Bandot sedang menimbang banyak hal. Saat itu adalah sebuah kesempatan bagus karena Rangga sedang pergi sendirian menggunakan kuda.‘Jika dia menuju ke arah sana, itu artinya dia sedang akan pergi ke desa lain. Jika aku membunuhnya di jalan, tak akan ada yang tahu. Hmm… sebenarnya dia hendak pergi kemana?’ ucap Bandot dalam hati.Bandot adalah seorang pendekar yang memiliki ketrampilan beladiri. Badannya tinggi besar. Wajahnya sangar. Sudah cukup lama ia menjadi pengawal setia Gathot sekaligus salah satu pengawal penting di keluarga Gathot.Bandot cukup tangguh. Ia bisa disetarakan dengan empat orang jagabaya. Dengan kata lain, ia bisa menang meski ia dikeroyok oleh empat orang jagabaya yang juga bisa beladiri. Jadi untuk membunuh Rangga, ia tak butuh bantuan siapapun. Justru dengan sendirian, ia bisa dengan mudah mengikuti Rangga dan memilih tempat yang bagus untuk mengakhiri hidup lelaki itu.Yang luput dari kejadian itu, Rangga tidak sekalian mencari anak buah Gathot yang terlibat d
Ketika Bandot hendak mengayunkan goloknya, sebuah batu kecil melesat cepat dan menghantam kepala lelaki itu.PRAAAKKKBetapa keras benturan batu itu sampai Bandot tak sadarkan diri dan ambruk begitu saja.Rangga terengang dan segera ia menoleh ke arah kanan. Ia melihat Tanu dan Jaka yang tadi ia bayari saat makan di kedai tengah bergerak cepat dengan lompatan-lompatan ringan seolah tubuh mereka itu tak memiliki beban.“Syukurlah belum terlambat, Den Rangga…” kata Tanu.“Kang Tanu… kau yang tadi membuat orang itu jatuh?” tanya Rangga. Ia kembali menatap Bandot; dia sama sekali tak bergerak.“Ya… siapa dia, Den? Kenapa dia hendak membacokmu?” tanya Tanu.“Dia anak buah temanku yang akhirnya menjadi musuhku karena dia kepergok saat menculik istriku. Warga desa mengadilinya dan aku tak mengira anak buahnya masih mengejarku untuk membalas dendam…” kata Rangga.Tanu tak mengira orang baik yang memberinya uang itu ternyata juga mengalami hidup sulit.“Apakah musuhmu masih banyak, Den?” tanya
Pagi itu Boneng terburu-buru datang setelah ia pulang mencari rumput untuk kuda-kuda yang sedang dibesarkan di kandang Rangga.“Juragan Putri, mana Rangga?” tanya Boneng saat ia berpapasan dengan Citra yang sedang menyapu halaman rumah.“Di belakang bersama Kang Tanu dan Jaka. Tumben Kang Boneng cepat cari rumputnya? Yang lain saja belum kembali,” kata Citra. Boneng memiliki tanggung jawab mengurus 10 ekor kuda. Yang lain pun juga memiliki jatah sendiri-sendiri. Setiap hari mereka harus mencari rumput untuk selingan makanan kuda.“Belum selesai. Aku pulang duluan tadi. Ya sudah, aku ke belakang dulu!” kata Boneng. Ia pun segera bergegas dengan terburu menuju ke belakang. Ia menemukan Rangga di kandang kuda.“Rangga! Penting…” kata Boneng.“Ada apa? Kenapa kau terlihat panik!” tanya Rangga heran.“Tadi aku mencari rumput di sekitar bukit kulon. Aku melihat Gathot sedang berkumpul bersama anak buahnya! Gathot sudah bebas, Ngga!” kata Boneng.“Sudah kuduga dia akan bebas dengan cepat. Ji
Gathot dan anak buahnya tertawa sinis saat mendengar Rangga mengatakan tak akan mengampuni mereka.“Memangnya apa yang bisa kau lakukan, Rangga? Dengan membawa dua cecunguk jelek itu kau pikir bisa mengalahkan anak buahku? Entah kau ini bodoh atau apa. Tapi aku senang, kami tak perlu repot mencarimu. Kau malah datang sendiri kemari untuk mengantar nyawa!” kata Gathot.Hari itu, Gathot memang merasa beruntung dengan datangnya Rangga. Sebelumnya, ia dan anak buahnya sudah membahas banyak hal; menemukan cara bagaimana mereka bisa membunuh Rangga tanpa diketahui oleh warga.Kemudian Gathot menoleh ke arah anak buahnya dan memberi perintah untuk menghabisi Rangga.“Dengan senang hati, juragan muda! Ini akan mudah sekali. Hohoho, keberuntungan berada di pihak kita!” ucap salah satu dari anak buah Gathot itu. Mereka semua bukan orang-orang asli desa itu, namun hanyalah pendatang dari berbagai desa lain, mulai dari desa terdekat hingga bahkan dari desa yang sangat jauh.Ketika orang-orang itu
Rangga berjalan perlahan ke arah Gathot sambil menyarungkan goloknya.Saat itu, wajah Gathot kembali memucat. Tanpa sadar, kakinya mundur selangkah demi selangkah saat Rangga berjalan mendekat.“Lelaki menyedihkan sepertimu itu memang seharusnya tak diampuni. Tapi coba katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk mengakhiri kejahatanmu?” kata Rangga dengan nada dingin.“R-rangga… tak bisakah kita bicara baik-baik. Aku akui aku sangat marah dan kecewa padamu sehingga aku ingin melakukan hal ini. Kita dulu teman baik, Rangga… tidak ingatkah kau jika aku pun banyak membantumu saat kau hidup dalam keterpurukan!” kata Gathot.“Membantuku? Kau hanya menginginkan uangku, Gathot. Kau hanya mengajakku bersenang-senang dan tenggelam dalam kehidupan yang rusak! Kesalahanmu sangat besar dengan berani menculik istriku!” kata Rangga.“I-itu karena… kau sendiri yang menyia-nyiakan istrimu… kau ingkar janji… karena kau pernah…”“Jangan berbelit-belit mencari pembenaran atas kesalahanmu!” Rangga s
Gathot dan anak buahnya yang tak berdaya dibopong dan digeletakkan di tengah pendopo seperti seonggok barang. Mereka sungguh tampak buruk dan menyedihkan. Pastinya pun, mereka masih merintih kesakitan dan tak ada yang berinisiatif mengobati.Beberapa jagabaya diutus untuk memanggil Ki Danang. Lelaki tua itu tampak kaget sekaligus murka mendengar Gathot kembali diseret ke kelurahan.Yang membuat ia kesal tentu pertama-tama adalah Gathot sendiri. Seharusnya Gathot tidak kembali ke desa itu, melainkan pergi ke rumah kakeknya atau pamannya di desa lain untuk sementara waktu.“Siapa yang membawa Gathot ke kelurahan?” kata Ki Danang dengan nada tinggi.“Rangga dan anak buahnya, Ki Danang. Dari yang sempat kami dengar, Gathot kembali mencari masalah ingin membalas dendam dan membunuh Rangga!” kata salah satu jagabaya yang datang untuk menjemput Ki Danang itu.“Bagaimana keadaannya?” tanya Ki Danang.“Luka parah. Semua anak buahnya pun juga tak ada yang terlihat sehat!” kata Jagabaya itu.“Ba
Sesampainya di tengah hutan, Gathot dan anak buahnya dilepas begitu saja; digeletakkan di bawah pepohonan.“Kami tak akan membunuh kalian. Tapi kalian harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Jika kalian masih bisa bertahan hidup, maka itu artinya dewata menginginkan kalian untuk bertobat!” kata Rangga.“Kau tega meninggalkan kami di sini, Rangga! Aku ini temanmu! Hutan ini banyak dihuni binatang buas. Kau sama saja membunuh kami pelan-pelan!” kata Gathot sambil menyeringai sakit.“Seperti yang aku katakan, alam lah yang akan memberi kalian hukuman dan yang akan menentukan hidup dan matinya kalian semua di sini! Jika kalian selamat, maka jangan pernah ulangi kesalahan yang sama!” kata Rangga.Kemudian Rangga mengajak Tanu, Boneng dan Panut untuk pergi dari tempat itu.Semula, Tanu ingin menghabisi mereka semua. Tapi sepertinya ide Rangga tetap lebih menarik. Biar saja alam yang menghukum mereka semua. Hutan itu lebih menyedihkan daripada penjara, sebab keadaan mereka pun sudah seperti i
Menjelang petang. Rangga melamun di tepi sumur sambil melihat permukaan air di dalamnya yang memantulkan warna langit merah dari atas sana.Citra baru saja selesai menyiapkan makan malam. Melihat Rangga melamun, ia berjalan mendekat.“Kangmas melamunkan apa?” ucap Citra dengan suara lirih sambil melangkah mendekat. Lalu ia berdiri di samping Rangga ikut-ikutan melihat ke dalam sumur.“Tidak apa-apa, Istriku sayang. Beberapa hari ini rasanya sungguh menegangkan. Tapi Ki Danang telah mati. Keluarga itu pun pasti tak akan bisa berbuat banyak hal. Tadi Boneng datang melayat dan sebenarnya ia hanya ingin tahu saja keadaan di sana. Katanya, rumah itu sepi dari anak buah Ki Danang. Hanya ada Nyi Danang, beberapa anak perempuannya, para menantu dan kerabat-kerabatnya saja serta beberapa tetangga terdekat!” kata Rangga.“Siapa yang mengira Gathot akan setega itu kepada kita, Kangmas…” kata Citra.“Ini semua salahku, Nimas… aku berteman dengan orang yang salah… hingga hampir saja mencelakaimu…”