Share

Padawan

Brak!

Kanvas bergetar kembali.

Petarung sudut biru berhasil merobohkan lawannya dengan teknik Brazilian Jiu-jitsu yang solid, menindihnya dalam kondisi Ground and Pound.

Penonton kembali meledak.

Petarung sudut merah yang lebih kurus mati-matian melindungi kepalanya dari hujan pukulan yang mendera. Beberapa kali upayanya untuk lepas meloloskan diri tidak membuahkan hasil.

Sorak sorai kian membahana. Wasit mendekat.

Keduanya memang sudah beberapa kali terbanting lalu saling kunci pada menit ketiga, saling hantam siku, berusaha saling menyudahi perlawanan rival-nya.

Kedua kru masing-masing petarung makin lantang jua menyeru-nyeru memberi arahan dari sudut mereka.

Wira menikmati jalannya ini pertarungan dari bangku lipat yang tidak jauh letaknya dari gelanggang. Tepat di belakang sepasang Ring Girl berpakaian seksi yang tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing.

Ia menikmati sensasi menghilang di tengah lautan manusia seperti ini. Hiruk-pikuk yang sudah dikenalnya bertahun-tahun. Ia bisa tenggelam dalam sorak sorai penonton yang makin liar melonjak acap kali serangan telak bersarang dari salah satu jagoan mereka.

Sayangnya, kali ini Wira bukan kemari untuk menjejak kanvas gelanggang. Sedari tadi ia sekedar menghabiskan waktu, menanti seseorang. Seseorang yang mengusiknya semenjak beberapa hari terakhir.

Pesan beruntun kembali masuk di W******p-nya, masih dari nomor tidak terdaftar yang sama yang sejak pagi mengiriminya pesan. Kali ini sang pengirim turut menyisipkan sebuah foto, serta tautan lokasi. Ia berada pada lahan parkir tidak jauh dari lokasi Wira berada.

I’ll be there in a minutes.

Belum sempat ia mematikan layar, pesan w******p lainnya kembali masuk. Dari jendela notifikasi, ia tahu pengirimnya Vina.

Haish. Mau apalagi yang diributkan selarut ini? Wira membatin.

[ Besok ada meeting internal dengan Pak Hadi, jam 9 pagi. Tolong persiapkan data dari campaign kita tahun… bla bla bla]

Wira menggulir habis sekilas seluruh pesan dan memahami bahwa inti dari pesannya adalah, ia diminta menyiapkan model kampanye marketing dari beberapa tahun belakangan.

Kampanye yang ia sendiri buat sewaktu menjabat, Vina dan Dimas bermaksud mencontohnya. Hanya saja bahasa Vina yang diperhalus, tetapi intinya sama. Dimas itu ular, dan Wira paham jika ini hanya salah satu trik-nya mencari muka.

Wira mengirim balasan dan menyelipkan ponselnya ke ransel, sebelum beranjak pergi ia mencolek salah satu Ring Girl dengan rambut lurus berwarna pink yang tengah sibuk berkaca pada layar ponselnya, merapikan gincu bibir.

“Audrey, titip Tas ya, nggak lama kok.” Wira menunjuk pada ransel yang diselipkannya di kolong bangku tempat si gadis duduk.

“Mau kemana, Kak?”

“Ada perlu sebentar.” Wira menjawab sekaligus minggat dari tempatnya, terlihat sembari menggulung lengan kemeja hingga siku. Bel usainya ronde pertama berdentang ketika ia keluar ruangan.

Ia menyusuri koridor remang yang lengang dari keberadaan manusia, kecuali beberapa pria dan wanita yang tengah bermesraan. Sepertinya Toilet sedang penuh. Akhir lain dari koridor ini adalah sebuah ruangan Klab Malam yang penuh berdesakan oleh pengunjung.

Alina, Pole Dancer paling mahsyur di klab malam itu, sedang giliran manggung malam ini. Tidak terbilang bagaimana menggilanya kawanan ramai kaum adam yang hadir mengerubuti salah satu sudut dengan panggung mini dan sebuah tiang.

Bau menyengat minuman keras bercampur dengan peluh kumpulan manusia terjebak bersama dentuman pengeras suara yang mengepung. Wira memutuskan untuk enyah dari kebisingan ini dengan keluar melalui pintu darurat.

Lapangan parkir yang ditujunya terletak antara Gedung Klab Malam dan Spa & Karaoke, bertingkat empat, karena memang berbagi lahan. Namun, malam ini tidak sepenuh biasanya, tingkat paling atas justru kosong malahan.

Dan di sanalah, orang yang hendak ditemuinya menanti.

***

Lelaki itu segera mematikan rokoknya sewaktu mendapati kedatangan Wira, bangkit dari atas kap mesin satu-satunya sedan yang sejak tadi diduduki di tengah lahan parkir. Meregangkang bahunya.

Perawakannya tinggi kekar, jauh lebih tinggi dari Wira, sekitar 190 cm kurang lebih jika ditaksir. Tubuh yang seperti gunung itu terbalut Longcoat motif bulu yang modis, menyetarakan dengan pakaiannya yang juga mahal.

Ia lebih mirip seorang model yang akan melenggan di Paris Fashion Week, ketimbang orang yang hendak mengajaknya bertarung.

Ya! Selama beberapa hari terakhir, pemilik nomor tak dikenal ini kerap meneror Wira untuk sebuah ajakan berduel. Duel hidup dan mati.

Bayangkan saja absurd-nya, seorang pekerja kantoran biasa yang sehari-hari berkutat dengan kertas dan laporan, pada suatu siang mendapat tantangan duel hidup dan mati dari orang tak dikenal. Di antara notifikas grup W******p kerjaan dan pesanan makanan via Ojol.

Tapi demikianlah takdir Wira, atau lebih tepatnya, takdir yang terwariskan dari mendiang gurunya kepada Wira. Warisan yang telah lama berusaha ia kesampingkan dengan harapan untuk bisa hidup normal.

Dan tidak selamanya seseorang bisa mengingkari takdir, dan inilah definisi normalitas baginya.

***

Dalam pada itu, Wira mendekat dengan kehati-hatian, berhenti beberapa puluh meter dari tempat sedan itu terparkir. Matanya awas menyapu sekeliling, mencari keberadaan orang lain selain mereka berdua.

Dalam banyak aspek, keduanya berada dalam spektrum yang berseberangan. Sementara lawannya terlihat menjulang dan modis bak tokoh dalam novel romansa, penampilan Wira tak lebih sekedar karyawan kantoran lembur hingga larut.

Bahkan dalam situasi begini benaknya sempat bergurau dan menghitung, butuh berapa tahun gajinya untuk sekedar menebus mantel bulu yang mewah itu.

“Kau tahu, butuh waktu belasan tahun bagiku untuk melacak keberadaanmu.” Ucap si bongsor, membuka pembicaraan. Ia sejenak menilik Wira dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Lelaki berperawakan tegas dengan hidung mancung sedikit bengkok, mata biru, dan kulit cerah itu berbicara fasih dalam Bahasa Inggris. Cukup fasih meski masih kental dengan logat Turki yang menyertai.

“Beruntung, atau mungkin memang takdir, aku punya kenalan lama di Reuters. Dan dia memiliki foto pedang yang biasa kau gunakan ketika dipamerkan di Jepang dulu, sekitar 1985-86 kurang lebih. Kau ingat?” lanjutnya.

“Oh, begitu?” jawab Wira yang masih tidak fokus, juga dalam Bahasa Inggris.

“Kau tahu, klab malam di sebelah sedang ada Female DJ yang cukup populer. Kita bisa mengobrolkan ini sambil minum, cari kenalan cewek, atau cowok misalnya itu seleramu, tak masalah. Ketimbang bertemu di parkiran dini hari begini layaknya bandar sabu amatiran.” Imbuhnya.

“Ternyata kau tipikal yang lebih suka bicara langsung ketimbang membalas pesan, siapa sangka. Percaya diri. Tidak buruk.”

“Tidak, Erdogan. Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan.” jawab Wira singkat. “Dan maaf aku tidak membalas pesanmu, bosku seharian rewel tadi.”

“Pendusta!” si Turki menghardik.

Sepasang Khopesh keemasan, pedang bilah melengkung berbentuk sabit dari Mesir, bermateralisasi pada kedua genggamannya. Mobil yang semula ia duduki dikaitnya dengan salah satu pedang, lalu dilontarkan ke arah Wira.

Ah, shit. Here we go again? Batin Wira mengumpat.

Wira dipaksa untuk melenting dari tempatnya, bersalto di udara demi menyelamatkan diri.

Sedan yang terlempar tadi berderit menggusur lahan, berguling liar beberapa putaran, sebelum berujung ringsek menghajar pembatas parkiran ketika Wira mendaratkan kakinya.

“Aku tahu kau sudah sering berpindah-pindah selama seabad terakhir, kau gunakan banyak nama, hidup sebagai sebagai orang lain. Namun, kau tidak bisa melarikan diri selamanya, Aryo Yuda Iskandar!” si Turki mengacungkan Khopesh-nya.

“Aku, Erhan Sumer, dengan ini menggunakan hak untuk menantangmu dalam duel. Sehingga di penghujung akhir, hanya satu orang yang berhak layak.” lanjutnya.

Erhan yang menjulang layaknya beruang besar itu memasang kuda-kuda dengan kedua Khopesh-nya. Posturnya sigap dan sorot matanya siap.

“Biar kuulangi seandainya belum jelas. Aku bukan Aryo Yuda Iskandar.” tutur Wira.

“Aku bukan makhluk kekal seperti kalian, atau guruku. Aku bahkan kelahiran tahun 90-an, aku seorang Millenial.” Wira menjelaskan dengan tenang, sembari membetulkan gulungan kemejanya. Erhan justru nampak terkejut.

“Tidak mungkin. Guru?”

“Kedengaran gila bukan? Aku ini sekedar Padawan-nya,”

“Apa?” Erhan makin sulit mempercayai pendengarannya.

“Itu lho, yang di Star Wars.”

“Aku tahu apa itu Star Wars! Tapi ini tidak mungkin, seorang Aeternum tidak pernah mengangkat murid karena artinya…”

“Aku tahu ini tak lazim sebetulnya, tapi aku tidak berbohong,” timpal Wira. “Aku tidak terlahir sebagai Aeternum. Aku hanya seorang pewaris.”

“Jadi kau bukan…Aeternum?” Erhan tampak mencerna kata-katanya sendiri.

“Bukan. Null. Zip. Nada! Jadi bagaimana kalau perkara duel abadi ini kita sudahi saja sekarang?” kata Wira.

Erhan nampak berpikir sejenak, sebelumnya akhirnya kembali menatap tajam pada Wira, memutar sepasang Khopeshnya. Udara membisikan bunyi yang khas acap kali bilah bulan sabit besar itu membelahnya.

“Kau sedang berkilah bukan?” tukasnya.

“Apa aku sedang terlihat bercanda...?” Wira terlihat memutar bola matanya, “Ini hampir dini hari, aku tidak kepingin bercanda, atau berduel pedang di lapangan parkir, aku kepingin tidur!”

“Sudah berapa lama Yuda meninggal?” tanya Erhan.

“Sepuluh tahun, lebih kurang.”

“Sekalipun kau bukan seorang Aeter, atau belum, kau mewarisinya. Jadi tantangan ini masih berlaku, dan kau harus menerimanya demi menghormati warisan gurumu.”

“Aku sudah duga kau akan berkata demikian.” jawab Wira, putus asa.

“Pilihanmu cuma bertarung demi menghormati mendiang Yuda, atau menyerahkan nyawamu sehingga aku yang akan memiliki segala yang gurumu pernah miliki.” Erhan kembali bersiap dengan kuda-kudanya.

Wira mengerti jika tidak ada jalan keluar lain kecuali meladeni, kendati ia telah berupaya untuk membujuk. Satu perkara soal Aeternum, selain umur panjang mereka yang dimulai ketika usia 33 tahun, adalah mereka cenderung menyelesaikan segalanya dengan duel.

Lumayan goblok pikirnya, untuk ukuran manusia yang hidup dengan umur panjang dan mestinya belajar banyak kebijaksanaan. Tetapi bijak dan umur memang tidak selalu linear. 

Dan kini dirinya pun tengah ikutan goblok.

Alasan lain mungkin juga berhubungan dengan fakta jika seandainya mereka memenangi duel, segala pengetahuan dan kekuatan si pecundang akan berpindah pada si pemenang.

“Sayangnya, aku ada janji rapat besok pagi dan bosku galak, sehingga mati malam ini bukanlah pilihan yang menarik.” Wira bergeser perlahan sehingga keduanya akan memiliki cukup ruang di antara mereka.

“Dan dia lebih menyebalkan ketimbang dirimu serta sepasang Khopesh itu, jujur saja, dan tolong jangan tersinggung.” Imbuhnya.

“Selain itu. Aku juga sudah membuat janji lainnya yang jauh lebih besar bertahun-tahu lalu.” pungkas Wira.

Wira merentangkan tangan kanannya, dari udara hampa muncul sebilah Katana -pedang lengkung khas Jepang- bersarung eboni mengkilat dengan bebat di gagang berwarna sama, dalam genggamannya.

“Jadi sudah barang tentu, aku tidak akan mengingkari begitu saja.” Wira memindahtangankan pedangnya ke kiri, lalu dihunusnya keluar serangka.

Ada dengung khas yang hadir manakala pedang milik Wira terayun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status