Beranda / Fantasi / Sang Pewaris Tahta / 001 | Opening Sequence

Share

Sang Pewaris Tahta
Sang Pewaris Tahta
Penulis: Reidhika

001 | Opening Sequence

Penulis: Reidhika
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-19 14:05:30

Seingatnya ia tengah berada di sebuah ruangan besar. Kala itu, ia seolah menjadi pusat perhatian. Belasan atau mungkin juga puluhan orang memberikan atensi penuh pada dirinya. Ruangan itu, seumur hidup adalah yang paling dibencinya—sepanjang ingatan yang masih bisa digali dari otaknya, tidak pernah benar-benar ada kejadian menyenangkan yang terjadi di sana.

Bahkan hingga saat ini.

Ia berdiri, di tengah ruangan, di atas karpet beludru berwarna merah terang yang membentang dari pintu kayu berwarna coklat tua hingga tepat di depan singgasana. Puluhan pasang mata tertuju padanya, seolah menunggu untuk menyaksikan drama macam apa lagi yang akan ditampilkan di sini.

Dulu sekali, mungkin ketika usianya masih belia, satu-satunya hal yang terekam jelas dalam pikirannya adalah ketika sang ibu dihukum penggal. Ia masih terlalu muda kala itu, salah mengartikan senyum sendu milik wanita itu dan menganggapnya hanya senyum yang memang biasa ditunjukkannya. Masih mengira bahwa ia akan selalu melihatnya kembali. Hari ini, dan juga besoknya, hingga mungkin entah sampai berapa lama.

Keesokan harinya, ia tidak pernah lagi mendapati wanita itu menghampirinya.

Sudah berapa tahun sebenarnya sejak hari itu?

Hari ini rasanya seperti deja vu . Hanya yang berbeda adalah bahwa dia ada di posisi yang sama seperti ibunya, menjadi objek utama perhatian. Salah satu dari pemeran utama akan sandiwara yang menggelikan.

Sang raja duduk di singgasananya, menatap datar pada putra keduanya yang enggan menundukkan pandangan ataupun berlutut. Iris hijau serupa milik keduanya saling beradu pandang. Semua orang berada yang berada dalam satu ruangan serempak menahan nafas. Tempat ini terasa menyesakkan. Sang raja bukan sosok yang pengasih, ia seorang tiran yang tidak peduli pada apapun selain kekuasaannya di kerajaan ini. Keluarga hanyalah status, selebihnya hanya dianggapnya sebagai orang yang kebetulan satu darah dengannya.

Pangeran kedua menarik nafas perlahan, sudah mengira bahwa cepat atau lambat ia memang akan ada di posisi ini.. Berdiri jadi tontonan para bangsawan seolah ia orang bodoh. Tidak mengherankan sebenarnya, banyak orang tidak menyukainya, mungkin karena ia yang terlalu berbeda dari semua saudaranya atau hanya karena ia yang terlalu lurus. Siapa yang tahu?

Menjadi orang yang jahat memang terdengar mengerikan, tapi menjadi orang yang baik terutama di istana ini hanya akan membawa petaka.

Sang perdana menteri melangkah dan berdiri tepat di hadapannya, laki-laki paruh baya dengan rambut yang sebagian mulai memutih itu menatap pemuda berumur dua puluh satu tahun yang masih bersikeras untuk tetap berdiri. Helaan nafas tipis terdengar, dan sang pangeran hanya membalas dengan senyumnya. Orang tua ini adalah salah satu yang cukup dekat dengannya sepeninggal sang ibu. Dia bukan laki-laki yang lembut tapi sebenarnya jauh lebih pengertian dari apa yang selalu ditunjukkannya.

“Paman menteri, anda bisa memulainya. Setidaknya ini akan lebih cepat berakhir.”

Hukum penggal atau apapun, ia tidak peduli. Frasa kematian jadi terdengar indah dalam benaknya kini, setidaknya ia bisa bebas dari tempat yang mengekangnya ini walau karena sesuatu yang bahkan bukan kesalahannya.

“Ailfrid Regan Hargreaves.”

Suara orang tua tersebut memecah keheningan. Ia enggan untuk melanjutkan, namun apa yang bisa diperbuatnya jika si pemilik kekuasaan tertinggi yang memberi perintah kepadanya. Ada janji yang seharusnya ia tepati, tapi ada sumpah lain yang mencekik lehernya seperti dewa kematian.

Tapi ia ingin tetap hidup, setidaknya sampai pada waktu dimana ia bisa benar-benar melepaskan segalanya.

“Dikarenakan pelanggaran peraturan kerajaan yang sudah dilakukan oleh pangeran kedua, maka kerajaan dengan ini memutuskan—“

Ada beberapa hal yang bisa ia lakukan sejujurnya tapi karena yang dihadapi adalah sang raja, maka ia harus jauh lebih memutar otaknya.

“—mencabut gelar dan nama keluarga kerajaan, dan menyatakan bahwa pangeran kedua bukan lagi bagian dari kerajaan Aldrand. Pangeran kedua dilarang memasuki wilayah ibukota kerajaan sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”

Setidaknya, hanya itu yang ia bisa untuk mengintervensi hukuman dari sang raja.

Pengasingan, dan juga pengusiran.

Pemuda berambut coklat kemerahan itu mengerjapkan kedua matanya, sudut bibirnya terangkat, kalau tidak ingat tempat mungkin tawanya akan terlepas begitu saja. Ini bukan hukuman yang buruk, sisi baiknya adalah ia bebas. Pergi kemana saja selama itu bukan ibukota Aldrand. Tahu begini kenapa tidak ia lakukan dari dulu saja?

Iris hijaunya menatap laki-laki tua yang menatapnya sendu, ada rasa bersalah yang terbaca dari raut wajahnya, tapi ia cukup tahu bahwa hukuman yang diterimanya kini adalah berkat campur tangan dari sang perdana menteri. Ia menundukkan kepalanya, menunjukkan penghormatan terakhirnya pada laki-laki yang selalu menjaganya dalam diam.

Bibirnya bergerak perlahan, mengucapkan sebentuk kalimat yang sebenarnya mungkin tidak cukup seberapa kalipun ia ucapkan.

“Terima kasih."

~0~

(Tiga tahun kemudian)

Iris hijau membuka perlahan, mengerjap beberapa kali hanya untuk mendapati sepasang mata sewarna rubi menatapnya dari atas. Cahaya yang masuk melalui jendela di depannya terhalang oleh seseorang yang berdiri tepat di sebelah ranjang. Ia menghela nafas, inginnya sih memejamkan mata kembali tapi sosok yang berdiri di dekatnya ini benar-benar membuatnya risih.

“Seth.”

“Ya?”

“Menyingkir dari situ.”

“Aku tidak melakukan apapun?”

“Makanya lakukan sesuatu sana, sialan.” Pemuda berambut coklat itu melayangkan kepalan tangannya untuk memukul teman seperjalanannya itu namun sasarannya telah lebih dulu melompat ke belakang membuatnya hanya bisa memukul angin.

Namanya Seth. Pemuda berambut pirang yang kelihatannya seumuran dengannya, walau ia yakin sekali orang itu jauh lebih tua darinya.

Tentu saja, ia bukan manusia.

Umur aslinya mungkin saja bisa sepuluh, dua puluh, lima puluh atau bahkan mungkin seratus tahun lebih tua dari penampilannya kini. Ia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu sebenarnya, dan yang bersangkutan pun seperti enggan untuk menjelaskannya.

Ailfrid mengubah posisinya menjadi duduk di tepian ranjang. Ia menatap ke luar jendela dan mendapati langit sudah terlalu terang untuk disebut pagi. Berapa lama ia tertidur? Kalau tidak salah ingat ia sampai di kota ini semalam setelah melalui perjalanan panjang dengan kereta api. Mereka berdua bergegas mencari penginapan yang masih buka di saat waktu nyaris menunjukkan tengah malam dan yang terlihat di jalanan kota adalah para gelandangan.

“Jam berapa sekarang?”

“Dua belas,” buru-buru Seth menambahkan, “jangan salah, aku sudah berusaha untuk membangunkanmu tapi kau tidur bahkan seperti mati.”

Lawan bicaranya tidak menyahut, ia hanya menyibakkan selimutnya lalu berjalan ke kamar mandi. Tubuhnya terasa lelah, lima jam perjalanan dengan kereta api seharusnya bukan apa-apa untuknya. Toh ia memang sering melakukannya, bukan hanya kereta bahkan juga termasuk kapal hanya untuk menyeberangi satu pulau ke pulau lainnya.

Ada sesuatu yang lain. Ini sudah tiga tahun berlalu, dan seharusnya ia sudah terbiasa dengan keadaannya saat ini. Tapi sesekali, apa yang dialaminya dan didengarnya di ruang singgasana itu selalu muncul dalam mimpi. Semuanya terulang dengan jelas dalam mimpinya seolah ia kembali mengalami kejadian ketika ia diusir dari istana. Tatapan orang-orang, tatapan sang raja, bahkan tatapan keempat saudaranya. Hanya sang perdana menteri, satu-satunya orang yang paling terbebani dengan hukuman yang ditujukan untuknya.

Dan ketika mimpi itu terulang sesekali, tubuhnya akan jadi terlalu lelah. Seolah semua tenaganya tersedot habis seperti baru saja melakukan perjalanan panjang dengan berjalan kaki.

Ailfrid berdiri di depan cermin, menatap tampilan dirinya yang sudah berubah terlalu banyak dibandingkan tiga tahun yang lalu.

“Tiga tahun sudah berlalu, bukankah seharusnya orang itu menjemput karmanya sendiri?”

Karena apa yang terjadi padanya kini, adalah buah dari keserakahan orang-orang kerajaan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Pewaris Tahta   018 | Bocah laki-laki di kota yang terbengkalai

    Menjadi pengamat itu terkadang rasanya menyebalkan. Ia memperhatikan banyak hal, melihat banyak hal, dan menyadari banyak hal. Tapi kesemuanya itu tidak selalu sesuai dengan dugaannya. Ingin bertanya untuk memastikan, tapi ia sendiri harus memastikan banyak hal hanya untuk bertanya satu. Terutama sekali kondisi yang terlihat tidak memungkinkan sekalipun ia sudah memastikan banyak hal.Ailfrid bisa bertanya pada Arian soal dirinya, tapi itu sama saja dengan keharusan untuknya membuka identitas aslinya. Freya bukan orang bodoh, gadis itu tentu saja masih mengingat secara detail apa yang terjadi kemarin. Salah bertanya hanya akan membawanya kembali pada topik mengenai pangeran kedua yang disinggung oleh si pencuri.Mengajaknya keluar dari kompartemen?Hanya akan menimbulkan kecurigaan lebih jelas. Seth tidak masalah sebenarnya, tapi melihat bagaimana reaksinya terhadap Arian, salah bicara mungkin akan membawanya pada masalah lain yang tidak diketahuinya.Terlalu banyak berpikir hanya aka

  • Sang Pewaris Tahta   017 | Arian Bashkim, atau haruskah kita panggil dia... si pencuri?

    Stasiun kereta kota pelabuhan terlihat lengang. Bangunan tua dengan warna coklat tua yang mendominasi itu tidak terlalu besar, orang-orang pelabuhan jarang menggunakan kereta untuk bepergian karena jadwal yang sedikit jarang.Ketiga orang itu masih berdiri di depan pintu masuk, dengan Ailfrid yang berdiri di antara Seth dan Freya.'Ini buruk? Aku tidak pernah melihat mereka saling berbicara selain waktu pertama kali bertemu di penginapan, tapi kenapa mereka seperti sedang perang dingin begini?'Freya memang tidak menunjukkan raut wajah terganggu, tapi dengan minimnya interaksi mereka dan juga gadis itu yang tidak berusaha untuk berbicara dengan Seth, ia sudah cukup mengerti. Lain dengan Seth. Vampir itu jelas menunjukkan rasa tidak sukanya.Ailfrid menghela nafas untuk yang kesekian kalinya hari ini. Jangankan mengkhawatirkan apa yang ada di Lugh, sejak awal ia tidak yakin ini akan berjalan lancar.Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu

  • Sang Pewaris Tahta   016 | Dua Sisi

    Scott berdiri di depan pintu berukuran besar berwarna putih gading. Ia masih belum ingin beranjak dari tempatnya. Dua pengawal yang berdiri di samping kiri dan kanan pintu hanya menatapnya sekilas, tapi tidak berani untuk bertanya—tidak, jangankan bertanya, mereka tidak sanggup bahkan hanya untuk mengeluarkan suara sedikitpun. Keduanya lebih memilih untuk menatap lantai marmer di bawahnya.Aura yang dikeluarkan oleh putra mahkota memang tidak pernah bersahabat, tapi yang kali ini jauh lebih buruk dari itu. Mereka sudah terbiasa, setiap kali menginjakkan kaki di istana utama, mood sang putra mahkota selalu berubah menjadi lebih buruk dari biasanya, apalagi jika bertemu dengan sang raja. Satu-satunya yang bisa membuatnya sedikit melunak hanya keberadaan perdana menteri.Ia menarik nafas. Tangan kanannya terjulur, membuka perlahan pintu besar itu. Ruangan di baliknya adalah ruang kerja sang raja. Perlahan ia melangkah masuk, setelah sebelumnya mengatur ekspresinya men

  • Sang Pewaris Tahta   015 | Scott Rodrick Hargreaves

    Pemuda berambut merah itu menghela nafas, kedua tangannya melipat selembar kertas berukuran kecil yang sedari tadi dilihat olehnya, sebelum kemudian merobeknya menjadi ukuran kecil. Serpihan-serpihan kecil itu dibiarkannya berjatuhan di atas meja. Seberkas cahaya berwarna kemerahan muncul dari tangan kanannya dan robekan kertas tadi perlahan terbakar hingga menjadi abu, lalu menghilang begitu saja.Burung elang berbulu coklat yang masih bertengger di jendela itu menatapnya dalam diam, lalu terbang menjauh. Tugasnya sudah selesai, setidaknya untuk sementara ini.Tok tokSuara ketukan pada pintu mengalihkan perhatiannya, lalu suara seorang lelaki paruh baya terdengar. “Putra Mahkota, Yang Mulia Raja ingin bertemu dengan anda di ruangan kerjanya.”Ia mengusap wajahnya dengan kasar, hembusan nafas berat terdengar setelahnya. Ia benci dengan situasi ini. Dari sekian banyak hal yang tidak disukainya, berada dalam satu ruangan dengan sang ayah adalah sal

  • Sang Pewaris Tahta   014 | Kota yang dibuang dan cerita tentang Empat Harta

    Freya menatap kedua orang di depannya dengan ragu. Ia sejujurnya tidak terlalu mengetahui soal Lugh. Hanya sekilas dijelaskan dalam sejarah yang pernah dipelajarinya beberapa tahun yang lalu, yang dulunya pernah menjadi kota pertanian yang cukup makmur di Riodora sebelum akhirnya dihapus dari peta. Selebihnya, tidak ada seorang pun di istana yang bersedia menjelaskan lebih lanjut soal Lugh, seolah ada yang sedang berusaha mereka tutupi.“Jadi…” Ailfrid bersandar pada jendela, sedangkan Freya duduk di salah satu kursi yang ada di sana, “kotanya hilang? Hancur? Atau sudah tidak berpenghuni?”Apa yang sudah pernah dibacanya terlalu jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Freya. Ada pesan lanjutan dari apa yang diterimanya ketika masih di Rockfell, tentang tujuan yang mengharuskan mereka menuju Lugh.Sebuah kota kecil di kaki gunung, nyaris dikelilingi perbukitan dan dibelah oleh sebuah sungai panjang. Satu-satunya cara menuju ke sana adalah dengan mengg

  • Sang Pewaris Tahta   013 | Kota Lugh

    “Pangeran… kedua? Apa maksudnya?” Freya adalah yang pertama mengeluarkan suara, keheningan itu sedikit mengganggunya, tapi apa yang dikatakan oleh pencuri tadi jauh lebih mengganggunya.Mathias menoleh pada sang putri, lalu mengalihkan tatapannya pada pemuda berambut coklat kemerahan di sampingnya. Laki-laki bertubuh jangkung itu menghela nafas pelan. Ia sudah menduga banyak hal—bahkan hanya dalam waktu beberapa saat ia berada di sini. Tapi bukan haknya untuk mengatakan apapun, toh itu bukan urusannya. Selama tidak mengganggu ketentraman di Riodora, ia tidak peduli.“Tuan Putri, ini sudah saatnya anda kembali. Kakak anda mungkin saja sudah mengacau di istana.”Ia tidak membual untuk yang satu ini. Sang raja adalah orang yang bijaksana, walau agak kaku. Tapi ia orang yang pengertian. Hanya saja di luar dari urusan kerajaan, sayangnya orang itu juga seorang kakak—yang protektif, kalau perlu ditambahkan. Bukan sesuatu yang aneh, mengingat mereka berdua hanya

  • Sang Pewaris Tahta   012 | Pengejaran

    Irene terus berlari mengejar laki-laki itu, tanpa menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh dari tempatnya semula. Langkah kedua kakinya membawa dirinya ke pelabuhan besar Kerajaan Riodora. Ia baru menyadari ketika suara dari cerobong asap di salah satu kapal yang akan pergi tertangkap indera pendengarannya, membuatnya seketika menghentikan laju larinya.Ia menoleh ke salah satu sisinya, lautan sudah nyaris di depan mata. Ada banyak kapal yang berlabuh di sana, entah itu kapal kecil atau kapal besar. Kapal pengangkut barang, ataupun kapal penumpang. Pelabuhan adalah tempat tersibuk di Riodora, dibandingkan tempat lainnya di kerajaan ini. Keramaiannya nyaris tanpa henti bahkan walau waktu sudah menunjukkan tengah malam atau dini hari, dan waktu siang menuju senja adalah waktu paling ramai, karena di waktu-waktu itu kapal penumpang banyak berlabuh.Gadis itu membelalakkan kedua matanya, menyadari bahwa ia sudah berlari terlalu jauh. Ia menatap sekelilingnya, laki-laki ta

  • Sang Pewaris Tahta   011 | Sebuah kebetulan dan... kencan?

    Pelabuhan Kerajaan Riodora dipenuhi oleh ratusan orang berlalu-lalang. Sebagian ada yang memang bertujuan ke luar wilayah, sebagian lagi para pendatang, dan sebagiannya lagi adalah orang-orang yang memang bekerja di sana. Cuaca terik membuat sebagian orang menjadi emosi, sesekali terdengar umpatan dan makian di beberapa sudut.Dua hari terlewati di laut lepas tanpa ada kendala berarti. Beruntung saja badai yang kadang timbul tidak muncul sama sekali. Ailfrid di tengah laut bukan orang yang bisa diandalkan, malah lebih terasa seperti beban. Beberapa kali perjalanan laut mereka, dan beberapa kali itu pula Seth selalu punya keinginan untuk mendorongnya ke tengah laut. Orang itu merepotkan. Kalau hanya diam di dalam kabin saja sampai mereka tiba di tujuan, ia tidak masalah. Tapi Ailfrid lebih senang menempel padanya seperti benalu.Mereka berdua turun dari kapal, dengan Ailfrid yang berjalan sambil memegangi pundak Seth. Kepalanya masih terasa pusing, dan perutnya masi

  • Sang Pewaris Tahta   010 | Cerita dari Pangeran Kedua

    “Jadi?” Seth sudah duduk di salah satu kursi di kamar penginapan yang disewa oleh Ailfrid. Iris rubinya mengarah tepat pada pemuda berambut coklat kemerahan yang berusaha mengalihkan pandangannya agar tidak beradu dengan sang vampir.Hari sudah memasuki tengah malam ketika mereka kembali ke penginapan. Keduanya berteleportasi langsung ke dalam kamar, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Kalau mereka muncul di lobi, mereka hanya akan menimbulkan keributan, apalagi ditambah jalanan kota di waktu seperti ini yang masih terlihat ramai. Sihir memang hal yang biasa di dunia ini, tapi lain ceritanya kalau mereka tiba-tiba muncul di jalanan dengan seekor naga dalam pelukan.Naga itu hewan sihir suci, membawanya begitu saja bukan hal yang tepat terutama karena Aldrand pernah berurusan dengan salah satunya. Bayangkan saja seberapa hebohnya orang-orang di luar sana.“Kau tidak ingin membiarkanku istirahat? Setidaknya, biarkan aku berbaring satu jam saja,” Ailfrid baru saja meletak

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status