Share

6. Perjuangan

Happy Reading

****

Keluar dari kediaman keluarga Wandra dengan penuh air mata, lengan Jelita ditarik Setiawan.

"Mau berapa kali kamu akan menyakiti dirimu sendiri? Sudah tahu kalian nggak mungkin bersama. Kenapa masih ngeyel?" bentak Setiawan, "ayo pulang!"

"Mas Wawan kenapa bisa ada di sini?" kata Jelita tergagap. Belum selesai dengan pengakuan Wandra tadi. Kini, kehadiran Setiawan malah membuatnya bingung.

"Aku sengaja mengikutimu. Mas, nggak mau kamu ambil resiko berbahaya lagi. Ayo naik," perintah Setiawan kasar dan sedikit memaksa.

Jelita yang memang sedang kalut menurut saja pada permintaan sepupunya. Sepanjang perjalanan, hanya isakan yang terdengar oleh indera Setiawan. Sungguh membuat lelaki itu miris dan jengkel sekaligus. Mengapa bisa Jelita dibutakan oleh cinta. Jelas-jelas dirinya dan Wandra tidak bisa bersama.

"Mas bisa nggak kalau kita nggak pulang dulu?"

"Pengen ke mana?"

"Pengen ke taman. Setidaknya, mataku nggak sembab dan mengeluarkan air lagi. Kasihan Ibu jika sampai melihatku seperti ini."

"Iya, tapi Mas nggak bisa nemenin. Harus kembali kerja karena jam istirahat sudah habis. Sengaja tadi Mas ijin buat jemput kamu. Nggak tahunya kamu malah pergi sama Wandra."

"Sudah nggak perlu bahas Mas Wandra lagi."

Sepeninggal Jelita, di rumah Wandra terjadi percekcokan.

"Apa kamu sudah nggak waras, Ndra? Seenaknya saja ngomong." Ajeng membulatkan mata secara sempurna.

"Ya, aku memang sudah hilang akal. Mama sama Papa terus saja mendikte hidupku. Aku harus ambil jurusan ini, harus berteman dengan anak ini bahkan untuk pendamping hidup saja kalian yang mengatur. Aku capek, Pa, Ma. Pengen hidup bebas seperti teman-teman yang lain. Kuliah sesuai dengan jurusan yang disukai. Berteman dengan siapa saja tanpa memandang status sosial maupun kepintarannya. Bahkan bisa berpacaran dengan gadis yang dicintai." Wandra menjatuhkan tubuhnya pada sofa ruang tamu.

Semua uneg-uneg yang selama ini terpendam di hati, disampaikan secara gamblang.

"Apa dengan meniduri Jelita kamu bisa menikah dengannya? Itu pikiranmu, Ndra? Tidak semudah itu. Di mana kewarasanmu saat berbuat hal buruk? Apa kamu sudah lupa bahwa kami, orang tuamu adalah panutan di desa ini dan juga desa sekecamatan." Pambudi menarik napas panjang, emosinya meluap.

Bukan, hanya karena perkataan Wandra, tetapi tulisan Jelita di map yang disodorkan tadi juga memicu kemarahan sang pemimpin.

"Aku yakin Jelita akan hamil anakku. Mama sama Papa nggak berhak memaksa untuk memutuskan hubungan kami." Wandra meninggalkan kedua orang tuanya tanpa peduli bagaimana perasaan mereka.

Terlahir sebagai putra sulung pasangan Pambudi dan Ajeng bukanlah sesuatu yang membahagiakan bagi Wandra. Sejak kecil, siapa yang akan menjadi temannya sudah ditentukan oleh orang tua bahkan untuk memilih sekolah saja, dia tidak bisa. Wandra memaklumi semua itu hingga dia berkenalan dengan Jelita ketika mereka sama-sama menjadi panitia pentas seni di sekolah.

Jelita adalah gadis pertama yang menarik hatinya. Saat itu, si gadis baru masuk menjadi siswa baru di sekolah Wandra. Seseorang yang memiliki segudang prestasi selain menari Gandrung, wajah cantiknya adalah perpaduan sempurna ciptaan Sang Maha Kuasa.

Ah, sejak saat itu memang Wandra telah jatuh sejatuh-jatuhnya pada Jelita. Walau banyak gadis cantik di kampusnya sekarang, pesona sang penari tetap menjadi primadona di hati.

Lelaki itu mencoba menghubungi Jelita ketika sudah berada di kamar. Namun, ponsel sang gadis tidak aktif.

Penuh emosi, Wandra membuang ponselnya ke sembarang arah. Sekali ini, dia dibuat kecewa oleh kekasihnya. Padahal ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Jelita. Termasuk perjanjian yang telah disepakati dengan papanya tadi.

*****

Jelita masih sesenggukan di taman Blambangan. Sendiri tanpa seorang pun menemani hingga seseorang penepuk pundaknya.

"Mau sampai kapan nangis? Sudah saatnya kamu bangkit dan buktikan bahwa kamu layak bersanding dengan Wandra," kata seseorang yang ternyata adalah Sularso.

"Bapak kenapa tahu aku di sini?" Jelita menengok pada Sularso.

"Wawan khawatir kamu kenapa-kenapa. Jadi, dia minta Bapak jemput. Ternyata kamu masih di sini, nangis lagi." Sularso mendaratkan bokong pada rumput, tempat si gadis merenungi nasib percintaannya.

"Lita nggak papa padahal, Pak." Tangan Jelita tak mau diam. Mencoba mengalihkan kesedihan dengan mencabuti rumput di sekitar duduknya.

"Nggak papa gimana? Matamu saja sudah bengkak gitu." Sularso menatap langit biru yang begitu cerah. "Mau tak mau kamu memang harus berpisah dari Wandra, Lit. Selama kamu masih jadi penari Gandrung. Orang tuanya nggak bakalan merestui hubungan kalian. Kecuali kamu mampu membuktikan pada mereka bahwa ada pergeseran ke arah positif tentang tarian itu dan caranya cuma satu. Kamu harus menerima tawaran Bapak tempo hari."

Jelita berdiri dan membersihkan celana dari rumput kering yang menempel. Lalu, dia berkata, "Aku nggak bisa ninggalin Ibu sendirian, Pak. Lagian sudah satu tahun berlalu. Apa mungkin aku masih bisa lulus tes dengan baik nantinya."

Sularso mengikuti anak buahnya yang sudah dianggap seperti putri kandungnya sendiri yang tak pernah dia miliki. "Kamu itu cerdas, Lit. Bapak yakin kamu bisa lulus ujian itu. Tentang ibumu, bisa kamu titipkan pada pamanmu atau kalau beliau mau bisa bekerja, sama Bapak. Bantu-bantu di toko Ibu."

"Tapi, Pak?"

"Nggak ada kata tapi. Kalau kamu nggak mau dicap negatif terus-menerus, maka kamu harus memperjuangkan semua ini. Di mulai dari dirimu dan kualitas pendidikan yang kamu peroleh." Sularso merangkul si gadis, menguatkan. "Allah nggak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri ingin berubah. Bukankah begitu ayat yang selalu kamu ucapkan untuk menyemangati Bapak?"

Keduanya terkekeh. Bersama semenjak Jelita masih berumur lima tahun membuat lelaki itu paham karakternya.

"Baiklah, Pak. Lita janji akan memperjuangkan semuanya hingga nanti tarian Gandrung nggak dipandang sebelah mata lagi."

"Pulang, Yuk! Ibumu pasti sudah nunggu dengan kekhawatiran seperti yang sudah-sudah setiap kali kamu manggung."

*****

Hari keberangkatan Wandra ke Surabaya tiba. Sampai detik dia berada di stasiun Karangasem tak dilihatnya wajah Jelita. Berkali-kali dihubungi ponsel si gadis selalu tidak aktif. Wandra benar-benar dibuat jengkel oleh gadis itu. Menunda seminggu keberangkatan ke Surabaya, nyata tak membuat Wandra bisa bertemu kekasihnya.

"Mau sampai kapan kamu nunggu perempuan itu, Ndra. Papa sudah menunjukkan bukti tentang kesepakatan dengan Jelita. Mengapa masih tidak percaya?"

"Tetep Wandra nggak percaya, Pa. Jelita nggak akan bisa ngelakuin itu. Surat itu pasti akal-akalan Papa saja supaya aku benci sama dia." Wandra mencengkeram rambutnya, frustasi.

"Silakan kamu tidak percaya dengan ucapan Papa, tapi jangan pernah menyesal jika ternyata apa yang Papa katakan benar."

Suara sirine dari kereta api yang menandakan bahwa kendaraan besi itu akan memasuki stasiun, terdengar. Berat hati, Wandra meninggalkan tanah kelahirannya untuk meneruskan pendidikan guna meraih gelar sarjana. Membawa sejuta pertanyaan tentang kebenaran sang kekasih yang tega mengkhianatinya.

Baru masuk gerbong kereta, kelebat bayangan Jelita terlihat oleh Wandra.

"Lita, tunggu!" teriak lelaki dengan jaket boomber. Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar kekasihnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status