Kabut malam mulai turun ketika pasukan Elira, bersama Bayangan Kegelapan, berhasil mendekati tembok Castelon. Keheningan yang aneh menyelimuti medan, dan di atas mereka, istana Castelon menjulang, suram dan megah, bagai menunggu kehancuran yang akan datang.
"Kita hampir sampai," ujar Bayangan Kegelapan dengan suara yang nyaris terdengar, mata tajamnya memindai sekeliling. "Namun di sini, kekuatan sihir Almarik paling kuat. Kita tidak boleh lengah." Elira mengangguk, merasakan ketegangan yang mencekam. Pasukannya tampak lelah, tetapi semangat mereka tetap menyala. Mereka tahu bahwa ini mungkin menjadi kesempatan terakhir untuk membebaskan Karstiel. Di dalam istana, situasi memanas. Valerian berjalan cepat melalui koridor menuju ruang pribadi Almarik, diikuti oleh beberapa pengawal setia. Dia telah memutuskan untuk mempercepat rencananya. Jika Almarik jatuh malam ini, Valerian bisa mengambil kendali sebelum pemberontak mencapai tembok istana. "Pastikan penjaga menggandakan kekuatan di ruang bawah tanah," perintah Valerian kepada seorang pengawal. "Artefak itu tidak boleh disentuh, berapapun harganya." Namun, tak jauh dari sana, Lyana juga sedang bergerak dengan cepat. Dia telah menyusun rencana alternatif jika Valerian memutuskan untuk mengkhianatinya. Dalam ketidakpastian istana, kepercayaan adalah barang langka, dan dia tak akan membiarkan siapapun mengambil kesempatan darinya. Di dalam pikirannya, ada satu tujuan: takhta. "Kita harus siap," bisiknya kepada salah seorang dayangnya. "Ketika waktunya tiba, kita akan menyerang dari dalam." Di tengah kerumunan rakyat yang mulai memenuhi jalan-jalan Castelon, api perlawanan mulai menyala. Rehan dan Sorrel memimpin pemberontakan yang sudah lama mereka persiapkan. Tanpa ragu, mereka berbaris menuju gerbang kota, berhadapan langsung dengan tentara Almarik yang terkejut oleh keberanian rakyat jelata yang selama ini dianggap terlalu lemah untuk melawan. "Inilah saatnya!" teriak Rehan dengan penuh semangat. "Kita tidak akan tunduk lagi pada penguasa tiran ini. Malam ini kita rebut kota!" Di tengah kerumunan, Karina berdiri bersama Mikal. Dia melihat kegigihan di mata suaminya, yang sebelumnya sempat ragu. Mereka tahu bahwa mereka bisa mati dalam upaya ini, namun mereka juga tahu bahwa tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain melawan. Pasukan Almarik mulai bergerak maju, namun suara genderang perlawanan dari rakyat mulai membanjiri jalanan. Pertempuran berdarah dimulai, dan Castelon terbakar oleh semangat revolusi. Di bawah tanah istana, Bayangan Kegelapan dan Elira akhirnya sampai di gerbang menuju ruang tempat artefak sihir kuno disimpan. Gerbang itu dijaga oleh pasukan elit Almarik, prajurit-prajurit yang telah dipilih untuk melindungi rahasia terbesar sang penguasa. "Inilah waktunya," bisik Bayangan, mengangkat tangannya yang bersinar lembut dengan sihir kuno. "Kita harus memutus hubungan Almarik dengan sihir ini." Pertarungan meletus dengan cepat. Elira dan prajuritnya menyerang dengan penuh keberanian, sementara Bayangan melangkah ke depan, merapal mantra kuno yang telah disiapkannya. Tembok istana bergetar, dan cahaya dari artefak itu mulai meredup. Namun, ketika mereka hampir berhasil, pintu lain terbuka. Valerian dan prajuritnya muncul, mata mereka dipenuhi ketidakpercayaan saat melihat Elira dan Bayangan. Valerian menyadari bahwa pertarungan ini bukan hanya soal menggulingkan Almarik—sihir kuno yang dipegang oleh Bayangan juga menjadi ancaman bagi rencananya. "Kalian tidak boleh mengambil ini dariku!" Valerian berteriak, menghunus pedangnya. "Aku akan menjadi penguasa Karstiel, bukan kalian!" Elira bersiap menghadapi ancaman baru ini, sementara di kejauhan, Lyana menyaksikan semua dari balik bayangan. Senyuman tipis muncul di wajahnya—semua bergerak sesuai dengan rencananya. Malam ini, di bawah langit Castelon yang berapi-api, takdir tiga kekuatan akan bertemu. Kilatan pedang beradu di ruang bawah tanah istana Castelon, di mana tiga kekuatan besar bertarung di ambang kehancuran. Di satu sisi, Elira dan prajurit pemberontaknya bertarung mati-matian untuk mencapai artefak kuno yang merupakan sumber kekuatan Almarik. Di sisi lain, Valerian dan prajuritnya memblokir jalan, bertekad mempertahankan artefak untuk diri mereka sendiri. Sementara itu, di balik bayang-bayang, Lyana mengamati setiap langkah dengan cermat, menunggu saat yang tepat untuk mengambil keuntungan dari kekacauan. "Mundur, Elira!" teriak Valerian, pedangnya melesat ke arah pejuang pemberontak itu. "Ini bukan urusanmu!" Elira menghindar dengan gesit, matanya memancarkan tekad. "Ini adalah urusan semua orang! Karstiel bukan milikmu, Valerian, dan bukan juga milik Almarik!" Ia menyerang balik dengan kekuatan yang tak terduga, membuat Valerian terpaksa mundur beberapa langkah. Di tengah-tengah pertarungan, Bayangan Kegelapan sibuk merapal mantra. Kekuatan kuno dari artefak itu mulai bergetar, seakan terhubung dengan mantranya. Namun, waktu hampir habis. Pasukan Almarik yang berjaga di sekitar istana semakin banyak mendekat, dan suara mereka terdengar kian dekat di luar ruang bawah tanah. "Kita harus segera menyelesaikan ini!" teriak Elira di sela-sela pertarungan, melirik ke arah Bayangan yang masih berkonsentrasi penuh. Di luar, suasana kota Castelon semakin kacau. Di jalan-jalan utama, rakyat yang dipimpin Rehan dan Sorrel berhasil mendesak tentara Almarik ke sudut-sudut kota. Kerumunan pemberontak semakin besar, dan bendera perlawanan berkibar tinggi di antara asap kebakaran yang mulai menjalar. "Maju! Kita harus mencapai gerbang istana!" teriak Rehan dengan penuh semangat, mengangkat tombaknya tinggi-tinggi. Sorrel berada di sisinya, mengarahkan gelombang rakyat yang berani melawan meski tanpa senjata yang memadai. "Tentara Almarik semakin banyak," bisik Sorrel dengan cemas. "Kita harus bergerak lebih cepat, atau mereka akan mengepung kita dari belakang." Namun, di tengah kerumunan, seorang mata-mata Almarik bergerak dengan cepat, menyampaikan pesan langsung ke markas tentara utama. "Rakyat sudah sampai di depan gerbang istana," lapornya singkat. "Mereka bergerak cepat. Kita harus segera menghentikan mereka." Di dalam istana, Ratu Lyana memutuskan waktunya sudah tiba. Dalam diam, ia melangkah keluar dari bayang-bayang, menuju tempat di mana pertarungan sengit berlangsung. Dengan satu isyarat, para pengawal pribadinya mulai mengepung ruang bawah tanah. "Cukup," suara Lyana yang tenang namun tegas menggema di seluruh ruangan. Valerian dan Elira berhenti bertarung sejenak, mata mereka tertuju pada Lyana yang kini berdiri dengan anggun di antara mereka. "Ratu Lyana!" seru Valerian dengan mata terbelalak. "Apa yang kau lakukan di sini?" Lyana tersenyum tipis, tanpa sedikit pun menunjukkan ketegangan. "Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Mengambil alih kekuasaan." Valerian tertegun, namun kemudian senyumnya menghilang ketika ia menyadari bahwa Lyana telah bermain di belakangnya selama ini. "Kau berencana mengkhianatiku?" tanyanya, pedangnya teracung ke arah sang ratu. "Ini bukan pengkhianatan, Valerian," jawab Lyana dengan dingin. "Ini adalah penegasan bahwa takhta tidak akan jatuh ke tangan siapa pun kecuali aku." Sementara itu, Bayangan Kegelapan berhasil menyelesaikan mantranya. Cahaya aneh memancar dari artefak kuno itu, membuat seluruh ruangan bergetar hebat. Semua yang ada di dalamnya tersentak, termasuk Lyana, Valerian, dan Elira. Artefak itu mulai retak, dan kekuatan sihir yang dipegang Almarik perlahan mulai terlepas. "Apa yang kau lakukan?" tanya Lyana dengan marah, matanya tertuju pada Bayangan. "Kau akan menghancurkan segalanya!" Bayangan hanya menatapnya, wajahnya tanpa emosi. "Ini adalah harga yang harus dibayar. Kekuasaan Almarik harus dihancurkan, beserta sihirnya." Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki pasukan Almarik terdengar dari kejauhan. Pasukan elit raja, yang telah disiapkan untuk mempertahankan istana, tiba dengan jumlah yang besar, siap untuk membendung pemberontakan dari dalam. Di luar, rakyat yang dipimpin Rehan berhasil mendobrak gerbang istana. Sorrel melihat ke arah istana yang megah, tapi penuh dengan bayang-bayang kematian. "Kita berhasil," katanya dengan napas terengah-engah, tapi Rehan tampak tidak terlalu optimis. "Pertempuran sebenarnya baru dimulai." Tentara Almarik yang tersisa di kota mulai mundur ke dalam istana, menyiapkan pertahanan terakhir mereka. Pertumpahan darah tak terhindarkan, dan rakyat kini berhadapan langsung dengan kekuatan penuh Almarik. Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi asap dan api, tiga kekuatan besar—pemberontak, pasukan Almarik, dan rakyat yang bangkit—semuanya bertempur untuk takhta, kebebasan, dan kehancuran.Masa bayi Luna dan putra Raja Rehan berjalan dalam dua dunia yang berbeda. Di istana, putra Rehan tumbuh dikelilingi oleh kemewahan dan kemuliaan. Setiap langkahnya diawasi oleh pelayan dan pengasuh yang setia, sementara para ahli dan penasihat kerajaan mengawasi perkembangan mental dan fisiknya dengan teliti. Setiap suara tangis dari sang pangeran akan disambut dengan segera oleh orang-orang yang siap menenangkan, memberinya kenyamanan dan perlindungan penuh.Di sisi lain, Luna tumbuh di rumah sederhana di pinggir istana, di dalam lingkungan yang tenang namun jauh dari kemewahan. Ibunya, Rose, menyayanginya dengan segenap jiwa. Meski tidak memiliki semua keistimewaan yang dimiliki pangeran, Luna tumbuh dengan cinta yang tulus. Rose mengajarkan Luna tentang kehidupan sederhana, kerja keras, dan kebijaksanaan. Dari hari ke hari, kecantikan Luna semakin terpancar, dan di balik matanya yang cerah tersimpan rasa ingin tahu yang tak terpadamkan.Perbedaan Nasib dan Awal PertemuanWaktu ber
Di luar istana, suasana pagi tak kalah meriah. Di hari yang sama dengan kelahiran pewaris takhta kerajaan Edholm, seorang bayi perempuan lain dilahirkan di dalam benteng pelayan. Bayi itu, meski tidak lahir dari keluarga bangsawan, membawa kebahagiaan yang sama besarnya bagi ibunya, Rose, seorang pelayan setia yang telah mengabdi kepada keluarga kerajaan selama bertahun-tahun.Bayi itu diberi nama Luna, sebuah nama yang diambil dari sinar rembulan yang menerangi malam kelahirannya. Luna lahir dengan kecantikan alami yang segera membuat banyak orang terpesona. Matanya yang cerah dan kulitnya yang lembut seperti porselen menjadi anugerah bagi Rose, seorang ibu yang penuh cinta dan kebanggaan.Kehamilan yang Diketahui oleh Raja RehanBeberapa bulan sebelum kelahiran ini, Raja Rehan sendiri mengetahui tentang kehamilan Rose secara tidak sengaja ketika ia sedang berkeliling memeriksa persiapan di istana. Melihat perut Rose yang mulai membesar, Raja Rehan berhenti dan menanyakan keadaannya.
Pagi itu, suasana istana Edholm dipenuhi dengan kegembiraan dan antusiasme. Setelah berita kelahiran pewaris takhta tersebar ke seluruh kerajaan, utusan dari berbagai wilayah tetangga mulai berdatangan membawa hadiah sebagai tanda penghormatan dan perayaan. Setiap kerajaan, besar maupun kecil, ingin menunjukkan dukungan dan rasa hormat kepada Raja Rehan dan Ratu Natasya. Mereka mengirim hadiah-hadiah istimewa yang menggambarkan kebesaran dan kekayaan negeri masing-masing.Di aula besar istana, Natasya duduk di kursi kebesarannya, bayi kecilnya beristirahat dalam dekapan lembut. Sementara Rehan berdiri di sisinya, mengawasi jalannya upacara penyerahan hadiah dengan wajah penuh kebanggaan.Hadiah dari Kerajaan EldoriaUtusan pertama yang datang adalah dari Kerajaan Eldoria, salah satu kerajaan tetangga yang paling kuat dan makmur. Mereka dikenal akan seni dan keahlian kerajinan tangan yang luar biasa. Utusan tersebut, seorang pria berusia lanjut dengan jubah keemasan yang disulam dengan
Fajar menyingsing dengan lembut di atas istana Edholm, memandikan dunia dengan sinar keemasan yang hangat. Hari itu, tidak ada yang lebih berarti bagi Natasya selain keheningan pagi yang baru saja pecah oleh suara-suara kecil dari sang bayi yang tengah menggeliat di dalam dekapan hangatnya. Matanya belum terbuka penuh, tapi tubuh mungilnya sudah mencari kehangatan ibunya, insting alami yang menyatukan mereka berdua dalam keajaiban yang begitu murni.Natasya, yang kini telah menjadi seorang ibu, duduk di atas ranjang berkanopi sutra. Wajahnya tampak lelah setelah malam yang panjang, namun kelelahan itu tertutupi oleh cahaya lembut yang terpancar dari sorot matanya. Ia memandangi wajah bayinya—wajah yang begitu sempurna, dengan pipi halus dan bibir mungil yang sesekali bergerak, seolah menggumamkan janji-janji masa depan.Bayi itu adalah anugerah bagi Natasya, namun ia juga membawa tanggung jawab yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dunia yang dulu terasa begitu luas dan penuh petua
Pagi di Edholm kali ini berbeda. Matahari memanjat langit dengan keagungan yang lebih cerah dari biasanya, cahayanya menyinari seluruh sudut kerajaan, menyentuh lembah-lembah hijau dan bukit-bukit emas, memberikan kehangatan yang tak biasa. Udara dipenuhi semerbak bunga musim semi yang dibawa angin lembut, dan di atas sana, burung-burung berkicau seakan turut merayakan peristiwa yang paling ditunggu-tunggu oleh segenap rakyat Edholm.Di seluruh penjuru kerajaan, rakyat bersuka cita. Suara lonceng besar di menara pusat berdentang keras, mengirimkan kabar gembira bahwa anak Raja Rehan dan Permaisuri Natasya telah lahir. Seluruh Edholm bergetar dalam gemuruh perayaan, tak ada seorang pun yang bisa melawan dorongan hati untuk bersorak bahagia. Sebuah era baru telah dimulai, dan bersama kelahiran bayi kerajaan, muncul harapan baru yang begitu dinantikan oleh rakyat yang selama ini hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.Rakyat Edholm Bersuka CitaDi pasar-pasar yang biasanya dipenuhi ter
Malam di Edholm terasa berbeda dari biasanya. Bintang-bintang tampak lebih terang, seolah alam semesta menyaksikan momen yang begitu agung. Angin malam berhembus pelan, menyelusup lembut di antara pepohonan istana, membawa bisikan-bisikan dari zaman yang telah lama berlalu. Di istana megah itu, waktu seakan terhenti; segenap kehidupan seolah tertumpu pada satu titik—di mana Natasya, permaisuri tercinta, tengah berada di ambang keajaiban yang telah lama dinantikan. Di dalam kamar yang dipenuhi cahaya lilin lembut, Natasya terbaring, matanya memancarkan kekuatan dari dalam dirinya. Ia telah melewati perjalanan yang panjang, sembilan bulan yang penuh cinta, harapan, dan impian. Kini, waktunya telah tiba. Tubuhnya adalah samudra yang menggulung gelombang, setiap tarikan napasnya seperti pasang yang naik, memanggil kehidupan yang akan segera hadir. Rehan berada di sisinya, menggenggam erat tangan Natasya, seolah tak ingin melepaskannya pada detik-detik genting ini. Wajahnya tegang, namun