"Namaku Yoga. Terimakasih Prasti. Kalau tak ada kau, aku pasti sudah dikubur saat ini," ujar Elang, memperkenalkan nama belakangnya saja. Entah kenapa dia merasa enggan, untuk memperkenalkan nama panggilannya pada Prasti. Dan Elang memang menutup dan menekan aura 'power'nya di hadapan gadis itu. Elang merasa lebih baik dia bersikap tak tahu apa-apa, soal kemampuan beladiri pada Prasti. "Aduh warungku bagaimana ini..?!" seru si Ibu warung mengeluh sedih. Melihat kondisi warungnya, yang kini ngablak terbuka lebar tanpa pagar dari arah luar. Lelaki berumur yang berada disebelahnya juga menatap lesu, ke arah dinding warung yang rubuh itu, "Sudahlah Bu. Biar nanti bapak perbaiki saja sendiri. Yang penting kita selamat dari amukan wong edan itu," ujar sang suami menenangkan istrinya. "Ibu, pesanan saya dan Prasti jadi berapa semuanya?" tanya Elang tersenyum. "O ya, Masnya tadi nambah satu piring lagi ya, jadi dua piring tambah lauknya. Den ayu ini hanya sepiring saja. Jadi semuanya
"Bu, saya tambah lagi ya," ucap Elang cuek. Tertegunlah si Ibu warung, melihat 'betapa licinnya' piring tembikar bekas Elang makan. Padahal tadi dia mengambilkan nasi agak banyak untuk Elang, dibandingkan porsi biasanya. 'Sepertinya pemuda ini habis berjalan jauh dan kelaparan', bisik hati si Ibu. Segera dia mengambilkan kembali pesanan Elang. "Permisi Ibu, warung ini sudah bukakah..?" tanya renyah seorang gadis cantik berbaju hijau, yang berdiri di depan pintu warung makan. 'Wah..! Wanita baju hijau yang tadi di sungai', bathin Elang, yang mengenali wanita cantik berbaju hijau itu, dengan sudut matanya. "Oh, sudah Den Ayu. Silahkan masuk saja," sahut si ibu senang. Karena sepagi itu, dia sudah kedatangan dua orang penglaris di warung makannya. Gadis cantik berbaju hijau itu pun masuk, dan langsung duduk di sudut dalam kursi panjang warung. Seperti halnya Elang. Akhirnya sang gadis berbaju hijau itu memesan menu, yang memang sudah tersedia saja di pagi itu. Gadis itu melirik s
"Ahh..!" Elang terkejut dan segera alihkan pandangannya. Karena nampak jelas sekali terlihat, beberapa wanita di antara mereka tengah membuka kain penutup dadanya. Suasana di sekitar sungai yang memang sepi, rupanya membuat para wanita itu tak sungkan lagi berlaku seperti itu. Mungkin juga karena memang mereka sudah terbiasa berlaku seperti itu, setiap harinya di sungai itu. Wilayah Galuga memang berada di dataran agak tinggi, dan masih hijau asri alamnya. Hal itu diketahui oleh Elang dari pembicaraannya dengan sang Patih, sebelum dia berangkat kemarin. Kriuyuukk..! Suara demo di perut Elang pun tak terbendung, dan berbunyi tanpa permisi. 'Aduh..! Aku harus secepatnya mencari warung makan terdekat', bathin Elang mengeluh. Memang sejak kemarin, Elang terakhir kali makan hanya saat sebelum masuk ke dalam hutan. Dan hingga kini, perutnya belum lagi terisi makanan. Segera Elang membereskan dan memasang buntalan pakaian di tubuhnya. Namun saat dia hendak melesat ke arah desa terde
"Tentu saja banyak kerugiannya Elang..! Jika kau bercerita pada orang banyak, tentang keberadaan kami di sini. Maka berbondong-bondong mereka akan datang ke sini, dan mencari kami untuk dimiliki..! Hingga kesakralan tempat ini pun menjadi hilang karenanya. Kau mengerti Elang..?!' sahut Ki Cakra Buana marah, seraya mengungkapkan kecemasannya. "Baiklah. Kalau begitu aku berjanji, aku tak akan menceritakan soal keberadaan kalian di wilayah ini pada orang lain..!" seru Elang berjanji, seraya bersiap untuk melesat pergi meninggalkan tiga pusaka itu. Namun ... Seth..! ... Seeth..! Ketiga pusaka itu segera melesat mengepung Elang di depan, kiri, dan kanannya. Mereka seperti sepakat, untuk menyelesaikan urusan mereka dengan Elang lebih dahulu. Sebelum melanjutkan urusan mereka nanti. 'Manusia bernama Elang..! Ratusan bahkan ribuan tahun kami mengenal yang namanya manusia. Dan selama itu pula kami telah mengetahui. Bahwa bangsa kalian adalah bangsa yang sering berdusta terhadap janjiny
"Baik Paman Patih. Elang akan berhati-hati dalam perjalanan. Elang pamit dulu Paman," ucap Elang, seraya mengangguk hormat pada sang Patih. Slaph..! Elang pun melesat lenyap dari hadapan Kalagama. 'Luar biasa kau Elang.! Semuda itu ilmumu sudah tak terselami lagi kedalamannya', bathin Patih Kalagama kagum. Hari sudah menjelang malam, namun Elang masih berada dalam lebatnya hutan belantara. Perkiraan perjalanan menuju ke Galuga memang satu hari perjalanan, jika ditempuh dengan berkuda seperti yang dikatakan sang Patih sebelum Elang berangkat tadi. Namun Elang memang berniat berjalan santai saja. Dia masih ingin menikmati suasana alam, yang terasa sangat asri dan bersih di masa itu. Elang terus berjalan menyusuri jalan setapak, yang menunjukkan memang jalan itu pernah dilalui orang. Elang terpaksa menerapkan 'powernya', untuk mempertajam pandangan matanya dalam gelapnya rimba belantara. Nampak sepasang mata Elang mencorong merah bak seekor Naga. Pandangannya kini menjadi lebih t
"Silahkan duduk Putri Ratih, Mas Elang, dan kau Patih Kalagama," ucap sang Raja tersenyum hangat, menyambut kedatangan mereka. Hati sang Raja mendadak diliputi rasa kegembiraan. Dia seolah bisa menduga, jika kembalinya patih Kalagama bersama Ratih dan Elang, pastilah membawa kabar gembira. Kabar kemenangan kerajaan Dhaka, atas pertempuran di markas pemberontak Panglima Api. Hal itu seolah sudah terbayang-bayang di benak sang Raja. "Bagaimana dengan penyerangan kita, ke markas pasukkan pemberontak di hutan Kandangmayit itu Patih Kalagama?" tanya sang Prabu tenang, setelah ketiganya telah duduk di kursi ukir kayu istana. "Berkat restu Gusti Prabu. Akhirnya kami berhasil memenangkan perang itu, dan kembali dengan selamat. Kami juga menawan dan membawa serta pasukkan pemberontak yang tersisa. Mereka berjumlah 600 orang lebih. Dan kami telah mengumpulkan mereka di alun-alun istana. Menunggu keputusan Gusti Prabu terhadap mereka," sahut patih Kalagama melaporkan. "Syukurlah Patih Kal
"Arrkhgs..!! Bangsat..!" jerit kesakitan bukan olah-olah menggelegar dari mulut Bhasuta. Karena sejenak dia juga merasakan sengatan aliran listrik luar biasa, yang mengaliri sekujur tubuhnya. Dan aliran listrik itu terhenti, saat kakinya yang masih normal menyentuh bumi. Makian kalap langsung terdengar dari mulutnya, namun kondisi tubuhnya sendiri kini lemas tak berdaya di atas tanah. "Hoeksh..!" Elang terdorong mundur beberapa langkah di udara, seraya memuntahkan darah segar. Dadanya terasa sesak, menahan gempuran tiga gelombang energi lawannya itu. Dia mengolah nafasnya sejenak di udara, lalu ... Seth! Taph! "Panglima Api..! Ada pertanyaan yang harus kau jawab dengan jujur. Katakan apa maksud gurumu Resi Mahapala, yang masuk ke alam masa depan..?!" seru tajam dan tegas Elang Elang langsung melesat dan mendarat di dekat sosok Bhasuta, yang kini terkapar tanpa daya. Dia langsung menanyakan hal yang membuatnya masuk ke dimensi silam itu. "Bedebah..! Kau carilah jawabnya sendiri
"Kami datang Panglima..!" Seth! ... Seth! Layangseta si Pedang Buntung dan Rakha si Cakar Langit, keduanya melesat di sisi kiri dan kanan Bhasuta. "Bagus Layangseta, Rakha..! Mari secepatnya kita habisi mata-mata tengik ini..! Dan kita bantai pasukkan kerajaan setelahnya!" seru Bhasuta senang. Ya, Bhasuta bisa melihat, jika Elang adalah tokoh paling berbahaya dari pasukkan kerajaan Dhaka. Elang melirik sejenak ke arah Ratih, nampak gadis itu kini tengah bertarung melawan seorang wanita pula. Dilihatnya pertarungan mereka berjalan seimbang, bahkan sepertinya Ratih berada di atas angin melawan wanita itu. Hati Elang pun menjadi agak tenang. Kini dia bisa fokus menghadapi keroyokkan tiga lawannya. Dilihatnya pintu gerbang sebelah kiri markas masih belum terbuka. Sedangkan jarak gerbang itu masih sekitar 100an langkah, dari posisinya saat itu. Segera saja Elang kerahkan sebagian 'powernya', lalu ... "Hiaahh..!" Splaattzsk..!! Elang berseru keras seraya ayunkan pukulan jarak jauh
"Bedebah..! Mereka pasukkan kerajaan Dhaka.! Sepertinya ada yang berkhianat dan memberitahukan lokasi markas kita! Ini pasti Nalika! Keparath!" seru murka Bhasuta, seraya menuduh Nalika sebagai pengkhianatnya. Ya, otak Bhasuta yang cerdik segera mengarahkan dugaannya pada Nalika. Karena memang hanya Nalika, satu-satunya orang diluar pasukkannya, yang mengetahui lokasi markas pasukkannya itu. Dan hal itu memang tak salah adanya..!"Bedebah..! Tahu begitu semalam kuhabisi saja dia..!" teriak Layangseta marah sekali. "Ayo, kita maju bersama..!" seru Bhasuta, seraya melesat ke arah belakang markas. Sementara nampak ratusan kuda masih berlarian kesana kemari, di dalam area markas. "SERANG..!!" Sethh..! Patih Kalagama berseru lantang, seraya mengacungkan kerisnya ke udara. Lalu dia mendahului maju bersama Nalika di sampingnya. "Hiyyaahhh....!!!" Seruan menggelegar ribuan prajurit Dhaka pun membahana, bak gelombang tsunami. Mereka berlarian menyerbu masuk, melalui celah pagar belaka