Share

Sang Penari Pujaan Hati
Sang Penari Pujaan Hati
Author: pramudining

1. Sang Penari

Happy Reading

*****

Alunan musik tradisional khas kota Banyuwangi mengiringi tarian seorang perempuan bermahkotakan omprok dengan ornamen tokoh Antasena. Salah satu tokoh pewayangan. Tangan kanannya memegang kipas, sedangkan tangan kirinya memainkan sampur yang menggantung pada leher. Pinggulnya bergoyang selaras dengan perpindahan kaki dan gerakan bahu.Dialah Jelita, sang penari Gandrung yang cukup terkenal di desa ini.

Wandra menatap sang kekasih penuh kekaguman walaupun di sampingnya ada perempuan yang selalu menentang hubungan mereka. Tak masalah, dia sudah menuruti semua kemauan orang tuanya. Suatu saat kelak, dia akan menagih janji mereka.

"Apa perempuan seperti itu yang akan menjadi menantu Mama? Menjijikkan," ucap perempuan dengan dress berbahan brokat dan rambut disanggul bawah.

"Kenapa mesti merasa jijik, Ma? Jelita, hanya menyalurkan bakat dan alhamdulillah, dia bisa membantu perekonomian keluarganya dari hasil menari," bela Wandra.

"Kamu nggak lihat banyak lelaki yang menari bersamanya. Memandang dengan sangat buas pada setiap lekukan tubuh. Di mana harga diri sebagai perempuan kalau sudah seperti itu. Tubuhnya menjadi konsumsi publik. Kita ini keluarga terpandang dan berpendidikan, Dra. Jangan membuat malu dengan menjalin hubungan dengan gadis seperti itu." Ajeng Candra Ningsih menatap tajam ke arah putranya.

"Ma, kita sering bahas masalah ini. Aku juga sudah menuruti semua kemauan Mama dan Papa. Mengambil kuliah sesuai jurusan yang kalian mau. Lalu, apakah sekarang tentang urusan asmara dan jodoh kalian juga akan mengaturnya?"

"Lihat itu?" tunjuk Ajeng pada Jelita.

"Gadis yang nggak bisa menjaga diri yang akan kamu nikahi? Mama nggak sudi, Dra."

Mata Wandra membulat sempurna. Seorang pria dewasa tengah menari dengan penuh gairah. Sesekali tangannya terlihat akan menyilipkan uang saweran pada kemban yang dikenakan sang kekasih. Wandra tak bisa diam saja saat pujaannya diperlakukan seperti itu.

"Eh, Mas. Jangan asal nyerobot, budayakan antri. Jika belum mendapat selendang dari penari, ya, diem dulu," kata si lelaki menghalangi Wandra untuk menari bersama kekasihnya.

Jelita mulai tidak fokus. Memang sudah menjadi tahapan dalam tarian Gandrung, jika sudah selesai acara jejer. Maka penari akan memberikan selendang pada para tamu untuk menari bersama dengan gerakan menggoda. Biasanya tamu yang pertama kali mendapat selendang adalah tamu penting dalam acara tersebut.

"Nggak bisa. Saya juga adalah salah satu tamu penting dalam acara ini. Sampeyan itu sopo sampai berani berkata keras pada saya? Belum tahu saya siapa, ya?" balas Wandra tak kalah sengit.

Masih dengan gerakan pinggul dan permainan kipas di tangan, Jelita mengembuskan nafas panjang. Mengapa lelaki yang berstatus kekasihnya ini tidak mau mengerti posisinya sekarang.

Tanpa diduga, Wandra yang sudah berada pada jarak dekat dengan Jelita. Ketika wajahnya sudah akan menyentuh pipi perempuan itu, lengannya dicekal oleh seseorang. Tamparan keras mendarat di pipi.

"Pulang, Ndra. Malu-maluin Mama saja kamu ini."

"Mama!" bentak Wandra keras.

Seluruh tamu undangan pada acara resepsi pernikahan salah satu orang ternama di kota ini menatap ke arah ibu dan anak itu. Bisik-bisik pun berdengung, sementara Jelita tak lagi menghiraukan perdebatan yang terjadi. Walau ada luka tak kasat mata, tetapi dia tetap harus menjalankan tugasnya sebagai penari, menghibur semua tamu undangan.

Satu jam sebelum acara itu dimulai, perempuan yang telah menampar Wandra di depan umum itu sudah mendatanginya di ruangan khusus. Tempat untuk merias dan berganti pakaian para pemain serta penari gandrung.

"Harusnya kamu nggak hadir pada acara ini, Lit. Saya sudah memperingatkanmu untuk tidak menampakkan wajah di depan Wandra. Apa peringatan itu masih kurang jelas?"

Jelita cuma bisa menatap perempuan pemilik nama Ajeng yang kini berdiri di hadapannya. Matanya mulai merebak, hampir saja aliran deras itu turun membanjiri pipi jika tak ingat bahwa riasannya sudah sempurna. "Saya cuma melaksanakan tugas, Bu. Demi Allah, nggak ada keinginan saya untuk ketemu sama Mas Wandra. Saya juga nggak tahu kalau dia sedang berada di rumah."

"Bohong, kamu pasti sudah menelpon putraku dan memberitahu bahwa kamu sedang menari di acara ini. Kalau tidak, mana mungkin dia ngotot ingin menghadiri resepsi pernikahan teman yang selalu membuatnya jengkel."

"Maaf, Bu. Saya harus segera bersiap. Sebentar lagi sudah waktunya saya menari." Jelita sengaja mengucapkannya. Cara halus agar perempuan itu tak lagi mengomel seperti sekarang.

"Dasar penari murahan, nggak punya etika sama sekali. Orang tua masih ngomong malah ditinggal."

Jelita, hanya bisa mengelus dada. Membiarkan perempuan itu keluar.

Sekarang, di saat tariannya sedang berlangsung. Sosok Wandra berhasil mengacau dan Ajeng pasti akan semakin membencinya. Sejak dulu, perempuan yang telah melahirkan Wandra itu memang tak pernah menyetujui hubungan mereka.

Jelita dengan status sosial yang biasa saja dan Wandra dengan segala kekayaan serta jabatan dari kedua orang tuanya. Belum lagi profesi yang mulai digeluti perempuan itu makin menambah kesenjangan di antara keduanya. Sebuah jalinan cinta yang tak akan pernah mudah untuk bisa bersatu dalam ikatan suci bernama pernikahan.

Bukan tak mendengar bisik-bisik dari para tamu yang mengejek tentangnya. Jelita, hanya ingin bersikap profesional. Mungkin bagi sebagian orang di kota itu, profesi sebagai penari Gandrung adalah hal yang sangat negatif.

Makin banyak lelaki yang ingin menari dengan Jelita. Selain wajah yang cantik dan bentuk tubuh seksi, tarian gadis itu juga sangat luwes. Menggiurkan bagi sebagian kaum Adam untuk terus mendekatinya.

Salah seorang tamu bahkan terlihat antusias menari lebih dekat dengan Jelita.

"Setelah menari, apa kamu mau ikut aku bermalam di hotel?" bisiknya ketika si lelaki berhasil mendekatkan wajah pada telinga sang penari.

Berusaha terus memainkan kipas dan sampur, Jelita membalas ucapan lelaki itu. "Maaf, saya bukan penari yang seperti itu. Anda sudah salah menafsirkan profesi saya."

"Halah! Nggak usah munafik. Semua penari Gandrung itu bisa di booking. Kenapa mesti jual mahal? Aku berani bayar tinggi untuk malam panjang kita," katanya masih tak mau menyerah.

Jelita langsung mendorong lelaki itu dan melemparkan selendang pada tamu lain. Sorot mata sang lelaki tajam menguliti seluruh tubuh sang penari.

"Jangan main-main denganku, cantik. Habis kamu hari ini," ancam lelaki itu berani dan setelahnya dia mengamuk pada pemilik acara. Berteriak keras mengatakan bahwa pelayanan dalam acara itu tak memuaskan sama sekali.

Para penabuh menghentikan alunan musik yang mengiringi Jelita pun demikian dengan gadis itu. Berhenti menari dan ketakutan.

Salah satu dari penabuh sekaligus pemilik sanggar yang menaungi Jelita, maju mendekati lelaki itu.

"Pak,  tolong jangan begini. Ini adalah pesta resepsi pernikahan. Bukan acara Gandrung yang seperti biasanya."

"Anak buahmu sok jual mahal. Kita semua tahu bagaimana sebenarnya kehidupan seorang penari Gandrung?"

Sebelum lelaki itu meneruskan ucapannya, satu tamparan melayang di pipinya. Semua mata menatap tajam, berani sekali dia menampar lelaki pemilik nama Bagaskara Andra Wijaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status