“Doni …” panggil Angga sambil memijat hidungnya dan berusaha sebisa mungkin menghadapi hal ini dengan tenang. “Apa-apaan ini?” tanyanya, seraya mencoba untuk menjaga suaranya tetap tenang dan kalem. Pemuda itu baru saja keluar dan dia sama sekali tidak siap dengan pemandangan yang menusuk matanya begitu dia berpikir bisa bersantai-santai di kamarnya.
“Halo Angga, tadi aku kemari dan kata adikmu kau sedang keluar dan dia menyuruhku menunggu di kamarmu. Kalau soal semua harta yang aku sebar di ranjangmu ini. Semuanya aku siapkan untuk bahan referensimu. Anggap saja ini bagian dari training sebelum memasuki pekerjaanmu sesungguhnya,” sahut Doni riang bahkan tidak malu memajang semua itu di atas kasurnya.
Alasan mengapa Angga langsung memasang muka masam dan suasana hatinya mendadak buruk adalah karena begitu dia pulang dan masuk ke dalam kamar disana dia sudah dinantikan oleh Doni dengan tempat tidurnya yang dipenuhi dengan barang-barang porno. Mulai dari DVD, majalah, panduan tentang BDSM, dan beberapa salinan Kamasutra.
Angga mendesah sebal, kepalanya mendadak berdenyut nyeri. “Kenapa semua benda itu harus berada di atas tempat tidurku? Bagaimana kalau ada adik perempuanku yang berkunjung dan melihat ulahmu ini? aku tidak ingin adikku menganggapku sebagai kakak yang cabul!”
Doni terkekeh saat dia duduk di ambang jendela. “Kalau begitu aku sarankan kau mencari tempat yang tepat untuk menyembunyikan semua itu. Riri sudah marah saat aku merebut beberapa simpanannya hanya untuk kuberikan padamu. Jadi aku tidak bisa mengambil yang lainnya lagi.”
“Tunggu, barang ini milik Riri?” tanya Angga sedikit terganggu.
“Tidak semuanya. Beberapa ada yang milikku juga. Anggaplah ini bentuk solidaritas pertemanan. Aku teringat kau mungkin butuh refrensi untuk memperluas wawasanmu. Dan ketika aku menceritakan apa yang terjadi soal kau dan sepupuku. Tiba-tiba saja aku mendapatkan uang untuk membelikanmu beberapa koleksi baru.” Doni kemudian mengeluarkan segepok uang tunai dan melemparkannya kepada Angga. “Pembayaran dimuka untuk pekerjaanmu, kawan. Ini sesuai dengan skill-mu yang luar biasa karena bisa bertahan bahkan sampai merangkak pergi meski Riri telah membuatmu kewalahan. Salut!”
Angga mendengus dan segera menyimpan uang yang dia terima ke dalam laci mejanya. “Sudahi basa-basinya. Jadi siapa orang yang sudah memberiku DP sebanyak ini?” tanyanya.
Walau pun masih agak takut lantaran uang yang dia terima terbilang cukup besar. Bahkan sebesar gaji sebulan pekerja kantoran. Angga tidak pernah sedikitpun mengira bahwa dia akan dibayar untuk mendiuri perempuan. Jadi dia bingung sekarang karena situasi ini membuatnya tidak bisa lari lagi. Dia tahu ini pekerjaan yang buruk, tetapi karena menghasilkan uang dengan mudah dia pun jadi tergoda.
Doni menyeringai. “Oho, jadi semangat kerja ya? senang mendengarnya.” Dia kemudian mengeluarkan selembar kertas dari balik celananya dan menyerahkan itu kepada Angga. “Ini klien pertamamu, kurasa kalian sudah saling mengenal.”
Angga menatap nama itu dan dia terbelalak. “Kau serius? Dia?”
Pria itu tersenyum misterius. “Ya, itu sebabnya aku membawa beberapa hal untuk kau pelajari sebelum benar-benar menanganinya.” Pria yang lebih tua dari Angga tersebut kemudian mengacungkan telunjuknya ke arah barang nista yang tersebar di atas ranjang si pemuda. “Kau membutuhkan semua itu untuk memuaskan dia. Dan kalau kau butuh bantuan untuk melatih kemampuan ranjangmu, aku juga bisa menyediakan ‘guru privat’ untukmu.”
Angga kontan langsung memucat memikirkan kemungkinan siapa orang yang Doni maksud. Seketika pemuda itu menggeleng. “Tidak kalau yang kau maksud itu Riri! Pinggulku tidak akan bisa menangani hukuman apapun yang dia buat untukku setidaknya untuk beberapa dekade,” ujar Angga lebay. Tetapi walau disampaikan dengan cara itu, Angga sungguhan merasa tersiksa untuk beberapa hari. Terutama pinggulnya yang terasa retak.
Doni hanya terkekeh. “Dia tidak tahu kalau kau masuk industry ini kok. Dia tidak tahu apa-apa soal bisnis kita. Jadi dia tidak akan terlibat.”
“Kapan aku mulai bekerja?”
“Temui klien-mu besok malam, Jagoan.”
***
Keringat membasahi dahi Angga ketika dia mengetuk sebuah pintu yang berada di hadapannya. Dia merasa gugup lantaran ini adalah kali pertama dia benar-benar bekerja untuk uang. Tentu saja ini sedikit berbeda dengan apa yang sudah pernah dia lalui dengan Riri, karena situasi sekarang sedikit memberinya tuntutan untuk memuaskan. Pemuda itu menanti dengan sabar setelah mengetuk pintu, karena belum mendapatkan jawaban akhirnya dia kembali mengetuk untuk kedua kalinya. Pada kesempatan itulah dia mendengar suara dari yang artinya si pemilik rumah ada di dalam sana.
“Masuk saja masuk!” kata suara feminim di dalam yang membuat debaran di jantung Angga semakin berdegup kian kencang. Sial, tubuhnya mendadak menggigil. Kadang kala memang ada saatnya Angga merasa dia menjadi lelaki paling culun sealam semesta.
Pemuda itu membuka pintu seperti yang sudah diintruksikan kepadanya. Dia melongo masuk ke dalam rumah yang suasananya agak gelap, dia tidak merasa perlu untuk menyalakan lampu meski dia butuh. Namun karena ada cahaya di ujung ruangan maka pemuda itu memutuskan melangkahkan kakinya menuju kesana.
Dan benar saja begitu celah pintu dibuka dia menemukan seorang wanita sedang duduk di atas kasur lantai sambil menghisap sebatang rokok. Wanita itu menyeringai ketika menyadari Angga masuk ke dalam ruangan. “Hai, Aang. Senang sekali melihatmu mau datang kemari,” sapanya ramah dan hanya dia sajalah yang memanggil namanya dengan sebutan khusus. Dulu dia dan Agna memang pernah menjadi rekan kerja, sebelum wanita itu resign dari tempat kerja selepas hamil dan mereka tidak pernah saling berhubungan lagi.
Dari gesture si wanita, Angga lantas memposisikan diri untuk duduk dihadapannya. Ketika mereka saling menatap, untuk beberapa alasan pemuda itu tanda sadar menelan ludah karena gugup. “Um, hai … Agna.”
Wanita yang lebih muda darinya itu bisa dengan mudah menyadari ekspresi gugup dari sang pemuda dan dia pun malah terkekeh melihatnya. “Tidak perlu malu begitu, Aang. Kau disini karena suatu alasannya dan kita berdua tau untuk alasan apa itu. Jadi, aku butuh bantuanmu untuk sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuminta dari sembarang orang.” Wanita itu menyeringai sambil bersandar sedikit, meletakan rokok yang beberapa saat lalu sedang asyik dia hisap. “Sesuatu yang kudengar bisa kau bantu dengan baik.”
Tidak yakin dengan jawaban apa yang bisa Angga berikan, pria itu hanya menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Mungkin yang kau dengar sedikit dilebih-lebihkan. Tapi aku akan memastikan untuk membantumu sebisaku. Jadi bantuan seperti apa yang kau butuhkan dariku?”
Agna menyeringai dan dengan satu lengannya yang bebas, wanita itu meraih ujung pakaiannya sendiri dan menariknya hingga lepas. Membiarkan kedua buah dadanya yang besar tampil di depan wajah Angga untuk bisa dia lihat.
“Perah aku.”
Riri melangkah masuk ke dalam kedai dan langsung mengedarkan pandangannya mencari seorang pria yang beberapa saat lalu menghubunginya untuk bertemu.“Mencari seseorang, Kak?” seorang pramusaji bertanya padanya.Riri menganggukan kepala. “Ya, temanku. Dia mengajakku bertemu disini tetapi sepertinya dia belum datang,” kata Riri menjelaskan.“Mungkin dia terlambat, Kakak bisa duduk dulu sambil menunggu temannya datang,” saran si pramusaji sambil memberi Riri isyarat untuk mengikutinya lalu dia pun di tempatkan di sebuah meja yang berada cukup dekat dengan jendela agar Riri bisa memantau kedatangan Angga juga supaya lelaki itu bisa langsung melihatnya kalau dia datang.“Terima kasih,” kata Riri kemudian.“Mau pesan sesuatu dulu sambil menunggu?” kata si pramusaji lagi setelah Riri duduk nyaman di kursi. “Kami menyediakan banyak hidangan manis yang enak untuk teman minum teh.”Tentu saja Riri tahu itu karena ini kali keduanya, jadi pada akhirnya Riri putuskan untuk memesan teh hangat dan s
Angga tahu bahwa suaranya menggapai wanita itu tadi, tetapi nampaknya dia memilih untuk abai. Dia bergeming dan meneruskan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Angga. Memang seharusnya begitu. Yang tidak lazim adalah dirinya yang masih saja bereaksi padahal wanita itu sudah memutuskannya dengan kejam. Aneh baginya untuk berperilaku seperti pecundang begini gara-gara perempuan.Menyadari ekspresi murung Angga, Riri kontan mengulurkan tangannya guna menggenggam erat jemari Angga yang perhatiannya teralihkan oleh kehadiran si mantan. Memberikan dukungan tanpa kata terhadap pria yang dia cinta. Dia hanya bisa menghela napas, dia pikir segalanya akan berubah seiring waktu. Tetapi setiap kali mereka tidak sengaja berpapasan dan bertemu meski tidak direncanakan Angga selalu saja bersikap demikian. Suasana hati lelaki itu sudah pasti kembali tak karuan karena kemunculan wanita itu disini.“Sebaiknya kita pulang,” kata Angga kemudian.“Tidak, Angga. Kalau kita pulang kau pasti akan kembal
Pagi itu, Riri tidak dibangunkan oleh dering nyaring dari jam weker berbentuk hello kitty kesayangannya. Melainkan oleh benda elektronik berwarna purple metallic yang dia letakan di atas nakas di samping ranjang sebelum dia tidur semalam. Dengan kantuk yang masih menggantung di matanya, wanita berambut hitam tersebut meraih ponsel yang berdering nyaring tersebut tanpa melihat siapa yang memanggilnya di pagi buta.“Ya, Hallo?”“Selamat pagi, Riri.” Suara dari si penelepon langsung secara kontan membuat seluruh kantuk yang ada di matanya hilang seketika. Dia menarik ponsel tersebut dari telinga untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi sekaligus mengkonfirmasi kalau dia tidak salah dengar. Dan ternyata memang benar, dia tidak salah menduga. Kontak yang dia namai dengan Calon pacar tertera di layar ponselnya.“Angga?”“Ya, ini aku.”“Ada apa menelepon pagi-pagi begini?”“Aku cuma mau mengucapkan selamat pagi,” jawab lelaki itu yang seketika membuat senyum Riri merekah dan tentu s
Sinting betul! Akal Angga seakan sengaja dibuang jauh-jauh oleh dirinya sendiri.“Angga sudah… nghhh!”Larangan Nana sudah Angga hiraukan, karena kini jari Angga baru saja meluncur dengan mudah ke dalam liang belakangnya. “Gampang juga masuknya, kau memang suka kalau aku sentuh disini kan?”Kedua mata nana rasanya bergulir ke belakang, tidak menyangka dengan sensasi menyenangkan yang bisa dia dapat akibat dari sumpalan jari Angga pada liang belakangnya. Lidahnya pun bahkan menjulur ke luar memperlihatkan seberapa hilang akalnya. Berusaha sebisa mungkin menata kewarasana karena bila tidak, dia bisa keluar lagi akibat nikmat yang diberi Angga.“Angga, jangan gila. Aku sudah lama tidak disentuh disana, kurasa tidak akan muat.” Jari yang tengah bermain di dalam mulai keluar masuk berusaha menggoda, membuat Nana mengerang kian terangsang.“Kau pembohong, Tante Nana. Buktinya jariku gampang keluar masuk.”Gilanya Angga malah semakin liar bergerak di dalam, ujungnya menekan ke atas mengenai
Nana menjerit kencang kala Anggamenusuknya semakin dalam, pangkal milik si pemuda jelas sekali tercetak pada perutnya yang rata. Nana bergetar hebat menahan nikmat dengan mata yang bergulir ke belakang, berapa kalipun keduanya berhubungan badan, Nana tak pernah terbiasa dengan bagaimana kuatnya si pemuda kala menyiksa titik nikmatnya.Angga kini bertumpu dengan lututnya sebagai penyAnggatubuh, pinggang ramping Nana digenggam tangan besarnya erat, Angga mengangkat pinggul si wanita lebih tinggi, membuat hujamnya kian mantap menancap. Nana mengerang sakit bercampur nikmat, liangnya nyaris hancur karena ditusuk terlalu dalam.Tubuh Nana melenting cukup tinggi, kakinya lurus dengan ibu jari yang seperti menunjuk sesuatu. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri tak kuasa menahan sensasi menyiksa di dalamnya, tangan lentik berusaha menghentikan Angga yang malah menekan perut bagian bawahnya, berusaha mendorong pelepasan si wanita agar segera dibebaskan."Ngaaahhh Anggaaahhhhh!!"Angga men
Angga menganggukan kepala dengan mulut yang sudah tersumpal dengan celana dalam merah sang wanita. Nana sendiri sebagai si pelaku merasa bahwa pemandangan di hadapan matanya sekarang adalah hal yang membuat vaginanya mulai berkedut dan mengeluarkan banyak lendir.Dua tangan Nana kini meraih tegang milik Angga di bawah sana, seketika tubuh sang lelaki berjengit seperti tersetrum. Jemarinya lihai mengurut secara perlahan dengan cara yang paling gila sampai Angga rasanya tidak akan sanggup kalau harus menahan suara dan juga pelepasannya.“Kau mau masuk hm? Iya sayang?” tanya sang wanita dengan jari-jari yang sudah bergerak naik dan turun.Genggam Nana mengerat, ibu jarinya bermain pada lubang di tengah ketegangan. Kedua bola mata Angga bergulir ke belakang, tak kuasa bila harus terus digoda seperti sekarang.“Dijepit vagina tante, mau?” Kalimat cabul itu lagi-lagi keluar dari mulut Nana, dan hal itu langsung memberikan efek yang merangsang. Tak segera diberi membuatnya semakin jauh memba