Se connecterLangkah kaki Julian bergema di lorong sempit yang menghubungkan area bar utama dengan gudang penyimpanan di bagian belakang Gedung Aradhana. Di sini, musik jazz yang melantun dari panggung—suara Giselle yang kini menyanyikan “Cry Me a River”—terdengar teredam, seperti gema dari kehidupan lain yang jauh.
Udara di lorong ini berbeda. Jika di depan sana udara dipenuhi parfum mahal dan asap rokok elektrik beraroma buah, di sini baunya lebih jujur: bau beton tua yang lembap, kardus basah, dan aroma alkohol murni yang menyengat. Lampu neon di langit-langit berkedip sekali, berdengung rendah seolah memprotes jam kerja yang terlalu larut.
Julian tidak menyukai kejutan. Hidupnya sudah cukup rumit dengan angka-angka pembukuan yang merah dan masa lalu yang menolak untuk mati. Jadi, ketika ekor matanya menangkap bayangan menyelinap tadi, insting teritorialnya langsung mengambil alih.
Dia mendorong pintu baja berat bertuliskan “Staff Only”. Engselnya tidak berdecit—Julian rajin meminyakinya—sehingga pintu itu terbuka tanpa suara, memungkinkan dia untuk melangkah masuk ke dalam kegelapan gudang penyimpanan anggur dan liquor tanpa terdeteksi.
Ruangan itu dingin. Pendingin udara disetel maksimal untuk menjaga kualitas ratusan botol wine yang tersusun di rak-rak kayu mahoni setinggi langit-langit. Hanya ada satu lampu gantung kecil di tengah ruangan yang menyala, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menyeramkan di antara tumpukan krat bir.
"Keluar," suara Julian memecah kesunyian. Datar. Dingin. Tanpa emosi.
Hening sejenak. Hanya ada suara dengungan freezer.
"Saya tahu kamu di sana. Di balik tumpukan krat Whiskey," tambah Julian, kali ini dengan nada yang lebih menekan. Dia tidak sedang menebak; dia bisa melihat ujung sepatu sneakers putih yang kotor mengintip dari balik kotak kayu.
Perlahan, sosok itu bergerak. Seorang gadis muncul dari persembunyiannya.
Saat melihatnya dari jarak sedekat ini, di bawah lampu gudang yang temaram, Julian harus menahan diri untuk tidak menghela napas kasar. Gadis itu benar-benar masih anak-anak—atau setidaknya, baru saja melewati ambang batas usia legal. Rambut hitamnya yang panjang sedikit basah, mungkin karena hujan deras di luar sana. Dia mengenakan jaket denim kebesaran yang menelan tubuh mungilnya, dan di tangannya, dia memeluk tas selempang kanvas erat-erat seolah itu adalah perisai.
Tapi matanya... mata itu tidak menunjukkan rasa takut seorang pencuri yang tertangkap basah. Mata itu bulat, gelap, dan menatap Julian dengan campuran rasa panik dan kekaguman yang telanjang.
"Maaf," cicit gadis itu. Suaranya kecil, bergetar. "Di... di depan ada pemeriksaan. Aku nggak bawa KTP."
Julian melangkah maju. Satu langkah. Dua langkah. Gadis itu mundur secara refleks hingga punggungnya menabrak rak penyimpanan wine. Botol-botol kaca bergemerincing pelan akibat benturan itu.
"Ini bukan tempat penitipan anak," kata Julian tajam. Dia kini berdiri tepat di hadapan gadis itu, mengurungnya. Perbedaan tinggi badan mereka sangat mencolok. Julian harus menunduk cukup dalam untuk menatap wajahnya, sementara gadis itu harus mendongak hingga leher jenjangnya terekspos. "Bagaimana kamu bisa masuk? Penjaga di depan tidur?"
"Lewat... lewat pintu samping. Yang dekat tong sampah," jawabnya jujur, napasnya mulai memburu. Dada gadis itu naik turun dengan cepat.
Julian mendengus. Pintu samping itu seharusnya terkunci. Dia harus memecat seseorang malam ini. Atau mungkin engselnya rusak lagi.
"Siapa namamu?" tanya Julian, matanya menyisir wajah gadis itu. Ada sedikit bedak yang luntur di pipinya, dan bibirnya berwarna merah muda alami yang digigit karena gugup.
"Lina. Tapi panggil aja Lily," jawabnya cepat.
"Oke, Lily," Julian menyebut nama itu seolah sedang mencicipi racun. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, meletakkan satu tangan di rak kayu, tepat di samping kepala Lily. Tindakan itu adalah intimidasi murni, sebuah taktik yang biasa dia gunakan untuk mengusir preman mabuk. "Kamu tahu apa yang saya lakukan pada penyusup?"
Alih-alih gemetar ketakutan dan memohon ampun, Lily justru terdiam. Matanya terpaku pada bibir Julian, lalu turun ke lehernya, ke arah kancing kemeja yang terbuka, di mana keringat Julian berkilau di bawah lampu kuning.
Julian bisa mencium aromanya sekarang. Bukan aroma parfum mahal seperti Giselle atau wangi uang seperti tamu-tamunya yang lain. Lily berbau seperti hujan, sampo stroberi murah, dan ozon. Aroma yang anehnya menyegarkan di hidung Julian yang sudah terlalu peka terhadap alkohol.
"Mas... Mas Ian, kan?" tanya Lily tiba-tiba.
Julian membeku. Tangannya yang menumpu di rak menegang, menampakkan urat-urat biru di balik kulitnya. "Kamu tahu nama saya?"
Lily mengangguk pelan. Keberanian mulai merayap di wajahnya, menggantikan rasa takut. "Semua orang di kampus ngomongin The Velvet Room. Tapi mereka nggak ngomongin minumannya. Mereka ngomongin bartendernya."
Julian menyipitkan mata. "Dan kamu datang ke sini cuma buat nonton?"
"Aku penasaran," bisik Lily. Dia tidak lagi memeluk tasnya. Tangannya turun ke sisi tubuhnya, jemarinya mengepal di sisi celana jinsnya. "Mereka bilang Mas Ian itu... dingin. Nggak bisa disentuh."
Julian merasakan dorongan aneh di perutnya. Gadis ini sedang memprovokasinya. Dengan wajah sepolos itu, dengan tubuh yang terlihat rapuh itu, dia berani menatap langsung ke dalam mata Julian dan menantang ego laki-lakinya.
"Rasa penasaran bisa membunuhmu, Bocah," geram Julian. Suaranya turun satu oktaf, menjadi getaran rendah yang berbahaya.
Julian memajukan wajahnya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. Dia ingin melihat gadis itu lari. Dia ingin melihat kepolosan itu retak. Tapi Lily tidak bergerak. Dia justru memejamkan mata sesaat, menghirup aroma tubuh Julian—tembakau, bourbon, dan maskulinitas yang pekat.
Ketika Lily membuka matanya lagi, pupilnya membesar.
"Aku bukan bocah," tantang Lily pelan. Suaranya serak sekarang. "Aku delapan belas tahun. Aku legal."
Kata-kata itu menggantung di udara dingin gudang penyimpanan, berat dan penuh implikasi.
Untuk sesaat, waktu berhenti. Di luar sana, di dunia nyata, Giselle mungkin sedang menyelesaikan lagunya. Tapi di sini, hanya ada suara napas mereka yang saling memburu. Julian merasakan dorongan gila untuk membuktikan seberapa "bukan bocah"-nya gadis di depannya ini. Betapa mudahnya dia bisa mengangkat tubuh mungil itu ke atas tumpukan krat bir, merusak kepolosan itu dengan realitas kasar dunia malam yang Julian tinggali.
Pikiran itu liar, kotor, dan sangat menggoda.
Tapi Julian adalah pria yang memegang kendali. Selalu.
Dia menarik diri tiba-tiba, seolah tersengat listrik. Dia menegakkan tubuh, menciptakan jarak aman di antara mereka. Wajahnya kembali menjadi topeng batu yang tidak tertembus.
"Keluar," perintah Julian, kali ini tanpa nada emosi sedikitpun. Dia menunjuk ke arah pintu besi di ujung ruangan yang terhubung langsung ke gang belakang. "Lewat sana. Jangan pernah injakkan kakimu di bar saya lagi kalau kamu nggak punya KTP asli."
Wajah Lily jatuh. Ada kekecewaan yang jelas di sana—bukan karena diusir, tapi karena momen kedekatan tadi terputus begitu saja.
"Mas..."
"Sekarang, Lily," potong Julian tajam. Dia tidak menatap gadis itu lagi. Dia berbalik, berpura-pura mengecek inventaris botol Vodka di rak seberang.
Lily berdiri di sana selama beberapa detik, menatap punggung lebar Julian yang terbalut kemeja hitam. Dia menggigit bibir bawahnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian memutuskan untuk menyimpannya.
Suara langkah kaki menjauh terdengar, diikuti bunyi pintu besi berat yang dibuka dan ditutup kembali. Angin malam sempat menyelinap masuk sebentar, membawa suara klakson mobil dari jalan raya, sebelum kesunyian kembali menyelimuti gudang.
Julian menghela napas panjang, menyandarkan keningnya ke rak kayu yang dingin. Dia memejamkan mata. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut, tapi karena adrenalin aneh yang dipicu oleh tatapan gadis tadi.
Tatapan yang lapar.
Julian merogoh saku celananya untuk mengambil rokok, tapi tangannya menyenggol sesuatu di atas tumpukan kardus di tempat Lily berdiri tadi.
Sebuah kartu plastik.
Julian mengambilnya. Itu adalah Kartu Tanda Mahasiswa. Foto di sana menunjukkan wajah Lily yang tersenyum lebar, memakai almamater kuning sebuah universitas seni di Depok.
Lina Marshella. Jurusan Seni Rupa.
Dan di bawahnya terselip secarik kertas struk belanja minimarket, di mana ada tulisan tangan dengan tinta spidol merah:
0812-XXXX-XXXX. Kalau Mas Ian butuh seseorang buat diajak ngobrol, bukan cuma buat dilihat.
Julian menatap tulisan itu, lalu mendengus pelan. Sudut bibirnya terangkat sedikit—sebuah senyum sinis yang jarang muncul. Gadis ini meninggalkan jejak dengan sengaja. Dia bukan sekadar kelinci yang tersesat; dia adalah kelinci yang ingin dimangsa serigala.
Julian memasukkan kartu dan kertas itu ke saku kemejanya, tepat di atas jantungnya yang masih berdetak tak beraturan.
Dia merapikan lengan bajunya, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, lalu kembali memasang wajah datarnya. Dia harus kembali ke bar. Giselle pasti sudah turun panggung dan menunggu jatah alkoholnya. Dan dia harus memastikan tidak ada lagi "tikus kecil" yang mencoba masuk ke dalam hidupnya yang sudah berantakan.
Julian melangkah keluar dari gudang, meninggalkan kegelapan di belakangnya. Namun dia tidak sadar, pertemuan lima menit itu telah membuka gerbang bagi kekacauan yang jauh lebih besar daripada sekadar tagihan sewa gedung yang menunggak.
Lily Marshella baru saja menandai wilayahnya.
Perjalanan dari Senopati ke Kuningan pada pukul tiga pagi adalah sebuah ironi. Jalanan yang biasanya macet total kini terbentang luas dan kosong, sebuah sungai aspal hitam yang sepi di bawah sorotan lampu jalan berwarna oranye pucat. Julian mengemudikan sedan hitamnya dalam diam, membiarkan dengungan mesin menjadi satu-satunya suara yang menemaninya. Tidak ada radio. Tidak ada musik. Telinganya masih berdenging sisa dentuman bass dan suara lengkingan Giselle.Apartemen The Obsidian menjulang di hadapannya seperti monolit kaca raksasa yang menusuk langit malam Jakarta. Bangunan itu dingin, angkuh, dan mahal—tempat yang sempurna untuk seseorang yang ingin menghilang di tengah keramaian. Julian memilih tinggal di sini bukan karena kemewahannya, melainkan karena privasinya. Di sini, tetangga tidak saling menyapa. Di sini, anonimitas adalah kemewahan tertinggi.Julian memarkir mobilnya di basement P2 yang sunyi, lalu berjalan gontai menuju lobi lift. Langkah kakinya terasa berat. Lelah fis
Pukul dua pagi, The Velvet Room berubah menjadi kerangka dari kemewahannya sendiri.Tanpa musik jazz yang mengalun, tanpa denting gelas kristal yang bersulang, dan tanpa tawa renyah para sosialita Jakarta Selatan, tempat itu hanyalah sebuah ruangan bawah tanah yang sunyi dan berbau sisa pesta. Asap rokok yang terperangkap di udara mulai turun, menempel pada sofa-sofa beludru merah marun, menciptakan lapisan tipis aroma dekadensi.Julian baru saja membalik tanda di pintu depan menjadi “CLOSED”. Bimo, asisten bartendernya, sudah pamit lima belas menit lalu, berlari mengejar ojek online di tengah gerimis yang masih enggan berhenti. Kini, hanya ada Julian dan suara mesin kopi yang mendesis pelan saat sedang dibersihkan.Atau setidaknya, Julian berharap hanya ada dia sendiri.Suara langkah kaki stiletto yang mengetuk lantai kayu mematahkan harapan itu. Temponya lambat, menyeret, namun penuh ritme. Julian tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik langkah itu. Dia hafal bunyinya, sama sep
Langkah kaki Julian bergema di lorong sempit yang menghubungkan area bar utama dengan gudang penyimpanan di bagian belakang Gedung Aradhana. Di sini, musik jazz yang melantun dari panggung—suara Giselle yang kini menyanyikan “Cry Me a River”—terdengar teredam, seperti gema dari kehidupan lain yang jauh.Udara di lorong ini berbeda. Jika di depan sana udara dipenuhi parfum mahal dan asap rokok elektrik beraroma buah, di sini baunya lebih jujur: bau beton tua yang lembap, kardus basah, dan aroma alkohol murni yang menyengat. Lampu neon di langit-langit berkedip sekali, berdengung rendah seolah memprotes jam kerja yang terlalu larut.Julian tidak menyukai kejutan. Hidupnya sudah cukup rumit dengan angka-angka pembukuan yang merah dan masa lalu yang menolak untuk mati. Jadi, ketika ekor matanya menangkap bayangan menyelinap tadi, insting teritorialnya langsung mengambil alih.Dia mendorong pintu baja berat bertuliskan “Staff Only”. Engselnya tidak berdecit—Julian rajin meminyakinya—sehing
Jam sebelas malam di Jakarta Selatan adalah waktu di mana topeng-topeng profesional mulai retak, digantikan oleh wajah-wajah yang lapar akan pelarian. Di luar, aspal Jalan Senayan Lama mungkin masih basah sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu jalanan yang buram dan bising. Namun, lima meter di bawah permukaan tanah, di dalam basement Gedung Aradhana yang kokoh dan bergaya kolonial, waktu seolah berhenti berdetak.Di sini, di The Velvet Room, udara terasa lebih berat, dipenuhi aroma kulit, asap rokok tipis yang lolos dari ventilasi, dan parfum mahal yang bercampur dengan tajamnya alkohol.Dan di pusat semesta kecil yang remang-remang ini, berdiri Julian Baskara.Julian tidak sedang berusaha menarik perhatian siapa pun. Dia hanya bekerja. Kemeja hitamnya digulung hingga ke siku, memperlihatkan lengan bawah yang terbalut otot-otot kencang namun ramping—hasil dari ribuan jam mengangkat krat botol dan mengocok shaker perak yang kini berada dalam genggamannya. Ada butiran keringat yang m







