Rumor negatif mengenai profesi penari dan juga strata sosial yang berbeda menjadi alasan utama Jelita tidak mendapat restu dari keluarga Wandra Danurweda, kekasihnya. Walau demikian, Wandra tetap berusaha mendapatkan restu demi bisa bersama dengan Jelita. Tindakan nekat menghamili kekasihnya adalah salah satu caranya. Lalu, berhasilkah keduanya bersatu dalam ikatan pernikahan atau justru kisah mereka kandas di tengah jalan dan menghilang ditelan waktu?
ดูเพิ่มเติมHappy Reading
*****Alunan musik tradisional khas kota Banyuwangi mengiringi tarian seorang perempuan bermahkotakan omprok dengan ornamen tokoh Antasena. Salah satu tokoh pewayangan. Tangan kanannya memegang kipas, sedangkan tangan kirinya memainkan sampur yang menggantung pada leher. Pinggulnya bergoyang selaras dengan perpindahan kaki dan gerakan bahu.Dialah Jelita, sang penari Gandrung yang cukup terkenal di desa ini.Wandra menatap sang kekasih penuh kekaguman walaupun di sampingnya ada perempuan yang selalu menentang hubungan mereka. Tak masalah, dia sudah menuruti semua kemauan orang tuanya. Suatu saat kelak, dia akan menagih janji mereka."Apa perempuan seperti itu yang akan menjadi menantu Mama? Menjijikkan," ucap perempuan dengan dress berbahan brokat dan rambut disanggul bawah."Kenapa mesti merasa jijik, Ma? Jelita, hanya menyalurkan bakat dan alhamdulillah, dia bisa membantu perekonomian keluarganya dari hasil menari," bela Wandra."Kamu nggak lihat banyak lelaki yang menari bersamanya. Memandang dengan sangat buas pada setiap lekukan tubuh. Di mana harga diri sebagai perempuan kalau sudah seperti itu. Tubuhnya menjadi konsumsi publik. Kita ini keluarga terpandang dan berpendidikan, Dra. Jangan membuat malu dengan menjalin hubungan dengan gadis seperti itu." Ajeng Candra Ningsih menatap tajam ke arah putranya."Ma, kita sering bahas masalah ini. Aku juga sudah menuruti semua kemauan Mama dan Papa. Mengambil kuliah sesuai jurusan yang kalian mau. Lalu, apakah sekarang tentang urusan asmara dan jodoh kalian juga akan mengaturnya?""Lihat itu?" tunjuk Ajeng pada Jelita."Gadis yang nggak bisa menjaga diri yang akan kamu nikahi? Mama nggak sudi, Dra."Mata Wandra membulat sempurna. Seorang pria dewasa tengah menari dengan penuh gairah. Sesekali tangannya terlihat akan menyilipkan uang saweran pada kemban yang dikenakan sang kekasih. Wandra tak bisa diam saja saat pujaannya diperlakukan seperti itu."Eh, Mas. Jangan asal nyerobot, budayakan antri. Jika belum mendapat selendang dari penari, ya, diem dulu," kata si lelaki menghalangi Wandra untuk menari bersama kekasihnya.Jelita mulai tidak fokus. Memang sudah menjadi tahapan dalam tarian Gandrung, jika sudah selesai acara jejer. Maka penari akan memberikan selendang pada para tamu untuk menari bersama dengan gerakan menggoda. Biasanya tamu yang pertama kali mendapat selendang adalah tamu penting dalam acara tersebut."Nggak bisa. Saya juga adalah salah satu tamu penting dalam acara ini. Sampeyan itu sopo sampai berani berkata keras pada saya? Belum tahu saya siapa, ya?" balas Wandra tak kalah sengit.Masih dengan gerakan pinggul dan permainan kipas di tangan, Jelita mengembuskan nafas panjang. Mengapa lelaki yang berstatus kekasihnya ini tidak mau mengerti posisinya sekarang.Tanpa diduga, Wandra yang sudah berada pada jarak dekat dengan Jelita. Ketika wajahnya sudah akan menyentuh pipi perempuan itu, lengannya dicekal oleh seseorang. Tamparan keras mendarat di pipi."Pulang, Ndra. Malu-maluin Mama saja kamu ini.""Mama!" bentak Wandra keras.Seluruh tamu undangan pada acara resepsi pernikahan salah satu orang ternama di kota ini menatap ke arah ibu dan anak itu. Bisik-bisik pun berdengung, sementara Jelita tak lagi menghiraukan perdebatan yang terjadi. Walau ada luka tak kasat mata, tetapi dia tetap harus menjalankan tugasnya sebagai penari, menghibur semua tamu undangan.Satu jam sebelum acara itu dimulai, perempuan yang telah menampar Wandra di depan umum itu sudah mendatanginya di ruangan khusus. Tempat untuk merias dan berganti pakaian para pemain serta penari gandrung."Harusnya kamu nggak hadir pada acara ini, Lit. Saya sudah memperingatkanmu untuk tidak menampakkan wajah di depan Wandra. Apa peringatan itu masih kurang jelas?"Jelita cuma bisa menatap perempuan pemilik nama Ajeng yang kini berdiri di hadapannya. Matanya mulai merebak, hampir saja aliran deras itu turun membanjiri pipi jika tak ingat bahwa riasannya sudah sempurna. "Saya cuma melaksanakan tugas, Bu. Demi Allah, nggak ada keinginan saya untuk ketemu sama Mas Wandra. Saya juga nggak tahu kalau dia sedang berada di rumah.""Bohong, kamu pasti sudah menelpon putraku dan memberitahu bahwa kamu sedang menari di acara ini. Kalau tidak, mana mungkin dia ngotot ingin menghadiri resepsi pernikahan teman yang selalu membuatnya jengkel.""Maaf, Bu. Saya harus segera bersiap. Sebentar lagi sudah waktunya saya menari." Jelita sengaja mengucapkannya. Cara halus agar perempuan itu tak lagi mengomel seperti sekarang."Dasar penari murahan, nggak punya etika sama sekali. Orang tua masih ngomong malah ditinggal."Jelita, hanya bisa mengelus dada. Membiarkan perempuan itu keluar.Sekarang, di saat tariannya sedang berlangsung. Sosok Wandra berhasil mengacau dan Ajeng pasti akan semakin membencinya. Sejak dulu, perempuan yang telah melahirkan Wandra itu memang tak pernah menyetujui hubungan mereka.Jelita dengan status sosial yang biasa saja dan Wandra dengan segala kekayaan serta jabatan dari kedua orang tuanya. Belum lagi profesi yang mulai digeluti perempuan itu makin menambah kesenjangan di antara keduanya. Sebuah jalinan cinta yang tak akan pernah mudah untuk bisa bersatu dalam ikatan suci bernama pernikahan.Bukan tak mendengar bisik-bisik dari para tamu yang mengejek tentangnya. Jelita, hanya ingin bersikap profesional. Mungkin bagi sebagian orang di kota itu, profesi sebagai penari Gandrung adalah hal yang sangat negatif.Makin banyak lelaki yang ingin menari dengan Jelita. Selain wajah yang cantik dan bentuk tubuh seksi, tarian gadis itu juga sangat luwes. Menggiurkan bagi sebagian kaum Adam untuk terus mendekatinya.Salah seorang tamu bahkan terlihat antusias menari lebih dekat dengan Jelita."Setelah menari, apa kamu mau ikut aku bermalam di hotel?" bisiknya ketika si lelaki berhasil mendekatkan wajah pada telinga sang penari.Berusaha terus memainkan kipas dan sampur, Jelita membalas ucapan lelaki itu. "Maaf, saya bukan penari yang seperti itu. Anda sudah salah menafsirkan profesi saya.""Halah! Nggak usah munafik. Semua penari Gandrung itu bisa di booking. Kenapa mesti jual mahal? Aku berani bayar tinggi untuk malam panjang kita," katanya masih tak mau menyerah.Jelita langsung mendorong lelaki itu dan melemparkan selendang pada tamu lain. Sorot mata sang lelaki tajam menguliti seluruh tubuh sang penari."Jangan main-main denganku, cantik. Habis kamu hari ini," ancam lelaki itu berani dan setelahnya dia mengamuk pada pemilik acara. Berteriak keras mengatakan bahwa pelayanan dalam acara itu tak memuaskan sama sekali.Para penabuh menghentikan alunan musik yang mengiringi Jelita pun demikian dengan gadis itu. Berhenti menari dan ketakutan.Salah satu dari penabuh sekaligus pemilik sanggar yang menaungi Jelita, maju mendekati lelaki itu."Pak, tolong jangan begini. Ini adalah pesta resepsi pernikahan. Bukan acara Gandrung yang seperti biasanya.""Anak buahmu sok jual mahal. Kita semua tahu bagaimana sebenarnya kehidupan seorang penari Gandrung?"Sebelum lelaki itu meneruskan ucapannya, satu tamparan melayang di pipinya. Semua mata menatap tajam, berani sekali dia menampar lelaki pemilik nama Bagaskara Andra Wijaya.Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น