Happy Reading
*****Inilah keputusan Jelita. Jemarinya lincah menuliskan sesuatu pada kertas di dalam map yang diberikan Pambudi.Setelahnya, gadis itu menyerahkan map yang sudah diisi kepada Pak Camat. "Silakan ambil, Pak. Saya harap njenengan lega setelah melihatnya. Maaf, saya harus mengganti baju. Tolong tinggalkan saya sendirian."Secara sadar, Pambudi telah diremehkan oleh gadis di depannya. Sebagai seorang camat, dia diusir secara halus. Namun, melihat apa yang dilakukan Jelita tadi, dia tersenyum. Walau belum dilihatnya sama sekali."Baik, Bapak akan pergi. Terima kasih sudah memenuhi semua keinginan Bapak. Semoga kamu bisa menemukan seorang lelaki yang bisa menerima profesimu saat ini." Pambudi keluar ruangan itu dengan perasaan lega.Sepeninggal Pambudi, Jelita mulai melepaskan ornamen dan hiasan serta jepit yang terpasang pada tubuhnya. Dia melakukannya dengan cepat karena tak mau sang kekasih menunggu lama.Beberapa menit kemudian Jelita keluar. Berharap sang kekasih tak melihat kedatangan lelaki tadi. Baju sederhana sangat jauh berbeda dengan sang bintang panggung tadi dikenakan oleh Jelita. Celana panjang berbahan denim berpadu dengan kemeja lengan panjang melekat pada tubuh cantiknya.Dari jarak yang tak begitu jauh, Wandra menatap sang kekasih penuh kekaguman. Hatinya mulai mempertanyakan, mengapa mamanya tak mau memberikan restu pada hubungan mereka padahal Jelita adalah gadis yang sempurna. Nyaris tak tercela dilihat dari sisi mana pun."Sudah siap ketemu Mama kayaknya," goda Wandra setelah posisi Jelita cukup dekat."Mas, kayaknya nggak usah ketemu Bu Ajeng, ya." Jelita merengut. Raut wajahnya gelisah sekali."Lha, kok? Nggak bisa, Lit. Kita harus ketemu Mama dan Papa. Mas nggak mau kucing-kucingan terus saat bertemu denganmu.""Tapi, Mas ....""Nggak ada tapi-tapian. Ayo!" Wandra menggandenga tangan Jelita. Pergi meninggalkan acara itu.Di saat bersamaan, Setiawan sudah menjemput adik sepupunya. Melihat kehadiran Wandra di sana, Setiawan membuntuti keduanya.'Mau apa lagi si Wandra itu?' tanya Setiawan dalam hati.Diam- diam Setiawan mengikuti keduanya, takut jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Berada di belakang mobil anak camat, lelaki itu menutup helm full face yang dikenakannya. Beberapa menit kemudian tak jauh dari gedung Darma Wanita tempat menari Jelita tadi, Wandra membelokkan kendaraannya. Setiawan tahu kediaman siapa yang disambangi adik sepupunya."Ngapain kamu ke rumah Pak Camat, Lit? Nyari penyakit aja. Nanti kalau mereka ngomong nggak enak kayak waktu itu kamu sakit hati. Lita ... Lita. Kenapa nggak mau belajar dari pengalaman?" Setiawan mengoceh sendiri. Namun, dirinya tetap menunggu sang sepupu dari jarak yang cukup jauh dan tak terlihat pandangan Jelita.Ketika dua sejoli itu keluar dari kendaraannya, Setiawan juga turun dari motor. Melepas helm yang dikenakan dan duduk di pos ronda.Jelita turun dengan kaki yang begitu berat melangkah masuk ke rumah berpagar warna emas dengan pintu berwarna gading. Sang gadis makin terlihat kecil saat berjalan mendekati pintu utama."Mas, aku balik aja, ya? Kayaknya nggal bakalan pernah setuju kedua orang tua Mas dengan hubungan ini." jelita hendak berbalik arah, tetapi tangan Wandra sudah mencekal pergelangannya dengan cukup kuat."Mas sudah cukup dewasa untuk menentukan keputusan, terlebih menyangkut pendamping hidup dan kamulah satu-satunya perempuan yang Mas inginkan." Wandra menatap kedalaman indera Jelita. Meyakinkan bahwa apa pun yang terjadi, lelaki itu akan tetap memilih Jelita sebagai teman sekaligus pendamping. "Mari hadapi bersama apa pun yang akan terjadi nanti."Ucapan Wandra begitu menyentuh hati Jelita. Si gadis melupakan sejenak ketakutannya, mencoba berpikir positif walau perlakuan Pambudi beberapa saat lalu cukup membuatnya geram. Jelita menautkan jemarinya pada sang kekasih. mengucap basmallah ketika masuk."Berhenti, Ndra!" Sebuah suara terdengar menggelegar. "Jangan pernah mnginjakkan kaki di rumah ini bersama perempuan itu atau mamamu ini akan tiada lebih cepat."Jelita mulai gemetar, berhenti berjalan dan mematung sebelum kakinya benar-benar masuk ke rumah besar itu."Beraninya kamu bawa dia ke rumah ini? Apa kamu sudah nggak waras, Ndra?" Lagi, suara Ajeng terdengar cukup keras pada runggu kedua sejoli itu."Ma, aku mencintai Jelita. Apa salahnya dia datang ke sini?""Salah!" bentak Ajeng, "Sampai kapan pun Mama nggak bisa menerima hubungan kalian. Jangan coba-coba mencari simpati Mama. Inget itu.""Sekalipun Jelita nantinya hamil anakku?" tanya Wandra keras.Semua orang yang ada di sana tercengang. Termasuk Pambudi yang baru saja keluar dari arah ruang kerjanya.Ajeng berjalan maju dan satu tamparan sudah mendarat pada pipi putranya. "Namamu akan Mama coret dari kartu keluarga jika sampai hal itu terjadi."Jelita melepas tautan jemari mereka dan mundur beberapa langkah. Masih syok melihat adegan kekerasan dan juga kalimat menyakitkan yang dilontarkan Ajeng."Aku siap dengan segala konsekuensinya, Ma," tantang lelaki dengan rambut ikal bergelombang yang telah dipotong cepak."Mas," panggil Jelita. Tangan si gadis menyentuh pundak kekasihnya, tetapi segera ditepis oleh Ajeng."Sebaiknya kamu pergi dari rumah ini. Saya nggak mau lihat wajah kamu lagi. Wandra berani seperti ini, semua pasti karena pengaruhmu."Jelita pasrah saat orang tua kekasihnya mengatakan hal menyakitkan itu. Siapa dia hingga berani membantah walau perkataan perempuan berbaju batik itu cukup menyakitkan. Bukan dirinya yang menyebabkan Wandra seberani itu. Berkali-kali Jelita sudah mengatakan agar memutuskan hubungan mereka. Namun, Wandra selalu bersikeras mempertahankan.Si gadis berbalik dan keluar dari rumah bercat putih itu. Berjalan dengan langkah gontai, teriakan sang kekasih tak mampu menghentikan. Hatinya terlalu sakit mendengar semua ucapan Ajeng tadi.Pambudi mendekati keduanya setelah Jelita pergi dari rumah. "Lihat ini, Ndra. Jelita bukan gadis yang baik. Dia rela menukar cintanya demi mendapatkan harta. Kalau tidak, mana mungkin dia mengambil cek yang Papa berikan dengan syarat memutuskan hubungan kalian."Wandra mendelik. Dia segera merebut map yang diperlihatkan ayahnya tadi. Di sana terdapat tanda tangan Jelita dan sebuah surat pernyataan dari sang gadis."Nggak mungkin Lita melakukannya. Aku mengenalnya melebihi diriku sendiri, Pa. Semua pasti rekayasa Papa dan Mama," kata Wandra tajam."Silakan kamu tidak percaya pada kami, tapi lihatlah beberapa minggu ke depan apa yang akan terjadi padanya." Tak kalah tajam, Pambudi memperingatkan putra sulungnya."Jangan, hanya karena Jelita cantik lantas kamu menutup mata tentang latar belakangnya, Ndra. Keluarga kita dan keluarganya nggak akan pernah sebanding. Ingat itu!" peringat Ajeng."Tapi aku akan tetap menikahi Jelita saat dia dinyatakan hamil nanti. Mau nggak mau, suka nggak suka Papa sama Mama harus menerimanya. Wandra sudah menodai Jelita semalam."Pambudi dan Ajeng melebarkan kelopak matanya secara sempurna. Sungguh bukan seperti ini yang keduanya harapkan.Happy Reading****Keluar dari kediaman keluarga Wandra dengan penuh air mata, lengan Jelita ditarik Setiawan. "Mau berapa kali kamu akan menyakiti dirimu sendiri? Sudah tahu kalian nggak mungkin bersama. Kenapa masih ngeyel?" bentak Setiawan, "ayo pulang!""Mas Wawan kenapa bisa ada di sini?" kata Jelita tergagap. Belum selesai dengan pengakuan Wandra tadi. Kini, kehadiran Setiawan malah membuatnya bingung. "Aku sengaja mengikutimu. Mas, nggak mau kamu ambil resiko berbahaya lagi. Ayo naik," perintah Setiawan kasar dan sedikit memaksa. Jelita yang memang sedang kalut menurut saja pada permintaan sepupunya. Sepanjang perjalanan, hanya isakan yang terdengar oleh indera Setiawan. Sungguh membuat lelaki itu miris dan jengkel sekaligus. Mengapa bisa Jelita dibutakan oleh cinta. Jelas-jelas dirinya dan Wandra tidak bisa bersama. "Mas bisa nggak kalau kita nggak pulang dulu?""Pengen ke mana?""Pengen ke taman. Setidaknya, mataku nggak sembab dan mengeluarkan air lagi. Kasihan Ibu jika
Happy Reading*****Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra. "Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima. "Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada. "Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam. Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya. Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif
Happy Reading*****"Siapa namanya?""Nama lengkapnya aku nggak Tahu, Lit. Cuma para atasan sering banget manggil Wandra."Jantung Jelita serasa copot mendengar nama itu disebut. Setelah sekian lama baru kali ini ada yang memanggil nama itu. Meneguhkan hati bahwa belum tentu adalah orang yang sama. Jelita tersenyum kecut menatap Mahesa. "Oh," jawab Jelita."Ada yang aneh dengan nama itu? Kenapa mukamu langsung berubah. Jangan-jangan kamu punya hubungan spesial dengan seseorang bernama Wandra. Bener gitu, Non?"Jelita merutuki dirinya sendiri karena telah bereaksi berlebihan tadi. Harusnya, dia ingat bahwa Mahesa terlalu peka dengan orang di sekitarnya. Apalagi jika menyangkut tentangnya. Bukan tidak tahu dengan segala perhatian yang diberikan cowok itu selama ini. Namun, hati Jelita telah membeku, baginya urusan cinta menjadi nomor kesekian. "Ditanya malah melamun. Pacarmu namanya Wandra, ya?"Seketika Jelita menggeleng. "Sembarangan kamu, Mas. Mana ada aku punya pacar. Emang kamu l
Happy Reading*****Selain bekerja, di kita Yogyakarta ini, Wandra juga terus berusaha mencari keberadaan Jelita. Hampir seminggu, tetapi jejak sang gadis masih belum terdeteksi sama sekali. Harus dengan cara apalagi lelaki itu mengetahui keberadaan kekasihnya.Tak banyak yang Wandra minta, cukup bisa bertemu dengan Jelita dan bertanya tentang kebenaran surat itu. Jika memang benar Jelita sudah menikah dan bahagia dengan lelaki pilihannya, mungkin Wandra akan mundur. Namun, dia tak akan pernah berniat melupakan gadis itu. Biarlah tak menikah selamanya jika bukan dengan Jelita. Itulah prinsipnya. Wandra mengaduk-aduk jus jeruk yang sejak tadi ada di hadapannya. Sementara, sahabatnya yang tak lain adalah Mahesa masih menerima telepon. Sejak tadi, Mahesa terus saja tertawa dan berkata-kata romantis, seolah-olah orang yang diajaknya bicara adalah kekasihnya. Makan siang mereka jadi terganggu akibat perbuatan masing-masing. "Ngelamun terooss," goda Mahesa melihat pandangan kosong lelaki
Happy Reading*****Suara sorak sorai dan tepukan tangan menggema seantero gedung bahkan sampai keluar. Wandra mematung di tempatnya berdiri. Segera masuk kembali ingin melihat siapa sebenarnya yang membawakan tarian khas tanah kelahirannya sampai seluruh penonton bertepuk tangan. Akan tetapi, sesampainya di dalam gedung kembali. Sang penari telah turun dari panggung. "Kenapa seperti orang bingung, Ndra? Ada yang sedang kamu cari?" tanya Shinta. Perempuan itu memegang lengan si lelaki yang sudah dianggap ponakan sendiri. "Iya, Tan. Saya penasaran sama tarian yang dibawakan penari barusan. Apa tarian Gandrung yang berasal dari Banyuwangi?" tanya Wandra."Iya benar. Memang tari Gandrung yang dibawakan barusan." Shinta mengerutkan kening. Mencoba membaca apa yang sedang Wandra pikirkan. "Siapa penarinya, Tan?""Salah satu pengajar di sanggar Tante. Mahasiswa di perguruan tinggi Seni fakultas seni pertunjukan program studi tari," jelas Shinta panjang lebar seolah dia ingin menunjukkan
Happy Reading*****Wandra membulatkan mata dengan perkataan gadisnya. Lalu, dia tersenyum miris. Beginikah sikap Jelita yang sesunguhnya?"Bagus, rupanya ada maling teriak maling. Kamu yang berkhianat, tapi aku yang kamu tuduh," kata Wandra penuh penekanan pada setiap ucapannya. "Harusnya, jika kamu memang ingin menikah, maka katakan langsung bukan melalui orang lain."Jelita menatap tak percaya pada sang kekasih. Mengapa Wandra malah berkata demikian? Harusnya Jelita yang menanyakan hal itu. Sang kekasih sudah berkhianat dengan menikahi gadis lain. Bukankah apa yang dilakukan Jelita saat ini adalah demi memantaskan diri untuk menjadi pendampingnya kelak? Namun, Wandra malah menikah dengan orang lain dan hal itu disampaikan lewat surat balasan. "Sebaiknya kalian selesaikan kisah yang belum tuntas. Aku nggak mau dengar pertengkaran sepele seperti ini," kata seorang lelaki yang memeluk Jelita tadi. "Tunggu, Mas Yan! Aku ikut, urusanku sudah selesai dengannya." Jelita melihat ke ara
Happy Reading*****"Sudah setahun lebih, tapi kamu nggak mau mampir ke rumah Eyang, Lit," kata seseorang lelaki yang sedang mengemudi.Seseorang yang telah disangka suami si gadis oleh Wandra. Sampai saat ini, Jelita masih belum memahami tuduhan yang dilayangkan padanya. Berusaha menjelaskan pun, tak ada artinya. Wandra, meskipun sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi sifat dan wataknya keras."Aku belum berani menemui Eyang, Mas. Nggak sanggup saat melihat kebencian di matanya.""Eyang sudah memaafkan Ayah sama ibumu asal kamu tahu, Lit. Beliau sangat menyayangkan Tante Ajeng keluar dari rumah dengan keadaan seperti itu.""Aku nggak tahu mana yang benar dan salah, Mas. Dulu, sebelum Ayah wafat, setiap kali kami mengunjungi Eyang. Wajahnya selalu terlihat membenciku dan Ibu.""Sekarang Eyang lagi sakit. Apa kamu nggak mau jenguk beliau?"Jelita terdiam, terus terang dia masih sangat takut jika berhadapan dengan Eyangnya. "Mungkin suatu hari nanti, Mas. Kalau aku sudah siap dan ng
Happy Reading*****Wandra bernapas lega, ternyata bukan Broto yang datang berkunjung, tetapi bundanya Mahesa. "Esa kenapa, Ndra?" tanya Candini, bundanya Mahesa. Dia memegang kening putranya yang masih berada dalam rangkulan sopir online dan Wandra. "Katanya tadi sedikit pusing, Tan. Kirain tadi bohong, nggak tahunya beneran. Jalan saja sampai nggak kuat. Makanya saya minta tolong sopir bantuin."Candini mengerutkan kening. "Kamu ndak lagi bohong kan, Ndra? Pak Minto ke mana, kenapa ndak dia yang jemput kalian?""Pak Minto kan libur, Tan. Tadi sore pamit.""Sepertinya ada yang kamu sembunyikan, Ndra. Tante ndak suka, ya, kalau kalian sampai berbuat sesuatu yang melanggar apalagi mencemarkan nama baik keluarga.""Kami nggak berbuat apa-apa, kok, Tan." Wandra merutuki dirinya sendiri karena berbohong pada orang yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Andai Mahesa mau menuruti perkataannya tadi, pasti tidak akan pernah ada kejadiaan memalukan ini. "Ya, sudah. Bawa Esa ke kamarnya.