Happy Reading*****Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra. "Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima. "Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada. "Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam. Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya. Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif
Happy Reading*****"Siapa namanya?""Nama lengkapnya aku nggak Tahu, Lit. Cuma para atasan sering banget manggil Wandra."Jantung Jelita serasa copot mendengar nama itu disebut. Setelah sekian lama baru kali ini ada yang memanggil nama itu. Meneguhkan hati bahwa belum tentu adalah orang yang sama. Jelita tersenyum kecut menatap Mahesa. "Oh," jawab Jelita."Ada yang aneh dengan nama itu? Kenapa mukamu langsung berubah. Jangan-jangan kamu punya hubungan spesial dengan seseorang bernama Wandra. Bener gitu, Non?"Jelita merutuki dirinya sendiri karena telah bereaksi berlebihan tadi. Harusnya, dia ingat bahwa Mahesa terlalu peka dengan orang di sekitarnya. Apalagi jika menyangkut tentangnya. Bukan tidak tahu dengan segala perhatian yang diberikan cowok itu selama ini. Namun, hati Jelita telah membeku, baginya urusan cinta menjadi nomor kesekian. "Ditanya malah melamun. Pacarmu namanya Wandra, ya?"Seketika Jelita menggeleng. "Sembarangan kamu, Mas. Mana ada aku punya pacar. Emang kamu l
Happy Reading*****Selain bekerja, di kita Yogyakarta ini, Wandra juga terus berusaha mencari keberadaan Jelita. Hampir seminggu, tetapi jejak sang gadis masih belum terdeteksi sama sekali. Harus dengan cara apalagi lelaki itu mengetahui keberadaan kekasihnya.Tak banyak yang Wandra minta, cukup bisa bertemu dengan Jelita dan bertanya tentang kebenaran surat itu. Jika memang benar Jelita sudah menikah dan bahagia dengan lelaki pilihannya, mungkin Wandra akan mundur. Namun, dia tak akan pernah berniat melupakan gadis itu. Biarlah tak menikah selamanya jika bukan dengan Jelita. Itulah prinsipnya. Wandra mengaduk-aduk jus jeruk yang sejak tadi ada di hadapannya. Sementara, sahabatnya yang tak lain adalah Mahesa masih menerima telepon. Sejak tadi, Mahesa terus saja tertawa dan berkata-kata romantis, seolah-olah orang yang diajaknya bicara adalah kekasihnya. Makan siang mereka jadi terganggu akibat perbuatan masing-masing. "Ngelamun terooss," goda Mahesa melihat pandangan kosong lelaki
Happy Reading*****Suara sorak sorai dan tepukan tangan menggema seantero gedung bahkan sampai keluar. Wandra mematung di tempatnya berdiri. Segera masuk kembali ingin melihat siapa sebenarnya yang membawakan tarian khas tanah kelahirannya sampai seluruh penonton bertepuk tangan. Akan tetapi, sesampainya di dalam gedung kembali. Sang penari telah turun dari panggung. "Kenapa seperti orang bingung, Ndra? Ada yang sedang kamu cari?" tanya Shinta. Perempuan itu memegang lengan si lelaki yang sudah dianggap ponakan sendiri. "Iya, Tan. Saya penasaran sama tarian yang dibawakan penari barusan. Apa tarian Gandrung yang berasal dari Banyuwangi?" tanya Wandra."Iya benar. Memang tari Gandrung yang dibawakan barusan." Shinta mengerutkan kening. Mencoba membaca apa yang sedang Wandra pikirkan. "Siapa penarinya, Tan?""Salah satu pengajar di sanggar Tante. Mahasiswa di perguruan tinggi Seni fakultas seni pertunjukan program studi tari," jelas Shinta panjang lebar seolah dia ingin menunjukkan
Happy Reading*****Wandra membulatkan mata dengan perkataan gadisnya. Lalu, dia tersenyum miris. Beginikah sikap Jelita yang sesunguhnya?"Bagus, rupanya ada maling teriak maling. Kamu yang berkhianat, tapi aku yang kamu tuduh," kata Wandra penuh penekanan pada setiap ucapannya. "Harusnya, jika kamu memang ingin menikah, maka katakan langsung bukan melalui orang lain."Jelita menatap tak percaya pada sang kekasih. Mengapa Wandra malah berkata demikian? Harusnya Jelita yang menanyakan hal itu. Sang kekasih sudah berkhianat dengan menikahi gadis lain. Bukankah apa yang dilakukan Jelita saat ini adalah demi memantaskan diri untuk menjadi pendampingnya kelak? Namun, Wandra malah menikah dengan orang lain dan hal itu disampaikan lewat surat balasan. "Sebaiknya kalian selesaikan kisah yang belum tuntas. Aku nggak mau dengar pertengkaran sepele seperti ini," kata seorang lelaki yang memeluk Jelita tadi. "Tunggu, Mas Yan! Aku ikut, urusanku sudah selesai dengannya." Jelita melihat ke ara
Happy Reading*****"Sudah setahun lebih, tapi kamu nggak mau mampir ke rumah Eyang, Lit," kata seseorang lelaki yang sedang mengemudi.Seseorang yang telah disangka suami si gadis oleh Wandra. Sampai saat ini, Jelita masih belum memahami tuduhan yang dilayangkan padanya. Berusaha menjelaskan pun, tak ada artinya. Wandra, meskipun sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi sifat dan wataknya keras."Aku belum berani menemui Eyang, Mas. Nggak sanggup saat melihat kebencian di matanya.""Eyang sudah memaafkan Ayah sama ibumu asal kamu tahu, Lit. Beliau sangat menyayangkan Tante Ajeng keluar dari rumah dengan keadaan seperti itu.""Aku nggak tahu mana yang benar dan salah, Mas. Dulu, sebelum Ayah wafat, setiap kali kami mengunjungi Eyang. Wajahnya selalu terlihat membenciku dan Ibu.""Sekarang Eyang lagi sakit. Apa kamu nggak mau jenguk beliau?"Jelita terdiam, terus terang dia masih sangat takut jika berhadapan dengan Eyangnya. "Mungkin suatu hari nanti, Mas. Kalau aku sudah siap dan ng
Happy Reading*****Wandra bernapas lega, ternyata bukan Broto yang datang berkunjung, tetapi bundanya Mahesa. "Esa kenapa, Ndra?" tanya Candini, bundanya Mahesa. Dia memegang kening putranya yang masih berada dalam rangkulan sopir online dan Wandra. "Katanya tadi sedikit pusing, Tan. Kirain tadi bohong, nggak tahunya beneran. Jalan saja sampai nggak kuat. Makanya saya minta tolong sopir bantuin."Candini mengerutkan kening. "Kamu ndak lagi bohong kan, Ndra? Pak Minto ke mana, kenapa ndak dia yang jemput kalian?""Pak Minto kan libur, Tan. Tadi sore pamit.""Sepertinya ada yang kamu sembunyikan, Ndra. Tante ndak suka, ya, kalau kalian sampai berbuat sesuatu yang melanggar apalagi mencemarkan nama baik keluarga.""Kami nggak berbuat apa-apa, kok, Tan." Wandra merutuki dirinya sendiri karena berbohong pada orang yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Andai Mahesa mau menuruti perkataannya tadi, pasti tidak akan pernah ada kejadiaan memalukan ini. "Ya, sudah. Bawa Esa ke kamarnya.
Happy Reading*****Tak sampai satu jam, Wandra sudah sampai di bandara kebanggaan Banyuwangi. Sebuah bandara yang masuk 20 besar arsitektur terbaik di dunia. Mendapat kategori green airport desain unik pada ajang Aga Khan Award for Architekture (AKAA) 2022. Langkahnya mantap dengan membawa koper.Menghubungi seseorang untuk menjemputnya nanti setelah sampai di bandara Soekarno-Hatta. "Sampaikan sama Kakek. Siang ini, saya sudah di Jakarta nggak sampai makan siang."Setelah mengatakan hal itu, Wandra pergi ke loket pemeriksaan tiket.*****Di tempat berbeda, Jelita kuliah seperti hari-hari biasa. Walau masih sedikit terluka mengingat kata menyakitkan yang diucapkan Wandra, tetapi dia sudah berjanji akan merelakan lelaki itu bahagia dengan istri pilihannya. Kuliah 3 SKS sudah selesai hari ini. Dia melangkahkan kaki ke kantin. Perutnya mulai meronta minta diisi. Sejak pagi, dia hanya meminum susu setelah itu ke sanggar dan siang kuliah. "Hai, Lit?" sapa seorang gadis berkerudung yang