Share

Sang Penakluk Dewa
Sang Penakluk Dewa
Penulis: Alfonzo Perez

Kebangkitan Kembali

Setelah lama tertidur akibat kematian, saat ini untuk pertama kalinya Lintang kembali membuka mata. Namun dia membuka mata dengan perasaan aneh di mana di sekujur tubuhnya seperti terdapat banyak luka. Terlebih Lintang merasa seakan dia telah tertidur sangat lama hingga kedua kelopak matanya sulit sekali terbuka.

“Ada apa ini? Mengapa seluruh persendianku terasa amat sakit? Apa mungkin aku telah mengalami penyiksaan? Ah tidak mungkin, bukankah terakhir kali kuingat diriku masih berupa ruh?” gumam Lintang mulai meracau.

Lintang terbangun di sebuah kamar berdinding kayu dengan satu lentera kecil tergantung di dekat pembaringan. Tidak ada apa-apa di sana selain meja kayu sederhana yang di atasnya terdapat sebuah poci tanah liat lengkap dengan cangkir berbahan bambu.

Ada juga sepasang pedang lusuh yang menempel pada salah satu dinding dengan posisi menyilang sehingga tampak seperti hiasan. Tapi Lintang tidak peduli, dia kini sedang menitikan air mata teringat dengan semua kenangan keluarganya. Lintang belum sadar bahwa dirinya hidup kembali dan sedang berada di tubuh seorang anak kecil.

“Ayah, ibu, Sari, Tari, Rani, Rara, Arga, Sugi, Ayu, bagaimana keadaan kalian?” ucap Lintang lirih dipenuhi linang air mata. “Jagat, Asgar, Limo,” gumamnya pelan.

Dia masih terbaring bingung, menatap kosong pada langit-langit, membayangkan wajah semua keluarga yang pasti sedang bersedih akibat kematiannya. Namun sesaat kemudian lamunan pemuda itu seketika buyar dikejutkan oleh sebuah suara keras dari balik pintu kamar.

“Oiii, Kusha! Aku tahu kau sedang menangis. Dasar cengeng! Ayo cepat bangun, ibu memanggil kita keruang makan.” Teriak seorang anak lelaki berusia 14 tahun yang entah siapa.

“Kusha? Siapa Kusha? Mengapa ada suara seorang bocah? Bukankah di sini tidak ada siapa-siapa selain aku?” Lintang mengerutkan kening tidak mengerti.

Dia mulai sadar bahwa dirinya ternyata sedang berada di sebuah ruangan yang entah di mana. Yang pasti Lintang tidak lagi terkurung dalam kegelapan semesta.

“Rasa sakit? Bernapas? Detak jantung? Apa mungkin aku hidup kembali?” gumam Lintang melebarkan mata. Dia kemudian segera meraba dada, memastikan bahwa detak jatung yang ia rasakan bukanlah mimpi.

Dan benar saja, Lintang ternyata kembali memiliki jantung, membuat pemuda itu tertawa terbahak bahak.

“Hahaha, aku hidup! Aku hidup! Yosh! Aku hidup lagi!” Lintang meracau berlompatan di atas pembaringan. Dia berlompatan senang layaknya seorang anak kecil tanpa peduli pada teriakan yang terus memanggil nama Kusha dari luar kamar.

“Dasar gila! Apa mungkin dia mengalami gegar otak akibat benturan?” umpat seorang anak lekaki di luar kamar.

“Oii, Kusha, cepat buka pintu! Ayah dan ibu sudah menunggu kita, ayo cepat keluar!” bentak anak tersebut.

“Kusha? Dasar bocah nakal! Siapa dia? Mengapa anak itu terus berteriak ke dalam kamar?” gumam Lintang.

Karena merasa heran, Lintang pun lantas mengedarkan pandangan, menyusuri setiap sudut ruangan memastikan barangkali ada anak bernama Kusha di sana. Tapi sekeras apa pun Lintang mencari, di dalam kamar tetap saja tidak ada siapa pun selain dirinya.

“Aneh! Di sini tidak ada siapa-siapa?” gumam Lintang mengerutkan kening.

Namun anak lelaki tadi kembali berteriak, kali ini suaranya lebih kencang membuat Lintang sakit kepala mendengarnya.

Merasa kesal kepada anak itu, Lintang pun lantas menanggapi teriakannya.

“Oiii bocah! Siapa kau? Mengapa terus memanggil nama Kusha?” seru Lintang.

“Dasar tengik! Berani kau memanggil aku, Bocah? Ayo cepat keluar, ibu sudah menunggu kita sedari tadi!” balas sang anak lelaki dengan umpatan.

“Ibu?” Lintang duduk di pembaringan, menyandarkan punggung pada dinding dipan sembari mengangkat tangan berniat mengurut keningnya yang terasa sakit.

Namun sebelum tangannya tiba menyentuh kening, Lintang langsung terperanjat kaget melebarkan mata. Dia tidak percaya menyaksikan tangan yang seharusnya kekar entah mengapa menjadi begitu kecil layaknya tangan anak-anak.

Dan ketika diraba kulitnya terasa begitu lembut bagaikan bayi. Terlebih dia memiliki kulit berwarna biru tua membuat Lintang semakin terkaget keheranan.

“Ini ...?  A-a—ada apa de-dengan ta-tanganku?” Lintang terbata.

Mengira semua itu hanya ilusi, Lintang pun lantas memeriksa kaki, tubuh, serta meraba wajahnya, memastikan bahwa dia tidak sedang terjebak dalam jurus seseorang. Tapi seberapa kali pun pemuda itu memeriksa, tubuhnya tetap tidak berubah membuat dia langsung berteriak panik.

“Kyaaaaaaaaa, tidakkkkk! Aku tidak mau! Mengapa tubuhku menjadi anak kecil seperti ini, ayahhhhh, tidakkkkk! Siapa pun tolong aku!” Lintang menjerit histeris.

Dia kembali meracau seperti orang gila, tapi racauannya kali ini bagaikan seorang yang sedang tersakiti membuat anak lelaki di luar kamar langsung mendobrak pintu sangat khawatir.

Brak! Wush! Bruuus!

Pintu kamar terlempar sejauh 2 meter dan berakhir tergeletak di dekat pembaringan. Setelah itu, seorang anak lelaki berusia 14 tahun berlari cepat menghampiri Lintang.

Raut wajahnya pucat karena panik, dia mengenakan pakaian berwarna abu dengan celana panjang sebetis yang juga berwarna abu. Sebuah ikat pinggang anak tersebut berwarna hitam, melingkar mengencangkan pakaian serta menjadi penyangga sebilah pedang.

Tubuhnya cukup kekar, berkulit putih mulus dengan wajah tampan berambut panjang. Dia mengenakan ikatan kepala berupa kain berwarna merah tua sebagai ciri seorang murid dari sebuah perguruan.

“Kusha! Ada apa? Di mana? Siapa yang menyakitimu?” teriak anak lelaki itu kepada Lintang.

Dia terlihat mengedarkan pandangan menyusuri setiap sudut kamar, mencari seseorang yang telah membuat adiknya menjerit. Tetapi di sana tidak ada apa-apa selain seorang bocah berusia tujuh tahun berkulit biru yang sedang duduk termangu sembari memeluk kedua lututnya seperti anak yang tengah ketakutan.

Merasa kesal mengira sudah dipermainkan, anak lekaki tadi lantas menggetok kepala Lintang menggunakan gagang pedang membuat bocah berkulit biru langsung mengerang berteriak kesakitan.

“Apa yang kau lakukan bocah? Sakit tahu, dasar anak tidak tahu sopan santun!” maki Lintang sembari menggosok kepala berusaha mengurangi rasa sakit.

Peletak! Aaaaaaaw!

Lintang lagi-lagi menjerit terkena getokan kedua, di mana anak lekaki tadi ternyata menggetoknya kembali dengan wajah merah menahan amarah.

“Dirimu yang bocah, dasar tengik! Beraninya kau memaki kakakmu sendiri,” umpat sang anak lelaki sembari menyilangkan tangan di depan dada.

“Apa! Aku? Kau yang bocah, dasar anak nakal!” maki Lintang masih kesakitan, sementara sang anak lelaki tadi hanya terkekeh menyeringai ke arahnya.

“Siapa kau bocah? Mengapa menggangguku?” teriak Lintang.

Dia berdiri di atas pembaringan seraya menatap marah kepada sang anak lelaki.

“Hahaha! Lama kutinggalkan ternyata dirimu sudah melupakan aku, dasar adik nakal! Kau lupa atau pura-pura lupa, Kusha? Tentu saja aku adalah kakakmu, Balada yang tampan dan pemberani,” sang anak lelaki tertawa membuat Lintang semakin bingung tidak mengerti.

“Ka-ka—kakak? Sejak kapan aku memiliki kakak?” gumam Lintang di dalam hati.

Namun tidak lama setelah itu, Lintang kembali menjerit akibat kupingnya dijewer oleh Balada. Dia ditarik keluar kamar, dibawa melalui lorong panjang menghadap sepasang suami istri yang tengah duduk di atas meja makan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dzal Aidi
ini kayak ceritane anaknya galuh wardana ya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status