Share

7. Perjuangan 2

Happy Reading

*****

Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra.

"Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima.

"Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada.

"Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam.

Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya.

Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif seorang penari gandrung yang terlanjur buruk. Dia menerima tawaran untuk melanjutkan jenjang pendidikannya.

Besok adalah hari terakhir Jelita melakukan tes. Harapan terbesarnya dia akan diterima di perguruan tinggi tersebut. Selain memang sudah menjadi cita-citanya selama ini. Jelita juga berharap rentang jarak yang cukup jauh mampu melupakan kisah percintaannya dengan Wandra.

Sedang melamunkan lelaki itu, tanpa sengaja Jelita menabrak seseorang. "Aduh!" ucapnya ketika kepala mereka berbenturan. Jelita menatap cowok itu sekilas, lalu menunduk dan membantu mengambil barang-barang yang berserakan.

"Maaf ... maaf," kata seorang lelaki dengan rambut berwarna kecoklatan dan menggunakan hoodie. Tingginya sekitar 170 cm. Beberapa barang yang dibawanya berserakan.

Jelita merasa bersalah karena kehilangan fokus saat berjalan yang menyebabkan menabrak seseorang. "Saya yang harusnya minta maaf, Mas. Maaf, saya sedikit melamun ketika berjalan tadi."

Si pria masih memunguti alat-alat lukisnya dibantu Jelita. Setelah itu baru mendongakkan kepala menatap si gadis. Mata mereka bertemu beberapa saat tanpa berkedip.

"Mas, apa baik-baik saja?" tanya Jelita, memutus pandangan mereka.

"Eh, iya. Aku baik-baik saja, kok," ucap lelaki itu, "Sorry, aku juga nggak fokus tadi."

"Iya, nggak masalah. Saya permisi duluan." Jelita segera melenggang menjauhi lelaki itu, tetapi beberapa langkah kemudian. Si cowok berteriak.

"Boleh kenalan, nggak?"

Jelita berbalik dan tersenyum. "Saya Jelita," katanya.

"Aku Mahesa Agni." Si lelaki berjalan mendekat. "Kamu anak baru, ya?"

"Masih belum kuliah di sini, Mas. Saya lagi ikut tes."

"Oh," ucap Mahesa, "salam kenal. Semoga saja tesnya lulus. Jadi, kita bisa ketemu lagi. Aku kuliah di sini jurusan seni rupa. Sudah semester akhir, sih. Tinggal buat skripsi dan lulus, deh," jelasnya tanpa Jelita minta.

"Saya tinggal dulu, Mas."

Mahesa tersenyum dan menganggukkan kepala. Dalam hati, dia memgumpat. Mengapa bisa ada perempuan secuek itu ketika diajak ngobrol. Padahal selama ini tak ada perempuan yang menolak untuk berbincang lama-lama dengannya. Ya, walau wajah Mahesa pas-pasan, tetapi banyak cewek yang mengagumi kegantengannya.

"Lihat saja nanti. Setelah kamu di terima di sini. Pasti akan takluk juga denganku," ucap Mahesa jumawa.

Berbekal uang saku yang diberikan oleh Sularso dan ibunya, Jelita mencari kos-kosan. Di kota asing itu dia tak mengenal atau memiliki siapa pun, hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Sengaja mengambil kota yang tak terjangkau oleh Wandra dan keluarganya. Jelita ingin fokus menata dan meraih semua cita-citanya.

Selama seminggu ini, dia menginap di kos salah satu kenalan Sularso. Si Bapak sengaja menitipkan Jelita. Namun, gadis itu lama-lama tak enak juga terus menumpang apalagi orang yang ditumpangi juga ngontrak.

Selesai tes tadi, dia sengaja mencari kamar kos yang termurah sekitar kampus. Namun, perkiraannya salah. Kos-kosan yang dekat kampus ternyata harganya mahal.

Di sebuah warung es kelapa muda, Jelita duduk sekedar menghilangkan dahaga sekaligus penat yang mendera. Sampai siang hari, dia belum menemukan kos-kosan yang cocok.

"Hai ketemu lagi," sapa seseorang.

Jelita menengok, terlihatlah wajah pria yang ditabraknya tadi di lorong kampus. "Hai."

"Lagi ngapain? Kelihatannya galau banget. Boleh aku duduk di sebelah sini," cerocos cowok yang bernama Mahesa.

"Lagi ngadem, Mas." Sekenanya Risma menjawab.

"Wah sama dong." Tanpa permisi, Mahesa duduk di sebelah si gadis. "Kusut banget mukanya. Ada yang bisa kubantu?"

Jelita merenung, menimbang-nimbang apakah dia akan menceritakan kegalauannya saat ini. Secara, Mahesa baru saja dikenalnya. Bukan hitungan hari, melainkan jam. Sudah sering mendengar nasihat ibunya agar berhati-hati dengan orang yang baru dikenal membuat Risma waspada.

"Kesambet, Non? Ditanya diem aja. Awas kerasukan setan, lho." Mahesa terus saja menggoda Jelita. Setelah memesan minuman, dia kembali menatap Risma.

"Bisa nggak kalau diem aja."

"Galak amat, sih."

"Aku nggak galak, ya."

"Terus?"

Jelita berdiri dan meninggalkan Mahesa yang tercenung. Mengambil kesempatan sebanyak mungkin, si cowok membiarkan pesanannya begitu saja demi mengejar sang gadis.

"Hei, tunggu!"

"Apa sih?" Jelita mulai jengah dengan sikap Mahesa.

"Kamu tuh kelihatan bingung banget. Lagi nyari kos?"

Jelita tersenyum. Mengapa Mahesa bisa menebak penyebab kekalutannya. "Kok kamu bisa tahu?"

"Kelihatan kali dari mukamu yang kusut."

Sejak pertemuan itu keduanya semakin dekat bahkan saat pengumuman seleksi. Mahesa yang mengantar gadis itu untuk melihat. Kamar kos yang ditempati Jelita saat ini juga atas rekomendasinya. Si gadis bersyukur ada seseorang yang begitu baik di kota yang tak dikenalnya.

Sudah hampir setahun Jelita tak pulang kampung, sejak menerima surat yang dititipkan Wandra pada ibunya. Dia sengaja menghindari pertemuan dengan lelaki itu bahkan mungkin berniat tak kembali sampai pernikahan Wandra dilaksanakan.

"Lagi ngelamunin apa? Sampai-sampai aku manggil-manggil dari tadi nggak direspon." Mahesa langsung duduk di sebelah Jelita tanpa permisi terlebih dahulu.

Mereka sudah janjian untuk bertemu di sebuah kafe dekat kos keduanya. Ada kabar yang ingin disampaikan Mahesa terkait keinginan Jelita untuk bekerja paruh waktu.

"Eh, Mas. Udah dari tadi manggilnya?"

"Sudah ada sejak setahun lalu, tapi nggak pernah direspon," jawab Mahesa asal. Sengaja menyindir tentang ketidakpekaan Jelita terhadap perasaannya.

Jelita menggaruk kepala, bingung dengan perkataan Mahesa. "Ngomong apa, sih, Mas?"

"Sudahlah lupain," pinta si cowok, "tentang niatmu untuk bekerja paruh waktu. Ada sanggar tari milik sahabatku. Kebetulan dia butuh tari tradisional. Kamu coba aja naruh CV ke sana."

"Di mana, Mas? Kalau jauh aku nggak sanggup. Kuliahku mulai padet semester ini. Lagian aku nggak ada kendaraan pribadi untuk mempercepat pergerakan."

"Agak jauh, sih, tapi nggak masalah kayaknya. Secara ngajar tarinya kan nggak setiap hari. Paling seminggu tiga kali. Masalah kendaraan, kamu bisa pake motorku kalau memang mendesak." Mahesa segera menyeruput kopi yang sudah dipesankan oleh Jelita sebelum kedatangannya tadi.

"Buru-buru banget kayaknya."

"Iya. Aku harus menjemput seseorang. Ini tuh penting banget, nggak boleh sampai telat." Mahesa berdiri.

"Siapa?"

"Salah satu tim audit di kantor."

"Oh. Ya, sudah sana berangkat!"

"Eh, dia juga berasal dari Banyuwangi sama sepertiku. Jangan-jangan kalian kenal."

Deg ... jantung Jelita bergerak lebih cepat. "Siapa namanya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status