Lima jam kemudian Angga membuka pintu toko dari dalam untuk meninggalkan tempat itu segera. Setelah semua yang terjadi, pemuda itu merasa bahwa dia baru saja menyelesaikan lari marathon sepanjang sepuluh kilo meter. Meski lelah, tetapi kalau dia tetap disana bisa-bisa dia akan dihantam lagi oleh wanita itu dan terus terang untuk sekarang itu bukan pilihan yang bijak.
“Terima kasih Tuhan, akhirnya dia tidur juga,” ujar Angga sambil menghela napas.
“Sudah bersenang-senangnya?” kata seseorang sambil menyeringai so tahu. Orang itu duduk di teras seolah memang sudah menungggu Angga keluar dari kediamannya dan terima kasih untuk komentar tersebut. Angga sekarang seperti seorang maling yang tertangkap basah.
“Fuck, kau membuatku kaget. Diam saja lah! Lain kali sebelum minta tolong katakan padaku inti dari pertolongannya. Bukan malah mengirimku ketempat ini dan membuatku nyaris mati.”
Doni cuma tersenyum miring sambil berdiri. “Ya, oke. Tapi intinya aku benarkan? Kau hanya perlu melihatnya langsung dan boom, kau berhasil memberikan bantuan meski kau tidak tahu apa.”
“Alah, banyak omong kau! Lagipula bisa-bisanya kau bersikap sesantai ini setelah aku meniduri sepupumu,” celetuk Angga sambil mengusap wajahnya. Dia tidak habis pikir dengan isi kepala orang ini. Biasanya orang normal yang memergoki perbuatannya paling tidak akan memukulnya. Tapi orang ini malah tersenyum mengerikan seperti itu.
“Memangnya kenapa? Toh baik kau ataupun dia kalian berdua sama-sama menikmatinya.”
“Kau tidak berhak berkomentar soal itu, bangsat!”
“Tapi hei, ngomong-ngomong aku jadi punya usulan bisnis untukmu.”
“No thank you.”
“Oh ayolah, Angga. Kau kan sedang menganggur. Tidakkah kau pikir ini bisa jadi kesempatan bagus untuk memulai pekerjaan baru? Kita bisa berbagi penghasilan. Kau untung aku pun juga. Setidaknya dengan itu aku tidak dikejar rentenir lagi dan sepupuku bisa berhenti melayani para lelaki yang menagih hutang padaku.”
“Kau—Apa?”
“Kau sudah dengar. Ya, Riri membantuku mengulur waktu mengumpulkan uang untuk membayar hutangku. Dia cukup berbakat dalam hal itu, jadi kami saling membantu. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan dan aku mendapatkan manfaat darinya yang cukup hyper soal ranjang.”
“Kau benar-benar brengsek! tolol betul kau jadi sepupu!” sembur Angga tidak percaya dengan pola pikir kawannya. Bisa-bisanya dia memanfaatkan sepupunya sendiri untuk melayani para pria secara sembarang.
Doni menghela napas. “Aku tidak punya pilihan. Jadi, kau mau bekerja sama kan dengan bisnisku? Aku rasa ini benar-benar akan maju pesat dan tanpa kerugian.”
Angga menghela napas. Pria itu mencoba memproses amarahnya sebelum pasang telinga. Meski terdengar mencurigakan, tetapi Angga pada akhirnya menyerah dan mulai mendengarkan orang itu. “Oke, aku mendengarkan, jadi bisnis apa yang akan bisa maju pesat tanpa kerugian dalam otakmu?”
Doni menyeringai. “Yah, kau tahu ada banyak perempuan yang kukenal dan hampir se-tipe dengan Riri yang begitu haus akan seks. Dan melihat bagaimana kau bisa memuaskan Riri, aku merasa bahwa aku sudah menemukan seseorang yang berbakat di bidang ini. Kau adalah orang yang sempurna untuk pekerjaan ini.”
Angga langsung ternganga. Benar saja, apa yang lelaki itu tawarkan sesuai dengan apa yang dia pikirkan. “Apa aku terlihat seperti seorang gigolo di matamu?”
“Kalau kau bertanya padaku sekarang, sebenarnya iya.”
“Bangsat! Aku tidak akan membiarkanmu menjualku kepada perempuan yang tidak aku kenal!”
Doni cuma tersenyum. “Oh ayolah, Angga. Aku akan memberikanmu bayaran yang sepadan dengan jasa yang kau berikan. Lagipula mereka semua adalah perempuan yang steril. Ini tidak seperti aku akan menjualmu pada orang asing di pinggir jalan. Dan lagipula …” Dia melirik ke arah toko. “… bisakah kau berkata dengan serius sekarang kalau kau tidak menikmati hubungan seksmu dengan Riri. Kau bisa bayangkan kesenangan yang kau dapatkan nanti!” lanjut Doni sambil berbisik ke telinga Angga. Lalu setelah itu dia kembali melirik ke arah si pemuda yang wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Apa yang dia katakan tepat sasaran. “Jadi, apa kita sepakat?”
***
Riri memainkan kotak beludru yang dia simpan di atas meja. Meraih ponselnya, dia mengetikan satu nama yang baru saja di dengar dari seorang pemuda. Riri mengenal lelaki itu, karena dia melihat wajahnya saat mereka pertama kali bertemu. Tapi dari gelagat si pemuda tampaknya dia tidak mengingat Riri sama sekali.
Karena itulah, saat ini sepulang dari tokonya Doni. Riri memutuskan pulang ke kosannya sendiri dan menghabiskan waktu mengingat moment gila yang terjadi padanya beberapa saat lalu. Pria itu berhasil mengesankannya, dan ternyata meski awalnya Riri pikir dia tipikal lelaki yang culun. Saat bercinta rupanya dia cukup seksi dan hal itu agak mengganggunya sedikit.
“Ternyata dia lumayan tampan juga sih,” gumam Riri sambil melihat satu persatu foto di sosial media lelaki itu. Riri mencuri dengar dari sepupunya bahwa pemuda bernama Angga itu masih perjaka dan Riri adalah orang yang menjadi pengalaman pertamanya. Selain itu, katanya pula si pemuda baru saja dicampakan pacarnya saat dia hendak melamar. Informasi itu tiba-tiba saja jadi terdengar penting bagi Riri dan dia mulai tertantang untuk mencari tahu lebih banyak soal pemuda itu. “Dan mantannya ternyata cantik,” komentar Riri saat menemukan sebuah foto dimana Angga bersanding dengan seorang wanita dan mereka berdua tersenyum bahagia di depan kamera.
“Pantas saja dia sefrustasi itu sampai dengan mudah membuang cincin seberharga ini,” ungkap Riri lagi sambil menimbang kotak cincin ditangannya. Dan kemudian ketika dia melihat lebih jauh soal gadis yang berada di sosial media si pemuda. Dia mulai mengerti bahwa hubungan tersebut tampaknya tidak berjalan baik dan agak timpang.
“Ahh… jadi perempuan ini lebih mapan ya,” gumam Riri lagi ketika melihat beberapa foto dimana wanita itu sedang berada di kantor dengan memakai pakaian khas kantoran. Riri jadi teringat dengan penjelasan Doni soal hubungan Angga dengan mantan pacarnya. Tentang seberapa insecure-nya Angga karena dia tidak semapan pacarnya. Dan si mantan pacar juga memperlakukan Angga dengan dingin dan selalu sibuk sampai tidak punya waktu untuknya.
Riri menghela napas, “Cincin ini pasti untuk dia,” gumam Riri.
Kembali pandangannya menatap layar dimana foto Angga dan gadis itu sedang tersenyum ke arah kamera. Mereka tampak serasi dari yang terlihat, tetapi dibalik itu semua terdapat banyak perbedaan yang sepertinya sudah tidak bisa dibicarakan.
“Ahhh… kenapa pula aku peduli, itu kan bukan urusanku! Lagipula orang ini sama saja dengan para pria yang aku pernah tiduri. Tidak ada bedanya sama sekali!” Riri berseru, ditatapnya sekali lagi profil picture si pemuda. “Tapi anehnya aku malah jadi penasaran…,” lirih wanita itu. “Ini salahmu Angga. Kau membuatku tidak bisa berhenti memikirkanmu!” rutuknya.
Kemudian dia bangkit menuju ke salah satu lemari yang menyimpan banyak koleksi harta karunnya. Namun pandangannya langsung nanar menyadari ada banyak koleksinya yang tidak ada ditempat. “Si bangsat itu pasti mencurinya! Ahhhhh… sialan!”
Dengan cepat, Riri mengambil ponselnya dan menghubungi orang yang dia curigai. “Mana koleksiku?”
“Hai sepupu, aku tadi berkunjung kerumahmu saat kau masih tidur di toko. Dan aku lihat ada banyak koleksi yang bagus, jadi aku pinjam.”
“Kembalikan sialan! Itu semua favoritku!”
Angga berjalan memasuki toko, pemuda itu mengenakan jas putih khas dokter yang diberikan padanya oleh Doni sebelum pemuda itu melaksanakan pekerjaannya. Toko pria itu juga sudah dikosongkan, memberikan tempat kepada Angga untuk melakukan aksinya dengan santai untuk melayani klien berikutnya. Sejujurnya pemuda itu merasa gugup karena kali ini dia harus bermain peran sesuai dengan permintaan klien-nya. Pikirannya yang biasanya selalu kosong dan tanpa tuntutan (karena Angga dulunya hanya seorang pengangguran) kini jadi disibukan dengan beragam permintaan yang disesuaikan dengan keinginan klien yang menyewa jasanya.Lamuyannya buyar ketika pemuda itu telah tiba di sebuah pintu. Dia melihat ke atas dan disana telah tergantung sebuah papan kayu bertuliskan ‘Dr. Anggara Ari. MD’. Doni benar-benar all out dalam hal ini.Pemuda itu lantas membuka pintu setelah menyiapkan hati dan ketika dia masuk ke dalam ruangan saat itu pula dia melihat ‘pasiennya’ telah duduk di atas meja. Suasana di dalam
“Aku ingin mengenalmu. Bolehkah?”Angga perlu mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan pikirannya yang melanglang buana entah kemana begitu mereka tiba di tempat makan. Namun karena sesuatu yang Riri ucapkan semua hal yang membebani dirinya seolah sirna dan meleleh begitu saja.“Eh?”Riri menatap Angga dan memutuskan bahwa dia sebaiknya jujur tetapi dengan cara yang halus. “Aku baru saja memutuskan pacarku sedangkan kau pun katanya juga belum lama ini dicampakan pacarmu. Kondisi kita sempurna.”Angga terdiam.“Bagaimana kalau kita mencoba untuk saling lebih mengenal satu sama lain? maksudku aku tidak bermaksud mengajakmu berpacaran atau hal-hal seperti itu. Tapi apa salahnya menambah relasi kan?”Angga menatap wanita yang duduk dihadapannya sekarang sembari berpikir jawaban macam apa yang paling tepat untuk dia berikan. Jika saja dia belum terperosok dalam pekerjaan terlarangnya itu bisa saja dengan mudah dia mengatakan setuju dan bahkan dia mungkin bisa berpacaran dengan wanita ini
Angga mengerutkan kening ketika di pagi buta, dia tiba-tiba saja mendapati satu panggilan dari nomor yang tidak di kenal. Dia hanya berharap Doni tidak memberikan nomornya secara sembarangan kepada perempuan setelah dia memenuhi tugasnya sebagai pemuas mereka. Dia hanya setuju kalau dihubungi melalui Doni. Karena Angga bagaimana pun juga tidak ingin menghancurkan kehidupan normal dengan mencampur adukannya pada pekerjaannya. Sedikit ragu, pada akhirnya Angga menggeser tanda hijau di layar ponselnya. “Halo?” “Ini Angga benarkan?” suara feminim menyambut Angga dengan segera. “Ya, benar. Ini siapa ya?” tanya Angga dengan hati-hati. Jantungnya berdetak tak karuan. Dia berharap ini bukan salah satu dari perempuan yang hendak menyewanya. “Ini aku, Riri. Sepupunya Doni. Aku dapat nomormu dari dia,” sahut si penelepon dengan lugas dan seketika kekhawatiran Angga memudar. Namun kini setelah kekhawatirannya sirna, Angga justru bertanya-tanya akan tujuan gadis itu meneleponnya. Berbagai kem
Sudah lama sekali Tia tidak merasakan berhubungan seks secara liar dengan seorang pria, dan Angga adalah orang pertama yang benar-benar merasakan adanya sulutan api gairah ketika tidur dengannya. Semua pria di kelompoknya tidak begitu memuaskan meski tubuh mereka besar dan tegap seperti preman. Tapi kalau soal stamina, mereka lemah dan kadang membuat Tia masih tetap mencari pelarian untuk mendapatkan kepuasan hakiki.Tia meremas penis Angga dengan otot-otot vaginanya yang terlatih, menggunakan seluruh pengalaman yang dia miliki untuk memancing erangan serta geraman dari si pemuda yang mustahil terdengar lantaran mereka berada di dalam air. Tia bisa merasakan milik pemuda itu memenuhi dia seutuhnya, kepala wanita itu mendongak ke belakang dan tanpa sadar membuka mulutnya menyebabkan buih-buih tercipta di dalam air. Cengkramannya pada bahu dan juga pinggang pria itu kain mengerat ketika wanita itu mulai di penuhi dengan berbagai sensasi.Di sisi lain, napas Angga tercekat ketika otot-ot
Angga bisa merasakan kejantanannya mulai berdiri tegak ketika wanita itu mendekat padanya. Payudaranya yang kencang dan besar menempel di dadanya. Sementara tangan wanita itu menuntun Angga untuk menurunkan resleting belakang dari dress yang dia kenakan. Pemuda itu bisa merasakan debaran jantungnya semakin menggila ketika melihat secara perlahan pakaian wanita itu terbuka lebar akibat ulahnya. Membuat adegan dimana kain penutup dada wanita itu terbuka.Wajah keduanya begitu dekat satu sama lain, hingga bisa merasakan napas mereka yang saling beradu. Jari jemari Tia pun tidak kalah dengan Angga. Jemari wanita itu telah menyelinap dibalik pakaian sang pria. Merasakan otot kencang bagian perut Angga. Sorot mata penuh nafsu mulai semakin jelas terpampang nyata diantara keduanya dan secara instan mereka saling mendekat untuk berbagi ciuman mesra.Sesaat wanita itu mundur, meninggalkan pelukan Angga hanya untuk sekadar mencelupkan dirinya ke dalam kolam. “Kemarilah,” dia bergumam. Pria itu
Doni sedang bermalas-malasan seperti biasa, sambil mengipasi dirinya sendiri dengan uang yang dia dapatkan dari beberapa klien yang langsung tertarik untuk menyewa jasanya. Hanya dengan bicara soal Angga, dia sudah mendapatkan banyak sekali permintaan untuk menyewa jasa pemuda itu dari para wanita kesepian di kota. Saking banyaknya, sampai Angga nyaris pingsan melihat daftar tunggu yang telah disusun oleh Doni untuk Angga garap nantinya.“Aku rasa si Angga akan ngilu melihat seberapa banyak perempuan yang ingin mencicipinya,” katanya keras-keras sambil terkekeh seolah dia bukan satu-satunya orang yang ada disana.“Oh ya? aku bertaruh kalau si Angga akan menyerah dengan semua pekerjaan yang kau limpahkan kepada dia.”Si penjaga toko langsung berbalik ketika menyadari ada tamu tak di undang yang sedang bersandar di dinding tidak jauh dari posisinya sekarang. Doni sempat terhenyak karena dia tidak siap akan kedatangan seseorang di tokonya. Pria itu langsung memasang ekspresi siaga ketika