Axel dan Bianca memutuskan untuk berpacaran. Mereka saling bertegur sapa lewat telepon, bahkan sering melontarkan kata-kata mesra. Hubungan mereka semakin hari, semakin membaik. "Gimana kabarmu dikantor, Dear?" tanya Axel bernada manja lewat panggilan teleponnya.
"Biasalah lagi sibuk. Oh ya, beberapa hari lagi aku akan pergi ke ulang tahun seseorang, apa kamu ingin pergi bersamaku?" Bianca berharap jika dia dapat bersama dengan Axel ke acara itu.
"Wah, kenapa pas sekali ya acaranya, Dear."
"Kenapa? Kamu lagi lembur kerja atau ada sesuatu yang lain?"
"Pekerjaanku memang tidak tetap sih, tetapi bukan karena itu. Maaf ya, Dear. Aku gak bisa menemanimu," ucapnya. Axel memiliki janji dengan angel, membuatnya tidak bisa pergi bersama Bianca. "Oh ya, bagaimana kalau kita bertemu saja. Aku sudah kangen sama kamu," ucap Axel. Pria itu ingin mencicipi bibir seksi Bianca. Pikirannya liar membuat sekujur tubuhnya tegang. Dia ingin merasakan setiap bagian tubuh Bianca yang terus menggodanya.
Ia tahu dibalik pakaian lusuhnya, gadis itu menyimpan daya tarik sendiri. Memikirkan itu, membuatnya tegang seketika. "Tetapi Dear, kalau kamu sibuk, gak apa-apa kok. Pekerjaan lebih penting." Sepertinya Axel ingin melampiaskan hasratnya terhadap perempuan lainnya atau mungkin Angel.
"Gak juga sih. Aku juga sebentar lagi selesai. Tunggu ya sekitar 15 menit lagi. Setelah ini, kita bisa bertemu."
"Oke, Dear. Aku gak akan tutup teleponnya ya, karena aku tetap ingin melihat wajahmu yang cantik." Axel tersenyum. Bianca dapat melihat senyuman itu karena mereka lagi melakukan video call. Sarah yang berada di dekat Bianca, hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Memang bukan pertama kali keduanya terlihat bermesraan, namun Sarah terkadang suka tertawa kecil melihat tingkah laku mereka yang manis serta Bianca yang terus salah tingkah. Gadis itu mencubit Sarah secara diam-diam. Bukan merasa kesal karena sakit, melainkan karena Bianca seperti anak abg jika berhubungan dengan pria itu.
Andai saja, semua pegawai kantornya tahu akan itu, mungkin mereka juga berperilaku sama seperti Sarah. Bianca merasa pekerjaannya mendadak lebih lama ketimbang biasanya. Mungkin, karena ia tak dapat berkonsentrasi dengan baik. Axel tak berhenti menatapnya.
"Oh ya, kamu gak kerja?" tanya Bianca, ia merasa Axel terlihat santai.
"Kebetulan, hari ini aku lagi libur."
"Ini bukan hari minggu, kenapa libur?" tanya Bianca. Walau Bianca tergila-gila dengan Axel, ia tak mau kalau kekasihnya pengangguran juga.
"Karena aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu," ucap Axel. Wajah Bianca memerah. Sebenarnya, Axel berbohong. Lebih tepatnya lagi, dia dipecat dari pekerjaannya sebagai seorang barista di salah satu Cafe. Dikarenakan jarang melayani pembeli, malah lebih memilih bersenang-senang dengan banyak perempuan disana.
Akhirnya, ia dipecat tanpa diberi upah. Walau begitu, ia telah mendapatkan beberapa lembar uang dari wanita-wanita kaya yang menghabiskan malam bersamanya. Jadi, dia tidak terlalu merugi kehilangan pekerjaannya. Hasil dari kerja kerasnya untuk memuaskan mereka lebih banyak daripada gaji sebagai seorang barista.
"Oh ya, kamu gak lelah nungguin aku dari tadi?" tanya Bianca tiba-tiba. Dia mengira dapat menyelesaikan pekerjaannya hanya 15 menit saja, namun setengah jam belum kelar juga.
"Gak kok, Dear. Aku malah senang banget dapat melihatmu bekerja. Kamu terlihat sexy saat bekerja."
"Dasar, tukang modus!" cibir Bianca yang sudah tak kuat dengan gombalan Axel.
"Modus hanya untuk orang-orang yang suka mempermainkan perasaan orang lain, tetapi hatiku jauh lebih penting ketimbang kata-kata yang aku ucapkan dari bibirku." Axel tersenyum. Jantung Bianca seakan melompat keluar. "Aku kangen kamu, Dear. Aku gak sabar menghabiskan waktu berduaan denganmu. Tetapi, aku janji, kali ini tidak seperti waktu itu."
"Kamu ini, membuatku gak bisa fokus dalam bekerja lagi."
*****
Waktu telah usai, Bianca juga sudah menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu 45 menit. Sarah juga sudah pulang. Kini, Bianca begitu sabar menunggu Axel datang kekantornya. Pria itu datang dengan mobil sedan berwarna putih. Walau terlihat lusuh dan lama, mobil itu dapat dipergunakan dengan baik.
Goresan terlihat pada mobil sedan. Bianca mengingat goresan itu sebagai tanda tentang kebersamaan mereka yang sulit ia lupakan. Axel berjalan sambil tersenyum. "Kenapa? Mobilku terlihat jelek ya?" terka Axel. Wajahnya terlihat sedih. "Maaf aku bukanlah pria kaya yang bisa membahagiakanmu, aku hanya..." Bianca menutup mulut Axel dengan jari telunjuknya.
"Aku tidak ingin mendengar itu darimu. Axel, aku selalu menerima kekuranganmu," ucap Bianca seraya memeluk Axel. Gadis itu menutup kedua matanya, merasakan kehangatan. Namun, Axel tak ingin sekadar pelukan saja. Dia melepaskan pelukan Bianca.
Aroma parfum milik Bianca menusuk hidung Axel seketika. Aroma itu seperti bunga camellia yang wangi. Sensasi kesegarannya mampu mengoyakkan hati Axel. Pria itu mencium bibir Bianca. Bianca tak mempermasalahkan ciuman tersebut.
Dia berpikir, ciuman merupakan hal wajar yang dilakukan oleh pasangan. Ciuman itu diperdalam oleh Axel hingga leher. Bibirnya semakin memperluas daerahnya dengan mengelilingi leher Bianca. Gadis itu sempat mengerang. Axel menghentikan ciumannya seraya tersenyum. Kemudian, pria itu memeluk Bianca begitu lembut. "Ayo, kita pergi ke suatu tempat!" ajak Axel sembari menggenggam tangan Bianca.
"Pergi kemana?"
"Apartemenku," ucap Axel santai.
"Hah? Apartemen? Axel, bukankah aku bilang kalau..."
"Bianca sayang, kita tidak akan melakukan hal yang gak senonoh disana."
"La┄Lalu kenapa kamu mengajakku kesana?"
"Memasak bersama."
"Masak? Aku kira..."
"Iya, Dear. Lihatlah, pikiran siapa sekarang yang terlihat mesum!" kata Axel, pundaknya menyentuh pundak Bianca. Gadis itu melepaskan genggaman Axel. Ia mencubit pinggang Axel.
"Ja┄Jangan bercanda seperti itu lagi! Orang lain pasti bisa salah paham."
"Oke, Dear. Tetapi..."
"Tetapi apa?"
"Mobilku begitu buntut. Kamu mau pergi dengan mobilku seperti itu? Atau pakai mobilmu saja?"
"Aku sih gak mempermasalahkannya. Bebas mau pakai mobil siapa saja. Tetapi, mobilmu gak mogok kan?"
"Kalau mogoknya sih bisa iya, bisa juga tidak. Ya sudah, kalau kamu khawatir, pakai mobilmu saja. Gimana? Biar aku saja yang menyetir."
"Kenapa tidak menyuruh pak Suryo saja yang melakukannya?"
"Karena aku adalah kekasihmu, Dear." Axel tersenyum manis ke arahnya seraya menggenggam tangan Bianca. Hatinya meleleh seperti es krim yang mencair.
"Oke. Kalau begitu, aku telepon pak Suryo dulu, ya," ucap Bianca seraya mengambil ponselnya. Axel menganggukkan kepala.
"Halo, non Bianca!" jawab Suryo ditelepon.
"Segera kemari! Oh ya, setelah itu, kamu pulang sendiri," ujar Bianca terdengar galak. Axel tersenyum melihat kekasihnya yang seperti itu. Memang, hanya Axel yang membuat Bianca seperti seekor kelinci yang manis.
"Kok saya disuruh pulang sendiri sih, Non? Lalu, saya naik apa pulangnya?"
"Itu urusanmu sendiri. Bukan urusan saya. Yang terpenting, kamu harus menuruti perintah saya. Kamu mengerti?"
"Kalau tuan dan nyonya besar tanya sama saya, saya harus jawab apa, non?"
"Bilang saja, kalau aku se┄sedang ada pertemuan klien mendadak."
"Tetapi kok saya gak diikutkan? Gimana mau menjawabnya?"
"Udahlah, bilang apa gitu. Yang terpenting, cepat kemari! Tidak pakai lama. Cepat!" ujar Bianca seraya menutup teleponnya. Axel menatapnya sambil tersenyum tipis. "Kenapa? Ada yang salah?"
"Gak kok. Cuman kamu terlihat seksi saja," kata Axel seraya mengecup pipi Bianca. Wajah gadis itu merona merah. Kecupan ringan itu berlanjut hingga kecupan di bibirnya. Lidah Axel menari-nari indah. Bianca tanpa sadar malah membalasnya.
Gadis itu memang cepat belajar. Keduanya saling berciuman panas hingga gairah mereka memuncak. Tangan Axel menyentuh kepala Bianca, terasa menikmati setiap sentuhan bibirnya hingga mereka terhenti saat mobil Alphard Bianca tiba di kantornya.
Axel mendesah. Gairahnya memuncak. Sentuhan Vivian memang tak bisa ia tolak. Axel memperdalam ciumannya. Mereka saling melirik pada film yang mereka tonton, hingga durasi adegan panas pada film itu habis. Mereka saling melepaskan diri. "Kamu sungguh cepat. Aku kira kamu akan kalah dariku," kata Axel. "Aku adalah roh iblis. Sulit bagiku untuk kalah dari pria sepertimu." "Baiklah. Mari kita tunggu adegan selanjutnya. Kali ini, aku akan menang." "Oh ya? Kamu tidak akan menang dariku." Vivian mendekati Axel hingga wajah mereka begitu dekat. Wanita itu tersenyum miring. "Honey, kamu melanggar salah satu aturan." "Aku tidak melanggar apapun." "Tetapi, kamu baru saja menggodaku, Honey." "Aku tidak menggodamu." "Caramu mendekatimu itu seperti menggodaku." Jari telunjuk Axel menyentuh hidung wanita itu lembut. "Kamu saja yang berpikiran aneh. Selama aku tidak menciummu atau menyentuhmu, itu tidak masalah." Vivian melipat kedua tangan. "Kamu lupa ya apa aturan tadi, Honey? Aku mengat
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,