LOGINCahaya matahari pukul satu siang adalah musuh alami bagi The Velvet Room.
Tanpa keremangan lampu kuning dan ilusi malam, bar itu terlihat telanjang. Debu-debu halus terlihat menari di bekas sorotan cahaya yang menembus celah ventilasi. Lantai kayu yang semalam terlihat eksotis kini menampakkan goresan-goresan tua. Dan Julian, yang duduk di salah satu kursi bar dengan kemeja flanel kusut dan rambut berantakan, terlihat bukan seperti pangeran malam, melainkan seorang pria yang sedang di ujung tanduk. Di hadapannya, tergeletak sebuah amplop cokelat dengan kop surat resmi: PT. ARADHANA PROPERTI. Isinya singkat, padat, dan mematikan. Gedung tua ini—rumah bagi satu-satunya warisan yang Julian banggakan—telah dijual kepada pihak ketiga. Pemilik baru berencana merenovasi total area Senayan Lama menjadi kompleks perkantoran modern. Artinya satu hal: The Velvet Room harus angkat kaki dalam waktu 30 hari, atau membayar denda pembatalan kontrak yang nominalnya membuat kepala Julian berdenyut nyeri. "Sial," umpat Julian pelan. Dia memijat pelipisnya. Semalam dia hampir kehilangan kendali dengan Giselle, lalu diselamatkan atau malah dijebak oleh Sarah, dan digoda oleh gadis ingusan bernama Lily. Sekarang, realitas finansial datang menamparnya. Dia menyesap kopi hitam dinginnya yang sudah terasa asam. Dia butuh investor. Tapi siapa yang mau menanam modal di bar jazz niche yang pemasukannya tidak stabil? Tok. Tok. Tok. Suara ketukan di pintu kaca depan memecah keheningan. Julian mengerutkan kening. Tanda “CLOSED” masih terpampang jelas. Dia tidak mengharapkan kiriman barang hari ini. Julian turun dari kursi, berjalan gontai menuju pintu. Saat dia membuka kunci dan mendorong pintu kaca itu, dia tidak menemukan kurir paket. Sebuah mobil sedan coupe hitam mengkilap—jenis mobil Eropa yang harganya setara dengan sewa gedung ini selama sepuluh tahun—terparkir arogan tepat di depan pintu masuk, memblokir trotoar. Mesinnya masih menyala halus. Pintu mobil terbuka. Sepasang kaki jenjang yang dibalut stocking hitam tipis turun lebih dulu, disusul oleh sepatu stilettomerah darah dengan hak setinggi sepuluh sentimeter yang menusuk aspal panas Jakarta. Seorang wanita keluar. Dia mengenakan setelan blazer putih ivory yang memeluk tubuhnya dengan presisi jahitan butik mahal. Rambut hitam lurusnya dipotong bob tajam, membingkai wajah yang cantik namun sedingin es. Dia memakai kacamata hitam besar yang menyembunyikan matanya, tapi Julian bisa merasakan tatapan wanita itu sedang menilainya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ini bukan tamu nyasar. Ini adalah bencana alam. "Julian Baskara?" tanya wanita itu. Suaranya jernih, tegas, dan tidak mengandung nada basa-basi. "Ya. Maaf, kami belum buka," jawab Julian defensif, menyilangkan tangan di dada. Dia sadar penampilannya sedang kacau, tapi dia menolak untuk terlihat terintimidasi. Wanita itu melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan sepasang mata tajam berbentuk almond yang menatap Julian seolah dia adalah noda di karpet mahal. "Saya tidak datang untuk minum, Tuan Baskara. Saya datang untuk melihat aset saya," katanya sambil melangkah maju, memaksa Julian untuk mundur memberinya jalan. "Aset?" Julian menahan pintu, bingung. "Gedung Aradhana," jawab wanita itu santai, melangkah masuk ke dalam The Velvet Room tanpa permisi. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang berbau sisa alkohol semalam, hidungnya sedikit berkerut jijik, atau mungkin tertarik. "Saya pemilik baru gedung ini. Clara Valenia." Nama itu menghantam Julian seperti pukulan fisik. Clara Valenia. CEO muda dari Valenia Tech, salah satu start-up unicorn yang sering masuk majalah bisnis. Julian pernah melihat wajahnya di sampul majalah yang tertinggal di lobi apartemen Sarah. "Jadi... Anda yang mau menggusur bar ini?" tanya Julian, suaranya memberat. Dia menutup pintu, mengurung mereka berdua di dalam keremangan bar. Clara berbalik. Dia berjalan menuju meja bar, jari telunjuknya yang lentik menyapu permukaan kayu mahoni, memeriksa debu. "Menggusur adalah kata yang kasar. Saya lebih suka istilah... restrukturisasi," koreksi Clara. Dia duduk di kursi bar—kursi yang sama yang diduduki Giselle semalam—dengan keanggunan seorang ratu yang baru saja menduduki takhta jarahan. "Saya melihat laporan keuanganmu, Julian. Bar ini hidup segan mati tak mau. Kenapa kau bertahan?" "Ini bukan soal uang," desis Julian, mendekat. "Ini soal jiwa. Tempat ini punya nyawa." Clara tertawa kecil. Tawa yang kering, tanpa humor. "Jiwa tidak bisa membayar tagihan listrik, Sayang." Panggilan "Sayang" itu terdengar merendahkan, namun anehnya, membuat darah Julian mendesir. "Dengar, Nona Clara," Julian menumpukan kedua tangannya di meja bar, menatap tajam wanita itu. "Saya punya kontrak sewa yang sah. Anda tidak bisa begitu saja—" "Kontrakmu punya klausul pembatalan sepihak jika gedung berpindah tangan," potong Clara cepat. Dia mengeluarkan tablet tipis dari tas kerjanya, meletakkannya di meja. Layarnya menyala, menampilkan grafik keuangan bar Julian yang menyedihkan. "Secara hukum, saya bisa melemparmu keluar besok pagi. Dan kau tidak punya uang untuk menuntut saya." Julian terdiam. Rahangnya mengeras. Dia kalah. Dia tahu dia kalah. Clara mengamati perubahan ekspresi Julian. Dari marah, menjadi putus asa, lalu menjadi dingin kembali. Dia menyukai apa yang dia lihat. Pria ini tidak memohon. Pria ini menelan kekalahannya dengan harga diri. "Tapi..." lanjut Clara, memecah keheningan. Dia menyilangkan kakinya, gaun pendek di balik blazer-nya tersingkap sedikit, memperlihatkan paha yang jenjang. "Saya suka tempat ini. Ada... potensi." Julian mengangkat alis. "Potensi?" "Saya butuh tempat hiburan privat. Tempat untuk menjamu klien-klien VIP saya yang bosan dengan kemewahan hotel bintang lima. Mereka butuh sesuatu yang authentic. Sesuatu yang... gelap dan menggairahkan," mata Clara menatap lurus ke mata Julian, penuh arti. "Dan saya butuh seseorang yang bisa menjaga rahasia mereka." "Anda menawari saya kemitraan?" tanya Julian skeptis. "Saya menawarimu keselamatan," koreksi Clara. "Saya tidak akan menggusur The Velvet Room. Saya bahkan akan menyuntikkan dana renovasi. Hutang-hutangmu? Saya yang urus." Tawaran itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Julian tahu tidak ada makan siang gratis di dunia bisnis, apalagi dengan wanita sekelas Clara Valenia. "Apa imbalannya?" tanya Julian waspada. "Anda mau saham? Berapa persen? 51?" Clara tersenyum miring. Dia berdiri, berjalan memutari meja bar hingga dia berdiri di samping Julian. Aroma parfumnya—jasmine dan uang kertas baru—menguar kuat. Dia jauh lebih pendek dari Julian, tapi auranya membuat dia terasa lebih besar. "Saya tidak butuh uang receh dari bisnis kecilmu, Julian," bisik Clara. Dia mengulurkan tangan, merapikan kerah kemeja flanel Julian yang berantakan. Sentuhannya ringan, tapi posesif. "Saya butuh... aset." "Aset apa?" "Kamu," jawab Clara singkat. Jantung Julian berhenti berdetak sesaat. "Saya ingin kamu menjadi personal mixologist saya," lanjut Clara, jarinya kini turun ke kancing dada Julian. "Eksklusif. Kapan pun saya butuh, di mana pun saya butuh. Di bar ini... di kantor saya... atau di rumah saya." "Itu terdengar seperti perbudakan," kata Julian kaku. "Itu terdengar seperti penyelamatan," balas Clara. Dia menarik kerah kemeja Julian, memaksanya menunduk sedikit. Wajah mereka kini sangat dekat. Julian bisa melihat pori-pori kulit Clara yang sempurna. "Pikirkan, Julian. Bar ini tetap milikmu. Mimpimu tetap hidup. Kau hanya perlu... melayaniku." Kata "melayani" itu menggantung berat di udara. Julian bukan orang bodoh. Dia tahu persis apa yang dimaksud Clara. Ini bukan hanya soal meracik minuman. Ini adalah soal kepemilikan. Clara tidak sedang membeli gedung; dia sedang membeli Julian. Harga diri Julian berteriak untuk menolak. Dia ingin mengusir wanita sombong ini keluar. Tapi kemudian dia melihat sekeliling barnya. Kursi-kursi beludru tua, botol-botol antik, panggung tempat Giselle biasa bernyanyi. Jika dia menolak, semua ini akan rata dengan tanah besok pagi. Julian menatap mata Clara. Di balik dinginnya tatapan CEO itu, Julian melihat kilatan hasrat yang sama seperti yang dia lihat pada wanita-wanita lain. Hasrat untuk menaklukkan. Hasrat untuk memiliki sesuatu yang tidak bisa dimiliki orang lain. "Apa yang terjadi kalau saya menolak?" tanya Julian pelan. Clara melepaskan kerah Julian, merapikan blazer-nya sendiri. "Maka besok pagi bulldozer akan parkir di depan pintu. Dan kau akan kembali jadi gelandangan tampan di Jakarta." Wanita itu mengambil kartu nama hitam elegan dari saku blazer-nya, meletakkannya di saku dada kemeja Julian, menepuknya pelan tepat di atas jantung. "Hubungi saya sebelum jam enam sore. Saya tidak suka menunggu," kata Clara. Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan berjalan keluar, bunyi hak sepatunya kembali mengetuk lantai kayu dengan irama kemenangan. Julian berdiri mematung di tengah barnya yang sunyi. Dia mengambil kartu nama itu. Clara Valenia. CEO. Dan sekarang, pemilik nasib Julian Baskara. Julian tertawa getir. Dia baru saja lepas dari mulut harimau, hanya untuk masuk ke dalam kandang singa betina. Dia meremas kartu itu di tangannya. Empat dosa. Satu sudah datang dengan surat pengusiran. Satu dengan KTP palsu. Satu dengan kenangan masa lalu. Dan satu dengan jarum suntik penenang. Permainan baru saja dimulai, dan Julian sadar, dia bukan pemainnya. Dia adalah hadiah utamanya.Apartemen Julian di Kuningan gelap dan sunyi saat dia menendang pintu hingga terbuka, tangannya penuh dengan tubuh Lily yang terkulai.Dia tidak bisa membawa Lily pulang ke kosannya. Gadis itu terlalu mabuk, dan ibu kos pasti akan menelepon orang tuanya—sebuah bencana yang tidak Lily butuhkan saat ini. Sarah? Tidak mungkin. Setelah manipulasi halus Sarah kemarin, Julian tidak mau menyerahkan domba terluka ini ke kandang serigala lain.Jadi, di sinilah mereka. Di satu-satunya tempat netral yang tersisa: Gua persembunyian Julian.Julian membaringkan Lily perlahan di atas kasur queen size-nya yang berantakan. Seprai abu-abu itu dingin, kontras dengan kulit Lily yang terasa demam."Nnggh..." Lily mengerang pelan, kepalanya berguling di bantal. Jas tuxedo Julian yang menutupi tubuhnya tersingkap, memperlihatkan kembali dress hitam yang berantakan dan paha putihnya yang terekspos.Julian menyalakan lampu tidur di nakas, menciptakan cahaya kunin
Pintu Rolls-Royce tertutup dengan bunyi thud yang meredam suara dunia luar. Kabin mobil itu hening, hanya terdengar dengungan halus AC dan napas Julian yang memburu namun tertahan.Mobil mewah itu meluncur meninggalkan pelataran Galeri Adhitama, membelah malam Jakarta yang gemerlap.Clara tidak menatap Julian. Dia sibuk dengan ponselnya, mengetik sesuatu dengan cepat. Namun, Julian bisa merasakan aura dingin yang memancar dari wanita di sebelahnya."Seratus lima puluh juta," gumam Clara tiba-tiba, memecah keheningan. Dia mematikan layar ponselnya, lalu menoleh menatap Julian dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara geli dan jijik. "Itu harga lukisan termahal yang pernah kubeli dari seorang amatir. Kau tahu kenapa aku membelinya, Julian?"Julian menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. "Untuk pamer kekuasaan?""Salah," Clara tertawa kecil tanpa humor. "Untuk menutupi aibmu. Lukisan itu... pria dengan lubang di dada? Itu menje
Pukul tujuh malam tepat, sebuah Rolls-Royce Phantom berwarna hitam berhenti di depan lobi The Obsidian.Julian melangkah masuk ke dalam kabin belakang yang dingin dan beraroma kulit premium. Dia mengenakan tuxedohitam slim-fit sewaan—biaya sewanya ditanggung perusahaan Clara—yang membuatnya terlihat seperti aktor film mata-mata, atau mungkin, pelayan kelas atas yang sangat mahal.Di sebelahnya, Clara Valenia duduk dengan kaki menyilang.Malam ini, Clara adalah definisi dari intimidasi yang memukau. Dia mengenakan gaun malam backless berwarna perak metalik yang berkilauan setiap kali terkena cahaya, seolah-olah dia memakai baju zirah yang terbuat dari berlian cair. Bibirnya dipulas merah darah, senada dengan sol sepatu Louboutin-nya."Kau terlihat lumayan," komentar Clara tanpa menoleh dari tablet di pangkuannya. "Setidaknya kau tidak terlihat seperti bartender pinggiran.""Terima kasih atas pujiannya, Nona," jawab Julian datar, menatap ja
Cahaya matahari pagi yang menyelinap dari balik tirai tebal berwarna krem terasa menyilaukan, memaksa Julian membuka matanya dengan enggan. Kepalanya tidak sakit—tidak ada hangover karena Sarah tidak memberinya alkohol semalam—tapi hatinya terasa berat, seolah ada batu besar yang menindih dadanya sepanjang malam.Dia tidak berada di kamar tidurnya yang berantakan di ujung lorong. Dia berada di sofa ruang tamu Unit 40B. Ada selimut wol tebal yang menutupi tubuhnya, dan bantal beraroma lavender yang menyangga kepalanya.Suara denting piring dan aroma kopi segar serta roti panggang menyapa indranya."Sudah bangun, Sleeping Beauty?"Julian menoleh. Dr. Sarah Wijaya berdiri di area dapur terbuka, memegang spatula. Dia terlihat segar, mengenakan pakaian santai rumah—kaus putih longgar dan celana pendek katun—dengan rambut yang digelung asal namun tetap elegan. Pemandangan itu begitu domestik, begitu "istri-able", kontras sekali dengan kekacauan hidu
Parkiran Gedung Aradhana hening kembali, namun kali ini keheningan itu terasa menyakitkan, seolah udara di sekitar mereka baru saja disayat pisau.Julian mundur selangkah dari Giselle, melepaskan diri dari sisa-sisa gairah yang kini terasa hambar. Matanya tidak tertuju pada Giselle, melainkan pada aspal yang basah di dekat ban mobil.Di sana, tergeletak sebuah bungkusan kertas cokelat yang tadi dijatuhkan Lily. Isinya tumpah berantakan.Martabak manis. Keju cokelat.Dada Julian terasa sesak. Dia ingat pernah bergumam asal-asalan seminggu lalu saat mengobrol dengan staf dapur, bahwa dia sedang ingin makan martabak keju. Dia tidak menyangka ada seseorang yang mendengarnya, mengingatnya, dan menerobos malam dingin Jakarta hanya untuk membawakannya.Dan sebagai balasannya, Julian menyuguhkan pemandangan dirinya sedang mencumbu wanita lain dengan liar."Martabak?" Giselle tertawa kecil, suara tawanya terdengar sumbang di telinga Julian. D
Lift pribadi itu meluncur turun membawa Julian kembali ke dasar bumi, tapi perutnya terasa tertinggal di lantai 55.Julian menyandarkan keningnya yang berkeringat ke dinding logam lift yang dingin. Dia memejamkan mata, dan seketika kilasan adegan lima menit lalu berputar di kepalanya seperti film rusak. Suara desahan Clara, cengkeraman kuku wanita itu di punggungnya, dan cara Clara menatapnya—bukan sebagai karyawan, tapi sebagai mangsa yang lezat.Dia telah melanggar satu-satunya aturan yang dia buat untuk dirinya sendiri: Jangan pernah mencampuradukkan bisnis dengan ranjang.Tapi Julian juga tahu, dia tidak menyesal. Dan itulah yang membuatnya merasa kotor.Ting.Pintu lift terbuka di lobi. Resepsionis yang tadi tersenyum sopan kini tidak terlihat, digantikan oleh petugas keamanan malam yang mengangguk hormat. Julian berjalan cepat keluar, menghindari pantulan wajahnya sendiri di kaca lobi. Dia takut melihat ada yang berubah di sana.Petugas valet memb







