Rasa kantuk jelas masih Diara rasakan sebab ia hanya tidur sekitar setengah jam saja.
Tadi malam, Bima benar-benar menggempurnya habis-habisan. Sampai rasanya Diara sudah tidak sanggup lagi. Laki-laki itu seperti aji mumpung sampai melakukannya hingga berkali-kali dan tidak ragu lagi untuk menumpahkan benih di dalam--sebab Lelaki itu tahu bahwa Diara sudah meminum pil kontrasepsi. Meski tubuh Diara sangat lelah, tulang-tulangnya serasa seperti dipatahkan menjadi beberapa bagian, juga area bawahnya sangat perih dan linu ketika berjalan, tapi Diara harus tetap bangun pagi-pagi untuk melakukan tugas utama yaitu memasak sarapan dan bersih-bersih rumah. "Diara. Kenapa jalanmu tertatih-tatih begitu?" Suara Nadia tiba-tiba terdengar menyapa telinga. Majikan Diara itu sepertinya sudah berada di area dapur ini sedari tadi dan memperhatikan pembantunya yang tengah memasak dengan gerakan yang sangat lambat dan tak segesit biasa. Diara sontak berbalik menghadapnya yang kini sudah berada berhadapan. "A-ah, i-itu s-saya--" Ucap Diara gugup sekali. Sungguh ia bingung harus menjawab apa. Namun saat Diara sedang memikirkan alasan apa yang tepat untuk diberikan pada Nadia. Majikannya itu sudah lebih dulu kembali berkata. "Kamu kenapa? Sakit? Wajah kamu pucat banget." Kali ini suaranya terdengar seperti ada kekhawatiran di dalamnya. Nadia memang sangat baik dan perhatian, ia tidak pernah semena-mena pada Diara. Ia juga tidak menganggap Diara sebagai pembantu, melainkan seperti keluarga sendiri. Maka dari itu Diara sangat betah bekerja di sana. Tapi ... Andai saja Nadia tahu kalau keanehan pada Diara adalah akibat dari ulah suaminya, mungkin sekarang Nadia tidak akan sebaik dan seperhatian itu pada Diara. "Kenapa kamu diam, Diara? Kamu benar-benar sakit? Mau saya antar berobat ke rumah sakit?" Lagi Nadia bertanya karena Diara hanya diam saja. "O-oh tidak usah, Bu." Jawab Diara tak enak. "Saya hanya kurang enak badan saja. Istirahat sebentar saja mungkin sudah enakan lagi." Memang pada dasarnya Diara tidak sedang sakit apa-apa. Ia hanya kelelahan dan kurang tidur karena melayani suami majikannya. "Benar kamu tidak apa-apa? Kalau kamu mau berobat saya bisa antar." Tawarnya lagi. "Iya Bu, saya tidak apa-apa." Kemudian terlihat Bima menghampiri mereka. Laki-laki itu tampak sangat cerah dan tampan sekali pagi ini. Yah, bagaimana tidak? Semalam lelaki itu sungguh puas sekali dengan pelayanan Diara. "Ada apa sih? Kok pagi-pagi sudah ribut saja," Tanyanya pada Nadia seraya merangkul pinggang wanita itu. Diara yang melihatnya lantas menundukkan kepala. Entah mengapa ada rasa tidak rela melihat Bima melakukan hal tersebut pada Nadia. Tapi perasaan itu segera Diara tepis karena sudah sewajarnya apabila Bima melakukan hal tersebut pada istrinya. Diara tidak boleh cemburu, sebab mengingat posisinya hanya sebagai pemuas nafsu. "Ini loh, Pa. Si Diara wajahnya pucat banget. Mama khawatir dia sakit. Mama ajak dia buat berobat tapi dia malah gak mau. Katanya istirahat saja sudah cukup." Jelas Nadia pada suaminya. Bima kemudian memerhatikan Diara, sementara yang diperhatikan hanya mengangkat kepala sedikit untuk balas menatap kemudian menunduk kembali. Seperti malu-malu dan takut padahal semalam Diara sangat pemberani ketika menggoda. "Sudahlah jangan dipaksa, mungkin dia benar tidak apa-apa. Kasih dia istirahat saja." Ujar Bima kemudian. Nadia mengangguk. "Ya sudah kalau begitu kamu istirahat saja Diara. Masakannya biar saya yang teruskan." "Biar saya selesaikan saja dulu, Bu." Tolak Diara merasa tidak enak. "Sudah jangan membantah Diara! Kalau kamu kenapa-kenapa malah kami juga yang repot." Bima berucap dengan tegas membuat Diara seketika kembali menunduk dan mengerut takut. "B-baiklah kalau begitu saya permisi ke kamar dulu, Pak, Bu." Diara berlalu ke kamar dengan langkah perlahan setelah mendapat anggukkan dari Nadia dan Bima. Sebenarnya ada rasa nyeri saat mendengar Bima yang berucap tegas begitu. Tapi Diara memakluminya, sebab ia tahu, Bima tidak bermaksud demikian. Baru saja sekitar sepuluh menit ia berbaring di atas ranjang dan memejamkan mata. Tiba-tiba saja seseorang masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya kembali dengan cepat. "Pak Bima!" Ucap Diara terkejut. Cepat-cepat Bima meletakkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan agar Diara tidak bersuara. "Ssttt jangan berisik." Ia melangkah menghampiri. Diara mengangguk lalu bersuara dengan volume yang kecil. "Bapak belum berangkat kerja?" Gadis itu menyandarkan punggung ke kepala ranjang. "Sebentar lagi saya berangkat." Katanya lalu mendudukkan diri ditepi ranjang Diara. "Maaf ya tadi saya sedikit membentakmu. Saya tidak bermaksud begitu, saya seperti itu agar--" "Iya Pak, tidak apa-apa saya mengerti kok." Potong Diara. Bima tersenyum sangat manis sekali, kemudian tangannya terulur mengelus pipi Diara dengan lembut. "Yasudah kalau begitu istirahat ya? Maaf sudah membuatmu kelelahan." Diara membalas tersenyum. "Iya Pak." Bima kemudian beranjak dan berjalan pergi, namun baru saja dua langkah, Bima kembali berbalik dan menghampiri Diara lagi, membuat gadis itu mengerutkan dahi, bingung. "Ada apa, Pak?" "Hhmm... Nanti malam saya ada hadiah buat kamu. Jadi tolong jangan dikunci ya pintunya." "Hadiah untuk saya? Hadiah apa? Dan kenapa Bapak memberikan hadiah untuk saya?" Tanya Diara bertubi-tubi. "Kejutan, nanti juga kamu tahu." Balasnya dengan cepat. "Saya memberikan hadiah itu sebagai rasa terima kasih saya karena kamu sudah melayani saya dengan baik. Saya sungguh puas dengan pelayananmu." Diara tersipu mendengarnya, kalimat terakhir yang Bima ucapkan tak ubahnya seperti sebuah pujian yang membuat Diara sungguh-sungguh bahagia bukan kepalang. Kemudian Bima mengapit dagu, dengan gerakan kilat ia mendaratkan bibirnya di atas permukaan bibir Diara dan memagutnya lembut. "Istirahat ya." Ucapnya setelah melepaskan tautan. "Cepat pulih, sebab saya tidak bisa berjanji jika nanti malam saya bisa tahan untuk tidak menyentuhmu." *** Seharian ini, Diara menghabiskan waktu hanya dengan tidur dan berleha-leha di kamar. Sungguh ia merasa seperti seorang majikan sekarang. Hahaha... Diara bukannya malas dan sengaja memanfaatkan sakitnya untuk tidak bekerja. Jangan salah paham! Sebenarnya Diara sudah ingin mengerjakan tugas dari tadi siang tapi Nadia tidak mengizinkannya untuk menyentuh pekerjaan sama sekali hari ini. Nadia berkata agar Diara pulih terlebih dulu saja. Huh wanita itu memang benar-benar sangat baik hati. Sejujurnya sempat terbesit rasa bersalah dalam benak karena Diara sudah main belakang dengan Bima. Tapi perasaan itu langsung terhempas begitu saja ketika mengingat rasa nikmat bercinta dengan suami Nadia. Huft ... semoga saja, selamanya rahasia ini tidak akan pernah terbongkar dan diketahui oleh Nadia. Lagipula tidak perlu khawatir, walaupun Diara menginginkan Bima, tapi ia tidak akan pernah merebut Bima dari Nadia. Sebab Nadia orang baik dan sangat baik pula padanya. Jadi Diara tidak akan setega itu merebutnya. Melupakan rasa bersalah, omong-omong sekarang ini Diara sudah berdandan dan sudah memakai setelan lingerie berwarna hitam. Tubuhnya sudah benar-benar pulih dan siap untuk mengerjakan tugas tambahan. Pada pukul dua belas malam, Bima datang ke kamar. Ia membawa sesuatu di tangannya. "Ini untukmu." Ucap Bima. "Apa ini, Pak?" "Lihat saja." Diara lantas mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam paper bag itu. Netranya sontak membelalak ketika melihat isinya. "H-hape?" Tanyanya tak percaya. Bima hanya tersenyum dan mengangguk satu kali. "Ini benar buat saya, Pak?" "Iya itu untuk kamu." "Tapi ini sangat mahal. Saya tidak bisa menerimanya Pak." "Tidak apa-apa, itu sebanding dengan apa yang kamu berikan pada saya." Diara tersenyum bahagia, bagaimana tidak? Ia baru saja kepikiran untuk membeli benda tersebut, tapi Bima sudah lebih dulu membelikannya--membuat tabungan Diara jadi aman. "Kalau begitu terima kasih." Ucap Diara seraya menghambur memeluk Bima karena saking senangnya. "Pakai hape itu untuk belajar lebih banyak cara untuk melayani saya, ya?" Bisik Bima di telinganya."Dan kamu harus hati-hati memakainya, jangan sampai ketahuan sama ibu." Diara sontak mengangguk dan menatapnya dengan tangan yang masih setia melingkari tengkuknya. Setelah itu kau sudah tahu 'kan, apa yang akan mereka lakukan? Bersambung ...."Ck! Ngapain sih dia? Ganggu aja deh.""Mungkin ada yang penting sayang. Mas ke luar dulu ya sebentar, ngecek dulu."Zaenal membantu Diara untuk beranjak dari pangkuannya. Namun sang istri sama sekali tidak menurutinya. Diara tidak mau bergerak dari sana."Gak usahlah paling juga dia mau ganggu doang. Dia pasti gak suka Mas lama-lama di sini makanya nyari-nyari alesan biar Mas ke luar."Zaenal hanya diam saja. Mungkin bimbang harus bagaimana? Diara menggunakan kesempatan tersebut untuk menggoda sang suami dengan dadanya yang sengaja belum ditutup. ia menyodorkan benda kenyal nan lembut itu hingga ke depan mulut Zaenal.Tinggal sekali hup saja, aset tersebut sudah berpindah tempat ke dalam mulut Zaenal. Namun lagi-lagi sial, sebelum Zaenal sempat melahapnya, Echa sudah lebih dulu berteriak lagi dari luar pintu--suaranya lebih kencang dari sebelumnya."MAS CEPET KE LUAR!"Diara mendengus sebal, pasalnya bukan hanya karena Zaenal yang tidak jadi melahap dadanya, namun lelaki itu sampai m
"Apa?!""Hhmm ... Soalnya Mas gak tau kalo kamu suka bunga atau nggak. Emangnya beneran kamu suka bunga juga?"Diara mendecih malas. "Mau aku suka bunga atau enggak, seharusnya Mas tetep ngelakuin hal yang sama dong, kaya yang Mas lakuin ke Mbak Echa. Kalo gini caranya, Mas udah pilih kasih.""Pilih kasih gimana sih, sayang? 'kan Mas gak tahu, lagian Mas juga udah gak pernah ngelakuin lagi. Mas ngelakuin itu jauh sebelum ada kamu."Memang benar tapi tetap saja Diara kesal mendengar bahwa ternyata Zaenal seromantis itu pada Echa. Diara iri, ia tidak mau tahu, pokoknya apa yang Echa dapatkan harus Diara dapatkan juga. Kalau bisa lebih dari Echa."Pokoknya aku mau Mas kaya gitu juga sama aku. Titik!"Zaenal menghembus napas lelah. "Iya, iya. Mulai besok Mas bakal kasih kamu bunga. Emangnya kamu suka bunga apa?"Diara tersenyum senang mendengarnya, kemudian ia diam sejenak. Jujur saja ia tidak mengerti soal bunga, ia meminta agar tidak kalah dari Echa "Hhmm emangnya Mas suka kasih bunga
Usai memberikan kalimat ancaman pada Echa, tanpa ada rasa bersalah sama sekali, Zaenal pergi seraya menggandeng istri mudanya meninggalkan istri tua yang diam terpaku.Diara tidak tahu persisnya bagaimana hubungan suami-istri antara Zaenal dan Echa berjalan selama ini. Apakah berjalan dengan harmonis, atau malah sejak awal sudah banyak perselisihan diantara mereka.Namun yang jelas, Diara bisa melihat dari sepasang mata Echa yang berkaca, agaknya wanita itu sangat terpukul dan sakit hati mendengar kalimat tersebut ke luar dari belah bibir Zaenal untuknya.Jika Diara berada di posisi Echa, ia juga pasti akan merasakan hal yang sama. Tidak peduli, hubungan meraka memang sudah rusak dari awal atau tidak, tapi kalimat yang diucapkan Zaenal barusan tetaplah menyakitkan.Tapi untunglah itu bukan ditujukkan untuk Diara, dan beruntung Diara bukanlah Echa yang malang dan lemah itu. Diara adalah wanita yang terlahir untuk menaklukkan banyak pria.Omong-omong soal hubungan pernikahan Echa dan Z
Menghirup dalam udara segar membuat Diara jadi lebih rileks. Ah rasanya senang sekali bisa ke luar dari rumah, walau hanya di perkarangan saja.Beberapa hari lalu, Diara sudah seperti seekor burung yang terjebak di dalam sangkar. Maka wajar apabila sekarang ia begitu sangat bahagia.Ditemani sang suami yang tak lepas menggenggam tangannya, Diara berjalan-jalan kecil mengitari halaman depan rumah. Depan rumah Zaenal halamannya memang cukup luas dan terdapat pula taman kecil dengan berbagai jenis bunga-bunga indah yang menghiasi.Diara akui Echa memang pandai sekali dalam merawat rumah, tapi sayang wanita itu tak pandai merawat dan menjaga suaminya dari godaan wanita lain, sehingga dengan sangat mudah Diara masuk--menyisipkan diri ditengah-tengah rumah tangganya.Diara pikir setiap wanita itu jangan hanya pintar dalam satu bidang saja, tapi harus disemua bidang, terutama menyenangkan suami di atas ranjang, dan Echa tidak bisa seperti itu, sehingga perlu untuk Diara melengkapi.Ah Diara
Setelah satu minggu akhirnya kamar Diara selesai di renovasi. Ah syukurlah Diara bisa segera meninggalkan kamar sempit nan sumpek itu.Tanpa membuang waktu, gadis itu lekas memindahkan barang-barangnya kembali ke sana. Hanya beberapa helai baju saja sih, dan itupun Zaenal yang membawakannya.Selama satu minggu itu, kondisi Diara juga berangsur-angsur membaik, perutnya sudah tidak sering merasakan sakit lagi dan hal tersebut membuatnya merasa jadi lebih bugar--tidak tampak lemah seperti sebelum-sebelumnya.Tinggal menunggu beberapa saat lagi, ia bisa merealisasikan semua rencana yang sudah tersusun dalam batang otaknya.Iya, selama kurun waktu satu minggu itu, tak henti ia memikirkan cara untuk membalas Echa Entah, Diara begitu kesal dan mendendam pada madunya itu. Meski Diara tahu Echa tidak salah apa-apa, tapi Diara tetap membencinya.Diara yang mengizinkan Zaenal untuk bersamanya--dalam kata lain--membiarkan Echa melayani suami mereka, tapi Diara juga yang acapkali sering uring-uri
Jadi apa kata yang tepat untuk Diara berikan pada Echa, hm? Munafik 'kah? Ah ya, sepertinya kata itu cukup cocok untuknya.Echa memang munafik! Mengapa Diara bisa berkata demikian? Karena apa yang diucapkan olehnya sangat berbeda jauh dengan apa yang ia lakukan. Echa berucap kukuh ingin bercerai, tapi mengapa ia masih mau melayani suaminya itu di atas ranjang?Diara yakin Echa tidak terpaksa, Diara yakin wanita itu menikmatinya juga. Diara bisa mendengar dari bagaimana cara Echa mendesah semalam. Jelas sekali wanita itu sangat menikmati permainan yang diberikan oleh suami mereka.Dasar wanita plin-plan dan munafik!Setelah mengetahui keberadaan Zaenal, yang ternyata tengah bercinta dengan istri pertamanya. Diara tidak bersikap bar-bar dengan menggedor pintu kamar Echa dan membuat percintaan mereka berhenti. ia justru lebih memilih untuk kembali ke kamar yang ia tempati sendiri.Alasannya bukan karena Diara tidak berani, tapi ia hanya tidak mau membuang-buang energi untuk melakukan hal