"Kirani, biar kutemani kau minum tuak..!" Glekk, glekk, glekk..! Pandu berkata santai, seraya mengambil sebuah tabung tuak yang baru diantar sang pelayan tadi. Dan dia pun langsung menenggaknya. Ya, Pandu memang sudah menjadi Raja Gandaran. Tapi dalam kesehariannya, ternyata dia lebih suka berjalan keluar istana dan menyamar jadi rakyat jelata. Karena sesungguhnya, dia memang lebih menyukai kehidupannya sebagai pendekar yang bebas berkelana. Pandu memang sengaja melakukan penyamaran, untuk bisa mendengar langsung apa yang sebenarnya diinginkan rakyatnya. Cukup unik memang cara yang dilakukan Raja Gandaran ini. Namun memang cukup efektif, untuk mengetahui mana lebih dulu hal yang harus diutamakan, demi kepentingan rakyatnya. Skala prioritas, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan, apa sebenarnya yang sedang ingin dilakukan Raja Pandu saat itu. "Ahh, Mas ehh ... Paduka Raja, kenapa paduka tak berada di istana saja?" tanya Kirani agak kikuk menyebut Pandu. Karena Kirani terb
Namun ternyata fakta berbicara lain..! Seorang pemuda nampak tengah duduk bersila, dan melakukan 'hening' dalam gua itu. Tapi tunggu dulu, pemuda itu ternyata berada di tengah lingkaran sosok Naga raksasa berwarna merah membara. Naga Bumi..! Ya, pemuda itu tak lain adalah Sapta Pertala adanya.! Dia berhasil diselamatkan oleh Sang Naga Bumi, saat dirinya terguling jatuh ke dalam kawah Gunung Marapat. Sang Naga Bumi segera meniupkan lapisan perisai pelindung pada Sapta Pertala, agar pemuda itu bisa bertahan dari panasnya hawa magma di pusat bumi. Kini mau tak mau, Sapta Pertala harus tinggal di kedalaman bumi, bersama sang Naga Bumi. Hal yang aneh adalah, sang Naga Bumi bisa berbicara masuk ke dalam bathin Sapta Pertala. Sementara Sapta Pertala berbicara seperti biasa saja. Seperti halnya cara berkomunikasi antara Elang dan Ki Naga Merah, dalam wujud Naganya. Sang Naga Bumi banyak mengajarkan cara bertahan hidup, di kedalaman bumi itu pada Sapta Pertala. Hal yang kemudian menja
"Ki Naga Merah. Sebetulnya ada apakah, di tingkat tertinggi pura/kuil di air terjun Naga Moksa itu..? Kenapa ada cahaya emas menyilaukan, yang keluar dari kuil/pura yang berada di pusat empat pura yang mengellinginya..?" tanya Elang pada Ki Naga Merah. Setelah dia tiba di istana Selaksa Naga. "Demi Hyang Widhi Yang Agung..! Apakah kau benar-benar melihat cahaya keemasan itu. Cahaya berkilau yang menyorot ke empat kuil di sekelilingnya Tuanku Elang..?!" seru Ki Naga Merah. Ya, Ki Naga Merah nampak terkejut bukan kepalang, dan malah balik bertanya pada Elang. "Ya benar Ki Naga Merah. Ada apakah dengan hal itu..?!" seru Elang jadi semakin penasaran. "Paduka Tuan Elang Prayoga..! Terimalah sembah hormatku," ucap Ki Naga Merah. Ki Naga Merah lakukan sikap penghormatan yang lebih dalam, dari yang biasanya terhadap Elang. Kata 'Paduka' juga kini disematkan Ki Naga Merah pada Elang. "Ahh..! Ada apa sebenarnya ini Ki Naga Merah..?!" seru Elang terkejut dan jadi rikuh, mendapat penghor
'Sebuah wilayah kerajaan yang sangat indah dan mengesankan', bathin Prasti dan Prahasta Yoga. Malam harinya usai makan malam. Elang dan Raja Naga Merah duduk berbincang secara pribadi, di ruang khusus sang Raja Naga Merah. Sementara Prasti nampak juga sedang asik berbincang dengan Nyi Naga Biru, di ruang dalem istana"Ki Naga Merah. Apakah air terjun Naga Moksa adalah tempat untuk mencapai kesempurnaan, bagi para Naga sepuh yang hendak 'moksa'..?" tanya Elang serius. Dia memulai pembicaraan tentang air terjun Naga Moksa, yang dilihatnya tadi. "Tuanku Elang. Air terjun Naga Moksa adalah sebuah tempat khusus, bagi para leluhur serta bangsa naga. Disitulah tempat para leluhur, yang telah lelah dengan kehidupannya. Maupun Naga sepuh yang ingin mencapai 'penyempurnaan laku'nya, dengan moksa. Ada hal apakah Tanku menanyakan soal air terjun Naga Moksa itu..?" "Ki Naga Merah, benarkah dulu moyang Indra Prayoga pernah masuk disana..? Untuk hal apakah dia masuk kesana Ki Naga Merah?" tan
Sesungguhnya keluarga sang Maharaja sendiri sedang dalam keadaan berduka. Atas gugurnya Begawan Ekapaksi, ayahandanya. Namun hal itu juga malah menjadikan sang Maharaja lebih bersemangat, dan merasa tertantang. Karena sang Maharaja harus bisa membuktikan, bahwa Kalpataru akan berdiri lebih jaya dari sebelumnya. Setelah melalui ujian dan perjuangan beratnya. Ya, sang Maharaja tak ingin menyia-nyiakan nyawa yang telah dikorbankan oleh ayahandanya serta para prajurit Tlatah Kalpataru. Karena sang Maharaja tengah memegang amanah, cita-cita, dan keinginan luhur, dari mereka semua. Yaitu memakmurkan dan menjadikan Tlatah Kalpataru sebagai Tlatah yang besar, makmur, serta jaya bersama rakyatnya. *** Tiga hari kemudian di halaman istana kerajaan Palapa. "Elang pergi dulu Paduka Maharaja. Mohon restunya," ucap Elang, seraya menghormat pada sang Maharaja Danuthama. "Ayahanda, Prasti berangkat dulu ke dimensi Ki Naga Merah ya," ucap Prasti, seraya mencium tangan sang Maharaja dan memelu
"Baik Elang. Kuijinkan kau ke dimensi itu bersama Prahasta Yoga, dengan restuku," ucap sang Raja. "Ayahanda. Emm, bolehkah Prasti ikut menemani Mas Yoga dan adik Prahasta Yoga berlatih di sana..? Sebelum Prasti benar-benar sibuk membantu Ayahanda di kerajaan Palapa nantinya," tanya Prasti, dengan wajah terlihat penuh harap memandang sang ayahandanya itu. "Hhhh. Putriku sayang, baru saja kau pulang kembali, kini malah hendak pergi lagi. Baiklah. Tapi ayahanda harap kau pergi bersama Elang dan Prahasta Yoga nanti. Setelah kau tinggal di istana Palapa selama 2-3 hari Prasti. Ayahanda masih kangen padamu. Dan aku juga butuh beberapa pandangan darimu Elang. Mengenai rencana membangun Tlatah Palapa, yang kini masih sangat jauh tertinggal, dengan tetangga kita Tlatah Kalpataru," ujar sang Raja akhirnya. "Wah..! Terimakasih Ayahanda," ucap Prasti senang sekali. "Baik Paduka Raja," ucap Elang, menyetujui permintaan sang Raja Danuthama. "Elang. Jujur saja selain dirimu, aku juga akan m