Langit pagi di atas kota masih tertutup kabut tipis saat Althalan melangkah ke luar dari apartemennya. Udara masih segar, tetapi di dadanya hanya ada dingin yang tak terpengaruh oleh cuaca.Malam tadi, dia telah belajar sesuatu yang penting—berurusan dengan organisasi bawah tanah bukanlah hal yang bisa diselesaikan dengan satu tembakan atau satu kematian. Jika ingin benar-benar mengakhiri semuanya, dia harus mencabut akar-akar busuk yang tersembunyi di balik bayang-bayang.Namun, itu urusan nanti. Saat ini, dia hanya punya satu tujuannya, membalaskan dendamnya pada Latozey.Setelah membersihkan diri dan mengobati lukanya dengan cepat menggunakan kotak P3K, Althalan duduk di sofa, menyalakan sebatang rokok, dan menatap koper berisi uang yang ia dapatkan.Uang ini bukan tujuan hanya alat untuk dia mencapai puncak, Setelah satu tarikan napas panjang, ia memutuskan untuk menyimpannya terlebih dahulu. Esok hari akan menjadi hari baru—dan dia akan menjalani peran barunya di sekolah yang ent
Semuanya terjadi dalam sekejap. Satu detik yang lalu, geng Galaksi masih berdiri dengan percaya diri, merasa jumlah mereka cukup untuk menghancurkan siapa pun. Tapi detik berikutnya… dunia berubah. Tulang patah, daging terkoyak, dan jeritan kesakitan mengisi udara. Althalan tidak bisa berkata apa-apa. Matanya hanya terpaku pada sosok di depannya. Amore. Cewek itu bergerak lebih cepat dari yang bisa ditangkap oleh mata manusia biasa. Satu pukulan—hanya satu—dan tubuh salah satu anak buah Galaksi terpental seperti boneka kain, menabrak tembok dengan bunyi keras. "A-Apa...?" Galaksi mundur selangkah, matanya membelalak saat melihat rekannya mengerang di tanah dengan lengan yang patah ke arah yang tidak seharusnya. Tapi Amore belum selesai.Dia menghilang. Menghilang!!. Atau setidaknya, begitulah yang terlihat di mata mereka. Tapi bagi Althalan, dia masih bisa menangkap gerakan Amore—cewek itu bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Satu tendangan ke lutut, dan seorang pria jatuh s
Gudang itu berdiri di ujung dermaga, lampunya redup, dan di sekitarnya ada beberapa truk kontainer yang diparkir berjejer. Suara deburan ombak samar-samar terdengar di kejauhan. Althalan berdiri di balik bayangan sebuah kontainer besar, matanya tajam menatap ke arah gudang. Dia sudah menghitung jumlah musuh dari kejauhan—sebelas orang berjaga di luar, beberapa memegang senjata laras panjang, dan sisanya membawa pistol. "Transaksi ini bernilai lebih dari lima ratus juta... masuk akal kalau mereka mengamankan tempat ini mati-matian," pikirnya. Dia tidak peduli siapa mereka. Yang dia pedulikan hanya misinya: ambil senjata, habisi semua orang yang ada di sini. Althalan menarik napas dalam. Lalu, dia bergerak. Tubuhnya melesat cepat seperti bayangan, tanpa suara, hanya langkah-langkah ringan yang hampir tak terdengar di atas aspal basah. Dia mendekati penjaga pertama yang sedang merokok di dekat kontainer. Tanpa ragu, dia menyergap dari belakang, tangan kirinya membungkam mulut pria i
Langit sore mulai meredup saat Althalan berjalan keluar dari apartemennya. Jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya sedikit berkibar tertiup angin. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan mulai menelusuri jalanan kota yang dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Tidak ada misi hari ini. Tidak ada pertempuran, tidak ada darah. Hanya hari biasa yang terasa asing baginya. Althalan menatap ke langit. Entah kenapa, akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi dengan sesuatu yang tidak ia mengerti. Sebuah ingatan samar yang terus muncul, seolah ada sesuatu yang ingin dia ingat. Saat melintasi sebuah pertokoan, pandangannya tertuju pada satu tempat—sebuah dealer motor mewah. "Motor..." gumamnya pelan. Langkahnya terhenti di depan kaca besar yang memajang berbagai jenis motor sport dengan desain futuristik dan kecepatan yang menggoda. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah motor dengan bodi hitam mengkilap, aksen merah tua di sisi bodinya membuatnya terlihat garang dan memat
Althalan menarik napas dalam, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal akibat pertarungan tadi. Malam ini seharusnya dia hanya ingin fokus mencari informasi tentang organisasi Rafael, tapi justru bertemu dengan Maverick yang memaksanya bertarung tanpa rencana. Mesin motor sport barunya meraung pelan saat dia menarik gas, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, suara batuk kasar terdengar dari belakangnya. "Hah… Lo pikir gue bakal tumbang cuma segini aja, hah?" Althalan melirik dari spion. Maverick masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka dan darah menetes dari sudut bibirnya. Matanya masih dipenuhi api perlawanan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. "Heh, lo masih bisa berdiri?" Althalan mendecakkan lidah, memutar gas motornya sedikit. Maverick menyeringai, lalu meludah ke tanah. "Lo pikir gue bakal kalah semudah itu?" Suaranya parau, tapi tekadnya masih membara. "Gue janji akan ngalahin lo, dan gue nggak akan berhenti sebelum itu terjadi!" Alth
Keesokan paginya, Amore, Ellen, Deul, dan Jovenica dipanggil ke ruang rapat utama mansion. Mereka melangkah masuk dengan santai, meskipun mereka tahu betul bahwa jika ayah mereka memanggil mereka secara langsung, itu berarti sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan, Razoes sudah duduk di kursi utama dengan ekspresi seriusnya. Di hadapannya, ada empat kotak hitam yang masing-masing memiliki nama mereka terukir di atasnya. "Duduk," kata Razoes dengan suara dalam yang penuh wibawa. Keempatnya mengambil tempat, menatap kotak itu dengan rasa penasaran. "Daddy udah mengamati perkembangan kalian sejak pertama kali kalian Daddy latih. Kalian sudah berkembang, tapi masih ada banyak hal yang harus kalian pelajari." Razoes melipat tangan di depan dadanya. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan naik ke level berikutnya." Deul menaikkan alis. "Maksud Daddy?" Razoes menyeringai kecil. "Buka kotaknya." Tanpa banyak basa-basi, Amore dan saudara-saudaranya membuka kotak masing-masing. Begi
Ellen mengetik dengan cekatan di laptopnya, wajahnya serius sementara layar menampilkan berbagai informasi tentang Althalan. Jari-jarinya terus bergerak, hingga akhirnya dia berhenti dan menatap layar dengan mata membesar."Holy sh*t…" Ellen berseru pelan, membuat Amore, Deul, dan Jovenica langsung mendekat."Kenapa?" Amore bertanya, melirik layar laptop yang menampilkan sebuah dokumen rahasia.Ellen menelan ludah, lalu memutar laptopnya agar mereka semua bisa melihat. "Althalan… dia bukan orang biasa. Dia anak dari Latozey."Ruangan seketika sunyi. Deul dan Jovenica menegang, sementara Amore menyipitkan mata. Nama itu bukanlah nama asing di dunia mafia. Latozey adalah legenda, seorang pemimpin yang namanya dibisikkan dengan ketakutan di seluruh dunia bawah."Bukan cuma itu," Ellen melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Althalan juga berhasil menghabisi organisasi Pradipta sendirian. Organisasi itu bukan sembarangan, mereka salah satu j
Althalan baru saja tiba di sekolah, berjalan santai melewati gerbang tanpa memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang menarik di sini. Sekolah hanyalah formalitas baginya, dan dia tidak punya niat untuk buang-buang waktu.Namun, baru saja dia hendak menuju kelas, suara nyaring yang menyebalkan itu terdengar."Oh? Ternyata Kamu ada disini Althalan. Aku sudah nunggu kamu."Althalan tetap berjalan tanpa peduli, tapi dari belakang, Amore mendesis pelan. "Tch, Medusa."Di sana, berdiri dengan angkuhnya, Runela bersama tiga temannya. Seperti biasa, mereka berjalan seolah-olah sekolah ini milik mereka, dengan senyum penuh kepercayaan diri. Rok seragamnya lebih pendek dari aturan, riasannya terlalu berlebihan untuk standar sekolah, dan ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak datang hanya untuk sekadar menyapa.Runela tersenyum manis ke arah Althalan, berjalan lebih dekat dengan tatapan genit. "Kenapa buru-buru, hm? Aku baru aja datang, sayang
Malam itu, suasana di mansion Ombra Thanatos terasa tenang. Tapi bagi Amore, Jovenica, Ellen, dan Moreno, ini adalah ketenangan yang terasa aneh.Mereka duduk di ruang tengah, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ellen menatap layar laptopnya dengan mata tajam, Jovenica sibuk mengasah pisaunya, sedangkan Amore duduk dengan kaki disilangkan, memainkan belati kecil di tangannya.Sementara itu, Moreno…"Woi, lo bisa diem nggak?!" Jovenica menggeram, menatap Moreno yang duduk bersila di lantai, mengunyah keripik dengan suara berisik."Lagian kenapa sih mukanya pada tegang gitu? Apa karena kejadian tadi di sekolah?" Moreno mendecak, lalu menyeringai, "Atau karena kalian masih kepikiran cowok iblis itu?"Amore mendelik. "Cowok iblis?""Ya siapa lagi kalau bukan Althalan," Moreno mengangkat bahu santai. "Gue udah lihat rekaman dari hacker kita. Malam ini dia ‘main’ di mansionnya Valentino."Mata Ellen langsung melirik ke arah Moreno dengan penuh minat. "Lo serius?""Ya iyalah. Gue ngapain
Malam di kota ini tak pernah benar-benar tenang. Lampu jalan berkedip samar, dan suara klakson kendaraan dari kejauhan terdengar sesekali. Di sebuah kawasan industri yang hampir ditinggalkan, berdiri sebuah bangunan besar yang tampak tak mencolok—gudang tua dengan cat yang mulai pudar dan pintu baja yang berkarat.Namun, di balik tampilan kumuh itu, tempat ini adalah salah satu pusat kekuatan Organisasi Rafael. Gudang ini menyimpan berbagai senjata ilegal yang mereka edarkan ke berbagai sindikat di kota.Dua pria bertubuh besar berjaga di depan pintu, masing-masing menggenggam senapan serbu. Sesekali, mereka berbincang santai, merokok, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir mereka.Tak jauh dari sana, di atas gedung seberang, sosok bertudung berdiri di tepi, menatap gudang dengan mata tajam. Althalan.Angin dingin malam menyapu jaketnya, namun dia tetap tak bergerak, mengamati pola penjagaan dengan cermat. Lima orang di luar,
Althalan baru saja tiba di sekolah, berjalan santai melewati gerbang tanpa memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang menarik di sini. Sekolah hanyalah formalitas baginya, dan dia tidak punya niat untuk buang-buang waktu.Namun, baru saja dia hendak menuju kelas, suara nyaring yang menyebalkan itu terdengar."Oh? Ternyata Kamu ada disini Althalan. Aku sudah nunggu kamu."Althalan tetap berjalan tanpa peduli, tapi dari belakang, Amore mendesis pelan. "Tch, Medusa."Di sana, berdiri dengan angkuhnya, Runela bersama tiga temannya. Seperti biasa, mereka berjalan seolah-olah sekolah ini milik mereka, dengan senyum penuh kepercayaan diri. Rok seragamnya lebih pendek dari aturan, riasannya terlalu berlebihan untuk standar sekolah, dan ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak datang hanya untuk sekadar menyapa.Runela tersenyum manis ke arah Althalan, berjalan lebih dekat dengan tatapan genit. "Kenapa buru-buru, hm? Aku baru aja datang, sayang
Ellen mengetik dengan cekatan di laptopnya, wajahnya serius sementara layar menampilkan berbagai informasi tentang Althalan. Jari-jarinya terus bergerak, hingga akhirnya dia berhenti dan menatap layar dengan mata membesar."Holy sh*t…" Ellen berseru pelan, membuat Amore, Deul, dan Jovenica langsung mendekat."Kenapa?" Amore bertanya, melirik layar laptop yang menampilkan sebuah dokumen rahasia.Ellen menelan ludah, lalu memutar laptopnya agar mereka semua bisa melihat. "Althalan… dia bukan orang biasa. Dia anak dari Latozey."Ruangan seketika sunyi. Deul dan Jovenica menegang, sementara Amore menyipitkan mata. Nama itu bukanlah nama asing di dunia mafia. Latozey adalah legenda, seorang pemimpin yang namanya dibisikkan dengan ketakutan di seluruh dunia bawah."Bukan cuma itu," Ellen melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Althalan juga berhasil menghabisi organisasi Pradipta sendirian. Organisasi itu bukan sembarangan, mereka salah satu j
Keesokan paginya, Amore, Ellen, Deul, dan Jovenica dipanggil ke ruang rapat utama mansion. Mereka melangkah masuk dengan santai, meskipun mereka tahu betul bahwa jika ayah mereka memanggil mereka secara langsung, itu berarti sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan, Razoes sudah duduk di kursi utama dengan ekspresi seriusnya. Di hadapannya, ada empat kotak hitam yang masing-masing memiliki nama mereka terukir di atasnya. "Duduk," kata Razoes dengan suara dalam yang penuh wibawa. Keempatnya mengambil tempat, menatap kotak itu dengan rasa penasaran. "Daddy udah mengamati perkembangan kalian sejak pertama kali kalian Daddy latih. Kalian sudah berkembang, tapi masih ada banyak hal yang harus kalian pelajari." Razoes melipat tangan di depan dadanya. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan naik ke level berikutnya." Deul menaikkan alis. "Maksud Daddy?" Razoes menyeringai kecil. "Buka kotaknya." Tanpa banyak basa-basi, Amore dan saudara-saudaranya membuka kotak masing-masing. Begi
Althalan menarik napas dalam, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal akibat pertarungan tadi. Malam ini seharusnya dia hanya ingin fokus mencari informasi tentang organisasi Rafael, tapi justru bertemu dengan Maverick yang memaksanya bertarung tanpa rencana. Mesin motor sport barunya meraung pelan saat dia menarik gas, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, suara batuk kasar terdengar dari belakangnya. "Hah… Lo pikir gue bakal tumbang cuma segini aja, hah?" Althalan melirik dari spion. Maverick masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka dan darah menetes dari sudut bibirnya. Matanya masih dipenuhi api perlawanan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. "Heh, lo masih bisa berdiri?" Althalan mendecakkan lidah, memutar gas motornya sedikit. Maverick menyeringai, lalu meludah ke tanah. "Lo pikir gue bakal kalah semudah itu?" Suaranya parau, tapi tekadnya masih membara. "Gue janji akan ngalahin lo, dan gue nggak akan berhenti sebelum itu terjadi!" Alth
Langit sore mulai meredup saat Althalan berjalan keluar dari apartemennya. Jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya sedikit berkibar tertiup angin. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan mulai menelusuri jalanan kota yang dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Tidak ada misi hari ini. Tidak ada pertempuran, tidak ada darah. Hanya hari biasa yang terasa asing baginya. Althalan menatap ke langit. Entah kenapa, akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi dengan sesuatu yang tidak ia mengerti. Sebuah ingatan samar yang terus muncul, seolah ada sesuatu yang ingin dia ingat. Saat melintasi sebuah pertokoan, pandangannya tertuju pada satu tempat—sebuah dealer motor mewah. "Motor..." gumamnya pelan. Langkahnya terhenti di depan kaca besar yang memajang berbagai jenis motor sport dengan desain futuristik dan kecepatan yang menggoda. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah motor dengan bodi hitam mengkilap, aksen merah tua di sisi bodinya membuatnya terlihat garang dan memat
Gudang itu berdiri di ujung dermaga, lampunya redup, dan di sekitarnya ada beberapa truk kontainer yang diparkir berjejer. Suara deburan ombak samar-samar terdengar di kejauhan. Althalan berdiri di balik bayangan sebuah kontainer besar, matanya tajam menatap ke arah gudang. Dia sudah menghitung jumlah musuh dari kejauhan—sebelas orang berjaga di luar, beberapa memegang senjata laras panjang, dan sisanya membawa pistol. "Transaksi ini bernilai lebih dari lima ratus juta... masuk akal kalau mereka mengamankan tempat ini mati-matian," pikirnya. Dia tidak peduli siapa mereka. Yang dia pedulikan hanya misinya: ambil senjata, habisi semua orang yang ada di sini. Althalan menarik napas dalam. Lalu, dia bergerak. Tubuhnya melesat cepat seperti bayangan, tanpa suara, hanya langkah-langkah ringan yang hampir tak terdengar di atas aspal basah. Dia mendekati penjaga pertama yang sedang merokok di dekat kontainer. Tanpa ragu, dia menyergap dari belakang, tangan kirinya membungkam mulut pria i
Semuanya terjadi dalam sekejap. Satu detik yang lalu, geng Galaksi masih berdiri dengan percaya diri, merasa jumlah mereka cukup untuk menghancurkan siapa pun. Tapi detik berikutnya… dunia berubah. Tulang patah, daging terkoyak, dan jeritan kesakitan mengisi udara. Althalan tidak bisa berkata apa-apa. Matanya hanya terpaku pada sosok di depannya. Amore. Cewek itu bergerak lebih cepat dari yang bisa ditangkap oleh mata manusia biasa. Satu pukulan—hanya satu—dan tubuh salah satu anak buah Galaksi terpental seperti boneka kain, menabrak tembok dengan bunyi keras. "A-Apa...?" Galaksi mundur selangkah, matanya membelalak saat melihat rekannya mengerang di tanah dengan lengan yang patah ke arah yang tidak seharusnya. Tapi Amore belum selesai.Dia menghilang. Menghilang!!. Atau setidaknya, begitulah yang terlihat di mata mereka. Tapi bagi Althalan, dia masih bisa menangkap gerakan Amore—cewek itu bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Satu tendangan ke lutut, dan seorang pria jatuh s