ホーム / Horor / Sang Penata Rias / BAB 9 - UWUPHOBIA

共有

BAB 9 - UWUPHOBIA

作者: Juni Sari
last update 最終更新日: 2021-09-01 23:49:02

Orang bilang, apabila kita bermimpi tersesat di hutan, maka mimpi itu melambangkan bahwa seseorang yang kita anggap baik, nyatanya adalah seseorang yang buruk. Apakah semua ini adalah pertanda? Apakah ini tentang Mas Rudi? Atau justru Geraldy?

Namun, aku yakin sekarang ini tidak sedang terjebak dalam mimpi.

Aku yakin bahwa jari-jari hangat yang sedang melingkar pada lenganku, adalah benar jari manusia. Meskipun pria yang masih terus memegangiku saat ini, tampak seperti pria yang ada di dalam dongeng. Seakan dia itu tidak nyata. Tetapi ini bukanlah mimpi!

“Jaeryn, kamu gapapa?” panggilan Mas Rudi menjadi sihir yang mengubah segalanya kembali menjadi normal.

“Iya, gapapa,” jawabku lesu.

Meskipun yang kubalas adalah pertanyaan Mas Rudi, tetapi yang kutatap adalah wajah Geraldy. Sebab, entah bagaimana wajahnya itu seakan memiliki magnet yang membuatku tak bisa melepaskan pandangan.

“Kalau masih nggak enak badan, kamu pulang aja Jaeryn.” Mas Rudi sekali lagi menunjukkan perhatiannya.

Tentu saja aku ingin mengiyakan, tetapi aku masih terlalu syok untuk mengeluarkan suara. Aku masih butuh beberapa saat lagi untuk mengembalikan kesadaran sepenuhnya.

Namun, Geraldy mendahuluiku dengan berkata,

“Enak aja!”

“Udah lo jangan manja! Cepat lanjut makeup-in.” Geraldy yang jarinya masih melingkar di lenganku, kini menarikku untuk mengikuti langkahnya.

Geraldy benar-benar menyebalkan. Aku yakin dia adalah orang yang membuat semua hal tak masuk akal ini menimpaku. Tetapi dia malah sama sekali tidak menunjukkan nuraninya.

Dengan langkah kaki lesu dan jantung yang masih berdegup kencang, aku mengikuti Geraldy kembali ke tenda. Dan tentu saja Geraldy mengunci tenda.

“Lemah banget, sih, lo! Baru kerja beberapa hari aja udah tumbang.” Geraldy mengkritikku lagi.

“Bukan gitu. Tadi tiba-tiba ada yang memanggil namaku. Padahal aku cuma sendirian di toilet. Terus pas aku ketemu kamu, yang terlihat di depan mataku semuanya adalah hutan. Kemarin juga kayak gitu, makanya aku sampai pingsan,” jelasku panjang lebar sambil berharap Geraldy akan menjelaskan sesuatu kepadaku.

“Lah, terus? Masalahnya di mana?” Geraldy malah seakan sengaja membuatku berada di posisi yang salah. Hal itu membuatku kehabisan jawaban.

“Lo bisu apa gimana, sih? Kalau ditanya sering diam!”

“Enggak bermaksud gitu, aku cuma –”

“Takut?” Geraldy langsung menskakmat.

Tanpa mampu menjawab, mataku mulai berkaca-kaca. Gerlady benar-benar tega. Aku merasa tengah disudutkan.

Dan di sela-sela situasi nggak mengenakkan ini, tiba-tiba suara menyeramkan itu kembali terdengar,

“Jaeryn ... Jaeryn ... Jaeryn ....”

Aku sontak berjongkok dan menangis.

“Akh ... hentikan! Sudah cukup!” Bentakku.

“Cu ... kup,” bisikku lagi.

Tanpa basa basi Geraldy berjongkok di depanku dan tersenyum aneh. Aku pun menatap ke arahnya dengan mata yang sudah berlinang air mata.

“Udah gue bilang kalau mereka itu temanku. Nggak usah lebai, deh! Atau jangan-jangan lo mau nyari perhatian gue, ya?”

Aku langsung mengambil sikap berdiri dan menggeleng sambil tersedu-sedu. Geraldy pun turut melakukan hal yang sama dan melanjutkan perkataannya,

“Duh, nggak usah munafik! Lo pasti berharap buat gue peluk, kan?

Belum sempat aku menggeleng untuk kedua kalinya, Geraldy langsung menarikku ke dalam dekapannya. Dia mendekapku dengan sangat erat, bahkan aku tak mampu menepisnya. Pipi kananku ditempatkan tepat pada otot dadanya. Dan hangat tubuhnya pun langsung menempel erat pada kulit-kulitku.

Aku yang syok, sontak menghentikan tangisan dan hanya terbelalak. Rasanya jantungku sudah berada pada level detakkan terkencang.

“Apa lagi ini!” batinku.

Tak berapa lama, Geraldy kembali mengubah drastis sikapnya.

“Cengeng banget! Udah cepat makeup-in lagi!”

Ia yang tadinya bersikap manis kembali garang. Dia bahkan menghempaskan aku dengan kasar dari pelukannya, kemudian langsung duduk di kursi kecil yang ada di dalam tenda.

Aku yang masih binggung dan salah tingkah, mau tidak mau menghapus air mataku serta bergegas mempersiapkan peralatan makeup.

“Pria ini benar-benar!” Aku memaki Geraldy dalam batin.

Dengan tangan yang masih gemetaran, aku menambahkan eyeshadow warna coklat pada kedua kelopak matanya. Tak lupa juga kuoleskan lagi lipbalm pada bibirnya.

Namun aku benar-benar terheran, mengapa mimik Geraldy saat ini terlihat begitu santai? Seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Padahal aku jantungan setengah mati karena pelukannya itu.

Huh! Dia pasti berpikir sudah berhasil mempemainkan perasaanku, kan? Tentu saja tidak! Aku mencari perhatiannya? Jangan-jangan dia yang lagi mencari perhatianku.

Bukan bermaksud ge’er, tetapi apa arti di balik semua sikap tak konsistennya itu? Yang sebentar baik, sebentar kasar, lalu norak, dan ya ... bermacam-macam. Seakan bermain tarik-ulur.

Aku yakin dia tidak menyukaiku, dia hanya ingin mempermainkan perasaanku saja. Mentang-mentang dia ganteng, mungkin Geraldy jadi berani melakukan apa saja.

Seperti yang Bunda pernah bilang, kebanyakan pria memang brengsek. Terutama pria ganteng, mereka biasanya lebih berani untuk semena-mena mempermainkan hati perempuan. Aku tidak boleh lengah!

***

Jam menunjukkan pukul 8 malam. Proses shooting pun dilanjutkan.

Action!” Geraldy dan Victoria kembali adu peran.

Meskipun rasanya aku ingin rebahan di tenda, tetapi aku memilih untuk tetap berada dalam keramaian. Aku tak ingin dihantui oleh hal mistis lagi. Ya, walaupun menonton proses shooting ini juga bukanlah ide yang bagus.

Menonton keromantisan orang lain membuatku geli. Jujur saja, aku agak uwuphobia. Duh, malahan tadi aku baru saja dipeluk oleh seseorang yang nggak kusukai!

Dipeluk sama seseorang yang kusukai saja belum tentu aku mau, apalagi sama orang yang nggak aku sukai! Geraldy benar-benar kurang ajar! Seharusnya aku menamparnya saja tadi.

“Eh, kok aku malah mikirin dia lagi!” batinku sambil memukul kepalaku tiga kali.

Aku pun berusaha mencari kesibukan lain. Kebetulan aku mendapati Mas Rudi sedang sibuk membuat kopi. Akhirnya kuputuskan untuk menghampirinya.

“Mas Rudi,” sapaku.

“Eh, Jaeryn. Kamu di sini.” Mas Rudi mengangkat gelas kopinya.

 “Kamu beneran gapapa? Maaf, ya. Soalnya tadi Geraldy yang nggak izinin kamu pulang. Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi,” jelas Mas Rudi.

“Justru aku yang mau minta maaf. Mas mah nggak salah apa-apa. Maaf, ya, aku jadi ngerepotin terus,” ujarku memelas.

Jujur aku benar-benar nggak enak hati sama Mas Rudi yang selalu memperhatikan aku. Aku merasa seperti menjadi beban tambahan untuk Mas Rudi.

“Ah, enggak kok. Mas cuma berharap kamu kerasan aja kerja di sini. Soalnya Mas capek nih, kalau penata riasnya Geraldy gonta-ganti mulu.” Mas Rudi menyeruput kopinya.

“Ya, sebenarnya agak berat, sih,” curhatku.

Entah mengapa tiba-tiba aku terbuka untuk bercerita kepada orang yang baru aku kenal. Padahal biasanya aku jarang curhat, bahkan kepada Bunda. Mungkin, karena Mas Rudi orang yang menurutku sangat hangat.

“Berat kenapa? Kalau mau curhat boleh banget, kok,” tawar Mas Rudi.

Aku memainkan jariku karena canggung, tetapi rasanya aku benar-benar ingin menumpahkan uneg-uneg.

Akhirnya aku memutuskan untuk terbuka dan bertukar pikiran dengan Mas Rudi. Kali saja aku bisa merasa lebih lega dan mendapatkan sudut pandang baru. Ku ceritakan pada Mas Rudi semua pengalaman mistis yang aku rasakan sejak hari pertama.  Bahkan kejadian yang baru saja menimpaku tadi.

“Oh, kalau tentang itu, sih, bukan cuma kamu aja yang merasakan. Penata rias sebelumnya juga mengalami itu, kok. Makanya penata riasnya Geraldy gonta-ganti mulu,” jelas Mas Rudi.

Sesuai dugaanku, Geraldy pasti tidak hanya mengerjaiku seorang saja.

“Mmm ... gitu, ya. Kalau Mas Rudi sendiri gimana? Pernah nggak?” aku memberanikan diri untuk mengorek informasi lebih jauh.

“Sering banget, sampai ke rumah malah. Bahkan pernah ada sosok yang tampak gantung diri di kamarku.  Setelah aku mengucek mata beberapa kali, akhirnya sosok itu hilang.”

Bulu kudukku langsung berdiri mendengar penjelasan Mas Rudi. Aku menatap Mas Rudi dengan tatapan tak percaya.

“Tapi itu dulu, sih. 3 tahun pertama aku kerja sama Geraldy. Tapi belakangan udah jarang.”

“Kamu nanti akan terbiasa, kok,” sambung Mas Rudi lagi.

“Jujur aku, sih, agak penakut. Duh, amit-amit, deh. Jangan sampai aku mengalami hal serupa dengan Mas Rudi,” balasku.

Mas Rudi hanya tertawa kecil kepadaku dan menyeruput kopinya lagi.

Namun, rasa penasaranku masih belum terpuaskan.

“Apa semua ini terjadi karena Geraldy indigo?” Cecarku lagi.

Ternyata pertanyaanku itu membuat Mas Rudi agak kesal, ia bahkan langsung menatap tepat pada mataku.

“Ssstt ... kamu nggak boleh cerita ke siapa-siapa kalau kamu mengalami hal mistis selama kerja untuk Geraldy. Nanti bakalan banyak gosip. Meskipun sudah banyak yang tahu kalau dia itu Indigo, tetapi nggak ada yang tahu kalau beberapa staff di sekeliling Geraldy bakalan turut mengalami hal mistis. Pokoknya kamu tutup mulut aja,” ucap Mas Rudi dengan nada agak mengancam.

Aku yang sedikit terkejut pun mengiyakan dengan cepat. Jangan sampai Mas Rudi menilai bahwa aku adalah orang yang tak bisa dipercaya.

“Aku janji nggak bakalan menyebarkan apa pun, Mas. Aku juga akan berusaha bertahan di sini. Terima kasih, Mas, atas masukannya,” tutupku basa-basi.

Mas Rudi pun kembali menambahkan satu saran kepadaku. Bahwa aku mungkin harus menemukan beberapa motivasi untuk tetap bertahan bekerja untuk Geraldy. Hal itu berguna agar aku lebih memberanikan diri ketika menghadapi kejadian yang menurutku tak masuk akal.

“Uang mungkin? Soalnya gaji di sini besar, lho. Kamu aja yang baru masuk gajinya setara dengan penata rias di agensi lain yang sudah berpengalaman dua tahun,” Mas Rudi mencoba memberikan ide yang bisa memotivasiku untuk bertahan.

“Iya, sih. Uang itu hampir selalu menjadi alasan, hehehe.”

“Semangat, ya, Jaeryn. Aku juga demi istri di rumah,” balas Mas Rudi sambil tersenyum optimis.

“Hah, Mas Rudi sudah menikah?” Seketika hatiku dihujani begitu banyak pertanyaan karena terkejut atas pengakuan itu.

“Aku mau ke sana dulu. Ku tinggal dulu, ya, Jaeryn. Semangat!”

Aku pun hanya tersenyum tak ikhlas dan menganggukan kepala. Punggung Mas Rudi perlahan-lahan menjauh dari pandangannku. Dan entah mengapa, aku merasa murung. Mengapa aku malah iri sama istrinya Mas Rudi, ya?

***

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Sang Penata Rias   BAB 55 – NGOMPOL?

    “Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn

  • Sang Penata Rias   BAB 54 – HUKUMANKU SELAMA INI SIA-SIA?

    “Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang

  • Sang Penata Rias   BAB 53 – HUKUMAN LAGI UNTUK PEREMPUAN LEMAH

    Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.

  • Sang Penata Rias   BAB 52 – MEMBANGUN KEMBALI BATASAN

    GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer

  • Sang Penata Rias   BAB 51 – ORANG YANG MEMBUNUH MAS RUDI

    “Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m

  • Sang Penata Rias   BAB 50 – SARAPAN MATA DAN BIBIR

    “Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t

  • Sang Penata Rias   BAB 49 – MENJADI KORBAN KEDUA?

    Geraldy, banyak yang tak tahu sesungguhnya laki-laki seperti apa dirinya. Orang-orang pasti tak menyangka, Geraldy yang biasanya dikenal tampan dan penuh bakat bisa dengan keji melakukan pembunuhan. Pulanya ia tak ambil pusing untuk merasa bersalah.Sebuah serpihan besar botol wine kini menempel di leherku. Tanpa basa-basi Geraldy menyayatkan leherku dengan serpihan tersebut. Aku tak berdaya, begitu pula dengan darahku. Mereka mengalir deras ke arah bawah; mencari tempat yang lebih rendah. Pandanganku pun memudar seiring melemahnya kesadaranku.Geraldy benar-benar menjadikan aku sebagai korban keduanya. Sungguh betapa kejinya ia; seorang pembunuh bertopeng idola.Namun, leherku yang tersayat serpihan botol wine hingga mengeluarkan darah seharusnya terasa dingin. Tapi mengapa, aku malah merasakan kehangatan di sekuju

  • Sang Penata Rias   BAB 48 – SALING INGIN MEMENANGKAN PERDEBATAN

    Di sela-sela perjuanganku untuk fokus, Geraldy kembali berbicara. Ia terdengar sedikit mabuk.“Santai. Lo nggak harus mikirin biaya karena rumah lo gue renov gratis. Kalau orang tanya sementara rumah lo di renov, lo tinggal di mana … ingat! Bilang aja lo nyewa rumah lagi. Jangan sampai keceplosan bilang kalau lo tinggal di rumah gue!”“Iya, siap,” jawabku cepat.Sepertinya sepulang dari rumah sakit tadi Geraldy langsung mengurusi renovasi rumahku. Makanya dia baliknya agak lama.Namun, jujur saja aku agak tak terima Geraldy merenovasi rumahku tanpa izinku dan Bunda. Meskipun hal itu adalah perbuatan baik, tapi setidaknya dia nanya dulu, ngga, sih? Aish … si micellar water ini benar-benar. Kali ini aku mulai kesal kepada Geraldy. Hanya karena dia punya banyak uang, bukan berarti bisa sesukanya saja merubah rumah orang lain.“Tapi kenapa, sih, renov rumahku tanpa izin? Barang-barangku gimana?” Protesk

  • Sang Penata Rias   BAB 47 – SEHARUSNYA MIKIR SEBELUM UPLOAD

    “Kalau ditanya, tuh, langsung jawab bisa nggak, sih?” Geraldy kembali mendesakku yang terdiam kehabisan kata-kata.“Maaf,” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata serta dipenuh rasa bersalah.Karena ditegur Geraldy, aku baru tersadar atas perilakuku yang salah. Memang seharusnya tadi aku mikir dulu sebelum upload foto itu. Sayangnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur.“Duh, bodohnya kamu Jaeryn. Mau curhat malah berakhir nambah beban pikiran,” sesalku dalam batin.“Aku harus gimana, dong?” Tanyaku sedih. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke lantai.Geraldy beranjak berdiri dan berkata, “Mau gimana lagi. Kalau ditanya lo harus jawab bahwa tadinya lo cuma mampir ke apartemen gue sepulang dari rumah sakit buat ngambil vitamin yang udah gue beli dari luar negeri. Jangan sampai ada yang tahu kalau lo tinggal di sini. Kecuali, kalau lo mau dihujat.”Mendengar ide kebohongan

無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status