Wira membaur dengan keramaian yang berduyun-duyun keluar meninggalkan Klab dan Gelanggang, bergabung dengan pengunjung Karaoke di sekitar mereka dengan dipandu oleh Sekuriti bermodal senter dan lampu LED darurat. Jalanan di hadapan mereka gelap gulita.
Lampu lalu-lintas dan penerangan juga padam.
Sirine mulai terdengar dari sayup-sayup dari kejauhan. Dalam sekejap, ratusan orang terdampar di sudut metropolitan sebesar Jakarta di tengah gelap gulita. Puluhan dari mereka gagal menyalakan motor dan mobil yang terparkir, terutama tipe terbaru dengan dukungan komputasi.
Mereka yang tidak mampu mengganti kendaraan dengan keluaran terbaru justru yang tergolong beruntung. Mereka lebih dulu meninggalkan lokasi sementara ratusan yang lain kebingungan. Tapi, bukan itu yang utama dalam benak Wira.
Ia seperti halnya yang lain, bermaksud untuk segera meninggalkan tempat ini, tetapi yang pertama ia perlu menjemput ranselnya dulu. Untuk sesaat ia berusaha mencari keberadaan Audrey di kerumunan panitia kegiatan MMA rutin malam ini.
Hasilnya nihil. Bisa saja gadis itu sudah pergi menumpang salah satu rekannya, pikir Wira. Masuk akal juga. Jadi yang perlu dilakukannya kini memastikan apakah Audrey meninggalkan ranselnya di ruangan gelanggang atau tidak.
Dan ia perlu menyegerakan hal itu. Kepalanya mulai nanar, luka menganga di lengannya mulai rewel, mata Khopesh yang mengirisnya pasti dilumuri semacam racun. Tubuhnya tengah beradaptasi pasca mengalami ‘Peralunan’ tadi, sehingga regenerasinya lambat.
Wira berusaha untuk melawan arus keluar manusia dari dalam Klab meski hal itu sangat sulit dilakukan tanpa memaksa dan berpotensi melukai mereka. Akhirnya dia yang mengalah dan minggir, pada saat itu lah ujung kemejanya ditarik oleh seseorang.
Seorang perempuan berbalut jaket Vasity dan rambut pink lurus.
“Kak Wira!” panggil Audrey. “Ngapain masuk ke dalam lagi?”
“Oh. Audrey, syukurlah. Lo nggak apa-apa kan?” tanya Wira.
“Tenang aja kali, dikira gue anak kecil? Lo pasti nyariin ransel kan? Ada sama gue kok nih.” Audrey menunjukan ransel Wira yang menggantung di punggungnya.
“Makasih ya,” ujar Wira, seraya mengulurkan tangan kanannya. Meminta ranselnya kembali.
Audrey menyerahkan ransel itu kembali, disitulah ia sekilas menemukan bercak darah di sela-sela jemari Wira. “Itu berdarah kenapa, Kak!”
“Kegores kaca yang pecah tadi waktu gue keluar. Tahu-tahu rontok gitu ‘kan, sempet ngelak, tapi masih kena.” Wira berkilah perihal lukanya.
“Ya sudah, kita cari tempat dulu kek. Dimana gitu, bersihin lukanya.”
“Okay. Tapi gue nebeng mobil lo ya?” pinta Wira.
“Boleh. Yuk buruan,” ajak Audrey yang terlihat cemas.
***
Tak lama berselang, sedan keluaran tahun 2010 itu merayap keluar dari parkiran Klab, menyusuri jalanan yang temaram. Audrey menyetir dengan hati-hati karena jalanan yang gelap, dan langit juga sedang sama gelapnya mendekati penghujung bulan. Wira terduduk lemas di bangku depan.
Sementara Audrey menyetir, Wira mengurusi tiga baris lukanya yang beracun itu. Di bawah temaram lampu, ia merobek lengan kemejanya yang koyak.
“Lo beneran nggak apa-apa, Kak? Kemeja lo juga robek begitu bagian di pinggang soalnya,” tanya Audrey yang keheranan.
Wira tidak segera menjawab. Ia justru membongkar ranselnya, mengeluarkan sekantong kapas dan botol alkohol kecil yang dibeli di Pasar Jatinegara tadi sore.
“Tolong matiin dulu aja AC-nya. Gue mau buka jendela dulu,” pinta Wira. Audrey menuruti tanpa lanjut bertanya.
Dengan cermat, Wira membersihkan lukanya serapih mungkin, berusaha supaya tidak meninggalkan jejak bau alkohol yang menyengat di jok mobil. Setelah lukanya dirasa bersih, dibebatnya sendiri dengan kain kasa streril. Audrey sesekali melirik dari ekor matanya dari balik kemudi.
“Kita cari Rumah Sakit deh, atau Klinik yang 24 Jam. Khawatir gue lihat luka lo itu,” cetus Audrey.
“Jangan!” sergah Wira.
Audrey tersentak. Wajahnya terlihat penuh tanya.
“Tolong jangan. Anterin gue pulang ke kosan aja,” pinta Wira, dengan yang lebih kalem.
Giliran Audrey yang tidak segera menjawab, kelihatan kalau benaknya menerawang penuh selidik.
Sedangkan Wira kini sudah membereskan sampah bekasnya merawat luka. Terakhir, ia meraih botor air mineral dan menenggaknya habis. Kemudian menyusul dihabiskan pula Tumbler-nya yang terisi air kelapa.
Setelahnya ia terhenyak ke sandaran kursi, berusaha menyesap madu sachetan sedangkan jemarinya mulai bergetar.
Audrey berusaha tidak memperdulikan kelakuan penumpangnya yang ganjil ini. Wira kini meraih sebuah kotak dari dalam ranselnya, dan ketika dibuka, ia lihat ponselnya masih menyala dengan baterai tersisa 40 persen.
“Gue laper nih, mau mampir beli Nasi Goreng, Kak. Lo mau juga nggak?” tanya Audrey kemudian, berusaha tidak terlihat canggung.
Walaupun matanya justru mengawasi Wira yang makin kelihatan pucat dan bermandi keringat, serta tangannya yang gemetaran setengah mati berusaha memijit nomor di keypad. Sedangkan di tangan yang lain, tergenggam sebuah botol kaca mungil.
Wira sekedar menggelengkan kepala terhadap tawaran Audrey, ia merasa tubuhnya mulai protes dan minta beristirahat, setengah mati berjuang mengetik nomor di ponselnya sebelum otaknya padam.
Ia tekan tombol panggilan segera setelah nomornya lengkap. Nada dering menyambut ketika panggilan disambungkan. Wira berusaha menjaga kesadarannya tetap utuh selama menunggu, menyoroti pemandangan sekitar yang berlarian melewati mereka.
“Audrey, kalau misalnya gue ketiduran nanti. Jangan panik ya, gue nggak apa-apa, efek obat ini doang.” Wira menujukan botol kaca mungil ditangannya.
“Ketiduran, maksud lo pingsan? Ah gila lo nih! Gue belok ke Rumah Sakit aja deh!” hardik Audrey.
Ia bermaksud tancap gas ke Rumah Sakit terdekat akan tetapi tangannya membeku di tuas perseneling.
Wira mencegahnya, tangannya menimpali jemari Audrey, gadis itu terlihat kian kebingungan. Wira menatapnya dengan sungguh-sungguh, berharap kali ini Audrey mau bekerja sama.
“Please! Biarin gue tidur beberapa jenak aja, di mobil ini juga nggak apa. Bangunkan kalau sudah sampai di kosan ya, sesudahnya gue pasti segar lagi kok, percaya deh.”
Audrey terbata-bata berniat membuka mulutnya untuk menjawab, pada saat itu panggilan telepon Wira tersambung di pengeras suara. Seorang perempuan muda terdengar menyapa dalam Bahasa Jepang.
“Mishima Estate_”
Wira segera menekan beberapa tombol di keypad-nya dan panggilan kembali teralihkan. Tidak lama, panggilan tersambung dengan suara berat seorang lelaki di seberang.
“Hisashiburi ni_”
“Watari, aku perlu bantuan!” potong Wira sekonyong-konyong.
Audrey kembali melirik, masih dengan tatapan menyelidik.
Gadis berambut pink itu kemudian pasrah, mengamati dengan seksama penumpangnya yang kini bercakap dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dipahaminya. Mobil yang mereka kendarai telah memasuki bagian kota Jakarta Pusat yang tidak padam.
Barisan tiang lampu berkejaran di sekeliling mereka seperti mengajak berlomba. Sejenak kemudian Audrey menyadari jika percakapan Wira sudah usai, layar ponselnya sudah gelap, ponselnya bahkan merosot ke lantai sedang pemiliknya terkulai memejam.
Botol kaca mungil itu sudah terbuka dan kosong isinya.
Ia tentu mengingat permintaan Wira untuk membiarkannya tertidur pulas begitu saja. Meskipun demikian, tetap saja itu terdengar janggal. Mana mungkin pula ia tega membiarkan penumpangnya itu tertidur semalaman di mobil dalam keadaan sakit.
Setelah dilihatnya Wira kini terkulai dan tidak bersuara lagi, Audrey sigap memindahkan gigi mobilnya dan menjejak pedal gas. Sedan lawas itu meraung menuju pusat kota.
“Ngerepotin aja deh lo ini, Kak,” gerutunya.
‘Dan kenapa juga gue mau direpotin begini sih?’ tanya benaknya.
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta, 14 Jam sebelum pertarungan.“Kami sebetulnya tidak terlalu tahu perihal siapa yang mengontrak kami. Ujian ini utamanya dimaksudkan kepada Michio, para tetua kami yang mengatur.”Gadis di hadapannya itu menuturkan. “Saya juga tidak pernah mendengar perihal Aeternum. Ini kali pertama malahan.”“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.“Kenapa?” Wira mengejar.“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Michio menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir bayangan pikiran yang sontak muncul, pandangannya terbelah membayang.Jantungnya bergedup kencang, tubuhnya mulai mengeluh, berusaha ia secepatnya menguasai diri. Ini gawat pikir Michio. Mentalnya tidak boleh ikut-ikutan bersimpati dengan tubuh. Bisa-bisa ia menyerah dini.Untung saja, pasca pertarungan mereka tempo hari, Michio datang dengan persiapan lebih. Termasuk untuk keadaan genting seperti sekarang.Sigap. Ia melemparkan kelerengnya ke sekeliling. Membentuk tirai asap yang membutakan, ini tidak akan menghentikan lawannya, hanya saja cukup memberinya jeda.Lalu dicabutnya botol mungil dari balik sabuk perlengkapannya. Diselipkan botol tadi ke dalam alat penyuntik yang dicabut dari sisi sabuk yang lain, dan disuntikan ke dirinya sendiri.Reaksi obatnya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan efeknya paling tidak 15 menit. 15 menit sekiranya cukup untuk upaya pamungkan memenangi pertarung
Tirai plastik yang memisah mereka lumat. Kerikil dan debu terhempas. Michio mencelat tersambar torehan biru yang menderakan sengatan listrik pada setiap jengkal tubuhnya. Pandangannya berputar, sebelum terjerembab menubruk tanah. Lempeng pelindungnya rontok tercerai berai, kawat penjalin ruasnya hangus berasap. Sekalipun ia tahu ada orang-orang yang mampu memanipusi alam dengan cara tertentu, seperti Ninjutsu milik Oichi dengan apinya. Ia tidak menduga kalau lawannya ini bisa melepaskan petir melalui pedangnya dengan tanaga badak seolah asli dicomot dari awan mendung. Telinganya berdenging. Cairan tubuhnya berupaya meloncat keluar melalui batang tenggorokan serta hidung yang terbekap topeng. Di puncak segala hal tadi, Michio kini mengalami fenomena yang konon terjadi ketiga manusia meregang nyawa, selaksa peristiwa hidup melintas di kepala. Bagi Michio, potongan yang hadir adalah potret ketika ia masih berusia 7 tahun. Permukaan tatami meruam kaki kec