Hamish melirik Dilara yang sudah berbaring di ranjangnya. Dengan penerangan seadanya dari lilin, Hamiah bisa melihat siluet tubuh Dilara yang berbalut selimut hingga sebatas leher."Bawakan dia selimut dan makanan enak. Katakan itu kiriman dari Dilara." Selesai memberikan perintah kepada Adam, Hamish menutup ponselnya dan meletakkan benda itu di nakas lalu duduk di tepi ranjang."Memangnya kamu gak kegerahan?" Hamish heran melihat Dilara yang betah menggunakan selimut padahal kipas angin di kamarnya mati.Wanita itu menggeleng cepat. Mengeratkan tangannya seolah takut selimut itu akan terbang ke angkasa.Hamish merangkak naik ke atas ranjang. Berbaring di sebelah sang istri bersamaan dengan itu Dilara bergeser hingga membuat jarak yang cukup jauh."Kamu gak takut jatuh?" Hamish memiringkan tubuhnya jadi ia bisa melihat Dilara yang sedang gugup dengan lebih jelas."Aku lebih takut sama abang," ucap Dilara sambil berbisik namun Hamish bisa menangkap apa yang baru saja Dilara katakan.Ke
“Mas ngelindur, yo?” seru Maya. Memangnya siapa yang akan percaya dengan ucapan dari utusan pelanggan yang selalu menunggak bayar listrik. Jangankan bisa meminta pemecatannya, mungkin mendapatkan potongan tunggakan saja tidak akan bisa.Seorang pria berjas lengkap berlari mendekati Hamish yang masih duduk di depan petugas layanan pelanggan.Ia berdiri di belakang Maya. Sambil mengatur nafas dan membenarkan letak kacamatanya, ia sedikit membungkuk menyapa Hamish.“Tuan Muda Hamish Akbar?” tanyanya memastikan.“Benar! Anda manajer disini?” balas Hamish dengan sikap angkuh dan arogan. Tubuh pria berumur pertengahan itu gemetar. Wajah pucatnya dihiasi butiran keringat sebesar biji jagung karena gugup. "Urus pelunasan tunggakan listrik panti Cahaya Mentari. Dan, aku mau ada listrik dalam dua jam. Kamu mengerti?" titahnya.Rahang Maya terjatuh melihat manajernya mengangguk takut. Itu belum seberapa, wanita itu dibuat lemas hingga bersandar di kursinya, tidak mampu menopang tubuh melihat
"Hi, Baby!" Suara manja membuat Hamish yang sedang asik berbincang dengan Adam meneh ke arah pintu.Hamish sudah berada di kantor Mulyadi membicarakan rencana pembebasan Dani.Nyonya Rita setuju dengan permintaan Hamish dengan syarat Hamish membayar beberapa tagihannya yang akan jatuh tempo sebagai tanda jadi kesepakatan mereka.Hamish mendongak mencari sumber suara. Suara ketukan heels mendekat dan tak lama ia merasakan tangan memeluk pundaknya.Wangi aroma parfum menyengat menyeruak di indera penciuman Hamish. Ia mengambil tangan wanita itu, melepaskan jari-jari indah yang berani menyentuhnya tanpa ijin lalu bergeser menjauh."Lusy? Sedang apa kamu disini?" Hamish mendelik melihat Adam, bertanya lewat tatapan mata bagaimana wanita ini bisa ada di Sidoarjo. Bukannya mendapat jawaban, Hamish justru melihat Adam mengedikkan pundak."Aku cari kamu lagi, Babe!" Lusy bergeser mendekat pada Hamish sambil memperhatikan penampilan pria itu."Babe, kamu ngapain pake baju kucel, jelek gini? E
"Kalian mau nonton di rumah ustadz Imam? Kenapa?" Kening Hamish berkerut mendengar permintaan anak-anak.Mereka mengganggu kesempatannya untuk mendapatkan hak karena ingin meminta ijin Dilara. Dan itu membuat Hamish terpaksa berdiri di belakang Dilara agar bisa menutupi bagian tubuhnya yang terlanjur mengeras."Ada kartun baru, Bang!" seru Amar bersemangat. "Anak-anak di sekolah udah pada ngomongin, jadi kita penasaran pengen liat."Dilara menjelaskan mereka sungkan jika menumpang nonton di tetangga. Maka dari itu, anak-anak lebih sering menumpang nonton di rumah ustadz Imam walau rumahnya agak jauh."Boleh ya, Mbak? Dua jam aja." Sekar memohon.Dilara yang memang tidak pernah bisa menolak keinginan anak-anak akhirnya mengangguk pelan. "Hore!!" Kesembilan anak yang berdiri di depan pintu kamar Dilara bersorak senang. Mereka bergantian mengecup punggung tangan Hamish dan Dilara lalu berpamitan."Nyebrangnya hati-hati, ya!" pesan Dilara sambil mengantar kepergian mereka.Sedang Hamish
"Gimana, Bang?” Entah sudah berapa kali Dilara menanyakan itu karena Hamish belum berhasil antena televisi.Ia sudah berhasil memasang kaki penyangga televisi walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi bagi Hamish itu kebanggaan tersendiri.Bibir Hamish mengerucut. Ia bosan mendengar pertanyaan Dilara yang seperti sedang meremehkannya.“Bisa!” sahutnya kesal sambil membaca buku panduan. Terlalu banyak baut dan detail yang harus dipasang sebelum antena itu bisa dipasang di tempat yang cukup tinggi.“Kalau kamu sudah ngantuk, tidur aja duluan.” Hamish yang duduk melantai masih berkonsentrasi mencocokkan bagian demi bagian antena.Ia melirik sekilas saat melihat bayangan Diara bergerak. Setelah istrinya menghilang dari ruang keluarga, Hamish kembali fokus pada barang-barang yang harus ia rakit.Hampir setengah jam ia berkutat dengan baut, akhirnya Hamish berhasil memasang bagian belakang antena yang akan dipasang di tembok. Ia memasang kabel antena pada televisi lalu mencari-car
"Dik, kamu sudah tidur?" Hamish membuang nafas ke udara mendapati istrinya tidur dengan tubuh berbalut selimut hingga pundak.Hamish naik ke ranjang dengan lesu. Gagal sudah rencananya untuk menghabiskan malam panas dengan Dilara.Hamish memasang muka masam sejak subuh. Bahkan saat sedsng sarapan, pria itu bekum merubah air mukanya.Anak-anak saling pandang, menyadari perubahan Hamish pagi ini. Bagaimana tidak kesal, semalam hasratnya mulai menanjak namun terpaksa harus diturunkan tanpa melepaskan apapun.Tidurnya gelisah berharap sentuhan, sayang Dilara tidak berbalik badan sama sekali."Abang Hamish kenapa? Sakit gigi? Mukanya kok gitu?" Si kecil Maya mewakili pertanyaan semua orang.Gadis mungil itu dengan polos dan tanpa takut bertanya kepada Hamish."Mbak Lara, di warung pak Haji ada obat sakit gigi, ga?" Gadis itu mengalihkan pandangannya kepada Dilara yang duduk bersebelahan dengan Hamish."Makanya, lain kali jangan di tempat umum. Jadinya gatot, deh! Alias gagal total!" Suar
“Lingerie!” Entah ide dari mana tiba-tiba saja Hamish ingin memberikan gaun tidur super seksi untuk istrinya. Awalnya ia ingin membelikan hadiah untuk mencairkan suasana. Setelah itu tentu saja Hamish berharap hubungan dengan Dilara akan semakin dekat dan bisa menjalankan ritual suami istrinya.Ia sengaja mampir ke sebuah mall setelah pulang dari kantor untuk mencari hadiah yang tepat untuk sang istri.30 menit berkeliling, Hamish belum juga menemukan hadiah yang cocok. Ia memaki dirinya sendiri karena tidak mengenal Dilara dengan baik padahal sudah lebih dari tiga bulan mereka tinggal satu atap.Lalu muncullah ide gila untuk memberikan Dilara satu atau dua buah gaun super tipis. Membayangkannya saja membuat saliva Hamish menetes.Cukup lama Hamish berdiri di depan gerai pakaian dalam khusus wanita. Sebagai lelaki sejati tentu ada perasaan sungkan dan malu masuk ke daerah kekuasaan para wanita ini.Tetapi demi bisa menghabiskan malam syahdu dengan sang istri, Hamish membulatkan t
"Ketemu gak, Dik?" Hamish membantu Dilara mencari sertifikat rumah yang katanya ia simpan di laci lemari.Dilara menggeleng cepat. Ia mengeluarkan semua bajunya yang ada di lemari mencari buku berwarna hijau yang dulu diberikan oleh ayahnya."Kamu yakin nyiman di lemari?" Hamish yang sedang membongkar laci nakas menoleh melihat jawaban istrinya.Dilara semakin panik, wajah putih cerahnya berubah pucat dengan keringat bercucuran.Ia sangat yakin menyimpan surat berharga itu di lemari pakaiannya.Kamar Dilara yang rapi berubah berantakan. Hamish dan Dilara mengeluarkan semua barang takut sertifikat rumah yang sedang mereka cari terselip di antara tumpukan barang besar."Gak ada, kan? Sudah aku bilang, rumah ini sudah di beli sama bos ku. Dan bos ku mau, malam ini juga kalian mengosongkan bangunan miliknya." Erik bersandar di pintu, tersenyum puas melihat kepanikan Hamish dan wajah sedih Dilara."Ta —tapi saya gak pernah menjual panti ini, Pak! Gak mungkin panti ini jadi milik orang lain.