Seth terus berlari mendekati bongkahan kristal transparan itu. Semakin lama, langkah kakinya terasa semakin berat. Sesuatu menahannya untuk terus mendekat. Ia yakin kalau saja ia seorang manusia, kemungkinan mati kehabisan nafas atau terlempar karena tekanan bisa jadi salah satu opsi untuk menghadap dewa kematian lebih cepat.Dewa kematian kali ini mungkin saja akan sungguhan berbahagia kalau salah satu dari mereka berhasil menjemput ajal.Iris merahnya menyapu sekeliling, kabut pekat itu kembali menguar, menghalangi pandangannya. Kelihatannya pada jarak tertentu seseorang berusaha mendekati kristal itu maka kabut pun akan muncul dengan sendirinya, tanpa harus menggunakan sihir pembuka tabir.Ia menyeringai, "Siapapun yang menyegel dan menciptakan jebakan semacam ini benar-benar niat sekali."Karena jika hanya bertujuan untuk mengurung, dinding pelindung seperti yang dibuat oleh para elf sudah lebih dari cukup. Kecuali jika si penyegel memang sungguhan menggunakan kekuatan naga putih
Seth masih tetap dalam posisinya, walau tangan kanannya tetap bersiaga. Jaga-jaga kalau makhluk di depannya ini akan menyerangnya lagi. Ia dan Ailfrid sebenarnya tidak terlalu diburu oleh waktu, kalau saja tidak ada gangguan semacam ini. Dengan munculnya makhluk ini, maka tidak akan menunggu waktu lama sampai mungkin raja Aldrand akan mengetahui tujuan mereka.Sosok di hadapannya terkekeh, ia membuka jubah yang menyelubungi tubuhnya. Iris merah keemasan adalah yang pertama dilihatnya. Berbeda dengan mata merah milik vampir yang lebih terlihat seperti warna batu rubi, warna mata milik orang ini merah terang—ciri dari seorang iblis.“Kita berdua sama-sama menjatuhkan harga diri dan tunduk pada manusia, jadi apa bedanya, Seth?”Seth menelan salivanya. Makhluk berambut hitam dengan tanduk yang dipenuhi oleh mata berwarna merah terang itu berbahaya. Dari segi umur dan pengalaman saja mereka sudah berbeda jauh. Bisa-bisanya tempat ini dijaga oleh makhluk seperti ini. Pantas saja para elf le
“Jadi?” Seth sudah duduk di salah satu kursi di kamar penginapan yang disewa oleh Ailfrid. Iris rubinya mengarah tepat pada pemuda berambut coklat kemerahan yang berusaha mengalihkan pandangannya agar tidak beradu dengan sang vampir.Hari sudah memasuki tengah malam ketika mereka kembali ke penginapan. Keduanya berteleportasi langsung ke dalam kamar, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Kalau mereka muncul di lobi, mereka hanya akan menimbulkan keributan, apalagi ditambah jalanan kota di waktu seperti ini yang masih terlihat ramai. Sihir memang hal yang biasa di dunia ini, tapi lain ceritanya kalau mereka tiba-tiba muncul di jalanan dengan seekor naga dalam pelukan.Naga itu hewan sihir suci, membawanya begitu saja bukan hal yang tepat terutama karena Aldrand pernah berurusan dengan salah satunya. Bayangkan saja seberapa hebohnya orang-orang di luar sana.“Kau tidak ingin membiarkanku istirahat? Setidaknya, biarkan aku berbaring satu jam saja,” Ailfrid baru saja meletak
Pelabuhan Kerajaan Riodora dipenuhi oleh ratusan orang berlalu-lalang. Sebagian ada yang memang bertujuan ke luar wilayah, sebagian lagi para pendatang, dan sebagiannya lagi adalah orang-orang yang memang bekerja di sana. Cuaca terik membuat sebagian orang menjadi emosi, sesekali terdengar umpatan dan makian di beberapa sudut.Dua hari terlewati di laut lepas tanpa ada kendala berarti. Beruntung saja badai yang kadang timbul tidak muncul sama sekali. Ailfrid di tengah laut bukan orang yang bisa diandalkan, malah lebih terasa seperti beban. Beberapa kali perjalanan laut mereka, dan beberapa kali itu pula Seth selalu punya keinginan untuk mendorongnya ke tengah laut. Orang itu merepotkan. Kalau hanya diam di dalam kabin saja sampai mereka tiba di tujuan, ia tidak masalah. Tapi Ailfrid lebih senang menempel padanya seperti benalu.Mereka berdua turun dari kapal, dengan Ailfrid yang berjalan sambil memegangi pundak Seth. Kepalanya masih terasa pusing, dan perutnya masi
Irene terus berlari mengejar laki-laki itu, tanpa menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh dari tempatnya semula. Langkah kedua kakinya membawa dirinya ke pelabuhan besar Kerajaan Riodora. Ia baru menyadari ketika suara dari cerobong asap di salah satu kapal yang akan pergi tertangkap indera pendengarannya, membuatnya seketika menghentikan laju larinya.Ia menoleh ke salah satu sisinya, lautan sudah nyaris di depan mata. Ada banyak kapal yang berlabuh di sana, entah itu kapal kecil atau kapal besar. Kapal pengangkut barang, ataupun kapal penumpang. Pelabuhan adalah tempat tersibuk di Riodora, dibandingkan tempat lainnya di kerajaan ini. Keramaiannya nyaris tanpa henti bahkan walau waktu sudah menunjukkan tengah malam atau dini hari, dan waktu siang menuju senja adalah waktu paling ramai, karena di waktu-waktu itu kapal penumpang banyak berlabuh.Gadis itu membelalakkan kedua matanya, menyadari bahwa ia sudah berlari terlalu jauh. Ia menatap sekelilingnya, laki-laki ta
“Pangeran… kedua? Apa maksudnya?” Freya adalah yang pertama mengeluarkan suara, keheningan itu sedikit mengganggunya, tapi apa yang dikatakan oleh pencuri tadi jauh lebih mengganggunya.Mathias menoleh pada sang putri, lalu mengalihkan tatapannya pada pemuda berambut coklat kemerahan di sampingnya. Laki-laki bertubuh jangkung itu menghela nafas pelan. Ia sudah menduga banyak hal—bahkan hanya dalam waktu beberapa saat ia berada di sini. Tapi bukan haknya untuk mengatakan apapun, toh itu bukan urusannya. Selama tidak mengganggu ketentraman di Riodora, ia tidak peduli.“Tuan Putri, ini sudah saatnya anda kembali. Kakak anda mungkin saja sudah mengacau di istana.”Ia tidak membual untuk yang satu ini. Sang raja adalah orang yang bijaksana, walau agak kaku. Tapi ia orang yang pengertian. Hanya saja di luar dari urusan kerajaan, sayangnya orang itu juga seorang kakak—yang protektif, kalau perlu ditambahkan. Bukan sesuatu yang aneh, mengingat mereka berdua hanya
Freya menatap kedua orang di depannya dengan ragu. Ia sejujurnya tidak terlalu mengetahui soal Lugh. Hanya sekilas dijelaskan dalam sejarah yang pernah dipelajarinya beberapa tahun yang lalu, yang dulunya pernah menjadi kota pertanian yang cukup makmur di Riodora sebelum akhirnya dihapus dari peta. Selebihnya, tidak ada seorang pun di istana yang bersedia menjelaskan lebih lanjut soal Lugh, seolah ada yang sedang berusaha mereka tutupi.“Jadi…” Ailfrid bersandar pada jendela, sedangkan Freya duduk di salah satu kursi yang ada di sana, “kotanya hilang? Hancur? Atau sudah tidak berpenghuni?”Apa yang sudah pernah dibacanya terlalu jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Freya. Ada pesan lanjutan dari apa yang diterimanya ketika masih di Rockfell, tentang tujuan yang mengharuskan mereka menuju Lugh.Sebuah kota kecil di kaki gunung, nyaris dikelilingi perbukitan dan dibelah oleh sebuah sungai panjang. Satu-satunya cara menuju ke sana adalah dengan mengg
Pemuda berambut merah itu menghela nafas, kedua tangannya melipat selembar kertas berukuran kecil yang sedari tadi dilihat olehnya, sebelum kemudian merobeknya menjadi ukuran kecil. Serpihan-serpihan kecil itu dibiarkannya berjatuhan di atas meja. Seberkas cahaya berwarna kemerahan muncul dari tangan kanannya dan robekan kertas tadi perlahan terbakar hingga menjadi abu, lalu menghilang begitu saja.Burung elang berbulu coklat yang masih bertengger di jendela itu menatapnya dalam diam, lalu terbang menjauh. Tugasnya sudah selesai, setidaknya untuk sementara ini.Tok tokSuara ketukan pada pintu mengalihkan perhatiannya, lalu suara seorang lelaki paruh baya terdengar. “Putra Mahkota, Yang Mulia Raja ingin bertemu dengan anda di ruangan kerjanya.”Ia mengusap wajahnya dengan kasar, hembusan nafas berat terdengar setelahnya. Ia benci dengan situasi ini. Dari sekian banyak hal yang tidak disukainya, berada dalam satu ruangan dengan sang ayah adalah sal