Share

5. Pengakuan

Happy Reading

*****

Inilah keputusan Jelita. Jemarinya lincah menuliskan sesuatu pada kertas di dalam map yang diberikan Pambudi.

Setelahnya, gadis itu menyerahkan map yang sudah diisi kepada Pak Camat. "Silakan ambil, Pak. Saya harap njenengan lega setelah melihatnya. Maaf, saya harus mengganti baju. Tolong tinggalkan saya sendirian."

Secara sadar, Pambudi telah diremehkan oleh gadis di depannya. Sebagai seorang camat, dia diusir secara halus. Namun, melihat apa yang dilakukan Jelita tadi, dia tersenyum. Walau belum dilihatnya sama sekali.

"Baik, Bapak akan pergi. Terima kasih sudah memenuhi semua keinginan Bapak. Semoga kamu bisa menemukan seorang lelaki yang bisa menerima profesimu saat ini." Pambudi keluar ruangan itu dengan perasaan lega.

Sepeninggal Pambudi, Jelita mulai melepaskan ornamen dan hiasan serta jepit yang terpasang pada tubuhnya. Dia melakukannya dengan cepat karena tak mau sang kekasih menunggu lama.

Beberapa menit kemudian Jelita keluar. Berharap sang kekasih tak melihat kedatangan lelaki tadi. Baju sederhana sangat jauh berbeda dengan sang bintang panggung tadi dikenakan oleh Jelita. Celana panjang berbahan denim berpadu dengan kemeja lengan panjang melekat pada tubuh cantiknya.

Dari jarak yang tak begitu jauh, Wandra menatap sang kekasih penuh kekaguman. Hatinya mulai mempertanyakan, mengapa mamanya tak mau memberikan restu pada hubungan mereka padahal Jelita adalah gadis yang sempurna. Nyaris tak tercela dilihat dari sisi mana pun.

"Sudah siap ketemu Mama kayaknya," goda Wandra setelah posisi Jelita cukup dekat.

"Mas, kayaknya nggak usah ketemu Bu Ajeng, ya." Jelita merengut. Raut wajahnya gelisah sekali.

"Lha, kok? Nggak bisa, Lit. Kita harus ketemu Mama dan Papa. Mas nggak mau kucing-kucingan terus saat bertemu denganmu."

"Tapi, Mas ...."

"Nggak ada tapi-tapian. Ayo!" Wandra menggandenga tangan Jelita. Pergi meninggalkan acara itu.

Di saat bersamaan, Setiawan sudah menjemput adik sepupunya. Melihat kehadiran Wandra di sana, Setiawan membuntuti keduanya.

'Mau apa lagi si Wandra itu?' tanya Setiawan dalam hati.

Diam- diam Setiawan mengikuti keduanya, takut jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Berada di belakang mobil anak camat, lelaki itu menutup helm full face yang dikenakannya. Beberapa menit kemudian tak jauh dari gedung Darma Wanita tempat menari Jelita tadi, Wandra membelokkan kendaraannya. Setiawan tahu kediaman siapa yang disambangi adik sepupunya.

"Ngapain kamu ke rumah Pak Camat, Lit? Nyari penyakit aja. Nanti kalau mereka ngomong nggak enak kayak waktu itu kamu sakit hati. Lita ... Lita. Kenapa nggak mau belajar dari pengalaman?" Setiawan mengoceh sendiri. Namun, dirinya tetap menunggu sang sepupu dari jarak yang cukup jauh dan tak terlihat pandangan Jelita.

Ketika dua sejoli itu keluar dari kendaraannya, Setiawan juga turun dari motor. Melepas helm yang dikenakan dan duduk di pos ronda.

Jelita turun dengan kaki yang begitu berat melangkah masuk ke rumah berpagar warna emas dengan pintu berwarna gading. Sang gadis makin terlihat kecil saat berjalan mendekati pintu utama.

"Mas, aku balik aja, ya? Kayaknya nggal bakalan pernah setuju kedua orang tua Mas dengan hubungan ini." jelita hendak berbalik arah, tetapi tangan Wandra sudah mencekal pergelangannya dengan cukup kuat.

"Mas sudah cukup dewasa untuk menentukan keputusan, terlebih menyangkut pendamping hidup dan kamulah satu-satunya perempuan yang Mas inginkan." Wandra menatap kedalaman indera Jelita. Meyakinkan bahwa apa pun yang terjadi, lelaki itu akan tetap memilih Jelita sebagai teman sekaligus pendamping. "Mari hadapi bersama apa pun yang akan terjadi nanti."

Ucapan Wandra begitu menyentuh hati Jelita. Si gadis melupakan sejenak ketakutannya, mencoba berpikir positif walau perlakuan Pambudi beberapa saat lalu cukup membuatnya geram. Jelita menautkan jemarinya pada sang kekasih. mengucap basmallah ketika masuk.

"Berhenti, Ndra!" Sebuah suara terdengar menggelegar. "Jangan pernah mnginjakkan kaki di rumah ini bersama perempuan itu atau mamamu ini akan tiada lebih cepat."

Jelita mulai gemetar, berhenti berjalan dan mematung sebelum kakinya benar-benar masuk ke rumah besar itu.

"Beraninya kamu bawa dia ke rumah ini? Apa kamu sudah nggak waras, Ndra?" Lagi, suara Ajeng terdengar cukup keras pada runggu kedua sejoli itu.

"Ma, aku mencintai Jelita. Apa salahnya dia datang ke sini?"

"Salah!" bentak Ajeng, "Sampai kapan pun Mama nggak bisa menerima hubungan kalian. Jangan coba-coba mencari simpati Mama. Inget itu."

"Sekalipun Jelita nantinya hamil anakku?" tanya Wandra keras.

Semua orang yang ada di sana tercengang. Termasuk Pambudi yang baru saja keluar dari arah ruang kerjanya.

Ajeng berjalan maju dan satu tamparan sudah mendarat pada pipi putranya. "Namamu akan Mama coret dari kartu keluarga jika sampai hal itu terjadi."

Jelita melepas tautan jemari mereka dan mundur beberapa langkah. Masih syok melihat adegan kekerasan dan juga kalimat menyakitkan yang dilontarkan Ajeng.

"Aku siap dengan segala konsekuensinya, Ma," tantang lelaki dengan rambut ikal bergelombang yang telah dipotong cepak.

"Mas," panggil Jelita. Tangan si gadis menyentuh pundak kekasihnya, tetapi segera ditepis oleh Ajeng.

"Sebaiknya kamu pergi dari rumah ini. Saya nggak mau lihat wajah kamu lagi. Wandra berani seperti ini, semua pasti karena pengaruhmu."

Jelita pasrah saat orang tua kekasihnya mengatakan hal menyakitkan itu. Siapa dia hingga berani membantah walau perkataan perempuan berbaju batik itu cukup menyakitkan. Bukan dirinya yang menyebabkan Wandra seberani itu. Berkali-kali Jelita sudah mengatakan agar memutuskan hubungan mereka. Namun, Wandra selalu bersikeras mempertahankan.

Si gadis berbalik dan keluar dari rumah bercat putih itu. Berjalan dengan langkah gontai, teriakan sang kekasih tak mampu menghentikan. Hatinya terlalu sakit mendengar semua ucapan Ajeng tadi.

Pambudi mendekati keduanya setelah Jelita pergi dari rumah. "Lihat ini, Ndra. Jelita bukan gadis yang baik. Dia rela menukar cintanya demi mendapatkan harta. Kalau tidak, mana mungkin dia mengambil cek yang Papa berikan dengan syarat memutuskan hubungan kalian."

Wandra mendelik. Dia segera merebut map yang diperlihatkan ayahnya tadi. Di sana terdapat tanda tangan Jelita dan sebuah surat pernyataan dari sang gadis.

"Nggak mungkin Lita melakukannya. Aku mengenalnya melebihi diriku sendiri, Pa. Semua pasti rekayasa Papa dan Mama," kata Wandra tajam.

"Silakan kamu tidak percaya pada kami, tapi lihatlah beberapa minggu ke depan apa yang akan terjadi padanya." Tak kalah tajam, Pambudi memperingatkan putra sulungnya.

"Jangan, hanya karena Jelita cantik lantas kamu menutup mata tentang latar belakangnya, Ndra. Keluarga kita dan keluarganya nggak akan pernah sebanding. Ingat itu!" peringat Ajeng.

"Tapi aku akan tetap menikahi Jelita saat dia dinyatakan hamil nanti. Mau nggak mau, suka nggak suka Papa sama Mama harus menerimanya. Wandra sudah menodai Jelita semalam."

Pambudi dan Ajeng melebarkan kelopak matanya secara sempurna. Sungguh bukan seperti ini yang keduanya harapkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status