Share

Sang Pewaris Tahta
Sang Pewaris Tahta
Penulis: Reidhika

001 | Opening Sequence

Seingatnya ia tengah berada di sebuah ruangan besar. Kala itu, ia seolah menjadi pusat perhatian. Belasan atau mungkin juga puluhan orang memberikan atensi penuh pada dirinya. Ruangan itu, seumur hidup adalah yang paling dibencinya—sepanjang ingatan yang masih bisa digali dari otaknya, tidak pernah benar-benar ada kejadian menyenangkan yang terjadi di sana.

Bahkan hingga saat ini.

Ia berdiri, di tengah ruangan, di atas karpet beludru berwarna merah terang yang membentang dari pintu kayu berwarna coklat tua hingga tepat di depan singgasana. Puluhan pasang mata tertuju padanya, seolah menunggu untuk menyaksikan drama macam apa lagi yang akan ditampilkan di sini.

Dulu sekali, mungkin ketika usianya masih belia, satu-satunya hal yang terekam jelas dalam pikirannya adalah ketika sang ibu dihukum penggal. Ia masih terlalu muda kala itu, salah mengartikan senyum sendu milik wanita itu dan menganggapnya hanya senyum yang memang biasa ditunjukkannya. Masih mengira bahwa ia akan selalu melihatnya kembali. Hari ini, dan juga besoknya, hingga mungkin entah sampai berapa lama.

Keesokan harinya, ia tidak pernah lagi mendapati wanita itu menghampirinya.

Sudah berapa tahun sebenarnya sejak hari itu?

Hari ini rasanya seperti deja vu . Hanya yang berbeda adalah bahwa dia ada di posisi yang sama seperti ibunya, menjadi objek utama perhatian. Salah satu dari pemeran utama akan sandiwara yang menggelikan.

Sang raja duduk di singgasananya, menatap datar pada putra keduanya yang enggan menundukkan pandangan ataupun berlutut. Iris hijau serupa milik keduanya saling beradu pandang. Semua orang berada yang berada dalam satu ruangan serempak menahan nafas. Tempat ini terasa menyesakkan. Sang raja bukan sosok yang pengasih, ia seorang tiran yang tidak peduli pada apapun selain kekuasaannya di kerajaan ini. Keluarga hanyalah status, selebihnya hanya dianggapnya sebagai orang yang kebetulan satu darah dengannya.

Pangeran kedua menarik nafas perlahan, sudah mengira bahwa cepat atau lambat ia memang akan ada di posisi ini.. Berdiri jadi tontonan para bangsawan seolah ia orang bodoh. Tidak mengherankan sebenarnya, banyak orang tidak menyukainya, mungkin karena ia yang terlalu berbeda dari semua saudaranya atau hanya karena ia yang terlalu lurus. Siapa yang tahu?

Menjadi orang yang jahat memang terdengar mengerikan, tapi menjadi orang yang baik terutama di istana ini hanya akan membawa petaka.

Sang perdana menteri melangkah dan berdiri tepat di hadapannya, laki-laki paruh baya dengan rambut yang sebagian mulai memutih itu menatap pemuda berumur dua puluh satu tahun yang masih bersikeras untuk tetap berdiri. Helaan nafas tipis terdengar, dan sang pangeran hanya membalas dengan senyumnya. Orang tua ini adalah salah satu yang cukup dekat dengannya sepeninggal sang ibu. Dia bukan laki-laki yang lembut tapi sebenarnya jauh lebih pengertian dari apa yang selalu ditunjukkannya.

“Paman menteri, anda bisa memulainya. Setidaknya ini akan lebih cepat berakhir.”

Hukum penggal atau apapun, ia tidak peduli. Frasa kematian jadi terdengar indah dalam benaknya kini, setidaknya ia bisa bebas dari tempat yang mengekangnya ini walau karena sesuatu yang bahkan bukan kesalahannya.

“Ailfrid Regan Hargreaves.”

Suara orang tua tersebut memecah keheningan. Ia enggan untuk melanjutkan, namun apa yang bisa diperbuatnya jika si pemilik kekuasaan tertinggi yang memberi perintah kepadanya. Ada janji yang seharusnya ia tepati, tapi ada sumpah lain yang mencekik lehernya seperti dewa kematian.

Tapi ia ingin tetap hidup, setidaknya sampai pada waktu dimana ia bisa benar-benar melepaskan segalanya.

“Dikarenakan pelanggaran peraturan kerajaan yang sudah dilakukan oleh pangeran kedua, maka kerajaan dengan ini memutuskan—“

Ada beberapa hal yang bisa ia lakukan sejujurnya tapi karena yang dihadapi adalah sang raja, maka ia harus jauh lebih memutar otaknya.

“—mencabut gelar dan nama keluarga kerajaan, dan menyatakan bahwa pangeran kedua bukan lagi bagian dari kerajaan Aldrand. Pangeran kedua dilarang memasuki wilayah ibukota kerajaan sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”

Setidaknya, hanya itu yang ia bisa untuk mengintervensi hukuman dari sang raja.

Pengasingan, dan juga pengusiran.

Pemuda berambut coklat kemerahan itu mengerjapkan kedua matanya, sudut bibirnya terangkat, kalau tidak ingat tempat mungkin tawanya akan terlepas begitu saja. Ini bukan hukuman yang buruk, sisi baiknya adalah ia bebas. Pergi kemana saja selama itu bukan ibukota Aldrand. Tahu begini kenapa tidak ia lakukan dari dulu saja?

Iris hijaunya menatap laki-laki tua yang menatapnya sendu, ada rasa bersalah yang terbaca dari raut wajahnya, tapi ia cukup tahu bahwa hukuman yang diterimanya kini adalah berkat campur tangan dari sang perdana menteri. Ia menundukkan kepalanya, menunjukkan penghormatan terakhirnya pada laki-laki yang selalu menjaganya dalam diam.

Bibirnya bergerak perlahan, mengucapkan sebentuk kalimat yang sebenarnya mungkin tidak cukup seberapa kalipun ia ucapkan.

“Terima kasih."

~0~

(Tiga tahun kemudian)

Iris hijau membuka perlahan, mengerjap beberapa kali hanya untuk mendapati sepasang mata sewarna rubi menatapnya dari atas. Cahaya yang masuk melalui jendela di depannya terhalang oleh seseorang yang berdiri tepat di sebelah ranjang. Ia menghela nafas, inginnya sih memejamkan mata kembali tapi sosok yang berdiri di dekatnya ini benar-benar membuatnya risih.

“Seth.”

“Ya?”

“Menyingkir dari situ.”

“Aku tidak melakukan apapun?”

“Makanya lakukan sesuatu sana, sialan.” Pemuda berambut coklat itu melayangkan kepalan tangannya untuk memukul teman seperjalanannya itu namun sasarannya telah lebih dulu melompat ke belakang membuatnya hanya bisa memukul angin.

Namanya Seth. Pemuda berambut pirang yang kelihatannya seumuran dengannya, walau ia yakin sekali orang itu jauh lebih tua darinya.

Tentu saja, ia bukan manusia.

Umur aslinya mungkin saja bisa sepuluh, dua puluh, lima puluh atau bahkan mungkin seratus tahun lebih tua dari penampilannya kini. Ia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu sebenarnya, dan yang bersangkutan pun seperti enggan untuk menjelaskannya.

Ailfrid mengubah posisinya menjadi duduk di tepian ranjang. Ia menatap ke luar jendela dan mendapati langit sudah terlalu terang untuk disebut pagi. Berapa lama ia tertidur? Kalau tidak salah ingat ia sampai di kota ini semalam setelah melalui perjalanan panjang dengan kereta api. Mereka berdua bergegas mencari penginapan yang masih buka di saat waktu nyaris menunjukkan tengah malam dan yang terlihat di jalanan kota adalah para gelandangan.

“Jam berapa sekarang?”

“Dua belas,” buru-buru Seth menambahkan, “jangan salah, aku sudah berusaha untuk membangunkanmu tapi kau tidur bahkan seperti mati.”

Lawan bicaranya tidak menyahut, ia hanya menyibakkan selimutnya lalu berjalan ke kamar mandi. Tubuhnya terasa lelah, lima jam perjalanan dengan kereta api seharusnya bukan apa-apa untuknya. Toh ia memang sering melakukannya, bukan hanya kereta bahkan juga termasuk kapal hanya untuk menyeberangi satu pulau ke pulau lainnya.

Ada sesuatu yang lain. Ini sudah tiga tahun berlalu, dan seharusnya ia sudah terbiasa dengan keadaannya saat ini. Tapi sesekali, apa yang dialaminya dan didengarnya di ruang singgasana itu selalu muncul dalam mimpi. Semuanya terulang dengan jelas dalam mimpinya seolah ia kembali mengalami kejadian ketika ia diusir dari istana. Tatapan orang-orang, tatapan sang raja, bahkan tatapan keempat saudaranya. Hanya sang perdana menteri, satu-satunya orang yang paling terbebani dengan hukuman yang ditujukan untuknya.

Dan ketika mimpi itu terulang sesekali, tubuhnya akan jadi terlalu lelah. Seolah semua tenaganya tersedot habis seperti baru saja melakukan perjalanan panjang dengan berjalan kaki.

Ailfrid berdiri di depan cermin, menatap tampilan dirinya yang sudah berubah terlalu banyak dibandingkan tiga tahun yang lalu.

“Tiga tahun sudah berlalu, bukankah seharusnya orang itu menjemput karmanya sendiri?”

Karena apa yang terjadi padanya kini, adalah buah dari keserakahan orang-orang kerajaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status