Share

Empat

Diam-diam, Winda mencermati wajah suaminya, mencoba mencari ekspresi apa yang ada di sana. Mungkinkah Jono mengetahui sesuatu?

Bagaimanapun juga ia harus memastikan Jono tidak curiga dengan perubahan yang ada pada sikapnya.

Jadi setelah selesai mandi, Winda pun mendekati Jono.

"Mas, apa kau mencium aroma wangi sekarang?" tanya Winda mencoba sedikit menggoda Jono. Ia harus bisa bersikap senormal mungkin untuk bisa bersenang-senang dengan Desta atau semua akan rusak sebelum waktunya.

Seperti yang diharapkan, Jono mendengus seperti kucing mencium aroma ikan di sisi tubuhnya.

"Hmm, lumayan, kau memang sangat wangi. Kalau begitu kau bisa melayaniku malam ini?" Jono berpura-pura membutuhkan, padahal sebenarnya ia bertekad tak akan menyentuh istrinya lagi!

Winda menegang. Setelah sekian lama semenjak kecelakaan yang membutakan mata Jono, tak pernah sekalipun Jono menyentuhnya. Itu karena Jono tak bisa melakukan sembarang gerakan karena akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa di kornea matanya. Kali ini tiba-tiba Jono memintanya?

"Tapi malam ini aku lagi capek banget, Mas. Bagaimana kalau aku sudah libur nanti?"

Ingin rasanya pria ini terkekeh seperti orang bodoh, betapa menakutkan sebuah kebohongan ini, apa menurut Winda semua itu tidak akan terbongkar?

"Ah ya, aku mengerti. Kau pasti sangat capek mencari nafkah untuk keluargamu yang lemah ini. Kau pasti wanita yang hebat yang bisa mengatasi semua masalah keuangan, bukan?"

Sekali lagi Winda sadar Jono memang sedikit ketus akhir-akhir ini, ada apa sebenarnya?

"Mas? Kenapa Mas bicara seperti itu? Kenyataannya, bukankah sekarang akulah yang mencari nafkah, membeli obat-obatan dan juga membayar pelayan untukmu? Tapi dari ucapanmu ini seakan-akan aku yang bersalah?" sungutnya, ia sungguh merasa sebagai seorang pahlawan sekarang.

"Benar. Itulah sebabnya aku mulai tak menyukainya," ujarnya lalu pria itu merebahkan tubuhnya dengan santai. "Seakan aku melakukan kesalahan besar, seharusnya aku menebus kesalahanku."

"Bagaimana kalau kita pulang ke Jakarta saja? Aku akan bekerja di tempat pembuatan sapu milik temanku, itu sangat mudah dikerjakan untuk orang buta sepertiku."

Winda melebarkan matanya. Memangnya berapa upah pekerjaan semacam itu? Bahkan rumah kontrakan yang mereka tinggali dulu selalu menunggak dan rumah itu sangat tak layak baginya lagi saat ini.

'Oh Mas, aku sudah tidak bisa menerima kemiskinan itu,' batinnya.

Membayangkan, bisakah dirinya bertahan hidup dengan celaan dan cemoohan tetangga mereka lagi?

"Mas, aku baru saja mulai berkarir. Tapi lihatlah, Mas Jono malah tidak menyukai kerja kerasku," bantahnya.

Dan iapun menggelengkan kepalanya karena ngeri andai itu semua terjadi.

"Sudahlah Mas, aku capek dan besok harus berangkat pagi. Lain kali kita akan membicarakan hal ini," katanya dengan wajah cemberut.

Wanita itu berbaring membelakangi Jono dan berpikir kerasbagaimana caranya ia harus bertahan agar hubungannya dengan Desta tetap berjalan lancar.

'Tunggulah, Mas. Aku akan memastikan apakah Desta sungguh akan memperjuangkan ku, aku sungguh akan memilih Desta yang jauh lebih baik darimu.'

Di belakangnya, Jono juga sedang berpikir keras. Tentu saja pria ini tahu apa yang dipikirkan wanitanya ini.

'Coba saja kau pilih, apakah kau akan mengikutiku atau lelaki brengsek itu? Asal kalian tahu, kalian akan membayar harga diriku dengan harga yang sangat mahal,' tekad batinnya.

Pagi harinya, Jono telah lebih dahulu terbangun. Ia membiarkan Winda tertidur meskipun hari sudah semakin terang. Jono pura-pura tak tahu kalau Winda sebenarnya kesiangan.

Suara dering ponsel ternyata membuat Winda terbangun. Tangannya meraih asal suara tanpa menyadari Jono sedang memperhatikan. Dalam keadaan masih terpejam Winda menjawab panggilan tersebut.

["Halo."]

["Halo sayang, kau belum bangun? Aku sudah menunggumu lima belas menit di sini, kenapa masih belum kelihatan?"]

Winda langsung membuka matanya lebar, menoleh ke arah Jono yang masih terpejam. Ia beranjak dengan hati-hati.

["Maafkan aku, Mas. Aku sungguh kesiangan sekarang. Bagaimana ini, hmm?" ujarnya lirih dan manja.]

["Baiklah, aku menunggumu. Cepatlah bersiap, oke? Muuach."]

["Oke. Cup." Winda membalas sapaan mesra dari Desta.]

Jono yang sudah berubah posisi dengan duduk di pembaringan segera berkata, "Winda, dengan siapa kamu berbicara?"

Winda terlonjak karena terkejut. "Ah, teman kantor Mas. Kami janjian bareng, sayangnya aku sudah kesiangan sehingga dia berangkat duluan ke kantor."

"Hmm, kau berbicara seperti dengan seorang pacar. Apa dia teman perempuan?"

"Eh, iya lah Mas, masak iya teman lelaki?" tepisnya. "Mas, lain kali kita ngobrol ya, aku dah kesiangan nih."

Jono membiarkan Winda pergi. Wanita itu terlihat sangat terburu-buru dan dia hanya menyeringai melihatnya.

"Lanjutkan saja, dan tunggu apa yang akan kulakukan untuk kalian! Kalian harus menyesal!"

Kebohongan demi kebohongan terbongkar juga, tapi sebenarnya iapun sedang memainkan sandiwara yang tidak Winda ketahui. Ia tak buta lagi seperti yang mereka kira, dan ia tidak miskin lagi juga lemah seperti yang mereka sangka.

###

Di sisi lain, Jovan kini terdiam di kursi mewah miliknya, sebuah singgasana yang selama ini ia bangun dengan susah payah, tapi batinnya tak pernah bahagia.

Goresan luka membuat jiwanya membeku, mengenang kembali bahtera rumah tangganya yang hancur berkeping-keping.

Gurat wajah pria tua itu menahan sedih.

Rasa marah, kecewa dan terluka adalah warna hidupnya selama berpuluh puluh tahun ini. Namun kini, setitik harapan berada di depan matanya.

"Jono, kau pasti akan sembuh dengan pengobatan yang sempurna. Aku akan membuatmu bisa melihat lagi dan berbahagia," janjinya.

Kini, ia tinggal mencari istrinya yang telah menghilang!

Tok tok tok!

Sebuah ketukan di ruangan besar itu menyadarkan Jovan dari lamunannya. Seorang wanita muda dengan sebuah map di tangannya mendekati Burhan.

"Ayah, aku sudah membawa berkas yang kau butuhkan. Kalau begitu, bolehkah aku membeli sebuah mobil sport yang aku inginkan?" kata gadis itu manja.

"Hanah, ayah sudah katakan untuk kau bertingkah wajar di Indonesia. Selain itu, sebaiknya kau segera menemui keluargamu, ayah dan ibumu sudah sangat merindukanmu di desa."

"Haish, ayah mengusirku lagi. Aku bilang aku akan kembali setelah acara perayaan dengan teman temanku, lagipula, untuk apa aku harus ke desa? Apa mereka mau pamer kalau anaknya sudah sekolah di luar negeri? Semua ini bukanlah hasil dari kerja keras mereka, ayahlah yang membiayai aku sehingga selesai dari gelar S1 di Amerika."

"Hanah, ayah memang memberikan pendidikan itu kepadamu, akan tetapi kau harus lebih berbakti kepada mereka karena dari sebab mereka kau bisa tumbuh besar dengan kasih sayang yang tulus. Ayolah, semakin tinggi pendidikan yang kau terima, seharusnya semakin membuatmu rendah hati, hmm?" kata Jovan dan menyentuh puncak kepala gadis itu.

Hanah bukan anak kandungnya. Dia adalah gadis yang dibiayai Jovan sejak sekolah menengah pertama dahulu dan sudah seperti putrinya sendiri. Jovan bahkan menyekolahkan Hanah ke Amerika untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

"Iya, iya. Makin panjang nanti ceramah ayah. Ah ya, mobilnya bagaimana dong Yah?"

"Baiklah, pilihlah satu mobil sport yang kamu sukai," ujar Jovan menuruti kemauan Hanah.

Hanah meloncat kegirangan. Ia tak pernah mendapatkan penolakan dari ayah angkatnya ini kalau menginginkan sesuatu. Ia merasa Burhan adalah orang yang terbaik melebihi orang tuanya sendiri sehingga ia merasa kesal jika harus berbuat baik kepada ayah ibunya di desa. Bahkan ia berusaha menepis kemauan Jovan untuk sekedar mengunjungi mereka.

Dengan pelukan manja Hanah merangkul Burhan di kursi kerjanya sehingga pada saat itu ia melihat sebuah kertas lembaran test DNA.

"Apa ini, Ayah?" katanya melongok ke atas meja pada kertas tersebut.

"Uhmm, bukan apa-apa," jawab ayah angkatnya dengan cepat dan menutup lembaran kertas dengan kertas yang lain.

"Apakah ..., ayah memiliki seorang anak? Ayah bilang ayah tak punya seorang anak, tapi ...,"

Jovan menghela napas. "Hanah, sebenarnya...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status