LOGINJam di dinding menunjukkan pukul empat sore. Jakarta sedang mendung, langitnya berwarna abu-abu memar yang menggantung rendah di atas gedung-gedung pencakar langit, seolah menahan beban yang siap tumpah kapan saja.
Julian mengunci pintu kaca The Velvet Room dengan tangan yang sedikit gemetar. Bukan karena takut, tapi karena amarah yang ditahan. Kartu nama hitam milik Clara Valenia terasa panas di saku kemejanya, seolah benda kecil itu terbuat dari bara api yang membakar kulit dadanya. Dia tidak membuka bar hari ini. Dia meliburkan Bimo dengan alasan renovasi mendadak. Alasan yang ironis, mengingat renovasi yang dimaksud Clara mungkin berarti menghancurkan harga dirinya sampai ke pondasi. Julian menyalakan mesin mobilnya, membiarkan AC menyembur maksimal untuk mendinginkan kepalanya yang berdenyut. Dia punya waktu dua jam. Dua jam sebelum tenggat waktu pukul enam sore yang diberikan sang Ratu Properti. "Melayani," gumam Julian sinis pada bayangannya sendiri di spion tengah. "Dia pikir aku apa? Gigolo berkedok bartender?" Julian menginjak gas, membelah kemacetan sore Jalan Senopati. Dia butuh berpikir. Dan tempat terbaik untuk berpikir bukan di dalam mobil yang terjebak macet, melainkan di dalam air. Tiga puluh menit kemudian, Julian sudah berada di area kolam renang infinity di lantai lima Apartemen The Obsidian. Kolam itu sepi. Mayoritas penghuni apartemen ini adalah eksekutif sibuk yang masih berkutat di kantor jam segini. Air kolam yang berwarna biru jernih memantulkan langit kelabu, menciptakan permukaan yang tenang seperti kaca. Julian telah berganti pakaian menjadi celana renang hitam. Dia berdiri di tepi kolam, menatap air, lalu terjun. Byur. Dinginnya air menusuk kulit, mengejutkan sistem sarafnya, membungkam suara-suara bising di kepalanya. Julian berenang sekuat tenaga. Gaya bebas. Tangannya membelah air dengan kasar, kakinya menendang kuat. Satu lap. Dua lap. Sepuluh lap. Dia mencoba menenggelamkan wajah sombong Clara di dasar kolam. Dia mencoba membilas jejak sentuhan tangan wanita itu di dadanya. Tapi semakin dia berenang, semakin jelas tawaran itu terngiang. The Velvet Room adalah segalanya. Itu adalah monumen untuk mendiang ayahnya yang mengajarkan seni meracik minuman. Jika tempat itu hilang, Julian hanyalah seonggok daging tanpa tujuan di kota yang kejam ini. Saat Julian mencapai ujung kolam pada lap ke-lima belas, paru-parunya terbakar meminta oksigen. Dia muncul ke permukaan, menyibakkan rambut basahnya ke belakang, dan menarik napas rakus. "Kau berenang seperti sedang dikejar hiu, Ian." Suara itu lembut, tenang, dan familiar. Julian menoleh, menyeka air dari matanya. Di kursi santai (lounger) di tepi kolam, duduk Dr. Sarah Wijaya. Wanita itu tidak sedang memakai jas dokter atau pakaian kerjanya yang kaku. Dia mengenakan one-piece swimsuit berwarna navy yang elegan, dengan potongan leher rendah yang sopan namun tetap memperlihatkan kurva payudaranya yang penuh. Kakinya yang jenjang menyilang santai, sebuah buku tebal tergeletak di pangkuannya. "Sarah," sapa Julian, napasnya masih terengah. "Aku nggak lihat kamu tadi." "Aku baru sampai," Sarah tersenyum tipis. Dia menurunkan kacamata hitamnya, menatap Julian dengan tatapan analitis yang khas. "Kau terlihat... kacau. Lebih kacau dari semalam di lift." Julian mendengus, lalu menarik tubuhnya naik dari kolam. Air menetes dari tubuh atletisnya, mengalir melewati otot perut dan dada bidangnya. Dia sadar Sarah sedang memperhatikannya—bukan dengan tatapan lapar seperti wanita di bar, tapi dengan tatapan apresiasi yang tenang. Julian mengambil handuk yang disediakan, mengeringkan wajahnya kasar. "Hari yang berat." "Mau cerita?" tawar Sarah. Dia menepuk bagian kosong di kursi santai sebelahnya. Julian ragu sejenak. Dia seharusnya menelepon Clara. Tapi jam tangannya yang tergeletak di meja sisi menunjukkan pukul 17.15. Masih ada 45 menit. Julian duduk di kursi sebelah Sarah, menyandarkan punggungnya yang lelah. Aroma klorin kolam bercampur dengan wangi sunblock kelapa yang dipakai Sarah. "Ada seseorang yang mau membeli hidupku," kata Julian tiba-tiba. Dia menatap langit yang mulai gelap. "Harganya mahal. Cukup untuk melunasi semua hutang dan menyelamatkan warisan ayahku. Tapi syaratnya... aku harus kehilangan kendali atas diriku sendiri." Sarah menutup bukunya perlahan. Dia memiringkan tubuhnya menghadap Julian. "Kehilangan kendali adalah ketakutan terbesarmu, kan?" "Siapa yang suka jadi boneka, Sar?" "Tergantung siapa dalangnya," jawab Sarah tenang. Jari telunjuknya mengetuk pelan sampul bukunya. "Kadang, menyerahkan kendali itu membebaskan, Ian. Kau tidak perlu lagi memikirkan semuanya sendirian. Kau hanya perlu... mengikuti arus." Julian menoleh menatap Sarah. Kata-kata itu terdengar berbahaya. "Itu saran psikolog atau saran tetangga?" Sarah tertawa kecil, suara yang renyah dan hangat. Dia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Julian yang dingin karena air kolam. Tangannya hangat. Kontras suhu itu membuat kulit Julian meremang. "Itu saran dari wanita yang melihat seorang pria yang terlalu keras pada dirinya sendiri," bisik Sarah. Tatapannya turun ke bibir Julian, lalu kembali ke mata. "Kalau 'seseorang' itu membelimu, pastikan kau yang menentukan harganya. Jangan jual murah." Julian terdiam. Pastikan kau yang menentukan harganya. Ucapan Sarah seperti kunci yang membuka pintu di kepalanya. Clara memang memegang kartu As (Gedung Aradhana), tapi Clara juga menginginkan Julian. Clara butuh Julian untuk egonya, untuk koleksinya. Itu artinya Julian punya nilai tawar. "Terima kasih, Dok," gumam Julian. "Kapan-kapan bayar konsultasinya dengan makan malam," goda Sarah. Dia menarik tangannya kembali, lalu berdiri. "Aku mau berenang sebentar. Airnya terlihat enak." Sarah berjalan menuju bibir kolam. Julian mau tak mau memperhatikan punggung wanita itu, pinggulnya yang bergoyang anggun, dan betisnya yang kencang. Sarah terjun ke air dengan gaya yang sempurna, nyaris tanpa percikan. Julian mengalihkan pandangan ke jam tangannya. 17.45. Waktu bermain-main sudah habis. Julian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tumpukan bajunya. Layarnya gelap. Dia menyalakannya, mencari nomor yang tertera di kartu nama hitam itu. Tangannya tidak lagi gemetar. Saran Sarah benar. Jika dia harus masuk ke dalam neraka, dia akan masuk sebagai tamu kehormatan, bukan sebagai budak. Julian menekan tombol panggil. Satu nada sambung. Dua nada sambung. "Aku tahu kau akan menelepon tepat waktu, Julian." Suara Clara di ujung sana terdengar jernih, tajam, dan penuh kemenangan. Tidak ada sapaan 'Halo'. Wanita itu tahu dia menang. "Saya terima tawaran Anda, Nona Clara," kata Julian, suaranya berat dan datar. "Bagus," jawab Clara singkat. "Gedung itu aman. Pengacara saya sedang menyusun draf kontrak baru saat kita bicara." "Tapi saya punya syarat," potong Julian cepat. Hening sejenak di ujung telepon. Julian bisa membayangkan alis Clara terangkat. "Syarat?" Clara tertawa kecil, nada geli terdengar di suaranya. "Kau ada di posisi menawar?" "Anda bilang Anda butuh aset. Aset yang berharga harus dirawat, bukan diperas," kata Julian, mengutip filosofi yang baru saja dia bentuk. "Saya akan menjadi mixologist pribadi Anda. Saya akan melayani Anda. Tapi The Velvet Room tetap berjalan dengan aturan saya. Anda tidak boleh campur tangan dalam operasional harian atau menu. Di bar, saya rajanya. Di luar bar... terserah Anda." Hening lagi. Kali ini lebih lama. Jantung Julian berdetak kencang, menanti vonis. "Menarik," gumam Clara akhirnya. Suaranya terdengar lebih rendah, lebih... bergairah? "Saya suka pria yang berani menggigit balik. Setuju. Bar itu mainanmu. Tapi kau... mainanku." Julian memejamkan mata, menelan harga dirinya bulat-bulat. "Sepakat." "Kalau begitu, mulailah bekerja," perintah Clara. Nada suaranya berubah menjadi otoritas murni. "Datang ke penthouse saya di SCBD malam ini. Jam delapan tepat. Jangan terlambat." "Untuk apa?" "Saya sedang mood minum sesuatu yang keras, Julian. Dan saya ingin melihat apakah 'aset' baru saya ini benar-benar sebagus reputasinya." Klik. Sambungan terputus. Julian menurunkan ponselnya. Dia menatap layar hitam itu sejenak, lalu menatap kolam renang. Sarah masih berenang di sana, bergerak bolak-balik dengan tenang. Julian menghela napas panjang. Dia baru saja menjual jiwanya pada iblis ber-blazer putih. Dia berdiri, menyampirkan handuk di bahunya. Dia harus bersiap. Malam ini dia bukan Julian si pemilik bar. Malam ini dia adalah milik Clara Valenia. Dan dia harus memastikan racikannya malam ini cukup memabukkan untuk membuat sang Ratu lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan bom waktu.Apartemen Julian di Kuningan gelap dan sunyi saat dia menendang pintu hingga terbuka, tangannya penuh dengan tubuh Lily yang terkulai.Dia tidak bisa membawa Lily pulang ke kosannya. Gadis itu terlalu mabuk, dan ibu kos pasti akan menelepon orang tuanya—sebuah bencana yang tidak Lily butuhkan saat ini. Sarah? Tidak mungkin. Setelah manipulasi halus Sarah kemarin, Julian tidak mau menyerahkan domba terluka ini ke kandang serigala lain.Jadi, di sinilah mereka. Di satu-satunya tempat netral yang tersisa: Gua persembunyian Julian.Julian membaringkan Lily perlahan di atas kasur queen size-nya yang berantakan. Seprai abu-abu itu dingin, kontras dengan kulit Lily yang terasa demam."Nnggh..." Lily mengerang pelan, kepalanya berguling di bantal. Jas tuxedo Julian yang menutupi tubuhnya tersingkap, memperlihatkan kembali dress hitam yang berantakan dan paha putihnya yang terekspos.Julian menyalakan lampu tidur di nakas, menciptakan cahaya kunin
Pintu Rolls-Royce tertutup dengan bunyi thud yang meredam suara dunia luar. Kabin mobil itu hening, hanya terdengar dengungan halus AC dan napas Julian yang memburu namun tertahan.Mobil mewah itu meluncur meninggalkan pelataran Galeri Adhitama, membelah malam Jakarta yang gemerlap.Clara tidak menatap Julian. Dia sibuk dengan ponselnya, mengetik sesuatu dengan cepat. Namun, Julian bisa merasakan aura dingin yang memancar dari wanita di sebelahnya."Seratus lima puluh juta," gumam Clara tiba-tiba, memecah keheningan. Dia mematikan layar ponselnya, lalu menoleh menatap Julian dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara geli dan jijik. "Itu harga lukisan termahal yang pernah kubeli dari seorang amatir. Kau tahu kenapa aku membelinya, Julian?"Julian menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. "Untuk pamer kekuasaan?""Salah," Clara tertawa kecil tanpa humor. "Untuk menutupi aibmu. Lukisan itu... pria dengan lubang di dada? Itu menje
Pukul tujuh malam tepat, sebuah Rolls-Royce Phantom berwarna hitam berhenti di depan lobi The Obsidian.Julian melangkah masuk ke dalam kabin belakang yang dingin dan beraroma kulit premium. Dia mengenakan tuxedohitam slim-fit sewaan—biaya sewanya ditanggung perusahaan Clara—yang membuatnya terlihat seperti aktor film mata-mata, atau mungkin, pelayan kelas atas yang sangat mahal.Di sebelahnya, Clara Valenia duduk dengan kaki menyilang.Malam ini, Clara adalah definisi dari intimidasi yang memukau. Dia mengenakan gaun malam backless berwarna perak metalik yang berkilauan setiap kali terkena cahaya, seolah-olah dia memakai baju zirah yang terbuat dari berlian cair. Bibirnya dipulas merah darah, senada dengan sol sepatu Louboutin-nya."Kau terlihat lumayan," komentar Clara tanpa menoleh dari tablet di pangkuannya. "Setidaknya kau tidak terlihat seperti bartender pinggiran.""Terima kasih atas pujiannya, Nona," jawab Julian datar, menatap ja
Cahaya matahari pagi yang menyelinap dari balik tirai tebal berwarna krem terasa menyilaukan, memaksa Julian membuka matanya dengan enggan. Kepalanya tidak sakit—tidak ada hangover karena Sarah tidak memberinya alkohol semalam—tapi hatinya terasa berat, seolah ada batu besar yang menindih dadanya sepanjang malam.Dia tidak berada di kamar tidurnya yang berantakan di ujung lorong. Dia berada di sofa ruang tamu Unit 40B. Ada selimut wol tebal yang menutupi tubuhnya, dan bantal beraroma lavender yang menyangga kepalanya.Suara denting piring dan aroma kopi segar serta roti panggang menyapa indranya."Sudah bangun, Sleeping Beauty?"Julian menoleh. Dr. Sarah Wijaya berdiri di area dapur terbuka, memegang spatula. Dia terlihat segar, mengenakan pakaian santai rumah—kaus putih longgar dan celana pendek katun—dengan rambut yang digelung asal namun tetap elegan. Pemandangan itu begitu domestik, begitu "istri-able", kontras sekali dengan kekacauan hidu
Parkiran Gedung Aradhana hening kembali, namun kali ini keheningan itu terasa menyakitkan, seolah udara di sekitar mereka baru saja disayat pisau.Julian mundur selangkah dari Giselle, melepaskan diri dari sisa-sisa gairah yang kini terasa hambar. Matanya tidak tertuju pada Giselle, melainkan pada aspal yang basah di dekat ban mobil.Di sana, tergeletak sebuah bungkusan kertas cokelat yang tadi dijatuhkan Lily. Isinya tumpah berantakan.Martabak manis. Keju cokelat.Dada Julian terasa sesak. Dia ingat pernah bergumam asal-asalan seminggu lalu saat mengobrol dengan staf dapur, bahwa dia sedang ingin makan martabak keju. Dia tidak menyangka ada seseorang yang mendengarnya, mengingatnya, dan menerobos malam dingin Jakarta hanya untuk membawakannya.Dan sebagai balasannya, Julian menyuguhkan pemandangan dirinya sedang mencumbu wanita lain dengan liar."Martabak?" Giselle tertawa kecil, suara tawanya terdengar sumbang di telinga Julian. D
Lift pribadi itu meluncur turun membawa Julian kembali ke dasar bumi, tapi perutnya terasa tertinggal di lantai 55.Julian menyandarkan keningnya yang berkeringat ke dinding logam lift yang dingin. Dia memejamkan mata, dan seketika kilasan adegan lima menit lalu berputar di kepalanya seperti film rusak. Suara desahan Clara, cengkeraman kuku wanita itu di punggungnya, dan cara Clara menatapnya—bukan sebagai karyawan, tapi sebagai mangsa yang lezat.Dia telah melanggar satu-satunya aturan yang dia buat untuk dirinya sendiri: Jangan pernah mencampuradukkan bisnis dengan ranjang.Tapi Julian juga tahu, dia tidak menyesal. Dan itulah yang membuatnya merasa kotor.Ting.Pintu lift terbuka di lobi. Resepsionis yang tadi tersenyum sopan kini tidak terlihat, digantikan oleh petugas keamanan malam yang mengangguk hormat. Julian berjalan cepat keluar, menghindari pantulan wajahnya sendiri di kaca lobi. Dia takut melihat ada yang berubah di sana.Petugas valet memb







