MasukSemua murid bersama Tetua Zee dan Tetua Bao Li beristirahat sejenak di tengah gersangnya reruntuhan. Bau kematian dan asap masih menusuk. Setelah mereka menetapkan tujuan untuk pergi Akademi Daun Semanggi, dan mereka harus segera bergerak. “Kita tidak bisa pergi dengan melewati jalur utama,” tegas Tetua Bao Li, matanya menyapu cakrawala yang dipenuhi bayangan kultivator yang bertarung. “Jalur utama pasti dipenuhi pos pemeriksaan dan perangkap. Kita akan mengambil jalan kecil yang jarang digunakan dan diketahui oleh para pelintas.” Wo Long mengangguk. Dia mengingat jalur itu; jalan memutar yang berbahaya, sering kali tertutup oleh pepohonan rimbun dan tanaman merambat yang berfungsi sebagai kamuflase alami. “Jalur itu melewati Jurang Tidur,” bisik Wo Long. “Sangat curam, tapi tersembunyi.” “Tepat,” jawab Tetua Bao Li. “Dulu aman karena tertutup pepohonan dan tanaman merambat. Sekarang, entah… mungkin saja telah menjadi seperti pisau cukur. Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Seolah alam itu sendiri tahu bahwa waktu telah tiba bagi para penghuninya untuk pergi. Setelah semuanya kembali dari pegunungan, kini suasana di halaman rumput rumah Kakek Fu terasa berat, dipenuhi campuran kehangatan yang mendalam dan kesedihan yang tak terhindarkan. Semua murid Kelas B, para Tetua, dan keluarga Paman Rio berkumpul untuk terakhir kalinya, mereka duduk lesehan di atas tanah yang di selimuti rumput hijau. Sambil mendongakkan kepala untuk melihat Kakek Fu, yang sedang berdiri di depan mereka, memegang tongkatnya erat-erat, matanya yang tua menatap setiap wajah muda di sana dengan cinta yang tak terhingga. “Anak-anakku,” suaranya berat, namun mengandung kekuatan yang menenangkan. “Waktu kalian di Lembah ini telah usai. Kalian telah menempa fondasi yang kuat, dan rahasia yang kalian bawa, kekuatan batin, elemen, serta ilmu-ilmu kuno, kini adalah bekal kalian untuk menjalani takdir. Lembah ini telah menjadi rumah yang aman. Tetapi dunia di luar sana… sedang menanti,
Angin pagi menyapu puncak gunung, membawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Kabut lembut masih melingkupi lembah, menari-nari di antara pepohonan tua yang telah menjadi saksi perjalanan waktu. para murid kelas B berdiri berjejer di hadapan sesosok yang baru saja menjelma dari seekor naga putih menjadi seorang pria tinggi berwibawa, dia berpakaian jubah putih berbordir perak. Sorot matanya tajam, namun menenangkan, seolah menyimpan samudra dalam kedalaman pandangannya.Lin Xuan maju dan berdiri paling depan. Aura petir berdesir di sekeliling tubuhnya, rambutnya sedikit bergetar akibat energi spiritual yang mulai ia pancarkan. Di sampingnya, Si Wuya yang juga ikut maju menatap tenang, tetapi cahaya lembut dari telapak tangannya mulai menyala, energi Cahaya yang siap melindungi siapa pun yang terluka.“Siapa pun kau,” suara Lin Xuan berat dan waspada. “jangan bergerak selangkah pun. Kami tidak akan membiarkanmu menyentuh siapapun di antara kami.”Sosok pria naga itu tersenyum tipi
"Di puncak gunung tertinggi, keheningan adalah tirai penutup bagi kekuatan yang siap meledak. Hanya mereka yang bersembunyi dalam bayangan yang dapat melihat celahnya."SEPULUH TAHUN KEMUDIANKabut lembut Lembah Mistis adalah saksi bisu. Selama sepuluh tahun, kabut itu telah menelan dan melindungi para remaja yang tumbuh untuk menjadi pilar kekuatan yang tak terduga. Waktu di sini tidak berjalan dengan mulus, karena ia terus berputar dalam siklus pelatihan keras, kultivasi tanpa henti, dan ilmu kuno yang diwariskan oleh para Tetua.Murid-murid Kelas B kini bukan lagi anak-anak. Mereka adalah pemuda-pemudi yang memancarkan aura Chi murni, kulit mereka bersih, dan mata mereka tajam seperti pedang yang baru ditempa. Fisik mereka telah ditempa hingga Ranah Ranah Bumi, di mana Elemen dan esensi sejati mulai terwujud.Dinding Lembah Mistis bergetar dengan gemuruh. Di seluruh lembah, api Hanzo dan Roou siap untuk membakar kejahatan dan penindasan, tanah yang Wu Xia kendalikan bergolak, dan
Kakek Fu melangkah pelan mendekati keempat anak muda itu. Cahaya rembulan jatuh lembut di wajah mereka yang masih berkeringat, entah karena latihan atau karena kejadian aneh yang baru saja mereka alami. Tanpa banyak bicara, kakek tua itu memegang pergelangan tangan mereka satu per satu. Matanya yang keriput seolah bisa menembus hingga ke jiwa mereka. Setiap sentuhan diiringi dengan anggukan kecil dan senyum tipis. “Bagus… sangat bagus,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Setelah itu, Kakek Fu berbalik, berjalan menuju tempat para tetua dan kedua menantunya berdiri menunggu. Langkahnya pelan, tapi berwibawa. Saat sampai di hadapan mereka, dia mendongak menatap langit. Tatapannya campur aduk, lega, cemas, bangga, dan sedikit haru. “Kita tak boleh membuang waktu lagi,” katanya akhirnya. “Kedepannya kekuatan anak-anak ini sudah cukup untuk menutupi keberadaan kalian, Rio, Xie. Jadi sebaiknya kita kembali saja, jangan membuang waktu, sebelum malam semakin dalam.” Tanpa bantahan
Kabut di sekitar mulai menipis, ketika Wo Long dan ketiga temannya akhirnya menemukan jalan keluar dari gua bawah tanah itu. Udara di luar terasa lebih hangat, tapi anehnya, semua terasa begitu hening. Tak ada suara burung, tak ada hembusan angin, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya ada keheningan yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. “Apakah ini masih di lembah mistis yang sama?” tanya Thanzi pelan. Lin Xuan menatap sekeliling. “Aku rasa… tidak. Lihat,” ia menunjuk pada tebing di depan. “Lihat itu, langitnya bukan berwarna biru, tapi berwarna keperakan.” Wo Long dan yang lainnya memandang ke atas. Langit di tempat itu berwarna seperti perak cair, berkilau tapi tenang. Di bawah sinar itu, setiap helai rumput tampak seperti kristal kecil. Udara beraroma manis dan menenangkan. Tapi bukan hanya keindahannya aneh yang mereka lihat. Ada sesuatu yang bergetar di dada yang Wo Long rasakan, semacam panggilan. Ia tahu… tempat ini bukan dunia biasa. “Ini…tempat ujian







