Home / Romansa / Sang Penari Pujaan Hati / 2. Nasib Gadis Miskin

Share

2. Nasib Gadis Miskin

Author: pramudining
last update Last Updated: 2022-10-14 19:11:44

Happy Reading

*****

"Saya memang seorang penari Gandrung, tapi nggak jual diri demi mendapatkan banyak uang. Ingat itu, Pak." Jelita menjauh dari acara tersebut. Perlahan musik mulai mengalun lagi walau dengan penari pengganti.

Di rumah sang pemilik hajatan, Jelita dan pemilik sanggar itu meminta maaf karena sudah mengacaukan acara mereka.

"Nggak masalah, Mbak. Mungkin tamu saya yang kebangetan," ucap sang pemilik hajat.

"Saya tidak bisa melanjutkan acara ini dengan penarinya Jelita. Bagi saya sebagai pemimpin sanggar, kenyamanan dan keamanan para menari adalah yang utama. Tolong sampaikan pada tamu Bapak bahwa semua penari di sanggar saya tidak melakukan pekerjaan sampingan selain menari. Tidak ada istilah menemani tamu laki-laki walau telah mendapat selendang dari penari," kata pria dengan kisaran umur 50 tahunan.

"Saya ngerti, Pak. Sekali lagi, tolong maafkan kelakuan tamu saya." Pria dengan baju batik itu menangkupkan kedua tangannya.

Setelah berpamitan pada sang pemilik hajatan, Jelita dengan diantar oleh pemimpinnya pulang. Lebih baik seperti itu, daripada dia harus mendapat hinaan dan cemoohan.

"Lit, Bapak minta maaf atas kejadian tadi," ucap Sularso sebagai pemimpin sanggar. "Jangan lupa, besok ada acara yang harus kamu ikuti. Panitia penyelenggara memintamu yang menjadi penari utamanya."

Sebelum turun dan masuk ke rumah, Jelita mengganggukkan kepala. "Aku inget, Pak."

"Bapak yang jemput atau kamu berangkat sendiri?"

"Lihat situasi besok, Pak. Kalau Mas Setiawan libur kerja, aku minta tolong dia saja buat nganter." Jelita menyalami lelaki yang telah dianggap seperti orang tua sendiri.

"Telpon Bapak kalau Wawan nggak bisa antar."

"Enggeh, Pak."

Baru masuk pekarangan rumahnya, Jelita melihat seorang lelaki berkemeja abu-abu. Sedang berbincang dengan orang tua tunggalnya. Jelita melangkah dengan ragu, tak biasanya sang pemimpin dan panutan desa datang berkunjung.

"Lho, Nduk. Kok, sudah pulang? Biasanya sampai malam kalau ada acara hajatan," tanya perempuan yang telah melahirkan Jelita.

"Enggeh, Bu. Jelita lagi nggak enak badan."

"Yo, wis. Masuk dan istirahat, Ibu masih ada perlu sama Pak Pambudi."

"Tunggu, Lit. Bapak juga ada perlu sama kamu," ucap lelaki itu yang tak lain adalah ayah Wandra, Pambudi. Dia melirik ke arah Puspa, ibunya Jelita.

"Boleh saya ngobrol berdua sama Nak Jelita, Bu?" tanya Pambudi.

"Monggo, Pak. Saya juga masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan." Puspa masuk dan membiarkan putrinya dan Pambudi di teras.

"Duduklah, Lit," pinta Pambudi. Agak lama dia mengamati gadis ayu di depannya. Tidak ada yang salah dan cacat dalam diri Jelita. Lelaki itu datang menemuinya karena desakan sang istri. Pambudi menarik napas sebelum berkata. Andai bukan seorang penari Gandrung, mungkin istrinya akan mempertimbangkan hubungan Jelita dan Wandra.

"Rame tanggapan tarinya?" tanya Pambudi basa-basi sebelum mengatakan inti kedatangannya ke rumah ini.

"Alhamdulillah ada saja, Pak."

"Apa kamu tidak kepikiran untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi? Bapak dengar prestasimu cukup membanggakan apalagi bidang tari."

"Belum ada rencana, Pak. Lagian saya cuma anak seorang buruh cuci. Jika saya kuliah, jelas sangat memberatkan Ibu untuk biaya. Bisa sampai tamat sekolah SMA saja sudah alhamdulillah."

Apa yang dikatakan Jelita memanglah benar. Semenjak bapaknya meninggal, Puspa dan dirinya bahu-membahu bekerja untuk mencukupi semua kebutuhan rumah tangga mereka. Walau ada pamannya yang membantu, tetapi Jelita tak mengandalkan uang bulanan yang diberikan.

"Bagaimana jika Bapak menawarkan bantuan untuk semua biaya kuliahmu sampai lulus, tapi dengan syarat."

Jelita sedikit terkejut, tetapi dia masih mampu menyembunyikannya. "Syarat apa yang harus saya penuhi?"

Pambudi menaikkan garis bibir. Targetnya sebentar lagi akan tercapai. Jelita sudah masuk dalam perangkapnya. "Syaratnya, kamu harus menjauhi Wandra. Bapak tahu kalian punya hubungan sejak lama."

"Maaf, Pak. Saya nggak bisa menerima bantuan tersebut jika syaratnya seperti itu."

Sang gadis sudah menduga bahwa kedatangan Camat itu ada maksud yang berhubungan dengan Wandra. Namun, dia ingin tahu dan mendengarnya langsung dari bibir orang yang dihormatinya.

"Maksud Bapak gini, Lit. Untuk saat ini kalian tidak bisa bersama. Wandra masih kuliah dan Insya Allah kelak akan menjadi seorang pegawai pemerintahan sesuai dengan jurusan yang ditempuh. Jika ingin bersatu bersama Wandra tentu kamu harus sejajar dengannya, baik dari segi ilmu maupun status sosial. Jika kamu cuma tamatan SMA, maaf ... maaf. Keluarga Bapak tidak mungkin bisa menerimamu sebagai menantu, selamanya." Ada penegasan dalam kata selamanya yang diucapkan Pambudi.

Jelita meremas tangannya. Dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Perkataan Pambudi memang tak sekeras dan gamblang seperti istrinya. Namun, kalimat yang disampaikan cukup mampu membuka mata hati sang gadis. Selamanya dia dan sang kekasih tidak akan pernah bersama karena status sosial yang berbeda.

Kini, gadis itu sadar siapa dirinya. Ibarat matahari dan bumi. Jelita dan Wandra tidak akan pernah bersatu walau mereka saling mencintai.

Diam-diam di balik jendela, Puspa menguping pembicaraan keduanya. Dia sendiri juga heran dengan kedatangan sang Camat. Ternyata semua kecurigaannya terjawab. Ada kaitan dengan hubungan putrinya dan Wandra.

'Ibu sudah pernah menasihatimu, Nduk. Jangan dekat-dekat dengan Mas Wandra, tapi kenapa kamu tetap ngeyel.' Kata Puspa dalam hati.

"Jika keinginan Bapak, hanya untuk memutuskan hubungan kami. Njenengan nggak perlu repot-repot mengeluarkan biaya untuk menyekolahkan saya," kata Jelita, "saya cukup tahu diri untuk menjauh dari Mas Wandra, tapi tolong minta Mas Wandra juga untuk menjauh dari hidup saya."

Pambudi menatap gadis di sampingnya dengan tajam. Berani sekali dia berkata seperti itu. Secara tersirat bukankah kalimat yang dia ucapkan mengatakan bahwa putranyalah yang mengejar dan menggoda Jelita.

"Jangan sombong kamu, Lit! Wandra tidak akan mendekatimu, jika kamu tidak menggodanya dengan segala daya tarik tubuh dan keseksian yang kamu miliki." Nada suara Pambudi menggelegar.

"Saya berkata apa adanya, Pak. Mengapa njenengan berpikir seperti itu?" jawab Jelita tak terima. Biarlah dia dianggap tidak sopan. Kenyataan, semua yanh dia katakan adalah suatu kebenaran. "Jika cuma saya yang njenengan minta untuk menjauh, tapi Mas Wandra nggak disuruh. Apakah nggak takut jika beliau akan tetap mendekati saya?"

Merasa kalah omongan, Pambudi pamit pulang. Tanpa menunggu kedatangan Puspa.

"Nduk, kenapa kasar sekali omonganmu. Beliau adalah kerawat desa yang menjadi panutan semua orang. Bahkan bukan cuma desa, tapi kecamatan. Ibu nggak pernah ngajari kamu ngomong selancang ini," peringat Puspa setelah kepergian Pambudi.

"Bu, Lita capek, pengen istirahat," jawab gadis itu.

Jelita masuk ke kamarnya dan menelungkupkan badan. Seperti inikah nasib seorang perempuan miskin seperti dirinya? Selalu dihina dan di rendahkan.

Di tengah tangisannya, ponselnya berbunyi.

[Temui aku di tempat biasa jika kamu masih ingin melihatku hidup.]

Seketika mata Jelita menghentikan tangisannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Penari Pujaan Hati   122. Menua Bersama

    Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per

  • Sang Penari Pujaan Hati   121. Panik 2

    Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya

  • Sang Penari Pujaan Hati   120. Panik

    Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg

  • Sang Penari Pujaan Hati   119. Pangeran Kecil

    Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon

  • Sang Penari Pujaan Hati   118. Bayi Mungil

    Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu

  • Sang Penari Pujaan Hati   117. Positif Hamil

    Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status