“Cihh..! Heei Sekar..! Amit-amit saya mengambil uangmu, yang paling isinya cuma seratus dua ratus ribu itu..! Cepat pergi..! Atau kupanggil Pak Waluyo di sebelah..!” bentak Marini marah. Elang pun turun dari motornya, ‘Perempuan brengsek ini memang harus dikasih sedikit pelajaran !” pikirnya. Diambilnya beberapa bunga tunas jambu air yang jatuh. Lalu di sentilnya dengan hanya menggunakan sedikit tenaga dalamnya saja. Seth..! Takh..!Bunga jambu itu melesat mengenai jidat Marini, yang kala itu sedang marah-marah pada Sekar. “Aduhhh..!” teriak Marini, sambil memegang jidatnya yang terasa sakit dan panas. Padahal dia tak melihat Sekar melakukan apa pun di depannya. Pandangannya pun berkeliling, mencari siapa yang menimpuk jidatnya. Dilihatnya pemuda yang mengantarkan Sekar, tapi dia sedang sibuk dengan ponselnya. Di rabanya lagi jidatnya, kini ia merasa sudah ada benjolan sebesar kelereng di sana. Rasa panasnya pun tak hilang-hilang. “Sudahlah..! Pergi kamu dari sini Sekar..!!" B
“Ada apa Mbak Sekar ?” tanya Elang serak. Dan mata Elang mau tak mau melihat keadaan tubuh ramping padat milik Sekar, yang hampir polos itu. Melihat Elang mendekati dirinya, Sekar menggelengkan kepalanya seolah melawan sesuatu. “Pergilah Kang Elang, ini memalukan,” ucap Sekar, sambil berusaha menutupi bagian tubuh terlarangnya. Namun tangan Sekar sendiri terlihat bergetar, seolah menolaknya. Elang lalu duduk di sisi ranjang, ‘Aku harus melakukannya, kasihan dia bisa mati’, bathin Elang. Perlahan Elang mengelus betis mulus Sekar, yang berbulu sangat halus hingga ke bagian atas dengkul wanita cantik itu. Sontak tubuh Sekar langsung bergetar hebat. Menahan gairahnya yang kian memanas dan menuntut pelepasan. Dan tanpa ada yang mengkomando, tiba-tiba saja mereka telah saling berpelukkan erat. Bibir Sekar yang merah merekah memagut bibir Elang. “Mmhhhh. Kang Elang. Lakukanlah Kang, Sekar ikhlas. Mungkin hanya dengan cara ini Sekar bisa berterimakasih atas kebaikkan Kang Elang. Lak
"Saya coba menyadarkan Ibu dulu ya Mbak,” ucap Elang meminta ijin Sekar. “Silahkan Kang Elang,” ucap Sekar. Elang mengangkat tubuh bagian atas ibu Sekar, lalu mendudukkannya di atas pembaringan. Kemudian Elang pun naik ke pembaringan, dan mengambil posisi bersila di belakang ibu Sekar. Tangan kiri Elang menahan pundak sang ibu. Sementara tangan kanannya bergerak cepat, menotok beberapa titik simpul di bagian belakang tubuh ibu Sekar. Lalu Elang menempelkan telapak tangannya ke pertengahan tulang belikat sang Ibu. Hawa murni Elang pun mulai mengalir perlahan ke tubuh sang ibu. Dan tk sampai 5 menit kemudian, “Hukk..uhukk..! Hhhh..hhhh,” sang ibu terbatuk, lalu dia mulai menarik nafasnya dalam-dalam. Perlahan pernafasan ibu Sekar pun berangsur normal. “Ibu sudah sadar Kang Elang,” ucap Sekar gembira, melihat ibunya kembali sadar. “Heii, mengapa ibu ada di rumah..?!” tanya sang ibu heran. “Tenanglah Ibu, semuanya baik-baik saja Bu,” ucap Elang lembut. Perlahan Elang kembali mem
“Aih, Kang Elang. Pegang saja uangnya, biar nanti Kang Elang saja yang membayarkannya,” ucap Sekar kaget, melihat seikat uang merah di berikan Elang padanya dengan ringan saja. Seolah bukan sesuatu yang berharga. “Tak apa Mbak Sekar, terimalah. Anggap saja pengganti uang Mbak Sekar yang diambil Marini. Terimalah,” ucap Elang sambil menarik lembut tangan Sekar, dan meletakkan uang itu di genggamannya. “Terimakasih Kang Elang,” ucap Sekar serak.Sepasang mata Sekar seketika beriak basah, karena terharu pada pemuda gagah yang baru dikenalnya ini. “Elang. Siapa pun kamu, ibu sangat berterimakasih padamu,” ucap sang ibu, yang sejak tadi hanya tertegun. Dia melihat Elang memberikan sejumlah uang, yang jumlahnya tidak sedikit begitu saja pada Sekar. “Sudahlah Bu. Yang penting Ibu bisa segera diperiksa dokter di rumah sakit. Mari kita berangkat sekarang,” ucap Elang. Elang menyewa sebuah mobil Avanza, yang kebetulan statusnya disewakan. Tak jauh dari tempat mereka menunggu di tepi jala
"Namanya anak, apalagi kamu itu sedang hamil. Harusnya kamu nggak perlu pergi jauh-jauh dari rumah Marini..! Orangtuamu pasti mengerti kondisimu. Rawan untuk bepergian jarak jauh saat hamil muda Marini. Dan lagi, nggak harus setiap ke sana kamu membawa uang banyak kan Marini.?Uang modal akang bisa habis terpakai nanti. Apakah kamu senang, jika toko akang bangkrut..?!” sentak Barja. Mendadak Marini terdiam. Dia merasa heran, kenapa ‘susuk bunga kantil’nya tidak lagi manjur meluluhkan hati Barja..? 'Apakah ‘susuk’ dari Ki Suwita mempunyai masa pakai dalam jangka waktu tertentu, dan harus di perkuat lagi..?' begitu pikir Marini. Dia tidak tahu, bahwa kini tubuh Barja telah diselimuti aura aji Pedot Roso, yang membuat Barja lepas dari pengaruh ‘susuk bunga kantil’nya. Akhirnya Marini terpaksa diam, dan berniat menunda kepergiannya ke Jakarta besok. Ya, dia harus pergi ke kediaman Ki Suwita dulu di Jatibarang besok. *** Krtkh! Krrtekk..! Duarr..!! Hujan deras kembali tercurah me
Namun Barja tak sadar, saat ada sepasang mata yang penuh kebencian menatap dirinya, dari balik korden kamar. Ya, tentu saja itu adalah sepasang mata milik Marini. Marini sangat jelas mendengar ucapan Barja tadi. Dan dia merasa yakin kini, bahwa pengaruh ‘susuk’nya memang sudah benar-benar lenyap. ‘Aku harus ke tempat Ki Suwita besok’, gumam bathin Marini. Dia tak ingin Barja lepas dari kendalinya, dan menjemput Sekar kembali ke rumah ini. Karena bagi Marini, hal itu sama saja dengan menggagalkan rencananya, yang sudah lama di susunnya bersama kang Jaka. “Marinii..!” seru Barja memanggil Marini dari ruang tamu. “Ya Kang Barja,” sahut lembut Marini, berusaha untuk bermanis muka di hadapan Barja. Marini pun datang menghampiri Barja, dengan senyum termanis yang dia punya. “Bikinkan aku kopi hitam,” ucap Barja, dia kini bersikap acuh pada Marini. “Ba..baik Kang,” ucap Marini agak gagap. Karena selama ini, Sekarlah yang melayani segala perintah Barja dan dirinya. Barja tadinya bah
Pagi harinya, di rumah Barja sudah terdengar suara pertengkaran di dalamnya, “Tidak boleh Marini..! Kamu tak boleh keluar dari rumah lagi..! Jaga kandunganmu baik-baik! Berani kamu keluar dari rumah ini, maka jangan pernah kamu kembali lagi..!” seru Barja tegas pada Marini, yang berniat keluar dan meminta uang pada Barja. “Tapi aku mau memeriksa kandungan Kang Barja..! Apa Akang tak ingin mengetahui kondisi janin di perut Marini..!” seru Marini membalas. “Tak ada yang melarang kau periksa kandungan Marini. Tapi ini masih terlalu pagi, untuk ke klinik ataupun puskesmas..! Bahkan kopi untukku juga belum kau buatkan..! Cepat buatkan aku kopi hitam..!” seru Barja tak ingin dibantah. Barja merasa ada sesuatu yang aneh dan mencurigakan, pada niat Marini keluar rumah pagi-pagi sekali. “Baik Kang Barja. Aku akan ke klinik nanti agak siangan,” ucap Marini melembut. Dia pun beranjak ke belakang, untuk membuatkan kopi buat Barja. ‘Hhh..! Makin kesini kok rasanya semua prilaku Marini maki
Elang kembali bangun agak kesiangan hari ini, dilihatnya jam pada ponselnya menunjukkan pukul 7:15 pagi. Bergegas Elang beranjak bangkit dari ranjangnya, mengambil handuk dan perlengkapan mandinya, lalu langsung menuju kamar mandi. Dilihatnya Sekar yang sedang memasak telur dadar. Sekilas Sekar menoleh ke arah Elang dan tersenyum malu. ‘Wanita yang menggemaskan’, bathin Elang, sambil balas tersenyum pada Sekar. Lalu Elang pun meneruskan langkahnya menuju kamar mandi. Usai mandi dan berganti pakaian, Elang langsung menuju ruang tamu. Di sana dilihatnya ibu Sekar sedang minum teh dan camilan, sambil memandang ke arah luar rumahnya. “Pagi Bu, sudah merasa baikkan belum Bu..?” tanya Elang, sambil duduk di dekat sang ibu. “Ehh, Elang. Ibu sudah pulih kok, rasanya ibu ingin dagang saja Elang,” sahut ibu Sekar. Dia merasa sayang, jika hari terlewatkan begitu saja tanpa berdagang. “Syukurlah jika Ibu sudah merasa pulih. Ibu sebaiknya jangan terlalu lelah dulu ya. Istirahat saja di rum
"Paduka Raja. Hamba dan Nalika sudah mengamati dengan teliti, daerah sekitar markas pasukkan Panglima Api berada. Dan rasanya kita akan bisa mengatasi pasukkan mereka. Jumlah pasukan mereka sebanyak 1700 orang. Mereka juga dibantu oleh beberapa orang tokoh dari rimba persilatan. Dan celah terbaik untuk menyerang mereka, adalah dari arah belakang markas mereka paduka," Elang mengungkapkan hasil pengintaiannya, pada sang Raja beserta jajarannya. "Hmm. Kenapa harus dari belakang Elang..? Bukankah bagian belakang biasanya terpagar rapat..?" tanya sang Raja agak bingung, dengan celah penyerangan yang dikatakan Elang. "Benar Paduka Raja. Bagian belakang markas mereka memang terpagar rapat. Namun hamba akan menjebol pagar itu dengan pukulan hamba. Karena di bagian belakang markas mereka, adalah tempat mereka menambatkan ratusan kuda di sana. Kita bisa menjebol dan mengagetkan kuda-kuda itu, agar mereka berlarian panik ke tengah tengah markas. Dengan melepaskan panah api ke arah kuda, d
"Heii..! Siapa yang bersamamu Nalika..? Aku baru melihatnya," seru bertanya Bhasuta, dengan mata menatap tajam pada Elang. Dia bisa merasakan aura energi Elang, yang dirasanya cukup besar. Susah payah Elang menyembunyikan 'aura power'nya. Namun ternyata masih tertangkap juga oleh mata awas Bhasuta. Elang memang berhasil meredam getar energi dalam dirinya. Namun aura dasar seorang pendekar, yang memiliki power pastilah tetap nampak. Terlebih di mata orang linuwih seperti Bhasuta ini. "Ahh, dia hanya seorang pengawal pribadi yang saya bayar Panglima. Karena disaat genting ini, posisiku cukup rawan di mata pihak istana. Makanya aku harus berjaga-jaga Panglima," sahut Nalika tenang. 'Hmm. Memang masuk akal. Nalika pasti ketakutan jika rahasianya terbongkar oleh kerajaan', bathin Bhasuta, memaklumi alasan Nalika. "Baiklah Nalika. Siapa namamu anak muda?" tanya Bhasuta pada Elang. "Saya Prayoga, Tuan Panglima," sahut Elang, hanya menyebutkan nama belakangnya. "Bagus..! Bantulah Nalik
"Nalika. Sekarang saatnya kita ke berdua ke markas pusat Pasukan Panglima Api, di hutan Kandangmayit. Laporkan saja pada Panglima Api itu, kalau semuanya beres dan sesuai rencana. Sementara aku hendak mengamati dan mempelajari situasi di markas itu. Sebelum penyerangan pasukkan kerajaan Dhaka esok hari," ujar Elang, memberikan arahan. "Baik Mas Elang..!" sahut Nalika patuh. "Para prajurit..! Segera bereskan mayat-mayat pasukan pemberontak itu, dan berjagalah..!" seru Nalika tegas, pada para prajurit yang berada di situ. "Baik Kanjeng Adipati..!!" seru mereka semua. Taph..! Slaph..! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, dan membawanya melesat cepat, menuju ke arah selatan. Dan seperti yang sudah-sudah, Nalika hanya bisa memejamkan matanya. Dia tetap saja masih merasa ngeri untuk membuka matanya, saat dibawa Elang melesat. Dengan kecepatan yang berada diluar nalarnya itu. Dan benar saja, hanya kira-kira 15 helaan nafas saja. Elang sudah menghentikan lesatannya, dan hinggap di
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika
"Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata
"A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a
"Mohon maaf, Paduka Raja. Menurut hamba adalah hal yang aneh, jika seorang Adipati tidak mengetahui persis kejadian ini. Bukankah letak istana kadipaten dan istana kademangan tidaklah terlalu jauh. Wedana Suralaga telah mengatakan pada hamba. Bahwa dia dan keluarganya kini, berada dalam tekanan pasukkan pemberontak Panglima Api itu. Namun dia tetap bersetia pada kerajaan Dhaka. Yang jadi pertanyaan hamba adalah, bagaimana seorang Adipati tidak tahu soal kejadian ini..?!" ujar Elang, seraya menyerukan keheranannya. Dan pancingan Elang pun mengenai sasarannya. "Ampun Paduka Raja. Hei..! Pengawal Gusti Putri..! Apakah kau mencurigai aku berkhianat pada kerajaan..?! Apakah kau bisa mempertanggungjawabkan tuduhanmu itu, jika tak ada bukti..?!" Nalika menghormat terlebih dulu pada sang Raja. Lalu dia berdiri berseru seolah menantang pada Elang, seraya menuding Elang dengan telunjuknya. Emosi Nalika langsung naik ke ubun-ubun, mendengar tuduhan Elang. Yang sesungguhnya memang benar ad
"Ahh! Silahkan Gusti Putri Ratih, Tuan Muda silahkan masuk ke dalam. Baginda ada di astana istana dalem. Mari ikuti hamba," sahut sang kepala pengawal hormat. Ya, dia segera mengenali Gusti Putrinya itu. Karena dia memang pernah berkunjung bersama rombongan Rajanya, ke istana kerajaan Kalpataru. Sampailah mereka di depan sebuah ruang megah dalam istana. Pintu masuk ruang itu tidak memiliki daun pintu. Namun dua orang prajurit istana berjaga di depan pintu itu. Kedua prajurit jaga itu memegang tombak serta perisai di tangannya, mereka mengangguk hormat saat kepala pengawal istana datang. Kepala pengawal langsung mengajak Elang dan Ratih ikut masuk bersamanya, ke dalam ruang istana dalem keraton tersebut. Sebelumnya sang Kepala Pengawal sempat menanyakan lebih dulu nama Elang. "Salam Paduka Yang Mulia. Dua utusan dari kerajaan Kalpataru, Gusti Putri Ratih Kencana datang bersama pengawalnya Elang Prayoga," ucap sang kepala pengawal, setelah dia berlutut seraya memberi hormat pada Ra