Share

BAB 9 - UWUPHOBIA

Orang bilang, apabila kita bermimpi tersesat di hutan, maka mimpi itu melambangkan bahwa seseorang yang kita anggap baik, nyatanya adalah seseorang yang buruk. Apakah semua ini adalah pertanda? Apakah ini tentang Mas Rudi? Atau justru Geraldy?

Namun, aku yakin sekarang ini tidak sedang terjebak dalam mimpi.

Aku yakin bahwa jari-jari hangat yang sedang melingkar pada lenganku, adalah benar jari manusia. Meskipun pria yang masih terus memegangiku saat ini, tampak seperti pria yang ada di dalam dongeng. Seakan dia itu tidak nyata. Tetapi ini bukanlah mimpi!

“Jaeryn, kamu gapapa?” panggilan Mas Rudi menjadi sihir yang mengubah segalanya kembali menjadi normal.

“Iya, gapapa,” jawabku lesu.

Meskipun yang kubalas adalah pertanyaan Mas Rudi, tetapi yang kutatap adalah wajah Geraldy. Sebab, entah bagaimana wajahnya itu seakan memiliki magnet yang membuatku tak bisa melepaskan pandangan.

“Kalau masih nggak enak badan, kamu pulang aja Jaeryn.” Mas Rudi sekali lagi menunjukkan perhatiannya.

Tentu saja aku ingin mengiyakan, tetapi aku masih terlalu syok untuk mengeluarkan suara. Aku masih butuh beberapa saat lagi untuk mengembalikan kesadaran sepenuhnya.

Namun, Geraldy mendahuluiku dengan berkata,

“Enak aja!”

“Udah lo jangan manja! Cepat lanjut makeup-in.” Geraldy yang jarinya masih melingkar di lenganku, kini menarikku untuk mengikuti langkahnya.

Geraldy benar-benar menyebalkan. Aku yakin dia adalah orang yang membuat semua hal tak masuk akal ini menimpaku. Tetapi dia malah sama sekali tidak menunjukkan nuraninya.

Dengan langkah kaki lesu dan jantung yang masih berdegup kencang, aku mengikuti Geraldy kembali ke tenda. Dan tentu saja Geraldy mengunci tenda.

“Lemah banget, sih, lo! Baru kerja beberapa hari aja udah tumbang.” Geraldy mengkritikku lagi.

“Bukan gitu. Tadi tiba-tiba ada yang memanggil namaku. Padahal aku cuma sendirian di toilet. Terus pas aku ketemu kamu, yang terlihat di depan mataku semuanya adalah hutan. Kemarin juga kayak gitu, makanya aku sampai pingsan,” jelasku panjang lebar sambil berharap Geraldy akan menjelaskan sesuatu kepadaku.

“Lah, terus? Masalahnya di mana?” Geraldy malah seakan sengaja membuatku berada di posisi yang salah. Hal itu membuatku kehabisan jawaban.

“Lo bisu apa gimana, sih? Kalau ditanya sering diam!”

“Enggak bermaksud gitu, aku cuma –”

“Takut?” Geraldy langsung menskakmat.

Tanpa mampu menjawab, mataku mulai berkaca-kaca. Gerlady benar-benar tega. Aku merasa tengah disudutkan.

Dan di sela-sela situasi nggak mengenakkan ini, tiba-tiba suara menyeramkan itu kembali terdengar,

“Jaeryn ... Jaeryn ... Jaeryn ....”

Aku sontak berjongkok dan menangis.

“Akh ... hentikan! Sudah cukup!” Bentakku.

“Cu ... kup,” bisikku lagi.

Tanpa basa basi Geraldy berjongkok di depanku dan tersenyum aneh. Aku pun menatap ke arahnya dengan mata yang sudah berlinang air mata.

“Udah gue bilang kalau mereka itu temanku. Nggak usah lebai, deh! Atau jangan-jangan lo mau nyari perhatian gue, ya?”

Aku langsung mengambil sikap berdiri dan menggeleng sambil tersedu-sedu. Geraldy pun turut melakukan hal yang sama dan melanjutkan perkataannya,

“Duh, nggak usah munafik! Lo pasti berharap buat gue peluk, kan?

Belum sempat aku menggeleng untuk kedua kalinya, Geraldy langsung menarikku ke dalam dekapannya. Dia mendekapku dengan sangat erat, bahkan aku tak mampu menepisnya. Pipi kananku ditempatkan tepat pada otot dadanya. Dan hangat tubuhnya pun langsung menempel erat pada kulit-kulitku.

Aku yang syok, sontak menghentikan tangisan dan hanya terbelalak. Rasanya jantungku sudah berada pada level detakkan terkencang.

“Apa lagi ini!” batinku.

Tak berapa lama, Geraldy kembali mengubah drastis sikapnya.

“Cengeng banget! Udah cepat makeup-in lagi!”

Ia yang tadinya bersikap manis kembali garang. Dia bahkan menghempaskan aku dengan kasar dari pelukannya, kemudian langsung duduk di kursi kecil yang ada di dalam tenda.

Aku yang masih binggung dan salah tingkah, mau tidak mau menghapus air mataku serta bergegas mempersiapkan peralatan makeup.

“Pria ini benar-benar!” Aku memaki Geraldy dalam batin.

Dengan tangan yang masih gemetaran, aku menambahkan eyeshadow warna coklat pada kedua kelopak matanya. Tak lupa juga kuoleskan lagi lipbalm pada bibirnya.

Namun aku benar-benar terheran, mengapa mimik Geraldy saat ini terlihat begitu santai? Seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Padahal aku jantungan setengah mati karena pelukannya itu.

Huh! Dia pasti berpikir sudah berhasil mempemainkan perasaanku, kan? Tentu saja tidak! Aku mencari perhatiannya? Jangan-jangan dia yang lagi mencari perhatianku.

Bukan bermaksud ge’er, tetapi apa arti di balik semua sikap tak konsistennya itu? Yang sebentar baik, sebentar kasar, lalu norak, dan ya ... bermacam-macam. Seakan bermain tarik-ulur.

Aku yakin dia tidak menyukaiku, dia hanya ingin mempermainkan perasaanku saja. Mentang-mentang dia ganteng, mungkin Geraldy jadi berani melakukan apa saja.

Seperti yang Bunda pernah bilang, kebanyakan pria memang brengsek. Terutama pria ganteng, mereka biasanya lebih berani untuk semena-mena mempermainkan hati perempuan. Aku tidak boleh lengah!

***

Jam menunjukkan pukul 8 malam. Proses shooting pun dilanjutkan.

Action!” Geraldy dan Victoria kembali adu peran.

Meskipun rasanya aku ingin rebahan di tenda, tetapi aku memilih untuk tetap berada dalam keramaian. Aku tak ingin dihantui oleh hal mistis lagi. Ya, walaupun menonton proses shooting ini juga bukanlah ide yang bagus.

Menonton keromantisan orang lain membuatku geli. Jujur saja, aku agak uwuphobia. Duh, malahan tadi aku baru saja dipeluk oleh seseorang yang nggak kusukai!

Dipeluk sama seseorang yang kusukai saja belum tentu aku mau, apalagi sama orang yang nggak aku sukai! Geraldy benar-benar kurang ajar! Seharusnya aku menamparnya saja tadi.

“Eh, kok aku malah mikirin dia lagi!” batinku sambil memukul kepalaku tiga kali.

Aku pun berusaha mencari kesibukan lain. Kebetulan aku mendapati Mas Rudi sedang sibuk membuat kopi. Akhirnya kuputuskan untuk menghampirinya.

“Mas Rudi,” sapaku.

“Eh, Jaeryn. Kamu di sini.” Mas Rudi mengangkat gelas kopinya.

 “Kamu beneran gapapa? Maaf, ya. Soalnya tadi Geraldy yang nggak izinin kamu pulang. Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi,” jelas Mas Rudi.

“Justru aku yang mau minta maaf. Mas mah nggak salah apa-apa. Maaf, ya, aku jadi ngerepotin terus,” ujarku memelas.

Jujur aku benar-benar nggak enak hati sama Mas Rudi yang selalu memperhatikan aku. Aku merasa seperti menjadi beban tambahan untuk Mas Rudi.

“Ah, enggak kok. Mas cuma berharap kamu kerasan aja kerja di sini. Soalnya Mas capek nih, kalau penata riasnya Geraldy gonta-ganti mulu.” Mas Rudi menyeruput kopinya.

“Ya, sebenarnya agak berat, sih,” curhatku.

Entah mengapa tiba-tiba aku terbuka untuk bercerita kepada orang yang baru aku kenal. Padahal biasanya aku jarang curhat, bahkan kepada Bunda. Mungkin, karena Mas Rudi orang yang menurutku sangat hangat.

“Berat kenapa? Kalau mau curhat boleh banget, kok,” tawar Mas Rudi.

Aku memainkan jariku karena canggung, tetapi rasanya aku benar-benar ingin menumpahkan uneg-uneg.

Akhirnya aku memutuskan untuk terbuka dan bertukar pikiran dengan Mas Rudi. Kali saja aku bisa merasa lebih lega dan mendapatkan sudut pandang baru. Ku ceritakan pada Mas Rudi semua pengalaman mistis yang aku rasakan sejak hari pertama.  Bahkan kejadian yang baru saja menimpaku tadi.

“Oh, kalau tentang itu, sih, bukan cuma kamu aja yang merasakan. Penata rias sebelumnya juga mengalami itu, kok. Makanya penata riasnya Geraldy gonta-ganti mulu,” jelas Mas Rudi.

Sesuai dugaanku, Geraldy pasti tidak hanya mengerjaiku seorang saja.

“Mmm ... gitu, ya. Kalau Mas Rudi sendiri gimana? Pernah nggak?” aku memberanikan diri untuk mengorek informasi lebih jauh.

“Sering banget, sampai ke rumah malah. Bahkan pernah ada sosok yang tampak gantung diri di kamarku.  Setelah aku mengucek mata beberapa kali, akhirnya sosok itu hilang.”

Bulu kudukku langsung berdiri mendengar penjelasan Mas Rudi. Aku menatap Mas Rudi dengan tatapan tak percaya.

“Tapi itu dulu, sih. 3 tahun pertama aku kerja sama Geraldy. Tapi belakangan udah jarang.”

“Kamu nanti akan terbiasa, kok,” sambung Mas Rudi lagi.

“Jujur aku, sih, agak penakut. Duh, amit-amit, deh. Jangan sampai aku mengalami hal serupa dengan Mas Rudi,” balasku.

Mas Rudi hanya tertawa kecil kepadaku dan menyeruput kopinya lagi.

Namun, rasa penasaranku masih belum terpuaskan.

“Apa semua ini terjadi karena Geraldy indigo?” Cecarku lagi.

Ternyata pertanyaanku itu membuat Mas Rudi agak kesal, ia bahkan langsung menatap tepat pada mataku.

“Ssstt ... kamu nggak boleh cerita ke siapa-siapa kalau kamu mengalami hal mistis selama kerja untuk Geraldy. Nanti bakalan banyak gosip. Meskipun sudah banyak yang tahu kalau dia itu Indigo, tetapi nggak ada yang tahu kalau beberapa staff di sekeliling Geraldy bakalan turut mengalami hal mistis. Pokoknya kamu tutup mulut aja,” ucap Mas Rudi dengan nada agak mengancam.

Aku yang sedikit terkejut pun mengiyakan dengan cepat. Jangan sampai Mas Rudi menilai bahwa aku adalah orang yang tak bisa dipercaya.

“Aku janji nggak bakalan menyebarkan apa pun, Mas. Aku juga akan berusaha bertahan di sini. Terima kasih, Mas, atas masukannya,” tutupku basa-basi.

Mas Rudi pun kembali menambahkan satu saran kepadaku. Bahwa aku mungkin harus menemukan beberapa motivasi untuk tetap bertahan bekerja untuk Geraldy. Hal itu berguna agar aku lebih memberanikan diri ketika menghadapi kejadian yang menurutku tak masuk akal.

“Uang mungkin? Soalnya gaji di sini besar, lho. Kamu aja yang baru masuk gajinya setara dengan penata rias di agensi lain yang sudah berpengalaman dua tahun,” Mas Rudi mencoba memberikan ide yang bisa memotivasiku untuk bertahan.

“Iya, sih. Uang itu hampir selalu menjadi alasan, hehehe.”

“Semangat, ya, Jaeryn. Aku juga demi istri di rumah,” balas Mas Rudi sambil tersenyum optimis.

“Hah, Mas Rudi sudah menikah?” Seketika hatiku dihujani begitu banyak pertanyaan karena terkejut atas pengakuan itu.

“Aku mau ke sana dulu. Ku tinggal dulu, ya, Jaeryn. Semangat!”

Aku pun hanya tersenyum tak ikhlas dan menganggukan kepala. Punggung Mas Rudi perlahan-lahan menjauh dari pandangannku. Dan entah mengapa, aku merasa murung. Mengapa aku malah iri sama istrinya Mas Rudi, ya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status