Accueil / Urban / Sang Peramu Hasrat / Racikan Tengah Malam

Share

Sang Peramu Hasrat
Sang Peramu Hasrat
Auteur: D-Cap

Racikan Tengah Malam

Auteur: D-Cap
last update Dernière mise à jour: 2025-12-12 05:34:11

Jam sebelas malam di Jakarta Selatan adalah waktu di mana topeng-topeng profesional mulai retak, digantikan oleh wajah-wajah yang lapar akan pelarian. Di luar, aspal Jalan Senayan Lama mungkin masih basah sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu jalanan yang buram dan bising. Namun, lima meter di bawah permukaan tanah, di dalam basement Gedung Aradhana yang kokoh dan bergaya kolonial, waktu seolah berhenti berdetak.

Di sini, di The Velvet Room, udara terasa lebih berat, dipenuhi aroma kulit, asap rokok tipis yang lolos dari ventilasi, dan parfum mahal yang bercampur dengan tajamnya alkohol.

Dan di pusat semesta kecil yang remang-remang ini, berdiri Julian Baskara.

Julian tidak sedang berusaha menarik perhatian siapa pun. Dia hanya bekerja. Kemeja hitamnya digulung hingga ke siku, memperlihatkan lengan bawah yang terbalut otot-otot kencang namun ramping—hasil dari ribuan jam mengangkat krat botol dan mengocok shaker perak yang kini berada dalam genggamannya. Ada butiran keringat yang mengalir turun dari pelipisnya, menelusuri rahang tegas yang dihiasi cukuran halus, sebelum hilang di balik kerah kemejanya yang sedikit terbuka.

"Satu Old Fashioned, tapi buat yang lebih... nendang, ya, Mas Ian."

Suara wanita itu datang dari sisi kanan bar. Seorang wanita bergaun satin merah, mungkin usianya akhir dua puluhan, menopang dagu dengan tangan, matanya tidak melihat ke menu, melainkan terpaku pada jakun Julian yang bergerak saat pria itu menelan ludah.

Julian mengangkat wajahnya. Tatapan itu—tatapan yang menjadi legenda urban di kalangan wanita sosialita Jaksel—akhirnya muncul. Matanya gelap, sedikit sayu, seolah dia baru saja bangun tidur atau mungkin, seolah dia sudah melihat terlalu banyak dosa dan tidak lagi peduli. Itu adalah jenis mata yang membuat wanita merasa sedang ditelanjangi, bukan secara fisik, melainkan secara emosional.

"Lebih nendang?" Julian mengulangi, suaranya terdengar rendah, sebuah baritone serak yang bergetar di sela-sela denting gelas. Dia tidak tersenyum. Dia jarang tersenyum, dan justru itulah yang membuat para wanita itu gila.

"Sesuatu yang bisa bikin aku lupa kalau besok hari Senin," jawab wanita itu, tersenyum nakal.

Julian mengangguk singkat, kembali menekuni pekerjaannya tanpa banyak bicara. Tangannya bergerak dengan presisi yang menakutkan, seolah dia adalah seorang ahli bedah, bukan peracik minuman. Dia mengambil botol Bourbon dari rak belakang tanpa menoleh, menuangkannya ke dalam jigger dengan gerakan mulus, lalu memecahkan bongkahan es besar dengan ice pick.

Prang. Prang.

Suara es yang pecah terdengar ritmis. Bagi Julian, ini hanyalah rutinitas. Tapi bagi para wanita yang duduk berderet di meja bar kayu mahoni itu, menonton Julian bekerja adalah sebuah pertunjukan erotis. Cara otot punggungnya bergerak di balik kemeja saat dia mengocok shaker, cara urat-urat di punggung tangannya menonjol saat dia mencengkeram botol, dan fokus intens di matanya—semua itu memancarkan aura maskulinitas yang mentah. Julian memiliki sex appeal dari seorang pria pekerja keras yang tidak sadar bahwa dirinya indah.

Dia menuangkan cairan berwarna ambar itu ke dalam gelas kristal, menambahkan twist kulit jeruk yang ia peras sedikit sarinya di atas permukaan gelas. Aroma citrus dan oak menguar seketika.

"Silakan," Julian mendorong gelas itu perlahan ke hadapan wanita tadi. Jari mereka bersentuhan sekilas—hanya sepersekian detik—tapi wanita itu menarik napas tajam, seolah tersengat listrik statis.

"Terima kasih, Ian," bisiknya, suaranya berubah serak.

Julian hanya mengangguk, lalu berbalik mencuci peralatannya. Dia bisa merasakan tatapan wanita itu masih menempel di punggungnya, lengket dan menuntut. Julian menghela napas panjang, sebuah kelelahan yang tak kasat mata menyelimuti bahunya. Dia lelah, bukan karena fisik, tapi karena menjadi objek. Dia tahu apa yang mereka lihat: sebuah fantasi. Sebuah trofi.

Tiba-tiba, melodi piano yang melankolis memenuhi ruangan, memotong hiruk-pikuk percakapan para tamu. Lampu sorot di panggung kecil di sudut ruangan menyala redup, hanya cukup untuk menyinari sosok wanita yang berdiri di sana memeluk tiang microphone.

Giselle Andara.

Dunia Julian seakan menyempit seketika.

Giselle mengenakan gaun malam berwarna champagne yang jatuh memeluk tubuhnya seperti kulit kedua, memperlihatkan punggungnya yang terbuka. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan jatuh di satu sisi bahu. Dia cantik, tentu saja. Tapi bukan kecantikan Giselle yang membuat Julian berhenti mengelap gelas.

Itu adalah tatapannya.

Saat musik masuk ke intro lagu "I Put a Spell on You", mata Giselle langsung mencari Julian di balik meja bar. Dan ketika pandangan mereka bertemu, udara di antara mereka terasa memadat, seolah oksigen tersedot habis dari ruangan itu.

Tidak ada kekaguman malu-malu seperti wanita bergaun merah tadi. Tatapan Giselle adalah sebuah tantangan. Tajam, berani, dan penuh sejarah. Ada api di sana, api yang pernah membakar Julian hingga hangus dua tahun lalu, dan entah bagaimana, baranya masih terasa panas malam ini.

Giselle mulai bernyanyi. Suaranya berat, smoky, dan penuh penjiwaan.

"I put a spell on you... because you're mine..."

Lirik itu bukan sekadar nyanyian. Itu adalah klaim. Giselle menyanyikannya langsung ke arah Julian, mengabaikan puluhan pria lain yang menatapnya dengan mulut terbuka.

Di balik bar, Julian merasakan tangannya menegang. Dia ingat rasa bibir Giselle. Dia ingat bagaimana wanita itu biasa mencakar punggungnya saat mereka bercinta di apartemen sempit mereka dulu, bagaimana Giselle meneriakkan namanya dengan campuran rasa cinta dan amarah. Mereka adalah dua benda yang mudah terbakar, dan ketika bersama, ledakan adalah satu-satunya hasil akhir.

Untuk mengalihkan pikirannya yang mulai liar, Julian memutuskan untuk menyibukkan diri. Dia meraih botol dark rum, coffee liqueur, dan sejumput bubuk cabai. Dia akan membuat "Midnight Sin"—minuman khasnya yang jarang ia buat kecuali suasana hatinya sedang kacau.

Saat Julian mengaduk campuran hitam pekat itu, dia menyadari pintu depan bar terbuka. Angin malam menyelinap masuk, membawa aroma hujan yang asing.

Seorang gadis muda melangkah masuk dengan ragu-ragu. Dia terlihat sangat kontras dengan suasana The Velvet Room. Pakaiannya terlalu kasual—sebuah t-shirt putih di balik jaket denim kebesaran dan celana jeans. Wajahnya polos, tanpa makeup tebal, matanya besar dan menyapu ruangan dengan rasa ingin tahu yang naif.

Julian menyipitkan mata. Gadis itu terlihat terlalu muda untuk berada di tempat seperti ini. Dia melihat gadis itu—Lily, kalau Julian tidak salah ingat nama di KTP palsu yang pernah dia sita dulu—menyelinap cepat ke arah lorong belakang, menuju gudang penyimpanan, seolah hafal rute di luar kepala.

Julian mendecakkan lidah. Masalah baru.

Sementara di panggung, Giselle mencapai nada tinggi lagunya, suaranya melengking penuh emosi, memecah kesunyian hati para pendengarnya. Tepuk tangan membahana. Giselle tersenyum, senyum kemenangan seorang ratu, lalu kembali menatap Julian. Dia mengangkat alisnya sedikit, sebuah isyarat tanpa suara: Kau milikku malam ini, Ian.

Julian meneguk segelas air mineral dingin, mencoba memadamkan panas yang mulai menjalar di dadanya. Malam ini akan panjang. Antara mantan kekasih yang bernyanyi seperti sirene penggoda, pelanggan wanita yang menatapnya seperti sepotong daging steak, dan sekarang, seorang gadis kecil yang menyelinap ke gudangnya.

Julian meletakkan lap pembersihnya dengan sedikit kasar di atas meja bar.

"Bimo, jaga bar sebentar," perintahnya pada asisten bartender di sebelahnya.

"Siap, Bos. Mau ke mana?"

"Ada tikus kecil di gudang," gumam Julian datar, meski matanya berkilat berbahaya. Dia melangkah keluar dari balik meja bar, setiap langkah kakinya mantap dan penuh tujuan, meninggalkan keriuhan pesta menuju kegelapan lorong belakang di mana Lily sedang bersembunyi.

Di atas panggung, Giselle melihat Julian pergi. Senyumnya memudar sedikit, digantikan oleh kilatan rasa curiga. Namun, pertunjukan harus tetap berjalan. Dia melanjutkan nyanyiannya, suaranya kini terdengar lebih rendah, lebih berbahaya.

Di The Velvet Room, hasrat bukan hanya sekadar perasaan. Itu adalah mata uang yang diperdagangkan setiap malam, dan Julian Baskara adalah bankir yang memegang kuncinya, suka atau tidak suka.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Sang Peramu Hasrat   Lift Kaca

    Perjalanan dari Senopati ke Kuningan pada pukul tiga pagi adalah sebuah ironi. Jalanan yang biasanya macet total kini terbentang luas dan kosong, sebuah sungai aspal hitam yang sepi di bawah sorotan lampu jalan berwarna oranye pucat. Julian mengemudikan sedan hitamnya dalam diam, membiarkan dengungan mesin menjadi satu-satunya suara yang menemaninya. Tidak ada radio. Tidak ada musik. Telinganya masih berdenging sisa dentuman bass dan suara lengkingan Giselle.Apartemen The Obsidian menjulang di hadapannya seperti monolit kaca raksasa yang menusuk langit malam Jakarta. Bangunan itu dingin, angkuh, dan mahal—tempat yang sempurna untuk seseorang yang ingin menghilang di tengah keramaian. Julian memilih tinggal di sini bukan karena kemewahannya, melainkan karena privasinya. Di sini, tetangga tidak saling menyapa. Di sini, anonimitas adalah kemewahan tertinggi.Julian memarkir mobilnya di basement P2 yang sunyi, lalu berjalan gontai menuju lobi lift. Langkah kakinya terasa berat. Lelah fis

  • Sang Peramu Hasrat   Asap Rokok dan Masa Lalu

    Pukul dua pagi, The Velvet Room berubah menjadi kerangka dari kemewahannya sendiri.Tanpa musik jazz yang mengalun, tanpa denting gelas kristal yang bersulang, dan tanpa tawa renyah para sosialita Jakarta Selatan, tempat itu hanyalah sebuah ruangan bawah tanah yang sunyi dan berbau sisa pesta. Asap rokok yang terperangkap di udara mulai turun, menempel pada sofa-sofa beludru merah marun, menciptakan lapisan tipis aroma dekadensi.Julian baru saja membalik tanda di pintu depan menjadi “CLOSED”. Bimo, asisten bartendernya, sudah pamit lima belas menit lalu, berlari mengejar ojek online di tengah gerimis yang masih enggan berhenti. Kini, hanya ada Julian dan suara mesin kopi yang mendesis pelan saat sedang dibersihkan.Atau setidaknya, Julian berharap hanya ada dia sendiri.Suara langkah kaki stiletto yang mengetuk lantai kayu mematahkan harapan itu. Temponya lambat, menyeret, namun penuh ritme. Julian tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik langkah itu. Dia hafal bunyinya, sama sep

  • Sang Peramu Hasrat   Tamu Tak Diundang

    Langkah kaki Julian bergema di lorong sempit yang menghubungkan area bar utama dengan gudang penyimpanan di bagian belakang Gedung Aradhana. Di sini, musik jazz yang melantun dari panggung—suara Giselle yang kini menyanyikan “Cry Me a River”—terdengar teredam, seperti gema dari kehidupan lain yang jauh.Udara di lorong ini berbeda. Jika di depan sana udara dipenuhi parfum mahal dan asap rokok elektrik beraroma buah, di sini baunya lebih jujur: bau beton tua yang lembap, kardus basah, dan aroma alkohol murni yang menyengat. Lampu neon di langit-langit berkedip sekali, berdengung rendah seolah memprotes jam kerja yang terlalu larut.Julian tidak menyukai kejutan. Hidupnya sudah cukup rumit dengan angka-angka pembukuan yang merah dan masa lalu yang menolak untuk mati. Jadi, ketika ekor matanya menangkap bayangan menyelinap tadi, insting teritorialnya langsung mengambil alih.Dia mendorong pintu baja berat bertuliskan “Staff Only”. Engselnya tidak berdecit—Julian rajin meminyakinya—sehing

  • Sang Peramu Hasrat   Racikan Tengah Malam

    Jam sebelas malam di Jakarta Selatan adalah waktu di mana topeng-topeng profesional mulai retak, digantikan oleh wajah-wajah yang lapar akan pelarian. Di luar, aspal Jalan Senayan Lama mungkin masih basah sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu jalanan yang buram dan bising. Namun, lima meter di bawah permukaan tanah, di dalam basement Gedung Aradhana yang kokoh dan bergaya kolonial, waktu seolah berhenti berdetak.Di sini, di The Velvet Room, udara terasa lebih berat, dipenuhi aroma kulit, asap rokok tipis yang lolos dari ventilasi, dan parfum mahal yang bercampur dengan tajamnya alkohol.Dan di pusat semesta kecil yang remang-remang ini, berdiri Julian Baskara.Julian tidak sedang berusaha menarik perhatian siapa pun. Dia hanya bekerja. Kemeja hitamnya digulung hingga ke siku, memperlihatkan lengan bawah yang terbalut otot-otot kencang namun ramping—hasil dari ribuan jam mengangkat krat botol dan mengocok shaker perak yang kini berada dalam genggamannya. Ada butiran keringat yang m

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status