Share

2. Nasib Gadis Miskin

Happy Reading

*****

"Saya memang seorang penari Gandrung, tapi nggak jual diri demi mendapatkan banyak uang. Ingat itu, Pak." Jelita menjauh dari acara tersebut. Perlahan musik mulai mengalun lagi walau dengan penari pengganti.

Di rumah sang pemilik hajatan, Jelita dan pemilik sanggar itu meminta maaf karena sudah mengacaukan acara mereka.

"Nggak masalah, Mbak. Mungkin tamu saya yang kebangetan," ucap sang pemilik hajat.

"Saya tidak bisa melanjutkan acara ini dengan penarinya Jelita. Bagi saya sebagai pemimpin sanggar, kenyamanan dan keamanan para menari adalah yang utama. Tolong sampaikan pada tamu Bapak bahwa semua penari di sanggar saya tidak melakukan pekerjaan sampingan selain menari. Tidak ada istilah menemani tamu laki-laki walau telah mendapat selendang dari penari," kata pria dengan kisaran umur 50 tahunan.

"Saya ngerti, Pak. Sekali lagi, tolong maafkan kelakuan tamu saya." Pria dengan baju batik itu menangkupkan kedua tangannya.

Setelah berpamitan pada sang pemilik hajatan, Jelita dengan diantar oleh pemimpinnya pulang. Lebih baik seperti itu, daripada dia harus mendapat hinaan dan cemoohan.

"Lit, Bapak minta maaf atas kejadian tadi," ucap Sularso sebagai pemimpin sanggar. "Jangan lupa, besok ada acara yang harus kamu ikuti. Panitia penyelenggara memintamu yang menjadi penari utamanya."

Sebelum turun dan masuk ke rumah, Jelita mengganggukkan kepala. "Aku inget, Pak."

"Bapak yang jemput atau kamu berangkat sendiri?"

"Lihat situasi besok, Pak. Kalau Mas Setiawan libur kerja, aku minta tolong dia saja buat nganter." Jelita menyalami lelaki yang telah dianggap seperti orang tua sendiri.

"Telpon Bapak kalau Wawan nggak bisa antar."

"Enggeh, Pak."

Baru masuk pekarangan rumahnya, Jelita melihat seorang lelaki berkemeja abu-abu. Sedang berbincang dengan orang tua tunggalnya. Jelita melangkah dengan ragu, tak biasanya sang pemimpin dan panutan desa datang berkunjung.

"Lho, Nduk. Kok, sudah pulang? Biasanya sampai malam kalau ada acara hajatan," tanya perempuan yang telah melahirkan Jelita.

"Enggeh, Bu. Jelita lagi nggak enak badan."

"Yo, wis. Masuk dan istirahat, Ibu masih ada perlu sama Pak Pambudi."

"Tunggu, Lit. Bapak juga ada perlu sama kamu," ucap lelaki itu yang tak lain adalah ayah Wandra, Pambudi. Dia melirik ke arah Puspa, ibunya Jelita.

"Boleh saya ngobrol berdua sama Nak Jelita, Bu?" tanya Pambudi.

"Monggo, Pak. Saya juga masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan." Puspa masuk dan membiarkan putrinya dan Pambudi di teras.

"Duduklah, Lit," pinta Pambudi. Agak lama dia mengamati gadis ayu di depannya. Tidak ada yang salah dan cacat dalam diri Jelita. Lelaki itu datang menemuinya karena desakan sang istri. Pambudi menarik napas sebelum berkata. Andai bukan seorang penari Gandrung, mungkin istrinya akan mempertimbangkan hubungan Jelita dan Wandra.

"Rame tanggapan tarinya?" tanya Pambudi basa-basi sebelum mengatakan inti kedatangannya ke rumah ini.

"Alhamdulillah ada saja, Pak."

"Apa kamu tidak kepikiran untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi? Bapak dengar prestasimu cukup membanggakan apalagi bidang tari."

"Belum ada rencana, Pak. Lagian saya cuma anak seorang buruh cuci. Jika saya kuliah, jelas sangat memberatkan Ibu untuk biaya. Bisa sampai tamat sekolah SMA saja sudah alhamdulillah."

Apa yang dikatakan Jelita memanglah benar. Semenjak bapaknya meninggal, Puspa dan dirinya bahu-membahu bekerja untuk mencukupi semua kebutuhan rumah tangga mereka. Walau ada pamannya yang membantu, tetapi Jelita tak mengandalkan uang bulanan yang diberikan.

"Bagaimana jika Bapak menawarkan bantuan untuk semua biaya kuliahmu sampai lulus, tapi dengan syarat."

Jelita sedikit terkejut, tetapi dia masih mampu menyembunyikannya. "Syarat apa yang harus saya penuhi?"

Pambudi menaikkan garis bibir. Targetnya sebentar lagi akan tercapai. Jelita sudah masuk dalam perangkapnya. "Syaratnya, kamu harus menjauhi Wandra. Bapak tahu kalian punya hubungan sejak lama."

"Maaf, Pak. Saya nggak bisa menerima bantuan tersebut jika syaratnya seperti itu."

Sang gadis sudah menduga bahwa kedatangan Camat itu ada maksud yang berhubungan dengan Wandra. Namun, dia ingin tahu dan mendengarnya langsung dari bibir orang yang dihormatinya.

"Maksud Bapak gini, Lit. Untuk saat ini kalian tidak bisa bersama. Wandra masih kuliah dan Insya Allah kelak akan menjadi seorang pegawai pemerintahan sesuai dengan jurusan yang ditempuh. Jika ingin bersatu bersama Wandra tentu kamu harus sejajar dengannya, baik dari segi ilmu maupun status sosial. Jika kamu cuma tamatan SMA, maaf ... maaf. Keluarga Bapak tidak mungkin bisa menerimamu sebagai menantu, selamanya." Ada penegasan dalam kata selamanya yang diucapkan Pambudi.

Jelita meremas tangannya. Dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Perkataan Pambudi memang tak sekeras dan gamblang seperti istrinya. Namun, kalimat yang disampaikan cukup mampu membuka mata hati sang gadis. Selamanya dia dan sang kekasih tidak akan pernah bersama karena status sosial yang berbeda.

Kini, gadis itu sadar siapa dirinya. Ibarat matahari dan bumi. Jelita dan Wandra tidak akan pernah bersatu walau mereka saling mencintai.

Diam-diam di balik jendela, Puspa menguping pembicaraan keduanya. Dia sendiri juga heran dengan kedatangan sang Camat. Ternyata semua kecurigaannya terjawab. Ada kaitan dengan hubungan putrinya dan Wandra.

'Ibu sudah pernah menasihatimu, Nduk. Jangan dekat-dekat dengan Mas Wandra, tapi kenapa kamu tetap ngeyel.' Kata Puspa dalam hati.

"Jika keinginan Bapak, hanya untuk memutuskan hubungan kami. Njenengan nggak perlu repot-repot mengeluarkan biaya untuk menyekolahkan saya," kata Jelita, "saya cukup tahu diri untuk menjauh dari Mas Wandra, tapi tolong minta Mas Wandra juga untuk menjauh dari hidup saya."

Pambudi menatap gadis di sampingnya dengan tajam. Berani sekali dia berkata seperti itu. Secara tersirat bukankah kalimat yang dia ucapkan mengatakan bahwa putranyalah yang mengejar dan menggoda Jelita.

"Jangan sombong kamu, Lit! Wandra tidak akan mendekatimu, jika kamu tidak menggodanya dengan segala daya tarik tubuh dan keseksian yang kamu miliki." Nada suara Pambudi menggelegar.

"Saya berkata apa adanya, Pak. Mengapa njenengan berpikir seperti itu?" jawab Jelita tak terima. Biarlah dia dianggap tidak sopan. Kenyataan, semua yanh dia katakan adalah suatu kebenaran. "Jika cuma saya yang njenengan minta untuk menjauh, tapi Mas Wandra nggak disuruh. Apakah nggak takut jika beliau akan tetap mendekati saya?"

Merasa kalah omongan, Pambudi pamit pulang. Tanpa menunggu kedatangan Puspa.

"Nduk, kenapa kasar sekali omonganmu. Beliau adalah kerawat desa yang menjadi panutan semua orang. Bahkan bukan cuma desa, tapi kecamatan. Ibu nggak pernah ngajari kamu ngomong selancang ini," peringat Puspa setelah kepergian Pambudi.

"Bu, Lita capek, pengen istirahat," jawab gadis itu.

Jelita masuk ke kamarnya dan menelungkupkan badan. Seperti inikah nasib seorang perempuan miskin seperti dirinya? Selalu dihina dan di rendahkan.

Di tengah tangisannya, ponselnya berbunyi.

[Temui aku di tempat biasa jika kamu masih ingin melihatku hidup.]

Seketika mata Jelita menghentikan tangisannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status