Mag-log inGedung apartemen The Summit Residence berdiri angkuh di jantung SCBD, sebuah menara kaca dan baja yang seolah menantang langit Jakarta. Ini bukan sekadar tempat tinggal; ini adalah pernyataan status. Di sini, udara berbau uang dan privasi dijaga lebih ketat daripada rahasia negara.
Pukul tujuh lewat lima puluh lima menit. Julian menyerahkan kunci mobil sedan tuanya kepada petugas valet yang mengenakan seragam lebih rapi daripada pakaian terbaik Julian. Petugas itu sempat mengangkat alis sedikit saat melihat mobil Julian yang bumper-nya sedikit penyok, kontras dengan deretan Porsche dan Mercedes di lobi, namun profesionalisme membuatnya tetap diam. Julian merapikan jas rompinya. Malam ini, dia mengenakan "seragam tempur"-nya: kemeja putih yang disetrika kaku, rompi abu-abu charcoal pas badan, dasi hitam ramping, dan armband (pengikat lengan) yang menahan lengan kemejanya agar tetap rapi saat bekerja. Dia membawa sebuah tas kulit dokter tua—warisan ayahnya—yang kini berisi peralatan bar portabel: shaker, jigger, sendok bar panjang, dan pisau zest. "Tujuan?" tanya resepsionis lobi dengan senyum yang diprogram. "Unit Penthouse A. Tamu Nona Clara Valenia," jawab Julian. Resepsionis itu mengetik sesuatu di komputernya, lalu ekspresinya berubah menjadi lebih hormat—atau mungkin takut. "Silakan, Pak Julian. Lift pribadi di sebelah kanan. Nona Clara sudah memberi akses." Julian melangkah menuju lift yang dimaksud. Tidak ada tombol angka di dalam kabin lift itu, hanya pemindai kartu akses yang sudah disiapkan resepsionis tadi. Begitu pintu tertutup, lift melesat naik dengan kecepatan tinggi yang membuat telinga berdenging. Lantai 55. Puncak rantai makanan. Ketika pintu lift terbuka, Julian tidak disambut oleh lorong, melainkan langsung oleh ruang tamu yang luasnya mungkin tiga kali lipat ukuran apartemen studionya dulu. Kesan pertama Julian adalah: Dingin. Lantai marmer putih membentang luas, memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang artistik. Dinding-dindingnya adalah kaca floor-to-ceiling yang menampilkan panorama Jakarta di malam hari—lautan lampu kuning dan merah yang berkedip di bawah sana, tampak indah namun berjarak. Perabotannya minimalis, didominasi warna monokrom, seolah pemiliknya alergi terhadap warna-warna hangat. "Tepat waktu. Saya menghargai itu." Julian menoleh ke arah suara itu. Clara Valenia berdiri di dekat jendela besar, membelakangi pemandangan kota. Penampilannya malam ini sangat berbeda dengan tadi siang. Blazer putih itu sudah hilang, digantikan oleh jubah tidur sutra (silk robe) berwarna merah maroon gelap yang jatuh menjuntai hingga ke lantai. Ikat pinggang jubah itu terikat longgar, menciptakan belahan dada V yang dalam namun tidak murahan. Rambut bob-nya yang hitam legam terlihat sedikit basah, seolah dia baru saja mandi. Dia memegang segelas air mineral, tapi postur tubuhnya seolah dia sedang memegang tongkat kerajaan. "Selamat malam, Nona Clara," sapa Julian formal. Dia mencengkeram pegangan tas kulitnya lebih erat. Dia merasa seperti gladiator yang baru saja masuk ke arena, hanya bersenjatakan sendok bar. "Clara," koreksi wanita itu. Dia berjalan mendekat, kain sutra berdesir pelan di lantai marmer. "Kalau kita sedang berdua, panggil Clara. 'Nona' membuatku merasa seperti guru sekolahmu." Clara berhenti dua langkah di depan Julian. Aroma tubuhnya tercium jelas sekarang—wangi sabun mandi mewah yang bercampur dengan parfum Rose dan Oud. Wangi yang berat, sensual, dan mengintimidasi. "Jadi," Clara menyapu pandangannya ke pakaian Julian, sudut bibirnya terangkat sedikit. "Kau berpakaian lengkap. Sangat profesional." "Saya di sini untuk bekerja, sesuai kesepakatan," jawab Julian kaku. "Tentu saja," Clara berbalik, berjalan menuju sebuah meja panjang dari batu granit hitam di sudut ruangan yang tampaknya difungsikan sebagai bar kering. "Saya sudah siapkan botol-botol dasarnya. Tapi saya ragu koleksi saya sebagus punyamu." Julian mengikuti Clara ke meja bar itu. Dia meletakkan tasnya, membukanya, dan mulai mengeluarkan peralatannya satu per satu dengan gerakan metodis. Dia menyusun shaker, strainer, dan gelas ukur dengan presisi militer. Melakukan rutinitas ini membuatnya sedikit lebih tenang. Ini dunianya. Dia melirik koleksi minuman Clara di rak dinding. Macallan 18, Hennessy Paradis, Gin impor Jepang. Botol-botol yang harganya bisa memberi makan satu keluarga selama sebulan. "Apa yang Anda inginkan malam ini?" tanya Julian, tangannya sudah memegang sendok bar, siap beraksi. "Sesuatu yang manis? Segar?" Clara duduk di salah satu kursi bar tinggi di seberang meja. Dia menopang dagu dengan satu tangan, sikunya bertumpu di meja granit yang dingin. Jubah sutranya tersingkap di bagian paha, memperlihatkan kulit putih mulus yang kontras dengan warna merah kain. "Jangan tanya saya apa yang saya mau, Julian," kata Clara pelan, matanya menatap tajam ke mata Julian. "Kau ahlinya. Baca saya. Buatkan sesuatu yang menurutmu... pantas untuk saya malam ini." Itu sebuah tes. Julian tahu itu. Clara tidak menginginkan minuman; dia menginginkan pembuktian. Julian menatap wanita itu. Dia melihat postur tubuhnya yang santai namun waspada. Dia melihat matanya yang lelah namun tetap tajam. Dia melihat wanita yang memiliki segalanya—uang, kekuasaan, gedung pencakar langit—tapi berdiri sendirian di puncak menara gading yang dingin ini. Dia butuh sesuatu yang kuat. Sesuatu yang rumit. Sesuatu yang pahit di awal tapi meninggalkan kehangatan yang bertahan lama. "Baik," kata Julian. Dia tidak bicara lagi. Dia mulai bekerja. Julian mengambil bongkahan es balok besar yang tersedia di ice bucket, memecahnya dengan ice pick menjadi bola es yang sempurna. Tuk. Tuk. Tuk. Suara itu bergema di ruangan sunyi itu. Dia meraih botol Rye Whiskey untuk pondasi yang kokoh, lalu Sweet Vermouth untuk kompleksitas, dan Bénédictine untuk sentuhan herbal yang misterius. Terakhir, beberapa tetes Peychaud's Bitters dan Angostura. Vieux Carré. Minuman klasik dari New Orleans. Elegan, kuat, dan memabukkan. Gerakan Julian adalah tarian. Dia menuangkan cairan dengan free pour yang akurat, mengaduknya di dalam gelas pencampur (mixing glass) kristal dengan putaran sendok yang hening namun cepat. Dia tidak melihat ke arah gelasnya, dia menatap Clara sepanjang waktu. Dan Clara membalas tatapan itu, terhipnotis oleh ketangkasan tangan Julian. Cara otot lengan Julian bergerak di balik kemeja putihnya, fokus di matanya, urat-urat tangannya yang menonjol saat memeras kulit lemon di atas gelas... bagi Clara, pemandangan ini jauh lebih erotis daripada pornografi manapun. Julian menuangkan cairan berwarna ambar tua itu ke dalam gelas pendek berisi bola es. Aromanya—rempah, kayu, dan alkohol mahal—menguar di udara. Dia mendorong gelas itu perlahan ke hadapan Clara. "Vieux Carré," kata Julian. "Keras, kompleks, dan tidak untuk pemula. Seperti Anda." Clara terdiam sejenak. Dia menatap gelas itu, lalu menatap Julian. Senyum miring tersungging di bibirnya saat dia menyesap cairan ambar itu. Alkohol mahal itu membakar tenggorokannya, tapi itu belum cukup untuk memadamkan api yang lain. "Tugas saya selesai?" tanya Julian, tangannya bergerak hendak membereskan shaker. "Belum," Clara meletakkan gelasnya dengan bunyi tak yang tegas di atas meja granit. "Itu baru pemanasan." Clara turun dari kursi bar tingginya. Jubah sutra maroon yang ia kenakan berdesir lembut, suaranya seperti bisikan setan di ruangan yang sunyi itu. Dia berjalan memutari meja bar, memasuki wilayah kerja Julian. Ruang di balik meja granit itu sempit, sengaja didesain untuk efisiensi, bukan untuk dua orang. Kehadiran Clara di sana membuat udara menipis. Julian mundur selangkah hingga punggungnya menabrak rak botol di dinding, terperangkap. Clara berhenti tepat di depan Julian. Dia tidak mendongak meski Julian jauh lebih tinggi. Dia memancarkan otoritas yang membuat perbedaan tinggi badan itu tidak relevan. "Kau tahu kenapa aku membelimu, Julian?" bisik Clara. Tangannya terulur, jari telunjuknya yang berkuku merah darah menyentuh simpul dasi Julian, lalu perlahan menariknya lepas. Kain sutra itu jatuh ke lantai, diabaikan. "Karena Anda butuh aset," jawab Julian, suaranya memberat, berusaha mempertahankan tembok profesionalismenya yang mulai retak. "Bukan," bantah Clara. Jarinya terus turun, membuka kancing rompi Julian satu per satu. "Karena tatapan matamu. Tatapan pria lapar yang berpura-pura kenyang. Aku ingin melihat apa yang terjadi kalau kau diberi makan." "Anda bermain api, Clara." "Aku yang punya apinya, Sayang." Clara menyentakkan kerah kemeja Julian kasar, memaksa pria itu menunduk. Tanpa peringatan, bibir Clara menyambar bibir Julian. Itu bukan ciuman romantis. Itu adalah invasi. Clara mencium dengan rasa kepemilikan, lidahnya memaksa masuk, menuntut respon. Rasa whiskey dan vermouth berpindah dari mulut Clara ke mulut Julian, memabukkan. Pertahanan Julian runtuh. Persetan dengan kontrak. Persetan dengan harga diri. Julian mengerang rendah di tenggorokan, sebuah suara primal yang membuat lutut Clara lemas seketika. Tangan Julian yang kasar—tangan seorang pekerja—mencengkeram pinggang ramping Clara, menarik wanita itu hingga tubuh mereka bertabrakan. "Kau mau ini?" geram Julian di bibir Clara. "Kau mau 'aset'-mu bekerja?" "Buktikan kalau kau layak harganya," tantang Clara, napasnya memburu. Julian tidak menjawab dengan kata-kata. Dia mengangkat tubuh Clara dengan mudah, seolah wanita itu tidak berbobot, dan mendudukkannya di atas meja bar granit yang dingin. "Ah!" Clara terkesiap saat kulit paha bagian dalamnya yang hangat bersentuhan dengan permukaan batu yang dingin. Sensasi kontras itu mengirimkan kejutan listrik ke tulang belakangnya. Julian berdiri di antara kedua kaki Clara yang terbuka. Jubah sutra itu tersingkap lebar sekarang, memperlihatkan bahwa Clara tidak mengenakan apa-apa lagi di baliknya selain sepasang panties renda hitam yang tipis. Pemandangan itu begitu erotis, begitu terbuka, hingga Julian merasa darahnya mendidih, mengalir deras ke satu titik di pusat tubuhnya. "Cantik," bisik Julian kasar. Tangannya merambat naik, menyentuh paha Clara, ibu jarinya mengusap kulit lembut itu dengan tekanan yang kuat, meninggalkan jejak panas. Clara, yang biasa memberi perintah pada ratusan karyawan, kini mendongak dengan mata sayu, bibirnya terbuka sedikit, menanti apa yang akan dilakukan "bawahannya" ini. "Sentuh aku, Julian," perintah Clara, meski suaranya bergetar. "Jangan hanya melihat." Julian menatap mata Clara tajam. "Ingat, Clara. Di meja bar ini, aku rajanya." Julian menggeser panties itu ke samping dengan satu gerakan cepat. Jari-jarinya yang terampil—jari-jari yang biasa menari lincah meracik minuman rumit—kini menemukan sasaran yang jauh lebih basah dan hangat. Saat Julian menyentuh titik sensitif itu, punggung Clara melengkung drastis. Dia mencengkeram bahu Julian erat-erat, kuku-kukunya menancap di kemeja putih pria itu. "Oh..." desah Clara. Topeng CEO dinginnya hancur berkeping-keping. Julian tidak memberinya ampun. Dia mempermainkan Clara dengan ritme yang menyiksa—tekanan yang presisi, gerakan memutar yang ahli. Dia tahu persis apa yang dia lakukan. Dia memperlakukan tubuh Clara seperti instrumen musik yang harus dia mainkan hingga mencapai nada tertinggi. Clara menggelengkan kepalanya, rambut bob-nya berantakan, napasnya tersengal-sengal. Rasanya terlalu intens. Terlalu nikmat. Dia terbiasa mengontrol segalanya, tapi sekarang, kendali itu direbut paksa oleh jari-jari kasar Julian. "Julian... please..." Clara merintih, memohon sesuatu yang lebih. Dia menarik sabuk celana Julian dengan tangan gemetar, putus asa ingin merasakan pria itu sepenuhnya. Julian berhenti sejenak, membiarkan Clara tersiksa dalam gantungannya. Dia menatap wajah Clara yang merah padam karena gairah. "Katakan," perintah Julian serak. "Katakan apa yang kau mau." "Masuk..." bisik Clara, matanya berkabut air mata kenikmatan. "Masuki aku. Sekarang." Julian membuka ritsleting celananya, membebaskan miliknya yang sudah mengeras sempurna. Tanpa banyak persiapan, dia mengangkat pinggul Clara sedikit, memposisikan dirinya, dan mendorong masuk. Satu dorongan kuat yang dalam. "Ahhhh!" Jeritan Clara tertahan di leher saat Julian memenuhinya. Rasanya penuh, sesak, dan luar biasa nikmat. Dinding-dinding kewanitaannya menjepit Julian erat, seolah menyambut tuannya pulang. Julian berhenti sejenak, membiarkan mereka berdua menyesuaikan diri dengan penyatuan itu. Dia menumpukan tangannya di meja bar, mengunci tatapan dengan Clara. "Milik siapa kau sekarang, Clara?" tanya Julian rendah, pinggulnya mulai bergerak mundur dan maju, menciptakan gesekan yang membakar. "Diam..." desis Clara, meski dia melingkarkan kakinya erat di pinggang Julian, menarik pria itu semakin dalam. Gerakan Julian semakin cepat. Irama itu menjadi liar. Bunyi kulit yang beradu, napas yang memburu, dan desahan basah memenuhi penthouse mewah itu. Di luar jendela kaca, lampu-lampu Jakarta menjadi saksi bisu bagaimana sang Ratu SCBD sedang didominasi di atas meja barnya sendiri. Setiap dorongan Julian menghantam titik terdalam Clara, membuatnya merasa pusing. Sensasi gesekan granit dingin di punggung dan tubuh panas Julian di depannya membuat Clara merasa terjebak dalam surga dan neraka sekaligus. "Lebih cepat... Ian... harder!" Clara kehilangan akal sehatnya. Dia tidak lagi peduli pada gengsi. Dia hanya butuh pelepasan. Dia butuh meledak. Julian mengabulkannya. Dia memegang pinggul Clara kuat-kuat, meninggalkan bekas merah di kulit putih itu, dan menumbuknya tanpa ampun. Keringat menetes dari kening Julian, jatuh ke dada Clara yang naik turun. "Lihat aku, Clara!" geram Julian saat dia merasa pelepasannya sudah dekat. Clara menatap mata gelap Julian. Di detik itu, tidak ada atasan dan bawahan. Hanya ada pria dan wanita yang saling memangsa. Tubuh Clara mengejang hebat. Klimaks menghantamnya seperti ombak pasang, membuatnya mencengkeram rambut Julian dan menjerit tertahan. Kontraksi di dalam sana menjepit Julian begitu kuat hingga pertahanan pria itu pun runtuh. Dengan satu geraman panjang, Julian menumpahkan benihnya di dalam, mengisi Clara dengan hangatnya gairah mereka, menyatukan mereka dalam ikatan dosa yang tak terelakkan. Julian ambruk di atas dada Clara, napas mereka berdua terdengar kasar dan berat di ruangan yang sunyi itu. Hening. Hanya detak jantung yang menggila. Perlahan, realitas mulai merayap kembali. Julian menarik dirinya keluar, sensasi kosong seketika membuat Clara merasa kehilangan. Julian merapikan pakaiannya dengan gerakan cepat, kembali memasang tembok di wajahnya. Clara masih berbaring di atas meja, napasnya masih belum teratur, jubah sutranya tersingkap berantakan. Dia menatap langit-langit, mencoba mengumpulkan kembali kepingan dirinya yang baru saja dihancurkan oleh Julian. Julian mengambil gelas Vieux Carré milik Clara yang tadi diletakkan di samping, isinya sedikit tumpah karena guncangan mereka. Dia menyodorkannya pada Clara. "Minum," kata Julian datar. "Tenggorokanmu pasti kering." Clara bangun perlahan, menarik jubahnya untuk menutupi tubuhnya. Dia menatap Julian dengan tatapan yang sulit diartikan—ada kemarahan, ada rasa malu, tapi di atas segalanya, ada rasa lapar yang baru saja terbangun. Dia mengambil gelas itu, jari mereka bersentuhan. Masih ada listrik statis di sana. "Kau..." suara Clara serak. Dia berdeham, mencoba mendapatkan kembali wibawanya. "Kau boleh pergi sekarang." Julian mengangguk. Dia mengambil tas peralatannya, berbalik tanpa mencium atau memeluk Clara. Itu adalah bagian dari kontrak. Pelayanan selesai. Saat Julian sampai di pintu lift pribadi, suara Clara menghentikannya. "Julian." Julian menoleh. Clara sudah berdiri tegak, kembali menjadi patung es yang angkuh, meski rambutnya masih berantakan. "Besok malam," kata Clara tegas. "Jangan terlambat." Julian tersenyum tipis. Sangat tipis. "Sesuai harga, Nona Clara," jawabnya. Pintu lift tertutup, memisahkan mereka. Julian bersandar di dinding lift yang turun dengan cepat. Dia melihat tangannya yang gemetar. Dia baru saja tidur dengan pemilik hidupnya. Dan yang paling menakutkan bukan karena dia dipaksa, tapi karena dia menikmatinya. Sangat menikmatinya. Dan dia tahu, ini baru satu dari empat masalah yang menunggunya. Karena di saku celananya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nama yang dia simpan sebagai "Masa Lalu". Giselle: Aku tahu kau di tempat Clara. Jangan pikir aku bodoh, Ian. Kita perlu bicara. Sekarang.Apartemen Julian di Kuningan gelap dan sunyi saat dia menendang pintu hingga terbuka, tangannya penuh dengan tubuh Lily yang terkulai.Dia tidak bisa membawa Lily pulang ke kosannya. Gadis itu terlalu mabuk, dan ibu kos pasti akan menelepon orang tuanya—sebuah bencana yang tidak Lily butuhkan saat ini. Sarah? Tidak mungkin. Setelah manipulasi halus Sarah kemarin, Julian tidak mau menyerahkan domba terluka ini ke kandang serigala lain.Jadi, di sinilah mereka. Di satu-satunya tempat netral yang tersisa: Gua persembunyian Julian.Julian membaringkan Lily perlahan di atas kasur queen size-nya yang berantakan. Seprai abu-abu itu dingin, kontras dengan kulit Lily yang terasa demam."Nnggh..." Lily mengerang pelan, kepalanya berguling di bantal. Jas tuxedo Julian yang menutupi tubuhnya tersingkap, memperlihatkan kembali dress hitam yang berantakan dan paha putihnya yang terekspos.Julian menyalakan lampu tidur di nakas, menciptakan cahaya kunin
Pintu Rolls-Royce tertutup dengan bunyi thud yang meredam suara dunia luar. Kabin mobil itu hening, hanya terdengar dengungan halus AC dan napas Julian yang memburu namun tertahan.Mobil mewah itu meluncur meninggalkan pelataran Galeri Adhitama, membelah malam Jakarta yang gemerlap.Clara tidak menatap Julian. Dia sibuk dengan ponselnya, mengetik sesuatu dengan cepat. Namun, Julian bisa merasakan aura dingin yang memancar dari wanita di sebelahnya."Seratus lima puluh juta," gumam Clara tiba-tiba, memecah keheningan. Dia mematikan layar ponselnya, lalu menoleh menatap Julian dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara geli dan jijik. "Itu harga lukisan termahal yang pernah kubeli dari seorang amatir. Kau tahu kenapa aku membelinya, Julian?"Julian menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. "Untuk pamer kekuasaan?""Salah," Clara tertawa kecil tanpa humor. "Untuk menutupi aibmu. Lukisan itu... pria dengan lubang di dada? Itu menje
Pukul tujuh malam tepat, sebuah Rolls-Royce Phantom berwarna hitam berhenti di depan lobi The Obsidian.Julian melangkah masuk ke dalam kabin belakang yang dingin dan beraroma kulit premium. Dia mengenakan tuxedohitam slim-fit sewaan—biaya sewanya ditanggung perusahaan Clara—yang membuatnya terlihat seperti aktor film mata-mata, atau mungkin, pelayan kelas atas yang sangat mahal.Di sebelahnya, Clara Valenia duduk dengan kaki menyilang.Malam ini, Clara adalah definisi dari intimidasi yang memukau. Dia mengenakan gaun malam backless berwarna perak metalik yang berkilauan setiap kali terkena cahaya, seolah-olah dia memakai baju zirah yang terbuat dari berlian cair. Bibirnya dipulas merah darah, senada dengan sol sepatu Louboutin-nya."Kau terlihat lumayan," komentar Clara tanpa menoleh dari tablet di pangkuannya. "Setidaknya kau tidak terlihat seperti bartender pinggiran.""Terima kasih atas pujiannya, Nona," jawab Julian datar, menatap ja
Cahaya matahari pagi yang menyelinap dari balik tirai tebal berwarna krem terasa menyilaukan, memaksa Julian membuka matanya dengan enggan. Kepalanya tidak sakit—tidak ada hangover karena Sarah tidak memberinya alkohol semalam—tapi hatinya terasa berat, seolah ada batu besar yang menindih dadanya sepanjang malam.Dia tidak berada di kamar tidurnya yang berantakan di ujung lorong. Dia berada di sofa ruang tamu Unit 40B. Ada selimut wol tebal yang menutupi tubuhnya, dan bantal beraroma lavender yang menyangga kepalanya.Suara denting piring dan aroma kopi segar serta roti panggang menyapa indranya."Sudah bangun, Sleeping Beauty?"Julian menoleh. Dr. Sarah Wijaya berdiri di area dapur terbuka, memegang spatula. Dia terlihat segar, mengenakan pakaian santai rumah—kaus putih longgar dan celana pendek katun—dengan rambut yang digelung asal namun tetap elegan. Pemandangan itu begitu domestik, begitu "istri-able", kontras sekali dengan kekacauan hidu
Parkiran Gedung Aradhana hening kembali, namun kali ini keheningan itu terasa menyakitkan, seolah udara di sekitar mereka baru saja disayat pisau.Julian mundur selangkah dari Giselle, melepaskan diri dari sisa-sisa gairah yang kini terasa hambar. Matanya tidak tertuju pada Giselle, melainkan pada aspal yang basah di dekat ban mobil.Di sana, tergeletak sebuah bungkusan kertas cokelat yang tadi dijatuhkan Lily. Isinya tumpah berantakan.Martabak manis. Keju cokelat.Dada Julian terasa sesak. Dia ingat pernah bergumam asal-asalan seminggu lalu saat mengobrol dengan staf dapur, bahwa dia sedang ingin makan martabak keju. Dia tidak menyangka ada seseorang yang mendengarnya, mengingatnya, dan menerobos malam dingin Jakarta hanya untuk membawakannya.Dan sebagai balasannya, Julian menyuguhkan pemandangan dirinya sedang mencumbu wanita lain dengan liar."Martabak?" Giselle tertawa kecil, suara tawanya terdengar sumbang di telinga Julian. D
Lift pribadi itu meluncur turun membawa Julian kembali ke dasar bumi, tapi perutnya terasa tertinggal di lantai 55.Julian menyandarkan keningnya yang berkeringat ke dinding logam lift yang dingin. Dia memejamkan mata, dan seketika kilasan adegan lima menit lalu berputar di kepalanya seperti film rusak. Suara desahan Clara, cengkeraman kuku wanita itu di punggungnya, dan cara Clara menatapnya—bukan sebagai karyawan, tapi sebagai mangsa yang lezat.Dia telah melanggar satu-satunya aturan yang dia buat untuk dirinya sendiri: Jangan pernah mencampuradukkan bisnis dengan ranjang.Tapi Julian juga tahu, dia tidak menyesal. Dan itulah yang membuatnya merasa kotor.Ting.Pintu lift terbuka di lobi. Resepsionis yang tadi tersenyum sopan kini tidak terlihat, digantikan oleh petugas keamanan malam yang mengangguk hormat. Julian berjalan cepat keluar, menghindari pantulan wajahnya sendiri di kaca lobi. Dia takut melihat ada yang berubah di sana.Petugas valet memb







