Happy Reading
*****"Saya memang seorang penari Gandrung, tapi nggak jual diri demi mendapatkan banyak uang. Ingat itu, Pak." Jelita menjauh dari acara tersebut. Perlahan musik mulai mengalun lagi walau dengan penari pengganti.Di rumah sang pemilik hajatan, Jelita dan pemilik sanggar itu meminta maaf karena sudah mengacaukan acara mereka."Nggak masalah, Mbak. Mungkin tamu saya yang kebangetan," ucap sang pemilik hajat."Saya tidak bisa melanjutkan acara ini dengan penarinya Jelita. Bagi saya sebagai pemimpin sanggar, kenyamanan dan keamanan para menari adalah yang utama. Tolong sampaikan pada tamu Bapak bahwa semua penari di sanggar saya tidak melakukan pekerjaan sampingan selain menari. Tidak ada istilah menemani tamu laki-laki walau telah mendapat selendang dari penari," kata pria dengan kisaran umur 50 tahunan."Saya ngerti, Pak. Sekali lagi, tolong maafkan kelakuan tamu saya." Pria dengan baju batik itu menangkupkan kedua tangannya.Setelah berpamitan pada sang pemilik hajatan, Jelita dengan diantar oleh pemimpinnya pulang. Lebih baik seperti itu, daripada dia harus mendapat hinaan dan cemoohan."Lit, Bapak minta maaf atas kejadian tadi," ucap Sularso sebagai pemimpin sanggar. "Jangan lupa, besok ada acara yang harus kamu ikuti. Panitia penyelenggara memintamu yang menjadi penari utamanya."Sebelum turun dan masuk ke rumah, Jelita mengganggukkan kepala. "Aku inget, Pak.""Bapak yang jemput atau kamu berangkat sendiri?""Lihat situasi besok, Pak. Kalau Mas Setiawan libur kerja, aku minta tolong dia saja buat nganter." Jelita menyalami lelaki yang telah dianggap seperti orang tua sendiri."Telpon Bapak kalau Wawan nggak bisa antar.""Enggeh, Pak."Baru masuk pekarangan rumahnya, Jelita melihat seorang lelaki berkemeja abu-abu. Sedang berbincang dengan orang tua tunggalnya. Jelita melangkah dengan ragu, tak biasanya sang pemimpin dan panutan desa datang berkunjung."Lho, Nduk. Kok, sudah pulang? Biasanya sampai malam kalau ada acara hajatan," tanya perempuan yang telah melahirkan Jelita."Enggeh, Bu. Jelita lagi nggak enak badan.""Yo, wis. Masuk dan istirahat, Ibu masih ada perlu sama Pak Pambudi.""Tunggu, Lit. Bapak juga ada perlu sama kamu," ucap lelaki itu yang tak lain adalah ayah Wandra, Pambudi. Dia melirik ke arah Puspa, ibunya Jelita."Boleh saya ngobrol berdua sama Nak Jelita, Bu?" tanya Pambudi."Monggo, Pak. Saya juga masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan." Puspa masuk dan membiarkan putrinya dan Pambudi di teras."Duduklah, Lit," pinta Pambudi. Agak lama dia mengamati gadis ayu di depannya. Tidak ada yang salah dan cacat dalam diri Jelita. Lelaki itu datang menemuinya karena desakan sang istri. Pambudi menarik napas sebelum berkata. Andai bukan seorang penari Gandrung, mungkin istrinya akan mempertimbangkan hubungan Jelita dan Wandra."Rame tanggapan tarinya?" tanya Pambudi basa-basi sebelum mengatakan inti kedatangannya ke rumah ini."Alhamdulillah ada saja, Pak.""Apa kamu tidak kepikiran untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi? Bapak dengar prestasimu cukup membanggakan apalagi bidang tari.""Belum ada rencana, Pak. Lagian saya cuma anak seorang buruh cuci. Jika saya kuliah, jelas sangat memberatkan Ibu untuk biaya. Bisa sampai tamat sekolah SMA saja sudah alhamdulillah."Apa yang dikatakan Jelita memanglah benar. Semenjak bapaknya meninggal, Puspa dan dirinya bahu-membahu bekerja untuk mencukupi semua kebutuhan rumah tangga mereka. Walau ada pamannya yang membantu, tetapi Jelita tak mengandalkan uang bulanan yang diberikan."Bagaimana jika Bapak menawarkan bantuan untuk semua biaya kuliahmu sampai lulus, tapi dengan syarat."Jelita sedikit terkejut, tetapi dia masih mampu menyembunyikannya. "Syarat apa yang harus saya penuhi?"Pambudi menaikkan garis bibir. Targetnya sebentar lagi akan tercapai. Jelita sudah masuk dalam perangkapnya. "Syaratnya, kamu harus menjauhi Wandra. Bapak tahu kalian punya hubungan sejak lama.""Maaf, Pak. Saya nggak bisa menerima bantuan tersebut jika syaratnya seperti itu."Sang gadis sudah menduga bahwa kedatangan Camat itu ada maksud yang berhubungan dengan Wandra. Namun, dia ingin tahu dan mendengarnya langsung dari bibir orang yang dihormatinya."Maksud Bapak gini, Lit. Untuk saat ini kalian tidak bisa bersama. Wandra masih kuliah dan Insya Allah kelak akan menjadi seorang pegawai pemerintahan sesuai dengan jurusan yang ditempuh. Jika ingin bersatu bersama Wandra tentu kamu harus sejajar dengannya, baik dari segi ilmu maupun status sosial. Jika kamu cuma tamatan SMA, maaf ... maaf. Keluarga Bapak tidak mungkin bisa menerimamu sebagai menantu, selamanya." Ada penegasan dalam kata selamanya yang diucapkan Pambudi.Jelita meremas tangannya. Dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Perkataan Pambudi memang tak sekeras dan gamblang seperti istrinya. Namun, kalimat yang disampaikan cukup mampu membuka mata hati sang gadis. Selamanya dia dan sang kekasih tidak akan pernah bersama karena status sosial yang berbeda.Kini, gadis itu sadar siapa dirinya. Ibarat matahari dan bumi. Jelita dan Wandra tidak akan pernah bersatu walau mereka saling mencintai.Diam-diam di balik jendela, Puspa menguping pembicaraan keduanya. Dia sendiri juga heran dengan kedatangan sang Camat. Ternyata semua kecurigaannya terjawab. Ada kaitan dengan hubungan putrinya dan Wandra.'Ibu sudah pernah menasihatimu, Nduk. Jangan dekat-dekat dengan Mas Wandra, tapi kenapa kamu tetap ngeyel.' Kata Puspa dalam hati."Jika keinginan Bapak, hanya untuk memutuskan hubungan kami. Njenengan nggak perlu repot-repot mengeluarkan biaya untuk menyekolahkan saya," kata Jelita, "saya cukup tahu diri untuk menjauh dari Mas Wandra, tapi tolong minta Mas Wandra juga untuk menjauh dari hidup saya."Pambudi menatap gadis di sampingnya dengan tajam. Berani sekali dia berkata seperti itu. Secara tersirat bukankah kalimat yang dia ucapkan mengatakan bahwa putranyalah yang mengejar dan menggoda Jelita."Jangan sombong kamu, Lit! Wandra tidak akan mendekatimu, jika kamu tidak menggodanya dengan segala daya tarik tubuh dan keseksian yang kamu miliki." Nada suara Pambudi menggelegar."Saya berkata apa adanya, Pak. Mengapa njenengan berpikir seperti itu?" jawab Jelita tak terima. Biarlah dia dianggap tidak sopan. Kenyataan, semua yanh dia katakan adalah suatu kebenaran. "Jika cuma saya yang njenengan minta untuk menjauh, tapi Mas Wandra nggak disuruh. Apakah nggak takut jika beliau akan tetap mendekati saya?"Merasa kalah omongan, Pambudi pamit pulang. Tanpa menunggu kedatangan Puspa."Nduk, kenapa kasar sekali omonganmu. Beliau adalah kerawat desa yang menjadi panutan semua orang. Bahkan bukan cuma desa, tapi kecamatan. Ibu nggak pernah ngajari kamu ngomong selancang ini," peringat Puspa setelah kepergian Pambudi."Bu, Lita capek, pengen istirahat," jawab gadis itu.Jelita masuk ke kamarnya dan menelungkupkan badan. Seperti inikah nasib seorang perempuan miskin seperti dirinya? Selalu dihina dan di rendahkan.Di tengah tangisannya, ponselnya berbunyi.[Temui aku di tempat biasa jika kamu masih ingin melihatku hidup.]Seketika mata Jelita menghentikan tangisannya.Happy Reading*****Hari mulai gelap ketika Jelita sampai pada alamat yang dikirimkan Wandra. Ya, lelaki yang mengiriminya chat dengan ancaman itu adalah sang kekasih. Melihat sekeliling yang cukup sepi, gadis itu mulai bergidik ngeri. Sebuah perumahan yang baru beberapa buah ditempati, berada lumayan jauh dari desanya. Entah milik siapa, kediaman itu. Jelita tak ambil pusing. Dia segera menekan bel yang berada di luar pagar. Khawatir jika Wandra nekat melakukan hal-hal tak diinginkan. Sedikit menaikkan garis bibir, Wandra membukakan pintu pagar. "Selamat datang, Sayang. Kamu nggak kesulitan mencari alamat yang aku tulis tadi, kan?"Dari ujung kaki hingga ujung kepala, Jelita memeriksa keadaan kekasihnya. "Mas, kamu baik-baik saja?""Iya, aku baik-baik saja." Si pria merentangkan tangan. Memutar badan agar sang kekasih bisa melihat keadaannya. "Lalu, kenapa Mas?""Itu karena, aku mau kamu datang ke sini. Kalau nggak ada ancaman, kamu nggak bakalan jauh-jauh datang menemuiku.""Ngga
Happy Reading*****Wandra pulang dengan wajah semringah karena rencananya telah berhasil bahkan sapaan mamanya tak dihiraukan. Dia terus berjalan ke arah kamarnya. Segera menghubungi sang kekasih. Namun panggilannya belum juga terjawab.Sementara di rumah, jelita sudah bersiap pergi melakukan tugasnya sebagai penari. Ada acara yang harus dia datangi sebagai penari utama sanggar milik Sularso. Walau kepalanya masih sangat berat, gadis itu mengabaikannya. Sesampainya di ruang tamu, Setiawan sedang meminum teh yang dibuatkan oleh bibinya."Kamu baik-baik saja, Lit?""Baik, Mas. Cuma agak pusing sedikit. Entah mengapa padahal semalam aku baik-baik saja. Ayo berangkat sekarang, Mas. Nggak enak kalau sampai Bapak nunggu. Kemarin, dia sudah mewanti-wanti supaya aku nggak telat." Jelita memanggil ibunya yang masih sibuk di dapur. Tentu saja dengan segala kesibukannya mencuci pakaian para tetangga yang meminta bantuannya."Kalian sudah mau berangkat?" Puspa mengulurkan tangannya agar dicium o
Happy Reading*****Inilah keputusan Jelita. Jemarinya lincah menuliskan sesuatu pada kertas di dalam map yang diberikan Pambudi. Setelahnya, gadis itu menyerahkan map yang sudah diisi kepada Pak Camat. "Silakan ambil, Pak. Saya harap njenengan lega setelah melihatnya. Maaf, saya harus mengganti baju. Tolong tinggalkan saya sendirian."Secara sadar, Pambudi telah diremehkan oleh gadis di depannya. Sebagai seorang camat, dia diusir secara halus. Namun, melihat apa yang dilakukan Jelita tadi, dia tersenyum. Walau belum dilihatnya sama sekali. "Baik, Bapak akan pergi. Terima kasih sudah memenuhi semua keinginan Bapak. Semoga kamu bisa menemukan seorang lelaki yang bisa menerima profesimu saat ini." Pambudi keluar ruangan itu dengan perasaan lega. Sepeninggal Pambudi, Jelita mulai melepaskan ornamen dan hiasan serta jepit yang terpasang pada tubuhnya. Dia melakukannya dengan cepat karena tak mau sang kekasih menunggu lama. Beberapa menit kemudian Jelita keluar. Berharap sang kekasih t
Happy Reading****Keluar dari kediaman keluarga Wandra dengan penuh air mata, lengan Jelita ditarik Setiawan. "Mau berapa kali kamu akan menyakiti dirimu sendiri? Sudah tahu kalian nggak mungkin bersama. Kenapa masih ngeyel?" bentak Setiawan, "ayo pulang!""Mas Wawan kenapa bisa ada di sini?" kata Jelita tergagap. Belum selesai dengan pengakuan Wandra tadi. Kini, kehadiran Setiawan malah membuatnya bingung. "Aku sengaja mengikutimu. Mas, nggak mau kamu ambil resiko berbahaya lagi. Ayo naik," perintah Setiawan kasar dan sedikit memaksa. Jelita yang memang sedang kalut menurut saja pada permintaan sepupunya. Sepanjang perjalanan, hanya isakan yang terdengar oleh indera Setiawan. Sungguh membuat lelaki itu miris dan jengkel sekaligus. Mengapa bisa Jelita dibutakan oleh cinta. Jelas-jelas dirinya dan Wandra tidak bisa bersama. "Mas bisa nggak kalau kita nggak pulang dulu?""Pengen ke mana?""Pengen ke taman. Setidaknya, mataku nggak sembab dan mengeluarkan air lagi. Kasihan Ibu jika
Happy Reading*****Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra. "Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima. "Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada. "Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam. Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya. Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif
Happy Reading*****"Siapa namanya?""Nama lengkapnya aku nggak Tahu, Lit. Cuma para atasan sering banget manggil Wandra."Jantung Jelita serasa copot mendengar nama itu disebut. Setelah sekian lama baru kali ini ada yang memanggil nama itu. Meneguhkan hati bahwa belum tentu adalah orang yang sama. Jelita tersenyum kecut menatap Mahesa. "Oh," jawab Jelita."Ada yang aneh dengan nama itu? Kenapa mukamu langsung berubah. Jangan-jangan kamu punya hubungan spesial dengan seseorang bernama Wandra. Bener gitu, Non?"Jelita merutuki dirinya sendiri karena telah bereaksi berlebihan tadi. Harusnya, dia ingat bahwa Mahesa terlalu peka dengan orang di sekitarnya. Apalagi jika menyangkut tentangnya. Bukan tidak tahu dengan segala perhatian yang diberikan cowok itu selama ini. Namun, hati Jelita telah membeku, baginya urusan cinta menjadi nomor kesekian. "Ditanya malah melamun. Pacarmu namanya Wandra, ya?"Seketika Jelita menggeleng. "Sembarangan kamu, Mas. Mana ada aku punya pacar. Emang kamu l
Happy Reading*****Selain bekerja, di kita Yogyakarta ini, Wandra juga terus berusaha mencari keberadaan Jelita. Hampir seminggu, tetapi jejak sang gadis masih belum terdeteksi sama sekali. Harus dengan cara apalagi lelaki itu mengetahui keberadaan kekasihnya.Tak banyak yang Wandra minta, cukup bisa bertemu dengan Jelita dan bertanya tentang kebenaran surat itu. Jika memang benar Jelita sudah menikah dan bahagia dengan lelaki pilihannya, mungkin Wandra akan mundur. Namun, dia tak akan pernah berniat melupakan gadis itu. Biarlah tak menikah selamanya jika bukan dengan Jelita. Itulah prinsipnya. Wandra mengaduk-aduk jus jeruk yang sejak tadi ada di hadapannya. Sementara, sahabatnya yang tak lain adalah Mahesa masih menerima telepon. Sejak tadi, Mahesa terus saja tertawa dan berkata-kata romantis, seolah-olah orang yang diajaknya bicara adalah kekasihnya. Makan siang mereka jadi terganggu akibat perbuatan masing-masing. "Ngelamun terooss," goda Mahesa melihat pandangan kosong lelaki
Happy Reading*****Suara sorak sorai dan tepukan tangan menggema seantero gedung bahkan sampai keluar. Wandra mematung di tempatnya berdiri. Segera masuk kembali ingin melihat siapa sebenarnya yang membawakan tarian khas tanah kelahirannya sampai seluruh penonton bertepuk tangan. Akan tetapi, sesampainya di dalam gedung kembali. Sang penari telah turun dari panggung. "Kenapa seperti orang bingung, Ndra? Ada yang sedang kamu cari?" tanya Shinta. Perempuan itu memegang lengan si lelaki yang sudah dianggap ponakan sendiri. "Iya, Tan. Saya penasaran sama tarian yang dibawakan penari barusan. Apa tarian Gandrung yang berasal dari Banyuwangi?" tanya Wandra."Iya benar. Memang tari Gandrung yang dibawakan barusan." Shinta mengerutkan kening. Mencoba membaca apa yang sedang Wandra pikirkan. "Siapa penarinya, Tan?""Salah satu pengajar di sanggar Tante. Mahasiswa di perguruan tinggi Seni fakultas seni pertunjukan program studi tari," jelas Shinta panjang lebar seolah dia ingin menunjukkan