Share

Lima

Tok tok tok!

"Maaf, Tuan. Rapat akan segera dimulai. Apakah saya harus menundanya sebentar?"

Seorang asisten masuk dan memutus percakapan mereka.

Pria tua itu pun menghela napas. "Tidak. Aku akan segera ke sana."

Hanah sendiri masih penasaran. Namun, ia mengatupkan bibirnya karena rasanya tidak sopan kalau dia memaksa untuk tau sekarang.

Di sisi lain, ia juga menolak asumsi bahwa Jovan memiliki anak yang lain. Bagaimanapun, ia tak bisa menerima kenyataan yang memungkinkan untuk posisinya tergeser oleh siapapun, walaupun jika itu adalah anak kandung ayah angkatnya.

"Hanah, pergilah membeli mobil itu bersama Leo, setelah itu segera kau meminta Leo untuk mengantarmu ke desa menemui orang tuamu. Mengerti?" Suara Jovan menekan supaya gadis itu tidak mengganggu pekerjaannya.

"Ayah, kenapa aku harus pergi dengan manusia es itu? Dari sekian banyak pengawal ayah, haruskah Leo?" protesnya.

"Benar, hanya Leo yang harus mengantarmu. Oke?" kata Jovan malah menegaskan.

Gadis itu memanyunkan bibirnya. Membayangkan betapa kesalnya ia dengan Leo yang sangat pendiam itu. Perjalanan akan menjadi sangat membosankan karena ia selalu diabaikan. Leo memang tampan, tapi gak lebih seperti puncak Jayawijaya yang tinggi dan dingin.

"Huft, aku harus bersiap dengan air mendidih supaya wajahnya meleleh," gerutunya saat Jovan berlalu kemudian iapun mengikuti langkah Jovan keluar ruangan, tapi masih juga memikirkan lembaran di atas meja tadi. "Siapa sebenarnya yang sedang ayah pedulikan?" lirihnya.

###Di sisi lain###

"Pak Jono, ini adalah pesan dari Pak Jovan, supaya bapak cepat kembali ke Jakarta. Bagaimanapun, Pak Jovan menginginkan pengobatan yang terbaik untuk Pak Jono," terang Burhan.

Jono hanya menanggapi dengan datar, ia tak bersemangat untuk melakukannya dalam waktu dekat ini.

"Saya rasa, ini bukan waktu yang tepat," jawabnya singkat.

"Tapi Pak..."

"Katakan pada Ayahku, aku akan segera kembali ke Jakarta beserta istriku, dan aku akan datang menemuinya pada waktu yang kujanjikan," tegasnya.

"Dengan istri? Maksud Pak Jono...." bingung pria itu. Setahunya, istri Jono sudah berselingkuh. Masih layakkah dia menjadi pendamping untuk pewaris di hadapannya ini?

"Kuharap tidak banyak pertanyaan soal ini, aku akan menjelaskan nanti," tegas Jono.

Hal ini membuat Burhan terkesiap, teringat atasannya.

Memang benar kedua orang ini sangat mirip karakternya.

Kalau sudah memutuskan seusatu, Pak Jovan juga tidak terbantahkan. Tapi, Burhan harap Jono punya kejutan dari tindakannya ini..

"Baik, Pak," kata pria tua itu hormat. Ia pun mengangguk lalu segera pergi.

Tanpa ada orang yang mengetahui, hari ini, Jono telah menyiapkan sebuah rencana.

Ia  sudah menyiapkan berkas perceraian dengan bantuan seorang teman lama yang bekerja sebagai pengacara.

Di sinilah dia menemui Erwin di kantornya dan menceritakan segala hal yang ia alami, berharap temannya akan membantu sebisanya.

"Kenapa kau tak ingin mempertahankan pernikahanmu, Jono? Apa tidak ada kata maaf lagi untuk istrimu? Bisa jadi semua itu kesalahan Desta yang mengambil kesempatan dengan kondisimu yang buta, sementara istrimu khilaf," tanya Erwin, bingung.

Sementara itu, Jono tersenyum jijik. Khilaf katanya? Bah!!

"Aku memang buta, tapi aku masih suaminya. Apakah bisa diterima seorang wanita berdekatan dengan pria lain hanya karena suaminya tak berdaya? Meskipun aku lemah, aku punya harga diri. Aku lelaki, pantang dikhianati wanita."

"Hmm, baiklah. Jadi apa rencanamu?"

"Tunggulah sebentar, aku masih akan sedikit bermain-main, apa itu sedikit kejam?" seringai Jono membuat Erwin bergidik ngeri.

Sementara Erwin juga tidak berani untuk menyalahkan Jono yang berencana begitu, itu adalah rasa benci dan marah yang telah menguasai hatinya.

"Entahlah, secara prinsip dan pribadiku, akupun merasa diinjak-injak. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga, aku hanya bisa menahan rasa sakit karena tak bisa berbuat apapun. Kau yang menjalani kau yang merasakan, aku bisa apa? Akan tetapi sepertinya menceraikan saja tidak cukup membuatmu puas bukan?"

"Itulah yang sedang kupikirkan, kau harus membantuku," katanya lagi.

Erwin lalu merangkul Jono dan memberikan tepukan di punggung pria itu. "Kalau kau yakin, aku akan mendukungmu. Jadi apa yang harus kulakukan untukmu selanjutnya?"

Jono melihat temannya dengan antusias. "Bantu aku untuk kembali ke Jakarta dengan kau membantuku seperti apa yang kubutuhkan. Aku harus mendesaknya kembali ke Jakarta lalu ingin melihat bagaimana reaksinya, apakah dia akan memutuskan ikut atau tidak."

"Kau akan tahu nanti, aku ingin perempuan ini sadar saat aku membuangnya ke tempat sampah, dia harus juga merasakan perasaan ini. Aku baru menyadari, uang hanya pemanis ketulusannya. Pada akhirnya saat uang itu menghilang, kita akan tahu ketulusan apa yang dia miliki."

Erwin menghela napasnya. Ia memahami bagaimana kalutnya pria ini, akan tetapi menguji Winda dengan uang, apakah Jono punya kemampuan?

"Baiklah. Aku akan membantumu," akhirnya dia mengulang ucapannya dan berujar pasrah.

Jono tersenyum puas. Meskipun ia bercerita soal kronologi menceraikan Winda, ia tidak bercerita soal menjadi pewaris konglomerat.

Hal itu ia sengaja karena kepercayaan itu begitu sulit untuknya saat ini, bahkan sahabatnya sendiri seperti musuh baginya.

Setelah ia kembali ke rumah, Jono meminta Laila mengemasi seluruh pakaiannya dan memasukkan pakaian mereka berdua ke dalam koper besar.

Ia kemudian menunggu sang istri pulang bekerja untuk melancarkan aksinya.

Sebenarnya, hatinya remuk redam, tapi ia bersyukur karena mereka belum dikaruniai anak sehingga tidak sulit baginya untuk melakukannya.

Tak lama kemudian, Winda telah sampai di rumah dengan wajah yang berbinar. Jono sudah bisa melihat gelagat yang begitu penuh guratan bahagia seperti seorang remaja yang kasmaran.

Ah tidak, betapa pemandangan itu begitu menyesakkan dadanya?

"Mas, apa ini?!" seketika Winda berteriak saat sebuah tak koper besar berdiri di dekat tempat tidur mereka. Lalu Winda membuka pintu almari untuk melihat di dalamnya.

"Kenapa pakaian kita keluar semua dari almari, Mas?" tanya Winda terkejut.

"Seperti yang aku katakan, kita akan kembali ke Jakarta, Winda. Kita bisa pulang dan di sana aku akan bekerja, melakukan kewajibanku sebagai seorang suami."

"Tapi Mas, kenapa sangat buru-buru? Aku belum siap, Mas, kita juga tidak memiliki uang untuk kembali ke Jakarta."

"Apakah kamu kuatir soal uang, Winda?" kata Jono malah bertanya. "Apa kau tidak percaya aku memiliki uang?"

Winda terpekur, selain sangat tiba-tiba, hubungannya dengan Desta sedang sangat membara, ia tidak akan sanggup berpisah dengan Desta, batinnya mulai meronta.

"Mas, kenapa Mas Jono mengingkari janji untuk aku bisa berkarir? Aku juga pengen maju seperti wanita yang lain, aku pengen bekerja dan menghasilkan uang sendiri..."

"Jadi kau menolak untuk pulang ke Jakarta? Apa hanya itu alasanmu? Tidak ada yang lain?"

"Eh... nganu Mas, aku masih kerasan di sini, tidak ada pekerjaan yang bagus untukku di Jakarta."

Jono masih diam mendengarkan, tentu saja ia harus bersikeras memenangkan perdebatan ini, memaksa kalau perlu.

"Apakah karena Desta?"

Winda terperangah, wajahnya segera pucat dan bibirnya terkatup rapat.

"Maksud Mas Jono?" lirihnya.

"Maksudku, apakah Desta kesulitan mendapatkan karyawan sehingga menahan kamu? Jangan kuatir, Desta tidak akan kesulitan mendapatkan karyawan yang lebih cantik darimu. Aku juga yang akan berbicara langsung dengannya."

Tangan Winda mengepal dan terasa lembab. Jono mengatakan seolah mengetahui sesuatu di antara mereka. Mungkinkah seseorang telah memberi tahu? Tidak mungkin kalau Jono mengetahui sendiri padahal kerjanya cuma tiduran di rumah, batin Winda. Ataukah mungkin memang begitu?

Tapi, siapa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status