Seiring dengan meredanya aliran hawa dingin bergolak itu, maka Permadi tidak merasakan lagi getaran hawa dari kitab pusaka Jagad Samudera itu. Namun betapa terkejutnya Permadi, saat dia kembali membuka halaman isi kitab itu. Ya, kini bahasa dan simbol-simbol di dalam isi kitab pusaka itu bisa dibaca, dan dipahaminya dengan mudah..! Hal yang serupa dengan Elang saat membuka isi ‘Kitab 7 Ilmu’..! Permadi memang masih dibilang garis dan pewaris keturunan langsung, dari pemilik kitab ‘Jagad Samudera’. Karenanya sekuat apa pun usaha Ki Sentanu merusak ‘garis’ itu. Maka tetap saja ‘garis’ itu akan kembali tersambung pada jalurnya..!Sejak hari itu pula, Permadi dengan tekun dan bersemangat melatih sendiri isi kitab pusaka ‘Jagad Samudera’ warisan moyangnya. Ki Sentanu tetap setahun sekali mengunjunginya. Namun salahnya, Ki Sentanu sama sekali tak pernah menanyakan tentang kitab pusaka ‘Jagad Samudera’ itu lagi pada Permadi. Karena dia yakin Permadi takkan pernah bisa menguasainya. Be
"Biarkan Reva mengantar Mas besok ke Bali dengan helikopter ya. Tinggalkan saja motor Mas Elang di sini,” ucap Reva. Ya, Reva berharap Elang kembali untuk mengambil motornya, setelah Elang puas bertualang di Bali. Agar mereka bisa berjumpa lagi. Elang berpikir sejenak, sebenarnya tak masalah dia membawa motornya atau tidak ke Bali. Namun kini hatinya malah makin mantap, untuk bertualang berjalan kaki saja di Bali. Atau membeli motor baru khusus untuk petualangannya di Bali, itu juga tak masalah baginya. “Baiklah Reva. Tolong titip motorku di sini ya,” Elang berkata sambil tersenyum lembut, dia juga menyadari maksud Reva. Elang juga tak keberatan mereka bertemu kembali, saat dia mengambil kembali motornya nanti. “Terimakasih Mas Elang,” Reva tersenyum senang, walau tetap saja matanya beriak basah. “Wah, ada apa ya Elang, Reva, kelihatannya serius sekali..?” tanya Harjo, yang baru saja selesai mempersiapkan perlengkapannya. Untuk berangkat ke Korea nanti malam. Dia pun ikut dudu
Weerrsshk..!! Sosok Permadi berputar bak gasing di udara, lalu melesat masuk ke dalam pusaran laut raksasa itu. Permadi bahkan berputar lebih cepat dari arus pusaran laut, dan langsung masuk ke inti pusaran di bawah laut. Pusaran di atas permukaan laut pun kian menggrlegak, dengan arus yang semakin menggila..! Werrsskh..!! Saarrph..! ... Glagghs..!! Daya hisap pusaran juga semakin kuat, angin pun ikut berputar di atas pusaran itu. Lalu, “Hiiyahhh..!" Byaarrgghks...!!Dengan suara yang menggebyar dahsyat, pusaran itu terangkat naik ke udara..! Permadi muncul dengan tangan kanan memegang ujung pusat pusaran, yang nampak lancip. Bukan olah-olah dahsyatnya tenaga dalam si Permadi ini. Cahaya biru di telapak tangannya pun makin terang dan, “Hiyahh..!!" Kraattzzkhs..!!Pusaran air laut yang tinggi itu tiba-tiba berubah menciut, membeku, dan mengkristal. Hingga menjadi sebuah tombak bercahaya biru terang. “Hiyahhh..!" Splaasshk..!! Permadi melontarkan tombak itu ke dalam laut, den
Lenyepp...nyepp..! Splashh..! Permadi pun tenggelam dalam alam keheningan. Kedua matanya terpejam dengan ‘mata ketiga’ terbuka terang, menelusuri jejak sang ayah angkatnya. Satu jam lebih Permadi tenggelam dalam meditasi samuderanya, dirinya serasa bersila melayang di tengah samudera luas. Sementara pancaran ‘mata ketiga’nya tak henti mencari energi Ki Sentanu yang sangat di kenalnya itu. Namun jejak energi sang ayah angkat tak jua di lihat dan di temuinya. Pancaran aura Ki Sentanu bagai menguap begitu saja. Sirna, bagai asap tertiup angin. Pemulihan energinya telah selesai. Namun Permadi tetap memancarkan sinyal pencarian dari ‘mata ketiga’nya, dengan daya pancar maksimalnya. Beberapa saat kemudian, kedua matanya terbuka kembali, dalam keadaan berkilat kebiruan dalam amarah. Pencariannya nihil..! Ya, hanya ada satu kesimpulan yang terpikir di benak Permadi. Ayah angkatnya, Ki Sentanu telah menemui ajal.! “Huaarrkkhhs...!!" Teriakkan membadai Permadi yang dilambari powernya,
“Pagi Reva, Ibu. Maaf Elang telat ya,” Elang berkata sambil tersenyum dan menghampiri mereka. Dia pun ikut duduk di salah satu kursi meja makan. “Ahh, nggak telat kok Elang. Kami yang kepagian dari biasanya. Hehe,” ucap Resmi sambil terkekeh. “Mas Elang, hari ini Bi Rina dan mamah masak menu spesial lho. Ada nasi goreng sapi, bakwan udang jagung, dan sambal goreng,” Reva menyebutkan menu spesial, pada sarapan mereka kali ini. “Wahh. Sepertinya Elang bisa makan banyak ini. Hahaa..!” Elang tertawa lepas, menu yang disebutkan Reva memang menggugah selera makannya. Tudung saji pun di buka, dan mereka semua makan dengan nikmat sambil berbincang hangat. ‘Ahh, Elang. Cepatlah kau kembali lagi ke sini Nak’, bathin Resmi berharap. Hatinya merasa hangat dengan kehadiran Elang, di meja makan rumahnya. Usai sarapan mereka pun lanjut berbincang di ruang teras, “Elang, sampai kapan kau akan hidup dalam perantauan? Ibu sungguh tak memahamimu Elang,” Resmi bertanya pada Elang pelan. Dia meman
"Mas Elang tampak gagah memakai jam tangan ini,” ucap Reva memuji. “Ahh, Reva. Jam ini pasti mahal harganya ya?” tanya Elang, sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Menurut Elang jam itu terlalu bagus, untuk melingkar di tangannya. Sebenarnya Elang enggan menerima pemberian Reva itu. Namun melihat ketulusan Reva memberi, dia tak ingin mengecewakannya.“Harganya jauh lebih rendah, dibanding budi baik Mas pada Reva dan keluarga Reva, Mas Elang,” sahut Reva tersenyum, sambil mendekat lalu memeluk Elang dengan erat. Reva mencium bibir Elang dengan lembut, Elang menyambutnya hangat. Lumatan lembut pun berubah menjadi panas, dan secara naluriah keduanya saling melepas pakaian mereka satu persatu. Kamar villa yang lama dingin tak dihuni itu pun kini memanas, dengan masuknya dua insan yang hendak mencurahkan hasratnya. *** Permadi melesat dan terus melesat, hingga akhirnya dia sampai di wilayah Purwokerto. Dia bermalam di sebuah losmen dekat Andang Pangrenan. Permadi masi
"A-akhu mau sampai Re..vahh.! Akhgss.!" Elang tersengal, seraya hendak mencabut batang kemaluannya. “Ohgsss.! Aku .. juga..! J-jangan di ca..but Massh..! Uhgsss..!” Untuk kesekian kalinya tubuh dan pinggul Reva tersentak-sentak. Sementara Elang pun tak mampu lagi bertahan, “Asghsh..!” Elang membalikkan tubuh Reva, dan memacu cepat di atasnya. Beberapa saat kemudian mereka pun saling berangkulan erat. Dengan pangkal paha yang saling merapat dan meregang kaku. Ya, keduanya memuntahkan kenikmatannya, dalam waktu yang bersamaan. Tak lama kemudian tubuh Elang pun bergulir rebah disisi Reva yang masih terlentang dan tersengal meresapi sisa-sisa multi orgasmenya. “Terimakasih Reva,” ucap Elang, seraya mengecup pipi Reva. “Aku yang berterimakasih sama Mas Elang, permainan kali begitu indah Mas,” balas Reva sambil mengecup bibir Elang. Lalu Reva pun merebahkan kepalanya di dada bidang Elang. “Reva, apakah kau dengar? Helikoptermu sudah kembali di atas,” Elang berkata pelan. Dia men
“Silahkan Mas,” si ibu tersenyum, mempersilahkan Elang menyantap menu yang dipesannya. “Terimakasih Bu,” Elang tersenyum dan mulai menyantap menu makan siangnya. Tak memerlukan waktu lama, hidangan di atas mejanya pun ludes tandas. Elang tersenyum puas, ‘Masakkan Ibu ini benar-benar mantap, bumbunya pas sekali’, bathin Elang puas. “Masakkan Ibu sedap sekali, tapi kok agak sepi pembeli ya Bu?” Elang memuji, sambil memancing keterangan dari si ibu pemilik warung. “Terimakasih Mas. Memang sudah 3 bulan ini, warung ibu kok tiba-tiba jadi sepi. Padahal sebelumnya selalu ramai pembeli lho Mas,” si ibu merasa sangat senang masakannya di puji Elang, lalu dia juga mengemukakan keluhannya. “Sepertinya memang ada yang ‘mengganjal’ warung makan Ibu,” Elang berkata pelan, namun jelas terdengar oleh si ibu. “A..apa yang mengganjal di warung saya Mas..?!” ibu itu berseru kaget, mendengar ucapan Elang. “Ada pihak yang menanam sesuatu di depan tangga masuk ke warung Ibu,” sahut Elang tenang.
"Arrkhgs..!! Bangsat..!" jerit kesakitan bukan olah-olah menggelegar dari mulut Bhasuta. Karena sejenak dia juga merasakan sengatan aliran listrik luar biasa, yang mengaliri sekujur tubuhnya. Dan aliran listrik itu terhenti, saat kakinya yang masih normal menyentuh bumi. Makian kalap langsung terdengar dari mulutnya, namun kondisi tubuhnya sendiri kini lemas tak berdaya di atas tanah. "Hoeksh..!" Elang terdorong mundur beberapa langkah di udara, seraya memuntahkan darah segar. Dadanya terasa sesak, menahan gempuran tiga gelombang energi lawannya itu. Dia mengolah nafasnya sejenak di udara, lalu ... Seth! Taph! "Panglima Api..! Ada pertanyaan yang harus kau jawab dengan jujur. Katakan apa maksud gurumu Resi Mahapala, yang masuk ke alam masa depan..?!" seru tajam dan tegas Elang Elang langsung melesat dan mendarat di dekat sosok Bhasuta, yang kini terkapar tanpa daya. Dia langsung menanyakan hal yang membuatnya masuk ke dimensi silam itu. "Bedebah..! Kau carilah jawabnya sendiri
"Kami datang Panglima..!" Seth! ... Seth! Layangseta si Pedang Buntung dan Rakha si Cakar Langit, keduanya melesat di sisi kiri dan kanan Bhasuta. "Bagus Layangseta, Rakha..! Mari secepatnya kita habisi mata-mata tengik ini..! Dan kita bantai pasukkan kerajaan setelahnya!" seru Bhasuta senang. Ya, Bhasuta bisa melihat, jika Elang adalah tokoh paling berbahaya dari pasukkan kerajaan Dhaka. Elang melirik sejenak ke arah Ratih, nampak gadis itu kini tengah bertarung melawan seorang wanita pula. Dilihatnya pertarungan mereka berjalan seimbang, bahkan sepertinya Ratih berada di atas angin melawan wanita itu. Hati Elang pun menjadi agak tenang. Kini dia bisa fokus menghadapi keroyokkan tiga lawannya. Dilihatnya pintu gerbang sebelah kiri markas masih belum terbuka. Sedangkan jarak gerbang itu masih sekitar 100an langkah, dari posisinya saat itu. Segera saja Elang kerahkan sebagian 'powernya', lalu ... "Hiaahh..!" Splaattzsk..!! Elang berseru keras seraya ayunkan pukulan jarak jauh
"Bedebah..! Mereka pasukkan kerajaan Dhaka.! Sepertinya ada yang berkhianat dan memberitahukan lokasi markas kita! Ini pasti Nalika! Keparath!" seru murka Bhasuta, seraya menuduh Nalika sebagai pengkhianatnya. Ya, otak Bhasuta yang cerdik segera mengarahkan dugaannya pada Nalika. Karena memang hanya Nalika, satu-satunya orang diluar pasukkannya, yang mengetahui lokasi markas pasukkannya itu. Dan hal itu memang tak salah adanya..!"Bedebah..! Tahu begitu semalam kuhabisi saja dia..!" teriak Layangseta marah sekali. "Ayo, kita maju bersama..!" seru Bhasuta, seraya melesat ke arah belakang markas. Sementara nampak ratusan kuda masih berlarian kesana kemari, di dalam area markas. "SERANG..!!" Sethh..! Patih Kalagama berseru lantang, seraya mengacungkan kerisnya ke udara. Lalu dia mendahului maju bersama Nalika di sampingnya. "Hiyyaahhh....!!!" Seruan menggelegar ribuan prajurit Dhaka pun membahana, bak gelombang tsunami. Mereka berlarian menyerbu masuk, melalui celah pagar belaka
Matahari belum sepenuhnya terbit, saat pasukkan kerajaan Dhaka tiba, di lokasi belakang markas pasukkan pemberontak. Keadaan di belakang markas itu, masih berupa rerimbunan hutan belantara yang lebat. Disebut sebagai hutan Kandangmayit. Karena memang dalam sejarahnya, hutan itu pernah menjadi tempat pertarungan antar kerajaan, antar suku, dan juga antar para pendekar. Banyak tulang belulang tengkorak berserakkan di hutan belantara itu. Hal yang dibiarkan begitu saja, dan menimbulkan rasa ngeri dan seram, bagi orang-orang untuk masuk ke hutan itu. Sehingga akhirnya lambat laun, orang-orang terbiasa menyebut hutan itu sebagai hutan 'Kandangmayit'..! Patih Kalagama segera membagi pasukannya menjadi 4 pasukkan. Sebanyak 1200 prajurit masuk dalam pasukkan utama, yang berada di belakang markas. Pasukkan itu dipimpin langsung olehnya dan Elang. Sementara sisanya dibagi menjadi 3 pasukkan, dengan masing pasukkan berkekuatan 600 prajurit. Ketiga pasukkan yang masing-masing dipimpin ole
"Paduka Raja. Hamba dan Nalika sudah mengamati dengan teliti, daerah sekitar markas pasukkan Panglima Api berada. Dan rasanya kita akan bisa mengatasi pasukkan mereka. Jumlah pasukan mereka sebanyak 1700 orang. Mereka juga dibantu oleh beberapa orang tokoh dari rimba persilatan. Dan celah terbaik untuk menyerang mereka, adalah dari arah belakang markas mereka paduka," Elang mengungkapkan hasil pengintaiannya, pada sang Raja beserta jajarannya. "Hmm. Kenapa harus dari belakang Elang..? Bukankah bagian belakang biasanya terpagar rapat..?" tanya sang Raja agak bingung, dengan celah penyerangan yang dikatakan Elang. "Benar Paduka Raja. Bagian belakang markas mereka memang terpagar rapat. Namun hamba akan menjebol pagar itu dengan pukulan hamba. Karena di bagian belakang markas mereka, adalah tempat mereka menambatkan ratusan kuda di sana. Kita bisa menjebol dan mengagetkan kuda-kuda itu, agar mereka berlarian panik ke tengah tengah markas. Dengan melepaskan panah api ke arah kuda, d
"Heii..! Siapa yang bersamamu Nalika..? Aku baru melihatnya," seru bertanya Bhasuta, dengan mata menatap tajam pada Elang. Dia bisa merasakan aura energi Elang, yang dirasanya cukup besar. Susah payah Elang menyembunyikan 'aura power'nya. Namun ternyata masih tertangkap juga oleh mata awas Bhasuta. Elang memang berhasil meredam getar energi dalam dirinya. Namun aura dasar seorang pendekar, yang memiliki power pastilah tetap nampak. Terlebih di mata orang linuwih seperti Bhasuta ini. "Ahh, dia hanya seorang pengawal pribadi yang saya bayar Panglima. Karena disaat genting ini, posisiku cukup rawan di mata pihak istana. Makanya aku harus berjaga-jaga Panglima," sahut Nalika tenang. 'Hmm. Memang masuk akal. Nalika pasti ketakutan jika rahasianya terbongkar oleh kerajaan', bathin Bhasuta, memaklumi alasan Nalika. "Baiklah Nalika. Siapa namamu anak muda?" tanya Bhasuta pada Elang. "Saya Prayoga, Tuan Panglima," sahut Elang, hanya menyebutkan nama belakangnya. "Bagus..! Bantulah Nalik
"Nalika. Sekarang saatnya kita ke berdua ke markas pusat Pasukan Panglima Api, di hutan Kandangmayit. Laporkan saja pada Panglima Api itu, kalau semuanya beres dan sesuai rencana. Sementara aku hendak mengamati dan mempelajari situasi di markas itu. Sebelum penyerangan pasukkan kerajaan Dhaka esok hari," ujar Elang, memberikan arahan. "Baik Mas Elang..!" sahut Nalika patuh. "Para prajurit..! Segera bereskan mayat-mayat pasukan pemberontak itu, dan berjagalah..!" seru Nalika tegas, pada para prajurit yang berada di situ. "Baik Kanjeng Adipati..!!" seru mereka semua. Taph..! Slaph..! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, dan membawanya melesat cepat, menuju ke arah selatan. Dan seperti yang sudah-sudah, Nalika hanya bisa memejamkan matanya. Dia tetap saja masih merasa ngeri untuk membuka matanya, saat dibawa Elang melesat. Dengan kecepatan yang berada diluar nalarnya itu. Dan benar saja, hanya kira-kira 15 helaan nafas saja. Elang sudah menghentikan lesatannya, dan hinggap di
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika