Mobil Pajero milik Bianca terhenti pada sebuah Mall yang terletak di daerah pertengahan kota. Sarah, sekretaris Bianca juga ikut bersamanya. "Non, kita sudah sampai. Sebaiknya, non Bianca dan non Sarah turun disini saja. Biar saya memarkirkan mobilnya," ucap Suryo, mobil yang ia kendarai telah berada pada Lobby Mall.
"Ya sudah. Jangan keluyuran kemana-mana! Tetap di parkiran," tegas Bianca yang seakan tahu kebiasaan Suryo. Biasanya, ketika Bianca pergi ke suatu tempat, Suryo tiba-tiba menghilang hingga gadis itu menunggunya terlalu lama.
"Baik, Non," ucap Suryo sambil menundukkan kepala. Pria itu membukakan mobilnya untuk Bianca, Pada waktu bersamaan, Sarah membuka pintu mobil, lalu menunggu Bianca turun dari mobil. Ketika Bianca dan Sarah berjalan memasuki Mall, saat itu seorang pria tak sengaja menabrak Bianca.
"Je m'excuse. Est-ce que ça va?" kata pria bule berdarah perancis. Pria itu mengatakan dia minta maaf dan menanyakan keadaan Bianca. Akan tetapi, gadis itu tak mengerti apa yang dibicarakan olehnya. Dia menoleh ke arah Sarah.
"Sarah, kamu mengerti apa yang ia katakan?" bisik Bianca.
"Mana saya tahu, Bu. Saya saja tidak pernah keluar negeri, kecuali menemani anda kesana," ungkap Sarah. Bianca menundukkan kepalanya ke arah pria bule itu. Namun, tiba-tiba pria itu tak ingin Bianca pergi begitu saja.
"Excusez moi mademoiselle. Mon nom est curtis. Quel est votre nom?" Pria itu memperkenalkan diri, namanya Curtis. Dia ingin berkenalan dengan Bianca.
Bianca yang merasa terpanggil, menoleh ke arahnya. Ia melemparkan senyuman. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan olehnya. Saat kebingungan melanda nya, saat itu seorang pria datang.
"Bonjour! Puis-je vous aider?" ucap pria itu. Ia menyapa Curtis dan dia menanyakan apa yang bisa ia bantu. Bianca tersenyum saat melihat Axel. Dia tidak menyangka dapat bertemu dengannya disana. Axel dan Curtis saling mengobrol. Walau, Axel tak terlalu mengerti bahasa Perancis, namun dia begitu nekat berbicara dengan Curtis.
"Bu, untung saja ada seseorang yang membantu kita. Gimana kalau tidak?" bisik Sarah. Bianca tidak menghiraukan Sarah. Dia tak berhenti menatap Axel. Pesonanya terus memikat Bianca tanpa henti. Bahkan, ketika beberapa orang berlalu lalang melihat kedua pria tampan itu berbicara, tak menyembunyikan ketertarikan mereka.
Sarah mengerucutkan bibir karena Bianca terus menatap Axel. Sarah bekerja menjadi sekretaris Bianca selama satu tahun. Selama satu tahun, Sarah tidak pernah melihat Bianca seserius itu menatap pria manapun.
Ketika Axel dan Curtis menyudahi pembicaraan mereka, Axel menemui Bianca. Pria itu tersenyum. Dari tingkah laku keduanya, Sarah semakin yakin ada sesuatu diantara mereka. "Hei!" sapa Axel.
"Hai juga." Bianca tampak gugup.
"Berdua saja nih?"
"I┄Iya. Dia sekretarisku," tutur Bianca dengan gugup. Tangannya cukup dingin, bukan karena pengaruh AC, melainkan rasa gugup yang terus mengejarnya. Ia tak bisa berkata apa-apa, terlebih lagi mengingat pertemuan dengan pria itu saat di mobilnya tempo hari.
"Bu, saya permisi dulu ya. Mau ke toilet," ucap Sarah yang mengerti akan situasinya. Ia berharap, Bianca dan Axel dapat berbicara dengan leluasa.
"Jalan, yuk!" ajak Axel sambil menggenggam tangan Bianca. Wajah Bianca memerah. Tangan besar Axel menghangatkan tangan mungilnya. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Dia tak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Axel melihat Bianca dengan pikiran berkecamuk. "Apa kamu merasa tidak nyaman jalan bersamaku?" tanya Axel.
"Eng┄Enggak kok."
"Dari tadi kamu diam. Aku mengira kalau aku berbuat salah yang membuatmu marah."
"Aku hanya bingung."
"Bingung kenapa?"
"Sejak pertemuan waktu itu, aku rasa aku terus memikirkannya. Aku tidak bisa tenang."
"Bianca, aku tahu kita baru saja mengenal, tetapi saat itu, aku sama sekali tidak menyesal. Kamu tahu kenapa?" Axel mempererat genggamannya. Bianca menggelengkan kepala. Gadis itu terlalu polos untuk mengerti hubungan antara pria dan wanita.
"Karena kamu bidadari yang diciptakan untukku," ucap Axel, kedua matanya menatap lurus sepasang mata indah Bianca. "Bianca, aku ingin menjalin hubungan serius denganmu." Wajah Bianca semakin memerah. Kini, suara jantungnya seperti bom atom yang siap meledak.
"Ka┄Kamu serius?"
"Tentu saja. Bagaimana caranya agar aku bisa membuktikannya padamu?" Axel berlutut seraya menggenggam kedua tangan Bianca lembut.
"Aku.. Aku sungguh tidak mengerti. Jika kamu menanyakan soal pekerjaan padaku, aku akan menjawabnya. Tetapi, jika kamu menanyakan masalah..."
"Aku tidak tanya kamu menerimaku atau tidak. Yang aku tanyakan, bagaimana dengan hatimu?" potong Axel.
"Hatiku?"
"Iya, hatimu. Apa kamu terus memikirkanku sepanjang waktu? Atau mungkin kamu kesulitan tidur?"
"Kenapa semua pertanyaannya, seperti menjelaskan apa yang terjadi padaku? Apa mungkin aku menyukainya?" batin Bianca.
"Bianca, atau mungkin aku terlalu terburu-buru?" tanya Axel. Bianca menganggukkan kepala.
"Sebenarnya... Kamu terus mengusik hidupku. Padahal, banyak pekerjaan yang harus aku urus. Tetapi, mengenalmu terus membuatku tak bisa berpikir jernih. Bahkan, aku terlambat ke kantor. A┄Aku tidak mengalami hal aneh seperti itu dalam hidupku. Kalau kamu ingin menanyakan hatiku, inilah jawabanku. Aku tidak tahu, apa sesuai dengan pertanyaanmu. Aku hanya..." Axel mencium bibir Bianca, tak mempedulikan banyak orang disekitarnya.
"Bagiku, itu sudah cukup," ucap Axel, menampakkan senyuman indahnya. Perlahan, dia mengecup kening Bianca. Kemudian, ia memeluk gadis itu. "Wow, suara jantungmu begitu keras."
"A┄Apa sekeras itu?"
"Tentu saja, Dear. Biarkan aku memelukmu, merasakan betapa kerasnya suara jantungmu," ujar Axel mempererat pelukannya.
"Te┄Tetapi ini ditempat umum. Cukup malu kalau terlalu lama berpelukan seperti ini."
"Apa mungkin, aku harus membawamu langsung ke Apartemenku? Dan kita bisa menghabiskan waktu berduaan?"
" Ja┄Jangan!" Bianca melepas pelukan Axel.
"Kenapa? Kamu takut?"
"Jangan bicara disini! Bagaimana kalau kita cari tempat duduk untuk mengobrol?" Bianca menundukkan kepala karena malu semakin banyak orang melihat mereka.
"Baiklah, Dear." Axel mengajak Bianca pergi untuk menikmati secangkir kopi. Axel memesan Americano, sedangkan Bianca memesan jus. Gadis itu tidak terlalu menyukai kopi, kecuali ia lembur dan mengharuskannya untuk minum kopi. "Bagaimana?" tanya Axel yang tak sabar menunggu jawaban dari Bianca.
"Apanya yang bagaimana?"
"Aku harus gimana dengan hubungan kita, agar membuatmu merasa nyaman bersamaku?"
"Aku.. Aku rasa kita begini saja dulu. Aku belum pernah berpengalaman dengan seorang pria. Aku kira terlalu terburu-buru, mengingat apa yang terjadi di mobil waktu itu."
"Baiklah kalau itu maumu. Aku akan menghargai keputusanmu. Tetapi, kamu menerima perasaanku, kan?"
"Aku.."
"Bianca, aku tahu kalau kamu pekerja keras. Dari pakaianku saja sudah terlihat kalau aku bukan berasal dari latar belakang yang terpandang, mungkin kamu malu menjalin hubungan denganku. Diluar sana, pasti banyak pria kaya yang mengejarmu. Tetapi, aku bersungguh-sungguh Bianca."
"Itu omong kosong! A┄Aku tidak pernah memandang status jika mencari pasangan. Aku hanya cukup ragu, apa aku pantas bersanding denganmu?"
"Kenapa kamu berbicara seperti itu? Tentu saja, kamu satu-satunya gadis yang paling pantas ada disisiku. Tak ada lagi didunia ini, selain dirimu." Axel mencium kedua tangan Bianca dengan lembut. "Bianca, aku berjanji akan memperlakukanmu dengan lembut. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman. Asalkan kau berada disisiku, apapun yang kamu mau, akan aku kabulkan. Jadilah pacarku." Axel mencium kedua tangan Bianca lagi. Seakan terbius oleh kata-katanya, Bianca mengeluarkan air mata. Axel mengerutkan kening. "Ada apa, dear? Apa aku menyakitimu?"
"Ti┄Tidak. Aku hanya terharu saja," ucap Bianca. Axel menghapus air matanya sambil tersenyum.
"Jadi? Mau jadi pacarku?" tanya Axel. Bianca pun menganggukkan kepala.
Tak lama, mereka saling menyimpan nomor ponsel masing-masing. Bagi Bianca, Axel adalah kebahagiaannya. Tetapi bagi Axel, Bianca merupakan aset berharganya. Pria itu tak ingin melepaskan Bianca, kecuali dia sendiri yang ingin melakukannya.
Axel mendesah. Gairahnya memuncak. Sentuhan Vivian memang tak bisa ia tolak. Axel memperdalam ciumannya. Mereka saling melirik pada film yang mereka tonton, hingga durasi adegan panas pada film itu habis. Mereka saling melepaskan diri. "Kamu sungguh cepat. Aku kira kamu akan kalah dariku," kata Axel. "Aku adalah roh iblis. Sulit bagiku untuk kalah dari pria sepertimu." "Baiklah. Mari kita tunggu adegan selanjutnya. Kali ini, aku akan menang." "Oh ya? Kamu tidak akan menang dariku." Vivian mendekati Axel hingga wajah mereka begitu dekat. Wanita itu tersenyum miring. "Honey, kamu melanggar salah satu aturan." "Aku tidak melanggar apapun." "Tetapi, kamu baru saja menggodaku, Honey." "Aku tidak menggodamu." "Caramu mendekatimu itu seperti menggodaku." Jari telunjuk Axel menyentuh hidung wanita itu lembut. "Kamu saja yang berpikiran aneh. Selama aku tidak menciummu atau menyentuhmu, itu tidak masalah." Vivian melipat kedua tangan. "Kamu lupa ya apa aturan tadi, Honey? Aku mengat
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,