Share

Lift Kaca

Auteur: D-Cap
last update Dernière mise à jour: 2025-12-12 06:35:26

Perjalanan dari Senopati ke Kuningan pada pukul tiga pagi adalah sebuah ironi. Jalanan yang biasanya macet total kini terbentang luas dan kosong, sebuah sungai aspal hitam yang sepi di bawah sorotan lampu jalan berwarna oranye pucat. Julian mengemudikan sedan hitamnya dalam diam, membiarkan dengungan mesin menjadi satu-satunya suara yang menemaninya. Tidak ada radio. Tidak ada musik. Telinganya masih berdenging sisa dentuman bass dan suara lengkingan Giselle.

Apartemen The Obsidian menjulang di hadapannya seperti monolit kaca raksasa yang menusuk langit malam Jakarta. Bangunan itu dingin, angkuh, dan mahal—tempat yang sempurna untuk seseorang yang ingin menghilang di tengah keramaian. Julian memilih tinggal di sini bukan karena kemewahannya, melainkan karena privasinya. Di sini, tetangga tidak saling menyapa. Di sini, anonimitas adalah kemewahan tertinggi.

Julian memarkir mobilnya di basement P2 yang sunyi, lalu berjalan gontai menuju lobi lift. Langkah kakinya terasa berat. Lelah fisik akibat mengocok ratusan gelas koktail mulai merayap naik ke punggungnya, berpadu dengan lelah mental akibat pertarungan ego dengan Giselle tadi.

Saat pintu kaca lobi terbuka otomatis, hawa dingin dari pendingin ruangan menyambutnya. Lobi itu kosong, kecuali resepsionis malam yang terkantuk-kantuk dan seorang wanita yang berdiri di depan pintu lift, menunggu.

Julian mengenali punggung itu. Tegap, namun memiliki kurva keibuan yang lembut.

Dr. Sarah Wijaya.

Wanita itu menoleh saat mendengar langkah Julian. Sarah, di usianya yang menginjak tiga puluh, memiliki jenis kecantikan yang berbeda dari Giselle atau Lily. Jika Lily adalah kuncup bunga liar dan Giselle adalah mawar berduri, maka Sarah adalah anggrek bulan yang mekar sempurna di dalam rumah kaca—tenang, elegan, dan menuntut perawatan mahal.

"Baru pulang, Ian?" sapa Sarah. Suaranya lembut, kontras dengan kekerasan dunia malam yang baru saja ditinggalkan Julian.

Julian mengangguk singkat, berdiri di sampingnya. "Shift malam?"

Sarah tersenyum tipis, merapikan letak kacamata bingkai tipisnya. Dia masih mengenakan pakaian kerjanya—blus sutra berwarna cream yang dipadu dengan rok pensil abu-abu, dan sebuah coat panjang yang disampirkan di lengan. "Ada pasien darurat. Serangan panik akut. Kadang orang lupa kalau pikiran mereka sendiri bisa lebih mematikan daripada virus."

Ding.

Pintu lift terbuka. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam kotak besi berlapis cermin itu. Julian menekan tombol lantai 40—lantai penthouse yang hanya berisi empat unit, termasuk unit miliknya dan Sarah.

Pintu tertutup perlahan, mengisolasi mereka dari dunia luar. Lift mulai bergerak naik dengan mulus. Julian bersandar di dinding belakang, memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napasnya. Aroma tubuh Sarah mulai memenuhi ruang sempit itu. Wangi vanilla hangat bercampur dengan sedikit bau antiseptik rumah sakit yang tajam namun bersih. Aroma yang anehnya menenangkan.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Tepat di lantai 28, lift tersentak keras.

Grak!

Lampu di dalam kabin berkedip liar dua kali sebelum mati total, menyisakan kegelapan pekat selama tiga detik yang terasa seperti selamanya. Kemudian, lampu darurat berwarna merah menyala redup di sudut atas, menciptakan suasana mencekam. Mesin lift berdengung kasar, lalu mati. Hening.

Kabin itu berhenti menggantung di kehampaan.

Napas Julian tercekat.

Ini adalah mimpi buruknya. Tidak banyak yang tahu, di balik penampilannya yang stoic dan tak tergoyahkan, Julian memiliki claustrophobia—ketakutan irasional pada ruang sempit tertutup. Trauma masa kecil saat ia pernah terkunci di dalam lemari tua selama berjam-jam.

Dinding-dinding lift yang berlapis cermin itu seolah mulai bergerak mendekat, menghimpitnya. Udara di dalam kabin terasa menipis seketika. Julian mencengkeram besi pegangan di dinding lift (handrail) dengan erat, tangannya memutih. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya.

"Sial," desis Julian, suaranya terdengar lebih panik dari yang ia inginkan.

Sarah tidak menjerit. Dia tidak bertanya "ada apa?". Sebagai seorang psikolog klinis, dia membaca tanda-tanda itu dalam sekejap. Perubahan postur tubuh Julian, napasnya yang menjadi pendek dan cepat, serta pupil matanya yang melebar mencari jalan keluar.

"Julian," panggil Sarah. Suaranya tenang, terkontrol, seperti jangkar di tengah badai.

"Jangan mendekat," Julian memperingatkan, matanya tertuju pada pintu lift yang tertutup rapat. Dadanya terasa sesak, seolah ada tangan raksasa yang meremas paru-parunya. "Saya... saya butuh udara."

Alih-alih mundur, Sarah justru melangkah maju. Dia meletakkan tas kerjanya di lantai dengan gerakan perlahan, lalu berdiri tepat di hadapan Julian. Jarak mereka begitu dekat hingga Julian bisa melihat pantulan wajahnya sendiri yang pucat di kacamata Sarah.

"Lihat saya, Ian," perintah Sarah. Nada bicaranya bukan permintaan, tapi instruksi medis yang dilapisi otoritas lembut.

Julian mencoba memalingkan wajah, tapi Sarah menangkup kedua pipi Julian dengan tangannya yang hangat. Sentuhan itu mengejutkan Julian. Tangan Sarah lembut, terawat, dan sangat stabil.

"Tatap mata saya. Jangan lihat dindingnya. Dindingnya tidak bergerak," bisik Sarah.

Mata Julian terkunci pada mata cokelat Sarah. Ada kedalaman di sana, sebuah ketenangan samudera yang dalam.

"Tarik napas..." Sarah mencontohkan, menarik napas dalam-dalam, dadanya naik turun dengan irama yang lambat. "Satu... dua... tiga... Tahan. Hembuskan."

Julian mencoba mengikuti, tapi napasnya masih tersendat. "Saya nggak bisa..."

"Bisa. Kau aman," potong Sarah. Dia memindahkan satu tangannya dari pipi ke dada bidang Julian, tepat di atas jantungnya yang berdegup gila-gilaan seperti mesin rusak.

Sarah bisa merasakan detak jantung pria itu menembus kain kemeja hitamnya. Cepat. Kuat. Liar.

"Ikuti detak jantung saya," kata Sarah. Dia mengambil tangan kanan Julian yang dingin dan kaku, lalu meletakkannya di atas dadanya sendiri, di antara payudaranya yang tertutup blus sutra.

Julian tersentak. Dia bisa merasakan kehangatan kulit Sarah, kurva lembut tubuhnya, dan detak jantung wanita itu yang lambat dan teratur. Kontras sekali dengan kekacauan di dalam dirinya.

"Rasakan, Ian? Pelan... teratur..." bisik Sarah, wajahnya kini hanya berjarak beberapa sentimeter. Bibirnya yang dipoles lipstik nude sedikit terbuka. "Fokus pada saya. Hanya ada saya di sini. Ruangan ini tidak penting."

Perlahan, ritme napas Julian mulai berubah. Fokusnya beralih dari dinding yang menghimpit ke sensasi tangan Sarah di dadanya, dan tangannya sendiri di dada wanita itu. Rasa takut itu perlahan bermutasi menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih... primitif.

Dalam cahaya lampu darurat yang merah remang-remang, situasi ini terasa intim dan berbahaya. Julian menyadari posisi mereka. Dia, seorang pria muda yang penuh keringat dan adrenalin, dan Sarah, wanita matang yang sedang "mengendalikan"-nya dengan sentuhan fisik.

Sarah tidak menarik tangan Julian. Dia justru menekan telapak tangan pria itu lebih erat ke tubuhnya, seolah menyalurkan ketenangannya lewat kulit. Tatapan Sarah berubah, dari tatapan seorang dokter menjadi tatapan seorang wanita yang menyadari kekuatan yang ia miliki atas pria di hadapannya.

"Anak pintar," puji Sarah lirih saat napas Julian mulai normal. Jemarinya mengusap rahang Julian, turun ke leher, menyeka keringat dingin di sana dengan ibu jarinya. Gerakan itu sangat keibuan, namun di saat yang sama sangat erotis.

Julian menelan ludah. "Sarah..."

"Sstt..." Sarah meletakkan jari telunjuknya di bibir Julian. "Jangan bicara. Nikmati saja detak jantungnya."

Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang penuh muatan listrik itu. Ketakutan Julian hilang, digantikan oleh ketegangan seksual yang kental. Dia ingin menarik tangan Sarah, atau mungkin mendorong wanita itu ke dinding cermin. Tapi dia terlalu lelah, terlalu terpaku pada kenyamanan yang ditawarkan wanita ini.

Tiba-tiba, lampu menyala terang. Mesin lift berdengung kembali.

Ding.

Lift tersentak pelan dan kembali bergerak naik. Momen itu pecah seketika.

Sarah menarik diri dengan anggun, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia merapikan blusnya, memungut tas kerjanya dari lantai, dan kembali berdiri tegak menghadap pintu lift. Posturnya kembali sempurna, kembali menjadi Dr. Sarah Wijaya yang terhormat.

Tapi Julian masih bisa merasakan sisa kehangatan tubuh Sarah di telapak tangannya.

Pintu lift terbuka di lantai 40. Lorong apartemen yang mewah dan sunyi terbentang di depan mereka.

Sarah melangkah keluar lebih dulu. Dia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Julian yang masih terpaku di dalam lift.

"Pintu apartemenku selalu terbuka kalau kau butuh 'terapi' lagi, Ian," ucapnya sambil tersenyum misterius. "Terkadang, obat tidur saja tidak cukup, kan?"

Tanpa menunggu jawaban, Sarah berjalan menuju unitnya, suara stiletto-nya teredam oleh karpet tebal lorong.

Julian menghembuskan napas panjang yang sedari tadi ditahannya. Dia keluar dari lift, kakinya terasa sedikit goyah. Pertemuan di lift tadi mungkin hanya berlangsung sepuluh menit, tapi rasanya Julian baru saja melewati sesi interogasi mental yang melelahkan.

Dia menatap pintu unit Sarah yang tertutup. Wanita itu berbahaya dengan caranya sendiri. Jika Giselle adalah api yang membakar, Sarah adalah air tenang yang menenggelamkan perlahan tanpa kau sadari kau sudah kehabisan napas.

Julian berjalan menuju unitnya sendiri di ujung lorong, merogoh kartu akses. Dia masuk ke dalam apartemennya yang gelap dan dingin, melempar kunci ke atas meja marmer.

Tiga wanita dalam satu malam. Satu menyusup ke gudangnya, satu menantangnya di bar, dan satu "menyelamatkannya" di lift. Dan Julian tahu, ini baru permulaan.

Dia berjalan ke jendela kaca besar yang menghadap kelap-kelip lampu kota Jakarta. Di bawah sana, dunia terus berputar. Tapi di sini, di lantai 40, Julian merasa terjebak dalam sangkar emas yang pintunya mulai diketuk oleh para pemburu.

Dan besok, dia harus menghadapi sang pemburu terakhir. Sang Ratu yang memegang kendali atas nasib barnya. Clara Valenia.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Sang Peramu Hasrat   Lift Kaca

    Perjalanan dari Senopati ke Kuningan pada pukul tiga pagi adalah sebuah ironi. Jalanan yang biasanya macet total kini terbentang luas dan kosong, sebuah sungai aspal hitam yang sepi di bawah sorotan lampu jalan berwarna oranye pucat. Julian mengemudikan sedan hitamnya dalam diam, membiarkan dengungan mesin menjadi satu-satunya suara yang menemaninya. Tidak ada radio. Tidak ada musik. Telinganya masih berdenging sisa dentuman bass dan suara lengkingan Giselle.Apartemen The Obsidian menjulang di hadapannya seperti monolit kaca raksasa yang menusuk langit malam Jakarta. Bangunan itu dingin, angkuh, dan mahal—tempat yang sempurna untuk seseorang yang ingin menghilang di tengah keramaian. Julian memilih tinggal di sini bukan karena kemewahannya, melainkan karena privasinya. Di sini, tetangga tidak saling menyapa. Di sini, anonimitas adalah kemewahan tertinggi.Julian memarkir mobilnya di basement P2 yang sunyi, lalu berjalan gontai menuju lobi lift. Langkah kakinya terasa berat. Lelah fis

  • Sang Peramu Hasrat   Asap Rokok dan Masa Lalu

    Pukul dua pagi, The Velvet Room berubah menjadi kerangka dari kemewahannya sendiri.Tanpa musik jazz yang mengalun, tanpa denting gelas kristal yang bersulang, dan tanpa tawa renyah para sosialita Jakarta Selatan, tempat itu hanyalah sebuah ruangan bawah tanah yang sunyi dan berbau sisa pesta. Asap rokok yang terperangkap di udara mulai turun, menempel pada sofa-sofa beludru merah marun, menciptakan lapisan tipis aroma dekadensi.Julian baru saja membalik tanda di pintu depan menjadi “CLOSED”. Bimo, asisten bartendernya, sudah pamit lima belas menit lalu, berlari mengejar ojek online di tengah gerimis yang masih enggan berhenti. Kini, hanya ada Julian dan suara mesin kopi yang mendesis pelan saat sedang dibersihkan.Atau setidaknya, Julian berharap hanya ada dia sendiri.Suara langkah kaki stiletto yang mengetuk lantai kayu mematahkan harapan itu. Temponya lambat, menyeret, namun penuh ritme. Julian tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik langkah itu. Dia hafal bunyinya, sama sep

  • Sang Peramu Hasrat   Tamu Tak Diundang

    Langkah kaki Julian bergema di lorong sempit yang menghubungkan area bar utama dengan gudang penyimpanan di bagian belakang Gedung Aradhana. Di sini, musik jazz yang melantun dari panggung—suara Giselle yang kini menyanyikan “Cry Me a River”—terdengar teredam, seperti gema dari kehidupan lain yang jauh.Udara di lorong ini berbeda. Jika di depan sana udara dipenuhi parfum mahal dan asap rokok elektrik beraroma buah, di sini baunya lebih jujur: bau beton tua yang lembap, kardus basah, dan aroma alkohol murni yang menyengat. Lampu neon di langit-langit berkedip sekali, berdengung rendah seolah memprotes jam kerja yang terlalu larut.Julian tidak menyukai kejutan. Hidupnya sudah cukup rumit dengan angka-angka pembukuan yang merah dan masa lalu yang menolak untuk mati. Jadi, ketika ekor matanya menangkap bayangan menyelinap tadi, insting teritorialnya langsung mengambil alih.Dia mendorong pintu baja berat bertuliskan “Staff Only”. Engselnya tidak berdecit—Julian rajin meminyakinya—sehing

  • Sang Peramu Hasrat   Racikan Tengah Malam

    Jam sebelas malam di Jakarta Selatan adalah waktu di mana topeng-topeng profesional mulai retak, digantikan oleh wajah-wajah yang lapar akan pelarian. Di luar, aspal Jalan Senayan Lama mungkin masih basah sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu jalanan yang buram dan bising. Namun, lima meter di bawah permukaan tanah, di dalam basement Gedung Aradhana yang kokoh dan bergaya kolonial, waktu seolah berhenti berdetak.Di sini, di The Velvet Room, udara terasa lebih berat, dipenuhi aroma kulit, asap rokok tipis yang lolos dari ventilasi, dan parfum mahal yang bercampur dengan tajamnya alkohol.Dan di pusat semesta kecil yang remang-remang ini, berdiri Julian Baskara.Julian tidak sedang berusaha menarik perhatian siapa pun. Dia hanya bekerja. Kemeja hitamnya digulung hingga ke siku, memperlihatkan lengan bawah yang terbalut otot-otot kencang namun ramping—hasil dari ribuan jam mengangkat krat botol dan mengocok shaker perak yang kini berada dalam genggamannya. Ada butiran keringat yang m

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status