Beberapa saat kemudian, Girimaya dan ketiga rekannya serta tiga orang yang tersesat di hutan itu sudah tiba di kediaman Ki Sowandaru.
Kakek tua yang bernama Yan Tong dan kedua muridnya mendapatkan perlakuan baik dari Girimaya dan juga para murid yang malam itu sudah berada di kediaman guru mereka.Ki Jasukarna pun menyambut baik kehadiran Yan Tong dan kedua muridnya itu.Mereka berbincang sembari menikmati suguhan wedang hangat dan makanan khas Alas Purba yang disuguhkan oleh para murid Ki Sowandaru."Apakah yang terjadi dengan gurumu ini?" tanya Yan Tong mengarah kepada Girimaya yang merupakan murid paling senior di paguron silat itu."Aku tidak mengetahui pasti, penyakit apakah yang diderita guruku ini," jawab Girimaya lirih.Yan Tong sedikit bergeser dan mendekat ke arah pembaringan Ki Sowandaru, "Izinkan aku untuk memeriksa kondisi guru kalian!" ucap pria berusia senja itu.Girimaya dengan senang hati mempersilahkan Yan Tong, "Silahkan, Tuan ToBeberapa saat kemudian, Ki Sowandaru pun terbangun dan segera bangkit. Berkatalah ia, seakan-akan baru terbangun dari tidur lelapnya, "Girimaya! Kau di mana?" panggil Ki Sowandaru matanya masih belum terbuka sepenuhnya dan penglihatannya pun masih tampak samar.Wiratama segera mendekat ke arah pembaringan gurunya, "Girimaya sedang beristirahat, Guru," sahut Wiratama.Ki Sowandaru tampak haus dan segera meminta air kepada muridnya itu. Wiratama segera mengambil segelas air hangat lalu diberikannya kepada Ki Sowandaru."Ini, Guru!"Ki Sowandaru langsung meraih gelas berukuran besar yang terbuat dari keramik itu, "Terima kasih muridku." Pria tua itu tampak haus dan menghabiskan air dalam gelas tersebut.Saat itu, ia masih belum sadar kalau dirinya sedang dikelilingi orang-orang penting dari kerajaan dan para tamu jauh dari negeri Yanang.Beberapa saat setelah minum, Ki Sowandaru menghela nafas panjang, dan menoleh ke arah Panglima Lintang dan juga Senopati
Ki Duaman tampak terkejut ketika baru melangkah menuju arah kediamannya. Dalam perjalanan tersebut berpapasan dengan kedua pendekar paruh baya dan seorang gadis cantik, mereka seperti pasangan suami istri.Keduanya berjalan dengan menggunakan tongkat. Di belakang kedua pasangan pendekar itu, tampak sesosok gadis yang bertubuh mungil, gadis itu diperkirakan baru berumur belasan tahun berparas cantik memiliki bentuk mata bundar, hidungnya yang mancung menaungi sepasang bibirnya yang merekah merah delima, Mengenakan baju pakaian khas Randakala biru muda bermotif bunga dengan celana kampring warna hitam dibalut sarung batik putih setengah di atas lutut. Pada kedua bahunya tampak sebilah pedang yang bertangkai warna coklat mengkilat."Mereka itu siapa? Aku tidak mengenali ketiga orang itu?" gumam Ki Duaman terus mengamati langkah tiga orang asing itu.Gadis cantik itu tersenyum sinis, ketika melihat Ki Duaman sedang mengamatinya. Gadis itu memang terlihat cantik meski hany
Pada saat itu Prabu Erlangga sedang melakukan pertarungan dengan seorang pendekar kuat di sebuah hutan tidak jauh dari istana, kemunculan pendekar itu bermula atas kabar dari Badra yang merupakan prajurit jin yang menjadi kepercayaan sang raja. Badra mempunyai tanggung jawab penuh dalam keamanan wilayah kerajaan Sanggabuana.Akan tetapi, malam itu ia teramat kewalahan dalam mengahadapi gempuran pendekar sakti itu, "Ki Sanak, tunggu!" teriak Prabu Erlangga.Belum selesai ia bicara, tiba-tiba pendekar itu membalikan badan dan langsung menghujamkan sebilah pedangnya ke arah Prabu Erlangga.Pendekar itu memandang dengan marah kepada Prabu Erlangga, wajahnya tampak memerah tetapi tak mau menyahut sepatah kata pun.Beberapa saat kemudian, muncul seorang pendekar wanita dengan memakai pakaian serba merah, sang raja dengan teliti mengamati sosok pendekar wanita itu, "Siapa pendekar wanita itu?" Berkata sang raja dalam hati, sorot matanya penuh selidik menatap tajam pende
Senopati Sulima tampak kesulitan dalam menghadapi kecerdikan Komaladi yang senantiasa dapat menghindari setiap pukulan yang mematikan darinya.Tampaknya, Komaladi memang bukan pendekar sembarangan. Tidak salah Prabu Durdona memberikan misi kepada pendekar itu, untuk membinasakan Prabu Erlangga."Aku harus mencari tahu kelengahan dari pendekar ini," ucap Senopati Sulima berkata dalam hati sembari terus memandangi wajah Komaladi.Melihat tingkah laku Senopati Sulima yang tampak bingung itu, Komaladi tertawa lepas dan berkata penuh cemoohan terhadap Senopati Sulima."Jin yang tidak berguna, yang hanya pantas memakan tulang belulang sisa makanku saja!" kata Komaladi dengan nada tinggi dan kasar.Kemudian, Senopati Sulima pun marah besar, ia tahu bahwa jurus Batara Geni yang dilancarkannya merupakan jurus tingkat tinggi yang sukar dihadapi ataupun dicegah, jurus itu dapat menjadi serangan yang sungguh mematikan. Akan tetapi, Komaladi sangat cerdas dan tangguh, de
Mereka memutuskan untuk bermalam di saung tersebut, Senopati Randu Aji sedikit merasa tidak enak badan maka dari itu ia mengusulkan untuk beristirahat dan akan melanjutkan perjalanan di pagi harinya."Sebaiknya, Gusti Senopati beristirahat saja!" kata Panglima Lintang.Senopati Randu Aji hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, kemudian ia pun segera berbaring di atas bebalean saung tersebut, pandangannya menerawang jauh ke atas langit-langit saung tersebut.Panglima Lintang diam-diam memperhatikan sikap sang raja. Kemudian ia pun memberanikan diri bertanya kepada sang senopati, "Maafkan hamba, Gusti Senopati.""Izinkan hamba bertanya!" sambung Panglima Lintang.Senopati Randu Aji sedikit berpaling ke arah panglimanya, "Silahkan, Panglima!" jawabnya lirih.Panglima Lintang menganggukkan kepala dan berkata lirih, "Hamba hanya ingin mengusulkan jika diterima. Apakah kita harus mencari para pelaku penyebar wara-wara buruk tentang kematian Ki Sowandaru?
Belum sempat membuka topeng dari pendekar itu. Tiba-tiba, datang hembusan angin kencang disertai buih dan asap tebal bergelombang menyelimuti para pendekar yang sudah tewas dan satu pendekar yang masih hidup itu.Tupaseng terkaget-kaget, kalau ia tidak mundur beberapa langkah ke belakang. Mungkin, ia pun akan terbawa masuk dan diselimuti gelombang asap yang disertai angin kencang itu.Asap itu pun bergumpal tebal dan melenyapkan keenam pendekar itu dari tempat tersebut. Entah siapa pelakunya, yang jelas hal itu dilakukan oleh orang yang sangat sakti dan mempunyai tingkat keilmuan tinggi."Aku rasa itu dilakukan oleh para pemberontak yang berada di Alas Gandok. Hal ini, harus segera kita laporkan kepada sang raja!" ujar sang senopati berkata lirih.Panglima Lintang berpaling ke arah Senopati Randu Aji, Berkatalah ia, "Tempat ini sudah tidak aman, kita harus segera berlalu dan melanjutkan perjalanan!"Ki Jasukarna pun sependapat dengan Panglima, "Ya, kamu bena
Martapada teramat murka dan ia segera membentak Panglima Lintang dengan kalimat-kalimat yang terlampau kasar dan tidak beradab, hingga sang panglima pun tidak bisa mengendalikan amarahnya."Kurang ajar," ucap Panglima Lintang segera mencabut kedang pusaka pemberian dari Ki Jasukarna.Meyaksikan kemarahan Panglima Lintang, Senopati Randu Aji, Ki Jasukarna dan lainnya hanya tersenyum-senyum mengamati pergerakan Panglima muda itu."Kau boleh melumpuhkan anak buahku. Namun, kau tidak akan pernah bisa mengalahkan aku dan Jajakilana," ucap Martapada sesumbar di hadapan sang panglima.Panglima Lintang tidak menghiraukan apa yang diucapkan oleh Martapada, ia segera mengerahkan kekuatan dan menodongkan pedang pusakanya dan langsung menyabetkan pedang tersebut ke arah Martapada.Memang sesuai dengan perkataan yang dilontarkannya, Martapada bukanlah pendekar biasa. Gerakan-gerakannya teramat lihai dan menarik perhatian penuh daripada yang menyaksikan laga pertarungan s
Setibanya di istana, Senopati Randu Aji dan Panglima Lintang serta beberapa orang yang ikut dengan mereka, mendapat sambutan hangat oleh para abdi dalem istana dan juga para petinggi kerajaan yang saat itu sedang berkumpul di pendapa bersama sang prabu.Para dayang istana pun segera diperintahkan oleh sang raja untuk menjamu mereka dengan makanan dan minuman istimewa, "Silahkan duduk!" ucap Prabu Erlangga tersenyum hangat menyambut kedatangan Biksu Yan Tong dan kedua muridnya serta Ki Jasukarna."Terima kasih, Gusti Prabu," jawab Biksu Yan Tong memberi hormat kepada sang raja.Begitu pula dengan Ki Jasukarna dan kedua murid Biksu Yan Tong, sebelum duduk mereka memberi hormat dengan menundukkan badan di hadapan sang rajaSenopati Randu Aji didampingi oleh istrinya--Nyimas Arumbi, sudah duduk di samping Prabu Erlangga yang didampingi oleh Nyimas Arimbi sebagai permaisurinya.Sementara Panglima Lintang duduk sejajar bersebelahan dengan Biksu Yan Tong, Ki Bayu S