang tak mungkin kami sanggup membayarnya..!" ucap sang Maharaja, tersenyum penuh rasa terimakasih pada Elang. "Wah..! Tak perlu membesar-besarkan hal yang sudah berlalu, Paduka Maharaja. Hal itu sudah semestinya dilakukan, oleh penduduk yang tinggal di Kalpataru, termasuk Elang saat itu," sahut Elang agak rikuh. Namun akhirnya dia meng
"Bagus..! Jadi tepatnya 5 (lima) hari lagi. Maka pembangunan monumen itu telah selesai sempurna, juru bangun Glagah Amba..?!" seru sang Maharaja senang. "Benar Paduka Maharaja Yang Mulia," sahut sang Juru Bangun. "Baiklah, kau akan menerima penghargaan dari pihak kerajaan. Setelah monumen itu selesai dibangun. Sekarang kembalilah, dan selesaikan monumen itu dengan sempurna..!" ucap tegas sang Maharaja Mahendra. "Baik Paduka Maharaja Yang Mulia..! Hamba mohon diri..!" seru patuh sang Juru Bangun.Dia pun segera menghaturkan sembah, dan beranjak keluar dari ruang dalem istana Kalpataru. *** Akhirnya atas pertimbangan Elang, Nadya memutuskan ikut tinggal di istana Belupang selama setengah tahun. Itu sama dengan waktu setengah hari di dimensinya. Nantinya ganti Prasti dan Nadya kecil, yang akan ikut ke dimensi masa kini, dan tinggal bersama Nadya, saat Nadya kembali ke dimensinya.Sementara Elanglah yang akan sibuk mondar mandir ke dimensi masa kini dan dimensi lampau. Agar tugasn
Nadya segera melepaskan pelukkannya dari Prasti. Lalu dia menunduk, seraya memegang lembut kedua pundak Nadya kecil. Mata Nadya masih basah dengar air mata keharuan. Ikhlas sudah hatinya, melihat sambutan ramah dan bersahabat dari Prasti. Ditambah lagi dengan sikap polos Nadya kecil, yang menggemaskan hatinya itu. Suasana pun mencair seketika di ruangan itu. "Ihhh..! Nggak boleh begitu Bibi. Namaku Nadya, Bibi harus cari nama yang lain. Nama kita nggak boleh sama..!" seru Nadya kecil cemberut. Ya, si kecil rupanya tak mau namanya tersaingi oleh Nadya. "Hahahaa ...!! Hihihii..!!" bergemuruh sudah ruang dalem istana, dengan suara tawa mereka semua di dalamnya. Saat mendengar ucapan polos Nadya kecil itu. "Hihihii..! Ya sudah begini saja, panggil saja bibi Nadya besar, dan kalau kamu, bibi panggil Nadya kecil. Bagaimana..?" ucap Nadya tertawa geli, seraya bertanya pada si kecil. Hatinya seketika jatuh sayang, pada putri kecil suaminya dan Prasti itu. Nadya kecil terdiam, seolah b
"K-kenapa..?! Ram-rambutmu memutih Mas Elang..?! Tsk, tsk..!" Nadya berseru terbata, setelah dia telah bisa memastikan, jika pria itu adalah suami tercintanya. Seketika isak tangis pun tak terbendung, menyadari sosok itu bukanlah ilusi. Brughk..! Nadya pun menubruk dan memeluk Elang, dalam isak tangis haru dan kebahagiaan. Jemari Nadya tak lepas memegang dan memandangi, ujung rambut putih suaminya yang menjela dibahunya. 'Suamiku telah kembali..!' seru lirih bathinnya bahagia. Elang balas memeluk dan mencium kening istri tercintanya itu. "Maafkan aku Nadya sayang. Maafkan aku..! Takdir ini benar-benar diluar dugaanku," ucap Elang lembut di telinga Nadya. "Mas Elang. Mana wanita yang bernama Prasti itu..? Tidakkah dia Mas ajak serta ke sini..?" tanya Nadya, yang langsung teringat dengan wanita lain di kehidupan suami tercintanya itu. "Begitu aku menguasai aji 'Sabdo Jagat', aku langsung menemuimu di sini Nadya sayang. Prasti dan putri kita Nadya juga belum tahu, jika aku sud
Blashp..! Seketika muncul cahaya putih perak menyilaukan, di tengah ruang dalem istana Selaksa Naga itu. Dan saat perlahan cahaya perak itu memudar sirna. Kini nampaklah sosok Naga Perak, yang berdiri melayang tak menyentuh lantai, di tengah ruangan itu. "Hormat kami leluhur Naga Perak Yang Mulia," ucap Ki Naga Merah dan Nyi Naga Biru bersamaan. Pada saat mereka melihat kedatangan Naga Perak itu. "Salam hormat saya Ki Naga Perak," Elang turut memberi hormat. "Tidak..! Sayalah yang menghaturkan sembah hormat pada Paduka Elang Prayoga Yang Mulia," sahut Ki Naga Perak, seraya tundukkan kepala menghormat pada Elang. "Naga Merah, Naga Biru. Kalian harus ingat, bahwa akulah yang membuat 'sumpah', dengan Paduka Indra Prayoga dahulu kala. Dan itu adalah 'sumpah abadi'ku. Walau pemilik Cincin Naga Asmara ingin membebaskan kalian..! Apakah kalian memahami maksudku..?!" seru sang Naga Perak, pada Ki Naga Merah dan Nyi Naga Biru. "Kami paham dan kami patuh, pada leluhur Naga Perak..!" sa
"Ahh..! Sudahlah Ki Naga Merah. Nyatanya aku memang belum berbuat apapun, untuk negeri 'Selaksa Naga' ini," ucap Elang jujur apa adanya. Akhirnya mereka berdua beranjak, menuju ke ruang makan di istana itu. Seminggu kemudian di dimensi Selaksa Naga. Elang kembali berniat melakukan hening di air terjun Naga Moksa. Setelah dia merasa kebugaran dan powernya telah kembali 100 persen. Aura keemasan seperti sudah menyatu dengan Elang saat itu. Walau dia tak mengerahkan power sedikit pun. Bahkan orang awam akan bisa dengan mudah melihat, aura cahaya emas yang menyelimuti sosok Elang. Ya, sepertinya 'power' semesta Elang sudah pada taraf sempurna sekali saat itu. Power yang sudah menyatu dalam diam dan geraknya, dalam tidur dan terjaganya. Sungguh mengagumkan, namun juga sangat mengerikkan, bagi pihak yang menjadikan Elang sebagai musuhnya. Elang memulai heningnya sejak senja menjelang. Seperti biasanya ruang Naga Moksa dibalik air terjun itu seketika diterangi oleh cahaya keemasan,