Happy Reading*****"Oke, kita bicara di tempat lain," jawab Mahesa tegas. Sengaja mempertahankan wajah datar, tetapi di dalam hati, dia bersorak bahagia. Hubungan spesial yang dimaksud Risma tentu pacaran. Jika dua orang berbeda jenis menawarkan sebuah hubungan spesial tentunya akan menjurus pada hal itu, bukan? Mahesa merasa menang dan terbang ke awang-awang. Jelita pasti sangat kehilangan dengan ketidakhadirannya selama seminggu ini. "Di mana enaknya?" Jelita menampilkan senyum terbaiknya. "Terserah kamulah." Suara Mahesa sedikit melunak walau senyum itu masih belum tampak."Warung biasa kita janjian, ya. Aku laper, Mas. Belum sempat makan mulai pagi," rengek Jelita manja. Persis seperti anak kecil dan hal itulah yang selalu membuat Mahesa tak bisa jauh dari si gadis. "Ya, sudah. Ayo ke sana. Kamu bawa motor, kan?" Walau wajah Mahesa masih datar, tapi suaranya sudah tak sedingin tadi. "Bawa motor punya seseorang yang sangat spesial. Terima kasih sudah meminjamkannya untukku."
Happy Reading*****Suara ketukan dan panggilan dari teman-temannya membuat Jelita membuka mata. Meraih ponsel dan melihat jam. Sudah pukul empat rupanya. Ternyata cukup lama dia tertidur. "Ya, sebentar." Jelita turun dari ranjang dengan muka berantakan. "Lit, ada pangeranmu di depan, nyariin," kata salah satu keman kos Jelita yang berbandan tambun. Jelita menggaruk kepala dan menguap. "Pangeran siapa yang kamu maksud?""Mas ganteng yang biasanya nyariin kamu.""Siapa, sih? Cowok ganteng yang nyariin aku kan banyak. Sebutin nama kenapa. Lagi males mikir, nih. Nyawaku belum jangkep untuk mengingat siapa saja yang pernah ke sini.""Mas Mahesa, elah dasar pikun." Gadis itu menjawab dengan jengkel."Suruh tunggu sebentar, aku mau mandi sama salat.""Ya."Kurang dari lima belas menit, Jelita sudah menemui Mahesa di teras kosnya. Pada sebuah bangku di pojok kanan pintu keluar. Kos Jelita memang tidak memperbolehkan seorang lelaki masuk sehingga setiap ada tamu lelaki datang, pasti menung
Happy Reading*****"Hati-hati kalau makan, Mas. Keselek gini kan sakit." Jelita berdiri dan mengelus punggung Mahesa. Hati si lelaki menghangat. Andai Jelita mau menerima cintanya pasti dia orang yang paling bahagia. "Sudah ... sudah. Kayak anak kecil saja. Aku nggak bakal mati cuma karena kesedak." Mahesa mengibaskan tangan Jelita dari punggungnya. Merutuki dirinya sendiri saat melihat kekecewaan di wajah gadisnya. "Bisa nggak kalau ngomong dipikir dulu. Ngapain bawa-bawa kematian. Emangnya sudah banyak bekal buat akhirat nanti? Sembarangan aja kalau ngomong." Jelita kembali duduk, tetapi pandangannya tak lagi mau menatap Mahesa. "Aku cuma khawatir sama kaget aja tadi. Lagian kenapa, sih? Mas tahu salon Kencana, ya atau kenal sama pemiliknya? Bisa, dong, direkomendasikan biar aku dapat diskon.""Nggak. Aku nggak tahu dan nggak kenal siapa pemiliknya." Tatapan Mahesa tajam. Setelah pulang dari restoran, dia harus meminta maaf oada bundanya karena tidak mengakui keberadaan perempuan
Happy Reading. *****Malam menjelang, Jelita sudah akan merebahkan tubuhnya, lelah setelah beraktivitas seharian. Ponselnya berdering nyaring. Nomer tak tak dikenal terlihat di layar. Dibiarkan saja ponsel itu berdering hingga mati sendiri. Jelita terlalu takut untuk menerima panggilan nomor tak dikenal. Jaman sudah semakin canggih, penipuan melalui telepon juga semakin merajalela. Jika memang penting, orang yang menghubungi tadi pasti mengirim chat padanya. Begitulah pikiran Jelita. Namun, beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Terus berulang seperti itu hingga dia yakin bahwa orang yang menghubungi saat ini pastilah punya kepentingan padanya. "Halo," sapa Jelita."Halo, selamat malam. Apakah benar dengan Jelita Putri?" tanya seorang perempuan di seberang sana. "Benar saya sendiri. Ini dengan siapa, ya?" tanya balik Jelita. "Saya Kenis Putri Sasongko. Salah satu staf pengajar yang nanti akan memandu Mbak Jelita kursus merias. Tadi pagi, kita sudah bertemu dan se
Happy Reading*****"Hah!?" jawab Jelita terkejut dengan pertanyaan perempuan cantik di depannya. "Ngapunten, Bu. Maksudnya gimana itu?""Eh, maaf, Mbak. Saya salah ngomong." Candini segera memutar otak mencari alasan yang tepat. Setelah itu, dia pun berkata, "Maksudnya, anak saya mau privat menari sama Mbak. Mohon diterima jadi muridnya. Bisa nggak?"Jelita tampak berpikir, hari ini mengapa begitu banyak tawaran pekerjaan untuknya. Jika dia mengambil semua tawaran itu, tenaganya akan habis terkuras dan konsentrasi kuliah akan berkurang. Dia memang butuh uang untuk segala keperluan hidupnya, tetapi jika sampai menelantarkan tujuannya datang ke kota ini. Ya, tidak mungkin hal itu dilakukannya. "Ngapunten, Bu. Saya nggak bisa memberikan privat buat putrinya. Mungkin, bisa dengan pengajar lain, apa njenengan mau?"Candini berpura-pura kecewa. "Yah, padahal anakku sukanya sama Mbak Jelita.""Maaf, nggih, Bu. Bukannya saya menolak, tapi kalau diterima saya susah bagi waktu. Tadi sudah ada
Happy Reading*****Candini memanggil satu per satu nama dari calon peserta kursus. Tepat pada nama Jelita, dia sengaja pura-pura terkejut."Lho, Mbak ini yang di sanggar tari tadi, bukan?" Aksi Candini kali ini membuat semua orang fokus pada mereka berdua. "Inggih, Bu. Bener itu saya," jawab Jelita disertai anggukan, membenarkan perkataan Candini. "Oh, selamat datang di kelas saya kalau gitu, Mbak." Setelah menyapa Jelita, Candini mengeluarkan modul dari tas yang dibawanya tadi. Membagikan pada para peserta kursus. Materi-materi dasar tentang cara merias sudah disampaikan. Hampir dua jam, Candini menjelaskan semuanya hingga tiba giliran sesi tanya jawab. Ibu dua anak itu sengaja menyalakan kamera ponselnya dan merekam kegiatan kelasnya hari ini. Selesai sesi tanya jawab, Candini membubarkan sesi pertama pertemuan mereka. "Untuk pertemuan selanjutnya, saya harap kalian sudah siap alat make up. Sambil menerangkan fungsi dan cara menggunakan perkakas tempur mempercantik diri, kita
Happy Reading*****"Aku sudah cukup sopan, Kek. Mengapa Papa sama Mama tetap bersikeras menjodohkan kami. Aku nggak suka perjodohan," kata Wandra sedikit melunak melihat kemarahan Wirawan. "Kami datang kemari bukan untuk membicarakan tentang perjodohan, Ndra. Aku bukan pengemis yang selalu mengaharapkan cintamu," tutur gadis bermata biru karena memakai softlens, Arsyana. "Kamu dengar itu, Nda. Bahkan Arsyana sudah nggak peduli lagi tentang perjodohan itu. Kakek, hanya akan membicarakan masalah bisnis. Cepat kamu mandi dan bergabung bersama kami," titah Wirawan yang tak lagi bisa dibantah oleh Wandra. Melangkah malas, Wandra masuk ke kamar. Bukannya langsung mandi, dia malah menghubungi Mahesa sesuai dengan janjinya tadi. "Hei, muka gantengnya kusut banget. Ada apa?" tanya Mahesa ketika wajah Wandra terlihat di layar ponsel. "Males banget aku, Sa. Ada Arsya di bawah," cerita Wandra. "Wah. Diapeli si cantik rupanya. Terus, kenapa jadi males?""Alasan ngomongin usaha, ujung-ujung
Happy Reading*****Di dalam mobil, Mahesa diam cukup lama. Dia seperti melihat hantu saja saat berpapasan dengan Jelita tadi. Apa yang dipikirkan sang gadis pujaan saat melihatnya berpenampilan rapi, sedangkan dia selalu bercerita bahwa pekerjaannya tidak mengharuskan menggukan kemeja dan jas apalagi cuma pegawai rendahan. Mana mungkin menggunakan setelen serapi yang dia kenakan saat ini. Mahesa pun mengumpat dalam hati. Mahesa masih mengamati gerak-gerik Jelita sampai motor miliknya berjalan keluar area parkir. Setelah memastikan sang gadis pergi, dia kembali masuk ke pabrik. Pergi ke ruang HRD. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" kata manajer HRD. Terkejut juga ketika atasannya mendatangi ruangan secara langsung. Biasanya Mahesa, hanya menyuruh asisten pribadinya. Terkait pekerjaan para bawahan. Jarang sekali terjun langsung menemeui di ruangan seperti sekarang. "Hari ini Bapak menerima mahasiswa magang?" tanya Mahesa berwibawa setelah duduk tepat di depan manajer HRD. "Iya, Pak.