Share

05. Tuduhan tak Terduga

Muhan yakin seratus persen, dia tidak berbuat salah apa pun sampai harus dipanggil ke Istana lagi. Apa dikarenakan oleh belati yang masih dibawanya itu? Astaga bisa saja! Tetapi mau kembali ke Perguruan untuk mengambil belati itu pun tidak mungkin. Dia sudah melewati gerbang utama, diikuti oleh Guru Yeom yang mendampingi, barangkali Muhan mau disembelih—kelakar Roah yang tidak masuk akal pun mulai menyambangi.

Melewati gerbang utama, Guru Yeom dan Muhan menuju salah satu ruangan di paviliun tamu. Tiap langkah yang tertuai, Muhan takut apabila setelah ini akan diseret ke depan Rumah Penghakiman dan berakhir mendekam di balik penjara bawah tanah. Diam-diam merutuki diri sendiri pula, lantaran tak membawa belati yang dapat bersinar di kamarnya itu secara sadar.

"Selamat Pagi, Guru Yeom!"

Muhan mengerjap-ngerjapkan mata, lantas menunduk hormat setelah menyadari kedatangan Raja dan para Panglima dari Pasukan Pemburu Naga yang lain. Sepertinya mereka baru saja datang, sebab kemarin para pengawal jelas-jelas mengatakan jika keberadaan panglima lainnya masih tak terendus.

Terdapat Panglima Gyeosabok, Panglima Howechung, dan Panglima Naegeumwi. Ketiganya menatap Muhan dengan tatapan menghunus, seakan-akan mampu mengulitinya hidup-hidup.

"Selamat pagi, Yang Mulia." Guru Yeom beranjak terlebih dulu, lalu mendekat dua langkah. "Bolehkah hamba bertanya? Mengapa Yang Mulia mengirim seseorang untuk menjemput Muhan ke Istana?"

Raja menaikkan satu alisnya. "Apakah budakmu ini tidak mengatakan yang sebenarnya?"

Guru Yeom menoleh sekilas, lalu mengulum senyum. "Hamba pikir, dia tidak benar-benar berkunjung ke Istana, Yang Mulia. Muhan ini hanya seorang budak rendahan yang tidak semestinya berkunjung ke Istana dan mendapatkan sekantung uang dari Yang Mulia."

Raja manggut-manggut. "Baiklah, ketiga Panglima yang baru saja kembali dari perburuan terdahulu telah datang. Mereka terkejut dengan kematian Panglima Kim Joon dari Divisi Gyeonggukdae. Karena mereka tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, maka aku memerintah salah satu suruhan untuk memanggil budak yang tinggal di Perguruanmu ini, Guru Yeom."

Guru Yeom mengamati tiga panglima yang menujukan fokus pada sosok ringkih Muhan. Raja menatap ketiganya, memberi tanda bagi mereka untuk bertanya sepuasnya—sejujurnya Raja turut penasaran.

Panglima Naegeumwi membuka suara, dengan kedua tangan memegang pedang miliknya dan pedang mendiang Kim Joon. "Apa kau benar-benar mendapati Kim Joon dalam keadaan tak bernyawa? Kami sungguh penasaran, sebab saat bertolak dari kamp terakhir di Bersau, Kim Joon yang memimpin kami bertiga. Lalu, suatu malam dia menghilang dan tak terlihat sama sekali. Kami berpikir bahwa Kim Joon sudah lebih dulu pulang ke Wari, tetapi saat kami tiba di sini semalam, ternyata Kim Joon telah tiada."

"Bersau?" Guru Yeom mengulang nama negeri yang berjarak cukup jauh dari Wari. "Kalian sudah sampai di Bersau?"

"Benar, Guru." Panglima Gyeomsabok menyahut. "Tapi, kami menghadapi siluman yang lebih berbahaya, sehingga Naga Neraka yang kami tangkap berhasil melarikan diri. Dari yang kami dengar, budak ini mengantarkan mayat Kim Joon beserta pecahan permata naga yang dibawanya. Kami lega mendengarnya, tapi—"

"Apa kau yang membunuh Kim Joon?!"

Satu ruangan terdiam mendengar tudingan penuh amarah itu—begitu pula dengan Muhan. Dia baru saja dituduh atas sebuah pembunuhan terhadap seorang Panglima Gyeonggukdae? Muhan pasti sedang bermimpi buruk.

"Ti-tidak, Tuan! Hamba tidak tau apa-apa! Hamba hanya berusaha membawa Tuan Kim Joon ke Istana karena tidak mungkin membiarkan beliau ditinggal di hutan begitu saja!" Elak Muhan, berlutut untuk membuktikan kesungguhannya.

"Maaf menyela, Tuan." Guru Yeom menyambung. "Budak ini tidak akan berani menyakiti siapa pun. Sebagai gurunya, saya berani menjamin akan hal itu."

Panglima Howechung itu masih menggeram marah, sepertinya ingin sekali melimpahkan seluruh kesalahan pada Muhan yang merupakan seorang budak. Membuang muka, tiba-tiba saja sang Panglima Howechung mengendus sesuatu dari jarak beberapa langkah saja.

Pria tinggi tegap dengan tubuh yang lebih besar ketimbang dua panglima lainnya itu membulatkan mata, merasakan energi yang menarik jiwanya secara perlahan seiring detik berlalu. Dalam sekejap, Panglima Howechung menghampiri Muhan. Tidak salah lagi, aura mengikat yang hendak menyerap kekuatannya berasal dari pemuda itu.

"Siapa kau?! Kenapa kau berusaha menyerap kekuatanku, hah?!"

Muhan meronta-ronta, berupaya melepaskan diri dari cengkeraman Panglima Howechung yang berselam amarah itu. Kedua panglima lainnya membantu untuk melepaskan satu tangan Panglima Howechung yang mulai mencekik Muhan. Guru Yeom sendiri kebingungan, tengah mencari tau maksud dari pertanyaan Panglima Howechung barusan.

"Sa-saya ti-dak ... uhukk melakukan apa-apa, Tu ... an ...." Muhan nyaris melemas, paru-parunya tak mendapatkan oksigen sebagaimana semestinya. Dicekik oleh seorang Panglima Howechung sampai mati? Haruskah Muhan mengucapkan kata-kata terakhirnya sekarang juga?

Panglima Howechung bergeming, tak mempan ketika dua panglima lain mencoba melerai. Sebagai seorang Howechung yang dikaruniai fisik kelewat kuat, Muhan tau penyebab dari ketidaksanggupan keduanya.

Mengabaikan perintah Raja dan sodoran pedang yang tertuju, Panglima Howechung semakin mengeratkan cekikannya pada Muhan. Tampaknya pria itu tidak peduli apakah dia akan keluar dari Istana dalam keadaan tak bernyawa setelah ini.

Di saat Muhan menyerah, tiba-tiba saja muncul lonjakan aneh dari dalam tubuhnya. Seluruh individu yang berada di paviliun tamu tersentak mundur. Bahkan Panglima Howechung yang kuat itu pun tersungkur paling jauh, sampai menembus ruangan di sebelah.

Muhan terduduk dengan segudang udara yang baru saja mengaliri dadanya secara aneh. Guru Yeom mendekat dengan kening berkerut. "Apa yang baru saja kau lakukan, Muhan?"

"A-apa, Guru? Saya tidak melakukan apa-apa!"

Mengerti adanya keganjilan, Guru Yeom menekan tengkuk Muhan menggunakan kedua ibu jarinya dengan mata terpejam. Beberapa detik menelaah, Guru Yeom beringsut mundur kala mengetahui adanya aura asing yang menghuni sebagian jiwa Muhan.

"Muhan ... kau ...."

Guru Yeom meneroka sepenjuru ruangan melalui mata elangnya. Secepat kilat dia menyambar kedua pedang yang tercecer di sekitar Panglima Naegeumwi, perisai milik Panglima Gyeomsabok, serta ketapel milik Panglima Howechung yang tertinggal.

"Cepat! Pegang satu-satu!"

"Hah? Untuk apa, Guru? Bukannya selama ini Guru selalu melarangku untuk memegang semua senjata yang ada?" bingung Muhan.

"Pegang saja, Muhan! Setelah ini kau akan mengetahuinya!" Perintah Guru Yeom.

Dalam kebingungan yang melesak, sebuah lolongan mengudara. Mereka semua mengalihkan pandang ke arah lubang yang tercipta berkat lontaran Panglima Howechung tadi. Memahami ada yang tidak benar, Raja segera mendapatkan perlindungan dari para pengawal serta Panglima Naegeumwi yang masih mempunyai tali tak terbatas di balik pakaiannya.

"A-apa itu?" tanya salah satu pengawal, yang tentu saja takkan terjawab oleh siapa pun.

Lantai paviliun tamu bergetar. Tiap kepala yang bertanya-tanya dihinggapi kegelisahan besar. Raja mencengkeram pundak Kasim Heo, ditempatkan sebagai perisai. Guncangan demi guncangan menghambur. Derap langkah berat itu menyulut kekhawatiran berlebih. Terutama, saat si pemilik langkah mematikan itu menampakkan diri.

Terkesiap, Muhan ternganga. Seekor Siluman Cerberus—anjing berkepala tiga memberi salam berupa lolongan kedua yang memekakkan telinga.

"Cepat!" Guru Yeom berbisik. "Coba pegang salah satunya, Muhan! Kalau ada yang bersinar, maka salah satu senjata itu akan menjadi milikmu."

"A-apa?"

Lolongan berlanjut, diikuti napas api yang mengenai salah satu sisi paviliun tamu. Mau tak mau, Muhan menuruti perintah Guru Yeom. Dipegangnya sebuah pedang bertali merah yang berada di ujung. Tidak bereaksi apa-apa.

Ketika Muhan hendak memberitahu Guru Yeom, tatapan sang Cerberus terpaku padanya. Muhan menelan ludah susah payah. Ternyata dialah sasaran utama siluman mengerikan itu.

Selagi Cerberus memulai langkah pertamanya, Muhan melepas pedang bertali merah tadi. Dicobanya pedang yang satu lagi, dan Muhan merasakan sentakan yang begitu kuat dari dalam tubuhnya. Seolah-olah seluruh pembuluh darahnya mendidih, bergelagak di dalam sana.

Muhan menarik napas rakus, bersamaan dengan silau kebiruan yang bermuara dari pedang yang digenggam.

"Muhan ...." Guru Yeom membuka mulut, tak percaya. "Kau ...."

Sebelum Guru Yeom melanjutkan perkataannya, Cerberus yang mengamuk itu berlari ke arah Muhan tanpa keraguan sedikit pun.

"AKAN KUBUNUH KAU, BUDAK RENDAHAN!!!"

•••••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status