Dikamar itu Satrio Wirang sedang duduk menemani gurunya yang berbaring karena luka dari pertempurannya melawan Kakek Pendekar harimau , luka itu ternyata bukan luka biasa yang bisa disembuhkan dengan tenaga dalam atau obat-obatan biasa ,sudah tiga hari Ki Naga Baruna hanya bisa berbaring di ranjangnya ,kondisinya kian hari kian memburuk, berbagai cara telah di lakukan dan sudah banyak tabib yang bergantian datang namun masih tidak membawakan hasil apa pun.
Satrio Wirang begitu mengkhawatirkan kondisi gurunya , dia duduk melamun sendiri di bawah pohon besar yang terletak di halaman padepokan sambil memikirkan cara agar gurunya cepat sembuh , Aryo Guntur yang melihat Satrio Wirang yang sendirian dia datang menghampirinya dan duduk di sampingnya
"Apa yang sedang Kau pikirkan?, Wirang " tanya Aryo Guntur.
"Aku hanya sedang ke pikiran dengan kondisi saat ini " jawab Satrio Wirang.
" Untuk soal itu Kamu tidak usah khawatir , Aku sudah menemukan caranya " ucap Aryo Guntur.
"Bagaimana caranya menyembuhkan guru?" sahut Satrio Wirang dengan semangat.
"Yaitu dengan meminumkan darah ayam cemani pada guru" jawab Aryo Guntur.
"Kalo begitu, ayo sekarang kita cari" ajak Satrio Wirang.
"Sebenarnya Aku dan yang lainnya ingin mencarinya tapi siapa yang akan menjaga guru, aku takut Kakek Pendekar Harimau akan datang lagi" keluh Aryo Guntur.
"Baiklah kalo begitu biar aku yang akan mencarikan ayam itu untuk guru" tegas Satrio Wirang..
"Bagus Wirang , kau memang bisa diandalkan" puji Aryo Guntur.
Tanpa membuang banyak waktu Satrio Wirang segera mengambil panahnya dan pergi menuju ke dalam hutan mencari ayam cemani untuk obat gurunya. Melihat Satrio Wirang yang pergi dari padepokan Aryo Guntur tiba-tiba tersenyum licik seperti merencanakan sesuatu.
Suasana dalam hutang sangat mencekam. Lebatnya pepohonan membuat sinar matahari terhalang masuk. Satrio Wirang berusaha menguatkan tekadnya. Karena ayam cemani yang dia cari hanya hidup di hutan paling dalam. Semakin memasuki hutan semakin sedikit cahaya yang mampu menembus pepohonan. Satrio Wirang mulai mendengar suara kokokan ayam ,namun keadaan di sana sangat gelap.Hal itu membuat penglihatan matanya sangat terbatas. Apalagi ditambah dengan warna ayam cemani yang serba hitam menambah kesulitan untuk menemukan ayam itu. Dia mencoba memanah ke sumber suara itu ,namun saat menghampirinya anak panah itu hanya tertancap pada sebuah pohon. Kini suara ayam itu terdengar dari arah belakang Satrio Wirang. Satrio Wirang kembali mengangkat anak panahnya mengarahkannya ke asal suara itu namun, tiba- tiba suara itu berpindah dari arah samping kanannya lalu berpindah lagi ke arah kirinya kemudian dari arah depannya , suara itu seperti dari semua arah di penjuru hutan. Satrio Wirang mulai putus asa suara ayam itu seperti menggema di telinganya ditambah kondisi hutan yang gelap membuatnya sangat tersiksa.Walau sudah sekuat tenaga pun dia menutup telinga. Suara itu masih saja berhasil mengganggu pendengarannya. Satrio Wirang sudah tindak kuat menahannya lagi menahan gangguan dari suara itu dan akhirnya dia jatuh pingsan. Di dalam mimpinya dia teringat kenangannya bersama para saudara seperguruannya di tengah kenanganya dia mengingat saat pertama kali Elangga mengajarinya memanah. Di saat itu Satrio Wirang kagum dengan kemampuan Elangga yang bisa memanah dengan mata tertutup. Pada waktu itu Elangga mengajarinya bahwa kunci untuk memanah bukan lah mata tapi hatinya. Elangga menyuruh Satrio Wirang agar biarkan hatinya yang mengarahkan ke mana anak panah itu melesat.
Satrio Wirang kembali tersadar. Karena sebuah daun yang jatuh di atas matanya sehingga menyadarkannya. Dia kembali berdiri dengan sisa tenaganya tidak lama suara ayam itu terdengar lagi dari seluruh penjuru hutan. Saat ini dia mencoba menutup matanya membiarkan hatinya yang menuntunnya dia berbalik ke arah belakang. Kemudian menarik perlahan busurnya dan dengan lembut melepaskan anak panah. Tidak disangka anak panah itu melesat dengan cepat. Suara ayam pun menghilang. Satrio Wirang segera berlari menuju ke arah anak panah tadi dan benar saja panah itu tepat mengenai kepala ayam cemani yang bersuara tadi dengan bangga dia mengambil ayam itu dan segera berlari keluar hutan dengan sangat senang.
Hari sudah gelap Satrio Wirang yang baru sampai padepokan langsung menaruh barang-barangnya bergegas ke dapur dan menuangkan darah ayam itu ke dalam sebuah gelas bambu. Satrio Wirang berjalan menuju kamar gurunya namun dia tidak menemukan gurunya di sana. Karena tidak menemukan gurunya dia mencoba ke suadaranya yang lain tapi tidak satupun dari mereka yang dia temui. Satrio Wirang segera berkeliling padepokan mencari guru dan saudaranya yang lain. sampai dia melihat pintu gudang pusaka yang terbuka. Satrio Wirang masuk ke ruangan itu ruang dan betapa terkejutnya dia melihat gurunya yang terkapar dilantai dengan sebuah pedang menancap di perutnya. Satrio Wirang segera memangku gurunya dan mencabut pedang yang menancap di perut gurunya itu. Perlahan dia mencoba membangunkan gurunya.
“Guru, bangun Guru” Satrio Wirang panik.
Perlahan Ki Naga Baruna pun membuka matanya.
“Wirang anakku ,Aryo Guntur dan yang lain telah berkhianat , saat engkau pergi mereka menerobos masuk ke gudang pusaka dan mengambil pusaka naga ,saat aku memergoki mereka Aryo Guntur langsung menusukku kemudian masing-masing dari mereka mengambil satu pusaka naga dan pergi meninggalkan padepokan” bisik Ki Naga Baruna dengan nafas terputus- putus.
“maafkan aku seharusnya aku tidak meninggalkanmu” sesal Satrio Wirang mengeluarkan air matanya.
“Wirang anakku ,hanya satu permintaan terakhirku , bawalah kembali tujuh pusaka naga yang di curi saudara-suadaramu dan kuburkan tujuh pusaka naga itu bersama mayatku” bisik Ki Naga Baruna sambil memegang erat tangan kanan Satrio Wirang.
Belum sempat Satrio Wirang mengiyakan permintaan gurunya ,Ki Naga Baruna sudah menghembuskan nafas terakhirnya ,Satrio Wirang berteriak sangat keras menangisi kematian gurunya yang sangat dia cintai , banyak sekali hal yang mereka lalui membuat tangisan Satrio Wirang semakin menjadi jadi.
Pagi harinya Satrio Wirang memakamkan gurunya di halaman padepokan ,setelah selesai pemakanan guru Satrio Wirang masuk ke gudang pusaka dia membuka peti emas di mana dulu tujuh pusaka naga tersimpan. Di dalam kotak emas itu hanya tersisa jubah naga hitam yang masih terlipat rapih. Satrio Wirang mengambil jubah itu dan ternyata didalam jubah itu ada sebuah kitab yang bertuliskan kitab naga hitam. Satrio Wirang memakaikan jubah itu kedirinya dan berjanji dia akan membalas dendam dan mengumpulkan kembali pusaka naga yang telah di curi.
Di sisi lain Aryo Guntur dan yang lainnya telah sampai disebuah desa. Mereka tengah makan di sebuah warung makan. Saat itu Aryo Guntur bercerita bahwa saat pertarunngan gurunya dan Kakek Pendekar Harimau dia begitu terpesona dengan kehebatan pusaka tombak petir milik gurunya. Hingga kemarin saat dia bertanya pada gurunya kapan gurunya itu akan mewariskan tujuh pusaka naga padanya namun gurunya malah menjawab bahwa tujuh pusaka naga tidak akan lagi diwariskan ke siapa pun termasuk muridnya. Aryo Guntur pun marah kemudian membujuk yang lainya untuk mencuri pusaka lalu kabur dari padepokan, namun saat ini meraka memutuskan untuk berpisah karena masing-masing dari mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda.
Demi membalaskan dendamnya Satrio Wirang berlatih sangat keras. Mulai dari terbit matahari sampai matahari terbenam. Berbagai latihan keras di jalani agar menambah kesaktian ilmu kanuragganya. Dia mulai mempelajari kitab naga milik gurunya. Meski sudah sebulan lebih Satrio Wirang berlatih dengan sangat keras namun semua latihannya terasa percuma karena sampai saat ini dia masih belum mampu mengeluarkan kemampuan tenaga dalamnya. Dia mulai merasa putus asa karena tanpa kesaktian ilmu tenaga dalam dia tidak mungkin bisa mengalahkan saudara seperguruannya. Apa lagi sekarang kesaktian mereka akan meningkat dengan pusaka naga di tangan mereka. Mustahil mengalahkan mereka hanya dengan jurus-jurus beladirinya saja.Satrio Wirang yang putus asa datang ke makam gurunya. Dia mulai menangis meminta maaf karena dirinya yang tidak berdaya. Di saat Satrio Wirang melihat batu nisan milik gurunya dia melihat sepotong kulit harimau yang tergantung di nisan gurunya,Kulit harimau itu mengingatk
Wanita itu tersadar dalam sebuah kamar .dia memperhatikan kondisi sekitarnya. Di dalam ruangan itu hanya ada ranjang kecil dan sebuah meja kayu disampinyanya, Dia mencari pedangnya namun di tidak menemukannya. Dia mulai panik ketika mendengar suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Dia lalu mengambil sebuah tusuk konde miliknya untuk sebuah senjata. Suara langkah kaki itu terdengar kian semakin mendekat. Wanita itu mencoba bersembunyi di balik pintu. Di saat pintu itu di buka wanita itu langsung menyergapnya dan menodongkan tusuk kondenya ke leher orang yang membuka pintu tadi. Dan ternyata itu adalah Satrio Wirang yang membawa buah-buhan dan segelas air putih ."Siapa kau ?" tanya wanita itu."Aku Satrio Wirang ,Nona" jawab Satrio Wirang."Satrio Wirang , kebetulan sekali aku bisa membalaskan dendamku sekarang" ucap Wanita itu."Memangnya apa salah saya ?, apa kita saling kenal" tanya Satrio Wirang."Kau telah membunuh kakekku !, ak
Pagi itu ayam baru saja berkokok. Suasana di luar masih sangat gelap. Mentari masih nyenyak dalam tidurnya dan embun pagi masih begitu lengket memeluk dedaunan. Embun pagi masih begitu pekat hingga tidak ada mata yang mampu menembusnya. Tapi berbeda dengan padepokan yang sudah terang dengan obor. Satrio Wirang dan Arum Sari sedang wara-wiri menyiapkan barang-barang untuk perjalanan mereka. Mereka sengaja berangkat pagi-pagi buta agar sebelum senja mereka sudah sampai ke desa terdekat. Padepokan Ki Naga Baruna memang terletak di desa terpencil yang hanya di tempati oleh beberapa penduduk saja. Untuk bepergian mereka harus menempuh jarak satu hari perjalanan dengan jalan kaki. Untuk bekal mereka Satrio Wirang mengambil sekantong keping emas simpanan guru yang selama ini tidak dia gunakan. Ternyata di padepokan terdapat banyak sekali kepingan emas yang di simpan dalam sebuah peti di ruang pusaka. Arum Sari juga hanya bisa melongo karena melihat kepingan emas sebanyak itu. Matah
Siang itu matahari terasa sangat panas hingga mampu membakar kulit. Satrio Wirang dan Arum Sari tengah menaiki kudanya. Dari kejauhan Maung Ireng memantau mereka berdua. Dia sudah bersiap membidik mereka dengan anak panahnya. Ketika sudah merasa tepat mengarahkan panahnya pada Satrio Wirang dia langsung melepaskan anak panahnya. Namun Satrio Wirang yang sadar akan adanya bahaya langsung menembakkan senjata jarum beracunnya. Kedua senjata itu pun berbenturan dan jatuh ketanah. Karena percobaan pembunuhannya gagal Maung Ireng langsung pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan Satrio Wirang dan Arum Sari mencari siapa yang telah melesatkan anak panah ke arah mereka. Merasa ada yang tengah mengincar mereka berdua Satrio Wirang meminta Arum Sari agar lebih waspada.Di hari berikutnya Maung Ireng mencoba memasang jebakan di jalan yang akan dilewati oleh Satrio Wirang dan Arum Sari. Dia membuat lubang yang penuh dengan bambu runcing di dalamnya dan dia menutupnya dengan daun-daunan k
Desa dadakan adalah desa yang terkena wabah penyakit kulit yang sangat cepat menular. Demi menyebarnya wabah itu maka jika ada warganya yang terkena pergi dari desa itu makan dia akan langsung di bunuh.Satrio Wirang dan Arum Sari begitu miris melihat desa itu yang di penuhi oleh banyak sekali penduduk yang terkena wabah itu. Kondisi fisik warganya begitu kurus karena memang tidak ada orang yang datang ke desa itu hingga tidak ada lagi jual beli di desa itu.Satrio Wirang yang sedang keliling desa melihat seorang anak kecil tertidur di tanah. badan anak itu penuh bintik merah yang sangat menjijikkan. Dengan tatapan memelas dia memandang pada Satrio Wirang. Dengan suara yang sangat lirih dia bilang lapar. Satrio Wirang yang tidak tega menghampiri anak itu. Dia mengeluarkan sebuah buah pisang yang dia simpan sebagai bekalnya dan memberikannya pada anak itu. Dengan cepat anak itu langsung mengambil pisang itu. Dari cara makan anak itu yang begitu lahapnya menunjukkan bahw
Sekelompok pasukan kerajaan tiba di Desa Dadakan. Mereka semua bersenjata lengkap dengan seragam kerajaan berwarna merah yang menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit Kerajaan Salakanegara. Para prajurit itu adalah bawahan dari Aryo Guntur yang juga datang ke desa itu. Sesampainya di desa itu Aryo Guntur langsung menyuruh prajuritnya untuk mengumpulkan semua orang di desa itu. Sedangkan dirinya pergi ke tempat Alikusuma. Alikusuma begitu terkejut melihat kedatangan Aryo Guntur. Namun Aryo Guntur bersikap manis dan langsung memeluk Alikusuma. Alikusuma mempersilahkan Aryo Guntur masuk ke dalam rumahnya dan mempersilahkannya duduk di sebuah kursi kayu."Apa kabar Saudaraku?" tanya Aryo Guntur."Aku baik-baik saja, Kau tidak perlu khawatir." jawab Alikusuma."Syukurlah kalo begitu, sepertinya kau sangat nyaman tinggal di desa ini" ledek Aryo Guntur."Ya, Seperti yang kau lihat" ucap Alikusuma."Sebenarnya kedatanganku kemari karena Aku ada satu
Pagi itu matahari sudah lumayan tinggi. Satrio Wirang dan Arum Sari sedang mengisi perut mereka yang kelaparan sebelum melanjutkan perjalanan mereka. Awalnya kedai itu tenang-tenang saja semuanya seperti biasa makan dengan tenang. Hingga sekelompok orang dengan penampilan yang seram serta membawa berbagi senjata masuk ke kedai itu dan membuat orang di dalam kedai berlarian keluar, Namun Satrio Wirang dan Arum Sari yang tidak tahu apa-apa tetap santai menikmati makanan mereka.Sekelompok orang itu mulai mendekati meja Satrio Wirang. Dengan tatapan tajam mereka seakan mengancam Satrio Wirang dan Arum Sari.“Ki Sanak apa kau orang baru di sini?” tanya Sekelompok orang itu.“Iya Ki Sanak kami pendatang di sini” jawab Satrio Wirang tenang.Melihat wajah cantik Arum Sari sekelompok orang itu mulai menggodanya, bahkan ada yang ingin membelai wajah Arum Sari namun di hentikan oleh Arum Sari. Dengan sekuat tenaganya Arum Sari memutar
Satrio Wirang sedang mengemasi barangnya dari rumah Kepala Desa. Kini dia harus kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencari Bayu Samudra. Menurut kabar dari Kepala Desa satu tahun yang lalu ada seorang pemuda yang juga datang ke kampung ini lalu menanyakan tentang padepokan-padepokan ilmu bela diri yang ada di sekitar sini. Kemudian pemuda itu pergi ke padepokan di desa sebelah yang paling terkenal kesaktian murid-muridnya. Satrio Wirang dan Arum Sari pun bergegas menuju padepokan ilmu bela diri yang Kepala desa maksud. Dengan harapan bisa menemukan Bayu Samudra yang mereka cari.Namun Satrio Wirang dan Arum Sari harus merasa kecewa. Saat sampai di padepokan yang di maksud kepala desa karena padepokan itu sudah tidak berpenghuni lagi, Dari luar bangunan itu penuh dengan sarang laba-laba yang sangat banyak. Sebagian bangunan itu juga sudah di tumbuh oleh tumbuhan."Sekarang kita harus bagaimana Kanda?." tanya Arum Sari."Entahlah Dinda sepertinya