“Kira-kira dua belas tahun yang lalu, waktu kamu masih berumur dua bulan, seseorang mengambil kamu dari Box bayi di kamar saat mama sedang ke dapur membuatkan susu untukmu.” Mama mulai bercerita.
“Saat kejadian itu, papa kamu sedang berada di luar kota. Karena panik, Mama menelepon papa, dan meminta papa untuk pulang.” Raut wajah mama seketika berubah muram, dielusnya punggung tanganku berulang kali dengan tangan yang mulai gemetar.
“Papa pulang dengan pesawat tercepat, tapi saat dalam perjalanan dari bandara ke rumah, hiks ..!” mama tak mampu meneruskan ceritanya. Beliau terisak.
Nenek menggeser posisi duduk di samping mama. Serta merta memeluk menantu tertuanya itu. “Sudah! Tidak usah diteruskan jika kamu belum kuat untuk bercerita.” Nenek menasihati mama, yang langsung kuiyakan. Begitu juga dengan Pak Lukman.
“Biar saya yang memberitahu tuan muda, Nyonya!” pria yang sejak tadi lebih banyak diam itu, mengutarakan niatnya. Lagi, langsung kuiyakan. Aku tak tega melihat Mama menangis seperti itu.
“Baiklah! Maafkan Mama karena belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Walaupun, telah lebih dari dua belas tahun.” Mama mengusap air matanya, lalu bertanya tentang kehidupanku untuk mengalihkan pembicaraan.
“Ah, ya! Bagaimana keadaan kamu selama ini, Nak? Apa kamu baik-baik saja? Apa orang tua angkatmu menyayangimu?” Mama mencecarku dengan banyak pertanyaan, hingga membuatku merasa geli.
“Satu-satu, Ma! Leon jadi bingung mau jawab yang mana dulu.” Aku terkekeh.
“Ya! Dijawab aja, semuanya!” Mama ngotot, tapi dengan wajah tersenyum.
Aku pun bercerita tentang kehidupanku bersama Ibu. Bagaimana keseharian, juga sekolahku. Tentunya aku melewatkan cerita tentang perkelahian juga hinaan yang kuperolehi tiap hari.
“Kasihan sekali nasibmu, Nak!” dielusnya pucuk kepalaku. “Untunglah, kamu di besarkan oleh orang baik seperti almarhumah mbak Rahmi. Hingga kamu sekarang tumbuh menjadi anak yang baik dan tegar.” Mama mengucapkan itu dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan saya Nyonya Nadia, jika saya butuh waktu lama untuk menemukan Tuan muda Leon.” Pak Lukman membungkuk hormat, yang di balas senyuman oleh ibu. Tangan beliau terulur meraih tangan Pak Lukman.
“Terima kasih, karena sudah menemukannya untukku. Terima kasih Lukman!” ucap Ibu masih dengan mata berkaca-kaca.
Pak Lukman menggenggam tangan ibu dengan kedua telapak tangannya,” Sudah menjadi tugas saya Nyonya, saya sudah berjanji pada Tuan Aditya untuk menjaga Nyonya dan keluarga, apapun yang terjadi.” Lanjutnya.
“Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya, Pak Lukman? Ah, tidak! Aku tidak suka memanggilmu dengan sebutan Bapak. Mulai sekarang, aku akan memanggil Paman.” Sudut bibir tertarik di kedua sisi, membentuk lengkung setengah lingkaran, membuat lengkung lain juga tercipta di masing-masing wajah di ruangan ini. Kami tersenyum lebar.
“Saya sangat tersanjung, Tuan muda!” Paman Lukman membungkuk masih dengan senyumnya yang khas.
“Saya sudah memanggil Anda dengan sebutan Paman, tetapi saya masih tetap di panggil dengan sebutan tuan muda, huft!” aku merengut.
“Ma, apa menurut Mama, seorang Paman pantas memanggil keponakannya dengan sebutan tuan muda?” aku menoleh ke arah mama, memberi kode dengan kerlingan mata, membuat mama seketika tertawa. Matanya langsung hilang, saat bibirnya tertarik sempurna. Sangat cantik.
“Panggil saja dia dengan namanya Lukman. Aku juga lebih senang mendapatkan seorang saudara, alih-alih orang kepercayaan,” ucap mama kemudian, yang diamini oleh nenek. Paman Lukman berkali-kali membungkuk sebagai rasa hormat.
“Sudah Paman, nanti encoknya kumat.” Lalu semua tertawa.
Hari itu kami menghabiskan waktu saling mengenal satu sama lain. Berbagi cerita, juga makan bersama. Kami juga sempat jalan-jalan sebentar sebelum mengantar mama kembali ke Rumah Sakit, dan pulang.
“Paman masih berhutang cerita padaku,” ucapku sesaat sebelum melangkah keluar dari mobil. Kami memang sudah sampai di kediaman Hutomo.
“Akan saya ingat, di saat yang tepat,” sahutnya. Kemudian melajukan kembali mobil BMW hitam itu, setelah aku menutup pintunya. Kugandeng tangan nenek masuk ke dalam rumah.
***
Aku masih enggan membuka mata, saat Bik Munah masuk ke kamar dan berusaha menarik selimut yang menutupi tubuh.
“Tuan, Pak Lukman sudah menunggu Anda di bawah. Anda diminta segera turun.” Sambil berkata seperti itu, tangan wanita berusia senja itu, masih saja berusaha menarik selimut yang sekarang sedang berusaha kupertahankan.
“Tuan Leon harus bangun. Karena hari ini Tuan harus pergi ke sekolah lama Tuan, di kampung. Bukannya seminggu lagi UN?” Bik Munah terus saja berceloteh, sementara tangannya sibuk membuka tirai dan melipat selimut yang berhasil di ambil alih olehnya secara paksa. Mendengar kata sekolah, aku langsung melompat bangun. Bukan karena teringat akan UN, tapi karena seraut wajah yang tiba-tiba muncul di pikiran.
Ah, apa kabar dirimu?
Hanya butuh waktu lima belas menit, aku sudah turun ke bawah dan mendapati Paman Lukman sedang sarapan bersama nenek. Beliau lalu melambaikan tangan sebagai isyarat agar aku bergabung bersama mereka.
Sepiring nasi goreng, lengkap dengan telur mata sapi juga segelas jus jeruk, mengawali pagi hari ini. Kami makan dalam diam. Hanya sesekali nenek mengingatkan Pak Lukman untuk melakukan beberapa tugas. Setengah jam kemudian, kami sudah berada diperjalanan menuju kampung, tempatku dibesarkan.
Kami sampai di sekolah saat jam pelajaran sudah berlangsung, jadi aku tidak perlu merasa canggung saat turun dari mobil Paman Lukman.
Kepala Sekolah menyambut kami dengan antusias di ruangannya. Senyum ramah tak pernah lepas dari wajah yang dahulu selalu terlihat kesal saat melihat diriku. Dijabatnya tangan Paman Lukman dan aku bergantian, dengan sedikit membungkuk. Aku hampir saja tertawa melihat sikap yang sangat bertolak belakang dengan kebiasaannya dulu.
Ternyata uang sangat berkuasa. Aku bersenandika, sambil tersenyum penuh arti.
Kepala Sekolah tampak sedikit grogi, saat melihat aku senyum-senyum memperhatikannya. Paman Lukman yang menyadari hal itu, segera saja meminta agar aku menunggunya di kantin karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan berdua saja dengan Kepala Sekolah, alasannya. Aku mengangguk, lalu keluar dari ruangan itu, setelah sebelumnya melemparkan senyum licik untuk mengintimidasi si Kepala Sekolah. Dia kelihatan sedikit pucat. Aku menutup pintu dan tersenyum penuh kemenangan. Langkah kaki terasa ringan, dengan penuh percaya diri aku menuju kantin.
“Tahu isi masih ada, Bik?” Kuulurkan kepala, sedikit melongok ke dalam seteleng si bibi kantin, membuat wanita paruh baya yang masih betah melajang itu terlonjak kaget dan hampir memukul kepalaku dengan sendok goreng yang ada di tangannya.
“Astaghfirullah! Ini anak, kagak ada sopan-sopannya sama orang tua. Ya Allah! Ucil! Masih idup lu tong?” si bibi meletakkan sendok di tangan dan buru-buru menghampiri saat melihat wajahku muncul di hadapannya. Lalu sebuah pelukan kuterima. Di tepuk-tepuknya punggung dan pundakku, sampai aku meringis kesakitan.
“Aduh, Bik ... Sakit!” aku mengaduh, tapi malah mendapat pukulan lebih banyak dan sebuah pelukan, lagi!
“Bibi kangen! Bibi kira gak bakalan ketemu Ucil lagi!” Si Bibi sudah menangis tersedu.
“Kangen, gak ada yang bantuin di kantin lagi, maksudnya?” Kunaikkan sebelah alis, dengan bibir di monyong-monyongkan ke depan.
Pletak!
“Auh, Bik! Sakit.” kuusap kepala yang baru saja mendapat toyoran dari si bibi.
“Makanya jangan bertingkah!” Si bibi sewot. Diangkatnya gorengan yang sudah matang dari kuali dan menaruhnya di dalam seteleng. Kuambil beberapa dan meletakkannya di piring kecil, lalu duduk di salah satu kursi. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Mengurai kembali kenangan yang masih segar di ingatan. Saat diriku setiap hari membantu pekerjaan pemilik kantin dan diberi upah sepuluh ribu.
Sedang asyik termenung, aku dikagetkan suara bel tanda jam istirahat yang nyaring berbunyi. Aku terkesiap dengan dada berdebar, menanti sebuah momen, di kantin ini.
Bersambung
Hay, readers ..
Lope you banyak2 .. makasih udah hadir, kalian sangat barharga
Sedang asyik termenung, aku dikagetkan suara bel tanda jam istirahat yang nyaring berbunyi. Aku terkesiap, dengan dada berdebar, menanti sebuah momen, di kantin ini. Tak sampai satu menit hingga suasana kantin menjadi ramai. Walaupun bukan kantin besar yang mewah, tapi kantin sekolah tetap menjadi tempat favorit siswa disaat jam istirahat. Aku menikmati gorengan dan segelas es teh dengan santai. Dari sudut mata, dapat kulihat pandangan menyelidik dari siswa yang berdatangan. Aku memang tidak memakai seragam sekolah. Tak berapa lama, orang yang kutunggu akhirnya memperlihatkan batang hidungnya. Segera aku bangkit dari duduk dan membayar gorengan yang tadi kupesan, tepat saat anak itu juga memilih makanan, aku menyela. Awalnya dia ingin membentak, tapi saat melihat siapa yang menyela, sikapnya langsung melunak. Sedikit gugup dia memberi ruang padaku dengan bergeser ke samping. Aku tersenyum sinis. Setelah menerima ke
Aku lulus dengan nilai baik tapi tidak memuaskan. Seharian semangatku hilang dan hanya uring-uringan di kamar. Bik Munah datang dan meminta agar aku menemui Nenek dan Paman di bawah.“Ada apa, Nek?” kuhempaskan tubuh ke sofa dengan wajah ditekuk. Bibir Paman sedikit tertarik ke atas hingga membentuk lengkung samar saat melihat wajah masamku.“Wajahmu, kenapa?” Gantian, Paman yang bertanya padaku sebelum nenek menjawab apa yang baru saja kutanyakan. Kulirik Paman dengan ekor mata, melipat tangan di depan dada lalu mendengkus kasar.“Bosan!” jawabku. Yang langsung disambut gelak tawa mereka berdua.“Kenapa gak main ke kompleks belakang rumah? Atau ke Mal, atau mau nenek belikan PS buat main game? Kamu mau apa, bilang saja.” Nenek meletakkan kertas-kertas yang tadi bertumpuk di pangkuannya ke atas meja lalu bergeser lebih dekat. Mengelus pucuk kepala dan mencium dari samping.“Hum, sebenarnya Leon kepingin komputer, atau
“Perkenalkan, nama saya Bagas Hutomo. Putra pemilik Grup Hutomo.” Serunya lantang membuatku ingin muntah. Jadi ini, anaknya tante Soraya? Persis Ibunya! Aku bersenandika. Semua anak bertepuk tangan, kecuali aku. “Hey! Kamu gak dengar, Kak Bagas memperkenalkan dirinya,” seru salah satu kakak kelas cewek yang penampilannya mirip ondel-ondel. “Dengar!” sahutku acuh. “Kenapa diam saja?” tanyanya, lagi. “Trus gua harus bilang WOW! Gitu?” ucapku menirukan salah satu iklan televisi, membuat yang lain tertawa. Namun tidak demikian halnya dengan Bagas. Wajahnya seketika merah padam, dengan wajah ditekuk dia melangkah kearahku. “Kamu jangan berlagak hebat disini!” Dia menjulurkan tangan kearahku berusaha untuk mendorong, aku sedikit bergeser ke samping menyebabkan tangannya mendapati tempat kosong. Tubuhnya terhuyung ke depan, membuat semua orang kembali te
Aku sedang melahap semangkok bakso saat, tiba-tiba saja ada bola terbang yang hinggap tepat di atas meja, menyebabkan bakso yang masih panas itu berhamburan. Sebahagian mengenai baju, juga wajah. Ku seka wajah dengan tisu, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari asal bola kesasar tadi. Pandangan langsung tertumpu pada Bagas dan gengnya yang terbahak-bahak melihat keadaanku. “Kau cari mati, rupanya!” desisku tajam. Sambil berkata begitu, bola yang sejak tadi sudah ditangan, kulempar kembali ke arag Bagas. Telak! Mengenai kepalanya. Seketika semua terdiam. Aku melompat dan menerjang Bagas. Perkelahian pun terjadi. Sorak sorai anak-anak meramaikan perkelahian itu. Bukan perkelahian sebenarnya, tapi pembantaian! Aku menghajarnya, tanpa memberi kesempatan untuk membalas. Teman-temannya? Mereka hanya menonton, tanpa berani membantu. Huh! Teman macam apa itu! “Leon! Lagi-lagi kalian. Apa tidak bosan berkelahi te
“Leon, Mama mau bicara sesuatu!” seru mama saat aku hendak berangkat ke sekolah. Kuhampiri mama dan duduk disebelah beliau. “Iya, Ma!” ku masukkan sepotong besar roti dengan selai nenas kedalam mulut, setelah menyahuti perkataan mama. “Mama berharap, kali ini kamu tidak akan berbuat yang aneh-aneh lagi di sekolah! Kamu tau? Mama sangat malu dipanggil ke sekolah gara-gara, tingkah absurd mu itu.” Wanita bergaun merah maroon, yang tadi sibuk dengan laptop di hadapannya itu, seketika menghentikan aktifitas. Kali ini mata bermanik coklat itu menatap lurus ke arah ku. Kedua tangan di silangkan di depan dada. Aku berdebar. “Sebenarnya, Guru itu hanya melebih-lebihkan, Ma!” aku membela diri. Kulihat alisnya terangkat, dengan kening berkerut. “Iya! Bukannya, Bu Maria bertanya, satu kalimat yang paling kufahami selama belajar dengannya? Dan kujawab, I love you! Salahnya dimana, coba? Kan, memang benar
Bukan depan, aku Ulang tahun yang ke -17. Nenek sudah memberi perintah pada Paman Lukman, untuk membuat acara pesta, di sebuah hotel berbintang.Rencananya, nenek akan mengundang seluruh kolega dan partner bisnis Hutomo grup. Sekaligus memperkenalkan pewaris Hutomo grup secara resmi.“Apa itu harus dilakukan Nek?” aku duduk di sebelah nenek, memperhatikan wanita tua yang masih terlihat sangat sehat itu, sibuk memberikan pengarahan kepada Paman Lukman, tentang konsep acara yang diinginkannya.“Perlu! Tentu saja, itu sangat perlu dilakukan, Leon! Partner bisnis kita, dan juga para relasi, sudah saatnya, mengetahui siapa pewaris grup Hutomo yang sesungguhnya.” nenek berbicara dengan tegas, membuatku tak bisa berkata apa-apa. Mungkin ini memang perlu untuk dilakukan, jadi aku ikut saja.Kemudian mama datang, dan bergabung dengan kami. Menyerahkan selembar kertas yang sudah berisi
“Apa, Ibu bilang? aku tidak boleh ikut campur? Kenapa, aku tidak boleh ikut campur! aku juga menantu Ibu. Bagas itu juga cucu ibu. Kenapa ibu selalu pilih kasih kepada kami? Aku sudah muak! Aku sudah muak Ibu perlakukan seperti ini!”“Diamlah Soraya! atau Apal perlu aku mengungkap semua rahasiamu di sini?”Mendengar ucapan nenek, tante Soraya mendadak bungkam. Diketakkannya gelas yang berada di genggaman, ke atas meja, lalu berbalik, dan hendak melangkah pergi, saat Bagas mencekal pergelangan tangan ibunya.“Ibu, apa-apaan, sih! Kenapa ibu menentang nenek?” di hardiknya wanita yang telah melahirkannya itu, dan menyeretnya keluar.“Maaf, Nek! Saya mohon maaf, untuk semua yang ada di ruangan ini, karena ibu saya telah merusak acara penting ini. Saya mohon maaf, yang sebesar-besarnya!” Sebelum pergi, Bagas meminta maaf kepada nenek dan seluruh tamu undanga
“Sorry ya, baju lo jadi kotor!” kusodorkan saputangan untuk cewek itu, dan disambutnya dengan senyum. “Makasih, kak! Ini bukan salah kakak, kok. Aku yang pengen datang ke acara ini. Hehe.” Cewek itu, masih sempat tertawa, padahal sudah di sakiti. Aku jadi merasa semakin bersalah. “Maaf, tapi aku belum tau nama kamu.” Ya, ampun Leon! Lo jadi cowok kok bego amat, sih? Udah sampe kesini-sininya, baru mau ngajak kenalan! Dasar! Kugaruk tengkuk yang tak gatal, melihat cewek itu kembali tertawa. Sumpah! Gua jadi ngerasa kek badut. Aku nyengir kuda, mengulurkan tangan, dan berkata,” Hai, aku Leon!” tapi cewek itu malah semakin kuat tertawa. Aku membeku. “Udah, santai aja lagi, kak! Ah, iya! Namaku Hanna,” diulurkannya tangan, menyambut jabatan tanganku, yang menganggur sejak tadi. Dia kembali tersenyum. J