Share

Bab 169.

Penulis: BayS
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-17 17:39:53

Sementara permukaan laut di sekitar area Parang Tritis pun bergolak, bak air mendidih.

Menimbulkan buih-buih besar menggelembung dan meletup-letup di permukaan laut.

Beberapa pengunjung yang berada di pantai Parang Tritis dan sekitarnya pun sudah bubar. Mereka lari tunggang langgang, disertai teriakkan-teriakkan panik ketakutan, meninggalkan lokasi itu.

Akibat getaran dan guncangan bak gempa, di awal penerapan aji pamungkas Mbah Kromo tadi.

Sementara sejak pusaran bumi raksasa di bawah tubuh Mbah Kromo terbentuk tadi. Permadi sudah melesat secepat kilat ke tengah laut.

Dia langsung menerapkan ajian pamungkasnya ‘Pusaran Samudera’ level ke 5 nya, yaitu ‘Tombak Samudera’..!

Glaaghh..! Glaghh..! ... Sraaapphh..!

Suara gelegak air bagai bertabrakan dan berpusar terdengar mengerikkan. Hal yang diiringi dengan suara bagai hisapan raksasa.

Pusaran laut besar terbentuk secara tiba-tiba, bagaikan lubang ‘black hole’ berdiameter sekitar 15 meter.

Slaph..! Tubuh Permadi melesat tinggi k
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 170.

    Dia melihat dan merasakan nyata, betapa para nelayan di sekitarnya begitu tulus menolongnya tanpa pikir panjang. Sejenak hatinya ‘tergigit’ oleh rasa bersalah, karena dirinyalah penyebab bencana bagi sesama nelayan yang lainnya. Bahkan mungkin juga bagi keluarga mereka di pesisir pantai, yang terhantam gelombang pasang, akibat senjata pamungkasnya. Dan kata-kata Mbah Kromo kembali terngiang di benaknya, ‘Moyangmu Ki Bogananta pastilah sangat sedih di sana Permadi. Mengetahui ilmu kitabnya di salah gunakan, oleh anak keturunannya. Insyaflah Permadi, gunakanlah ilmu moyangmu itu untuk kebaikkan’. ‘Benarkah aku masih keturunan Ki Bogananta..? Pencipta kitab Jagad Samudera yang kupelajari', bathin Permadi, dengan rasa galau. Ya, selama tinggal bersama ayah angkatnya, dirinya memang sama sekali tak mendapat ajaran etika dan moral, dari ayahnya itu. Semuanya adalah terserah dirinya, baik dalam bersikap dan bertindak. Bahkan teman-teman sekolahnya dulu, menganggap dirinya adalah ‘mons

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-17
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 171.

    “Devi, aku hanyalah seorang pengelana tanpa arah. Garisku berada dalam pencarian. Entah sampai kapan aku pun tak tahu Devi. Andai harus memilih. Aku pun menginginkan kehidupan normal, seperti layaknya pria lain Devi. Bekerja, berpenghasilan, menikah, menetap, punya anak, dan merawatnya. Namun ada hal yang mengharuskan aku harus terus berjalan. Hingga aku menemukan ‘sesuatu’, yang bisa menghentikan perjalanan tak pasti ini. Jadi mari kita berusaha menikmati saja perjalanan kita masing-masing. Tanpa rasa sedih, hanya menikmati dan bersyukur, bahwa kita pernah bertemu dalam persimpangan kehidupan kita Devi,” Elang berkata-kata dengan tenang, namun dalam. Dia bisa menyelami ‘suatu harapan’ di hati Devi padanya. Namun Elang juga sadar, jika dia tak bisa memenuhi harapan gadis jelita itu. "Aihh.. Mas Elang.." desah lirih Devi. Lama Devi terdiam setelah mendengar jawaban Elang. Bergulir dua garis air, dari kedua mata indahnya. Kesan mendalam masuk di hati Devi. Saat dia mendengar ka

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 172.

    Splashh..! Sukma Elang terlontar di atas wilayah pantai Cemara Sewu. Kondisi pantai itu porak poranda, beberapa pohon cemara tanpa daun tercerabut dan tumbang di sana sini. Bangunan spot-spot poto di sana pun hilang tanpa bekas. Dan di sebuah pohon cemara yang tumbang, tampak tersangkut sosok seorang sepuh berambut putih panjang terurai. ‘Mbah Kromo..!’ sukma Elang berseru kaget. Dan saat sukmanya mendekat, maka jelaslah bagi Elang. Mbah Kromo Sagirat telah tewas dengan dada melesak, seperti terkena hantaman dahsyat. Sukma Elang diam sejenak, dia mendoakan kemudahan bagi Mbah Kromo di alam sana. ‘Selamat jalan Mbah Kromo, pergilah dengan tenang dan damai di sana.’ Sukma Elang segera melesat masuk kembali ke tabir dimensi menuju raganya. Splassh..! Slaph...! Sukma Elang terlontar kembali di atas atap kamarnya, dan langsung melesat menembus dinding kamarnya. Beberapa saat kemudian sukma Elang pun kembali menyatu dengan raganya. Pernafasan Elang perlahan kembali normal, kedua

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 173.

    Untungnya Permadi telah membayar uang sewa losmen selama 3 malam. Hari itu adalah hari ke 2 nya. Jarak dari pantai Sadeng ke Purwosari sekitar dua jam lebih, dengan berkendara. Sementara kondisinya saat itu sedang kurang mendukung, untuk ‘memintas’ jalan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Beruntung juga uang merah berjumlah 2 juta lebih di dompetnya masih utuh. Walau dalam kondisi basah. Permadi kembali mengalirkan tenaga dalam berhawa hangat ke sekujur tubuhnya. Seperti yang dilakukannya selama dia tidur semalam di geladak kapal. Dia bergegas mencari sebuah rumah di sekitar situ. Dia berniat membeli pakaian bekas mereka, untuk berganti pakaiannya yang masih basah itu. Karena toko pakaian pastilah belum buka di waktu sepagi itu. Akhirnya Permadi masuk ke dalam sebuah rumah sederhana yang pintunya terbuka. Nampak seorang lelaki paruh baya, yang kebetulan tingginya hampir seukuran dirinya. Walau tubuhnya agak lebih gemuk, tengah bersiap untuk ke pantai. “Pagi Pak,” sapa Perm

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 174.

    'Tenanglah Devi. Aku tak akan merusak pagar ayumu’, bathin Elang. “Mas Elang, Devi ma..mau menyerahkan ini buat Mas Elang sebagai kenang-kenangan,” Devi masih berusaha menahan kesadarannya, dengan susah payah. Dia berkata dengan bibir bergetar, sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang dibawanya. “Terimakasih Devi. Apa ini Devi?” tanya Elang, maka dia pun paham maksud Devi sepagi ini datang ke kamarnya. “Mas boleh melihatnya nan..nanti di..di ja..jalan. Aduhh, kenapa Devi merasa dingin se..kali Mass..hh.?” sepertinya daya tahan Devi sudah sampai pada batasnya. ‘Gadis yang baik, sayang sekali kutukkan biadab ini tak kenal orang’, keluh Elang. “Mas..Elanng, Devi ke..napahh jadi be..gini..?” tanpa disadari dan bisa ditahan lagi oleh Devi. Dia telah memeluk erat tubuh Elang. Sebuah kehangatan dan aroma harum rambut Devi pun terasakan, segar terhirup oleh Elang. Secara manusiawi dan normal, ‘kelelakian’ Elang pun berdiri tegak tanpa permisi. Namun Elang bertekad menahan hasratnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 175.

    "“Ohhksghh..! A..wass Massh..! De..vi pip..pishh.! Uhhgsh..!" Devi mendesah keras dengan nafas tertahan, tubuhnya mengejang hebat. Pinggul indahnya pun terangkat mengejang. Mata Devi terpejam namun mulutnya ternganga. Ya, sungguh ekspresi terindah dari seorang wanita, yang tengah dilanda orgasmenya. Devi merasakan sesuatu memancar dari bagian dalam dirinya, sukmanya bagai melayang tinggi di angkasa tak bertepi. Agak lama Devi merasakan kenikmatan tertinggi, dari sebuah ‘hasrat’ yang terlampiaskan itu. Brugh..! Hingga akhirnya tubuh Devi kembali terhempas di atas ranjang, dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya nampak pucat dan lelah, namun senyum kepuasan terlihat membekas di sana. "Makasih. Mas Elang..” Devi berucap pelan, namun wajahnya tak berani menatap Elang. Sungguh dia merasa sangat malu dan kaget sendiri, dengan apa yang baru saja dialaminya. Karena Devi sangat sadar, dialah yang mendatangi dan memeluk Elang terlebih dahulu. Namun dia sendiri tak mengerti dan tak akan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 176.

    Permadi membuka pintu kamar losmennya, dia bergegas masuk kedalam dan langsung ke kamar mandi. Pakaian dari si bapak tadi langsung dibukanya. Karena pakaian itu agak longgar, dan celananya pun terpaksa dilipat dan dislip di bagian pinggang dengan gespernya. Sungguh tak nyaman di rasanya.! Permadi memutuskan untuk segera keluar dari Jogjakarta. Dia merasa keberadaannya di kota itu, telah di endus dengan jelas oleh aparat. Terbukti bahkan kakek tua (Mbah Kromo) itu saja, bisa langsung mengetahui identitasnya dengan tepat. Setelah selesai mandi dia langsung berganti pakaian, sambil memeriksa isi ranselnya. Dan Permadi tersenyum, saat melihat isi ranselnya masih utuh. Tak ada satu pun yang hilang di sana. Karena uang tunai dan batangan emas miliknya masih aman di sana. Permadi berniat memberi tips pada sang penjaga losmen, saat dia keluar dari losmen nanti. Dan itu berarti malam nanti dia harus mencari motor baru. Dipastikan seorang pengendara motor di kota itu akan mengalami nasib

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 177.

    Setthh.! Plashh..! Wajah si lelaki nampak tersentak ke belakang. Dia seperti merasakan sesuatu yang sejuk menerpa dahinya. Sesuatu daya kejut mengalir dan menyengat di syaraf-syaraf kepalanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu dia menatap sang istri dan si pelakor bergantian. Seolah baru sadar dari mimpi. “Kau..?! Kenapa aku bisa berada di sini bersamamu...?!” ucap si lelaki terkaget heran. Dia memandang si pelakor lalu menjauh darinya. “Mas Jito..! Apakah kau lupa telah berjanji menikahi Nia..?!” seru si pelakor panik. Dia merasa sangat cemas, kalau ‘pelet’ dari dukunnya telah luntur. “Menikah..?! Aku menikah denganmu..?! Yang benar saja..! Ayo Mah, kita pulang..!!” Jito berseru jijik pada Nia, lalu menarik tangan istrinya untuk pulang. “Enak saja kamu Mas..! Jelaskan dulu apa arti semua ini..?! Jangan bilang kau tak mengenal ‘pelakor’ itu..!” seru sang istri, yang jadi agak bingung, dengan perubahan sikap suaminya secara tiba-tiba pada ‘pelakor’ itu. “Di

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20

Bab terbaru

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 345.

    "Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 344.

    "Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 343.

    "A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 342.

    "Mohon maaf, Paduka Raja. Menurut hamba adalah hal yang aneh, jika seorang Adipati tidak mengetahui persis kejadian ini. Bukankah letak istana kadipaten dan istana kademangan tidaklah terlalu jauh. Wedana Suralaga telah mengatakan pada hamba. Bahwa dia dan keluarganya kini, berada dalam tekanan pasukkan pemberontak Panglima Api itu. Namun dia tetap bersetia pada kerajaan Dhaka. Yang jadi pertanyaan hamba adalah, bagaimana seorang Adipati tidak tahu soal kejadian ini..?!" ujar Elang, seraya menyerukan keheranannya. Dan pancingan Elang pun mengenai sasarannya. "Ampun Paduka Raja. Hei..! Pengawal Gusti Putri..! Apakah kau mencurigai aku berkhianat pada kerajaan..?! Apakah kau bisa mempertanggungjawabkan tuduhanmu itu, jika tak ada bukti..?!" Nalika menghormat terlebih dulu pada sang Raja. Lalu dia berdiri berseru seolah menantang pada Elang, seraya menuding Elang dengan telunjuknya. Emosi Nalika langsung naik ke ubun-ubun, mendengar tuduhan Elang. Yang sesungguhnya memang benar ad

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 341.

    "Ahh! Silahkan Gusti Putri Ratih, Tuan Muda silahkan masuk ke dalam. Baginda ada di astana istana dalem. Mari ikuti hamba," sahut sang kepala pengawal hormat. Ya, dia segera mengenali Gusti Putrinya itu. Karena dia memang pernah berkunjung bersama rombongan Rajanya, ke istana kerajaan Kalpataru. Sampailah mereka di depan sebuah ruang megah dalam istana. Pintu masuk ruang itu tidak memiliki daun pintu. Namun dua orang prajurit istana berjaga di depan pintu itu. Kedua prajurit jaga itu memegang tombak serta perisai di tangannya, mereka mengangguk hormat saat kepala pengawal istana datang. Kepala pengawal langsung mengajak Elang dan Ratih ikut masuk bersamanya, ke dalam ruang istana dalem keraton tersebut. Sebelumnya sang Kepala Pengawal sempat menanyakan lebih dulu nama Elang. "Salam Paduka Yang Mulia. Dua utusan dari kerajaan Kalpataru, Gusti Putri Ratih Kencana datang bersama pengawalnya Elang Prayoga," ucap sang kepala pengawal, setelah dia berlutut seraya memberi hormat pada Ra

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 340.

    Elang pun menerapkan aji 'Perisai Sukma' pada tangannya. Cahaya hijau terang seketika menyelimuti telapak tangannya. Dia hendak menyediakan tangannya itu, untuk menjadi 'sasaran' hantaman. Dari dua hantaman jarak jauh Tantri, dan si pemuda baju putih itu. Sekaligus melerai pertarungan adu energi tersebut. "Maaf, tulangnya berbahaya jika melayang begini, bisa melukai orang lewat," ucap Elang tenang, seraya menggenggam potongan tulang kambing yang agak runcing tersebut. Taph! Brashk..! Blasth..! Dua energi pukulan jarak jauh menghantam tangan Elang. Gelombang dua energi itu pun pecah disekitar tangan Elang itu. Namun tentu saja hal itu tak berpengaruh terhadap tangan Elang, yang sudah terlambari aji 'Perisai Sukma'nya. Sraghk..!! Sosok Tantri dan si pemuda baju putih sama tersentak ke belakang. Namun mereka berdua seolah lepas, dari tindihan energi yang sejak tadi saling mendorong itu. "Ahh..!" sentak kaget Tantri dan si pemuda bersamaan. Mata mereka berdua terbelalak, menatap

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 339.

    "Ahhh! Awas!!" seketika para pengunjung rumah makan itu panik ketakutan. Mereka lalu bubar tunggang langgang, meningalkan meja makan mereka begitu saja. Tentu saja pemilik warung dan para pelayannya, tak bisa mencegah dan menyalahkan mereka. Kendati hampir semua pengunjungnya belum membayar, makanan yang mereka pesan. Mereka hanya bisa menatap bingung, panik, dan ketakutan. Lalu akhirnya mereka pun ikut bergegas keluar, dari rumah makan mereka. Kini yang tinggal di rumah makan itu adalah Bopak dan tiga kawannya, Tantri dan Baraga, Elang dan Ratih, serta dua orang pemuda gagah berpakaian putih itu. "Majulah jika kalian berempat ingin mati cepat..!" sentak Tantri, seraya mengalirkan 'power' tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Jurus pukulan 'Mentari Membakar Awan' segera disiapkannya. "Paman Baraga..! Kau mundurlah..!" seru Tantri, menyuruh Baraga yang telah bersiaga untuk mundur. Maka tak ada pilihan lagi, Baraga segera mundur ke belakang, menuruti suruhan tuan putrinya itu. "

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 338.

    "Keparat memang pemuda yang bersama gadis cantik itu..! Andai dia tak datang dan ikut campur..!Pasti kita bisa bersenang-senang dengan gadis denok itu sekarang. Mumpung Tuan kita belum kembali dari Galuga..!" seru salah seorang dari mereka. "Hei, Bopak..! Kaupikir jika gadis itu berhasil kita tawan, kau akan dapat kesempatan mencicipi gadis itu..?! Mimpi kau..! Yang pasti, 'Tiga Kalajengking Merah' yang akan mendapatkan kesempatan itu. Paling-paling kau cuma kebagian mendengar desah nafas mereka saja, dan disuruh berjaga di depan kamar..! Hahahaa..!!" sentak seorang kawannya, seraya terbahak mengejek. "Hahahaa..!! Jangan mimpi Bopak..!" ejekkan itu diikuti pula oleh gelak mengejek, dari dua rekannya yang lain. Elang melihat kedua tangan Ratih yang mengencang. Sepasang mata Ratih juga memicing marah, menatap ke arah 4 orang berbaju hitam tersebut. Elang sangat memaklumi jika Ratih menjadi naik darah, mendengar pembicaraan empat orang itu. Karena gadis yang sedang jadi pembicaraa

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 337.

    "Tidak Ratih, malam ini aku akan mentransfer sebagian hawa murniku padamu. Dan sepertinya, esok hari kau sudah pulih total dari penyakit dalammu," sahut Elang tersenyum. 'Benarkah Mas Elang..? Maafkan Ratih telah merepotkan Mas Elang selama ini ya," ujar Ratih, dengan hati penuh rasa terimakasih. Telah dua kali Ratih berhutang nyawa pada Elang, hanya dalam kurun waktu dua hari saja. 'Tanpamu aku pasti sudah menjadi mayat saat ini Mas Elang', bathin Ratih. Keesokkan harinya seperti yang sudah diperkirakan oleh Elang, kondisi Ratih sepertinya sudan pulih seperti sediakala. Karena pada malam harinya, Elang memang telah mengalirkan hawa murni ke dalam diri Ratih. Untuk mempercepat pemulihannya. "Terimakasih Mas Elang, Ratih merasa sudah benar-benar pulih hari ini," ucap Ratih riang. Dia benar-benar takjub, merasakan kondisi tubuhnya yang telah kembali bugar itu. "Syukurlah Ratih. Untuk selanjutnya, sebaiknya kau menyamar dan berpakaian sebagai seorang pria saja. Agar perjalanan ki

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status