Setelah sarapan pagi ini, aku, nenek dan Pak Lukman berangkat ke Rumah Sakit. Untuk tes DNA kata nenek dan aku ikut saja. Lagi pula, aku tidak tahu apa itu tes DNA. Selagi menunggu hasil tes keluar, nenek cek up kesehatan atas permintaan Pak Lukman. Awalnya, nenek menolak tapi karena aku ikut mendesak akhirnya nenek luluh juga.
Hari mulai siang saat kami keluar dari Rumah sakit. Pak Lukman berinisiatif untuk makan siang terlebih dahulu, sebelum melanjutkan aktivitas. Sebuah rumah makan lesehan menjadi pilihan. Menu ikan gurami goreng, lalap, dan sambal terasi, lengkap dengan tahu dan tempe bacem, mampu mengingatkanku pada masa sulit ketika ibu masih hidup. “Kenapa, Leon? Kamu teringat rumah lamamu?” tanya nenek. Aku sedikit tersenyum, lalu menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa, kok Nek! Hanya teringat Almarhumah Ibu, beliau sangat suka ikan gurami goreng, seperti ini,” sahutku dengan mata mulai berkaca-kaca. “Banyak-banyak berdoa untuk beliau. Shalat yang rajin dan sering-sering kirimkan Al-Fatihah. Jika nanti kamu ada rezeki, bersedekahlah. Hanya itu yang bisa menolongnya.” Wanita yang kecantikannya di masa muda itu masih terlihat, mengelus punggung tanganku seraya memberi nasehat. Aku mengangguk, meresapi tiap kalimat yang beliau ucapkan. Selesai makan, kami ke Rumah Sakit lagi. Tapi kali ini berbeda, karena saat akan kemari nenek bilang ingin mengunjungi seseorang. Aku tak keberatan dan mengiyakan saja. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, akhirnya kami sampai ke tujuan. Sebuah bangunan besar dengan pagar tinggi di sekelilingnya. Aneh! Seorang petugas keamanan memeriksa kartu identitas kami sebelum membuka gerbang. Aku semakin heran. Sesampai di dalam, keningku berkerut membaca tulisan yang terpampang di pamflet besar di depan bangunan itu. ‘RUMAH SAKIT JIWA' Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “Kenapa kita kesini, Nek? Siapa yang ada disini?” ucapku pada nenek yang duduk tenang, tetapi dengan raut wajah muram. Sama seperti saat beliau bercerita tentang ayah. “Ibumu!” sahut nenek. Nada suaranya rendah dan dalam. Seakan ada sebongkah luka yang sedang berusaha dia sembunyikan. Aku yang mendengar jawaban nenek tersebut terkejut, sekaligus penasaran, kenapa ibu kandungku bisa berada di tempat mengerikan seperti ini. Apa yang terjadi pada ibu, Nek?” “Panjang ceritanya.” Saat nenek selesai berkata demikian, bertepatan dengan berhentinya laju mobil tepat di depan lobi Rumah Sakit. “Nah! Kita sudah sampai, ayo turun! Ibumu pasti senang bertemu denganmu.” Nenek kemudian turun dari mobil, terpaksa aku mengikutinya dan memendam rasa penasaran yang semakin menggunung. Kuikuti langkah nenek masuk ke dalam. Sementara Pak Lukman masih belum menampakkan batang hidungnya karena harus memarkir mobil terlebih dahulu. Begitu kami masuk, seorang wanita berseragam perawat langsung datang menghampiri. Kami dipersilahkan untuk menunggu. Beberapa saat kemudian Pak Lukman datang dan langsung menghampiri meja resepsionis. Berbicara sebentar dengan seorang wanita yang bertugas disana, lalu mengeluarkan sebuah kartu dari dalam saku jas, seperti kartu identitas. Setelah memeriksa, petugas tadi kemudian membuat satu panggilan telepon. Tak berapa lama, seorang perawat muncul dan menyapa kami. Perawat yang kuketahui bernama Susi itu lalu mengajak kami menuju sebuah ruangan. “Ibu Nadia, ada tamu untuk Anda.” Perawat itu berkata pada seseorang di dalam ruangan. Tak ada sahutan. Penasaran, aku melongok melalui kaca transparan yang ada di pintu. Tampak seorang wanita sedang duduk menghadap ke luar jendela di seberang tempat tidur, hingga yang terlihat hanya punggungnya saja. Debar aneh seketika muncul, hanya dengan melihat punggung wanita itu. Jantung memompa lebih cepat membuat mataku menghangat. Aku mematung. “Nadia, Mama datang menjengukmu bersama seseorang. Lihat! Siapa yang datang, Nak!” Nenek berbicara dengan lembut, tapi jelas suaranya terdengar bergetar. Perlahan wanita di dalam ruangan itu bergerak, membalikkan badan dengan wajah tertunduk. Tampak sebuah foto di dalam genggamannya. Kulihat dia menyeka wajah dengan ujung baju. Dia pasti sedang menangis. Ada rasa iba dan haru saat melihat wajahnya. Wajah itu, sama dengan wajah dalam foto yang pernah di berikan Pak Lukman padaku. Hanya saja terlihat lebih pucat dan kurus. Dia, ibuku! Setetes bening air telah lolos dari sudut mata, tapi tenggorokanku tiba-tiba menjadi kering. Nenek menepuk-nepuk bahuku dengan sebelah tangannya. Sementara tangan satu lagi sibuk menyeka pipi tuanya dengan sapu tangan. Ibu perlahan bangkit, dan melangkah perlahan menuju pintu. Melihat reaksi ibu yang tenang, perawat itu pun membuka pintu dengan kunci yang sejak tadi berada di genggamannya. “Maafkan kami Bu, kami harus memastikan terlebih dahulu bahwa pasien merasa aman dan tenang untuk di kunjungi,” ucapnya sopan. “Tidak apa-apa, kami mengerti!” sahut nenek sedikit tersenyum. Sekarang tak ada lagi sekat antara aku dan ibu. Beliau memandangiku dengan sorot mata menyelidik. Perlahan melangkah lebih dekat. Aku hanya bisa diam, mematung. Namun tak kupungkiri, ada haru yang menyeruak, membuncah di dalam dada. “Si -siapa?” Beliau memandang ke arah Pak Lukman, lalu ke arah nenek, lalu kembali memandangku, tangannya terangkat menyentuh wajah. Mengelusnya, mencoba menelusuri garis wajah, lalu melangkah lebih dekat lagi. Kini jarak kami hanya sekitar lima belas senti. Diperhatikannya lagi, mencoba memastikan, lalu di dibingkainya dengan kedua tangan. “Aditya! Dia, anak Aditya ...!” wanita yang kutebak adalah ibuku ini, sedikit histeris. “Dia anakku ... dia anakku, kan Bu? Dia anakku bukan?” ditelusurinya sekali lagi, wajah juga tubuhku, mencoba memastikan bahwa dia tidak salah. Diciumi wajahku dengan penuh kasih. Di usapnya lelehan air mata yang sejak tadi sudah membanjiri wajahku. “Leon, anak Mama!” ucapnya dengan bibir bergetar. Aku hanya bisa menangis di dalam pelukannya. “Mama!” akhirnya aku bisa mengucapkan kata itu dan semakin membenamkan wajahku dalam dekapan hangatnya. Kami berdua larut dalam keharuan. Nenek dan perawat tadi pun turut meneteskan air mata. “Bu Hamidah, Bu Nadia, bagaimana kalau kita ke dalam kamar saja, agar bicaranya lebih tenang,” ucap perawat bertubuh subur itu ramah, setelah suasana haru sedikit berkurang. “Iya, iya! Ayo, kita bicara di dalam saja.” Mama mengajak kami masuk. Saat itulah, aku merasa aneh, karena merasa orang tuaku baik-baik saja, tapi kenapa ada di sini? Kami menuju sofa, aku dan mama duduk berdekatan, seolah tak ingin berpisah, dengan tangan saling bertautan. Untuk ukuran Rumah Sakit Jiwa, ruangan yang mama miliki, sangat ... sangat istimewa! Ruangan yang lebih mirip kamar hotel berbintang itu memang terlihat biasa saja dari luar karena pintunya serupa pintu kamar pasien lainnya. Tapi sebenarnya, kamar mama ini disatukan dengan beberapa kamar lain. Di isi dengan interior gaya Mediterania yang dipadu dengan barang-barang modern kelas atas, menjadikan tempat itu sangat indah dan berkelas. Perawat tadi pamit, tinggal kami berempat di dalam ruangan ini. Aku yang merasa memiliki kesempatan, langsung saja bertanya. “Kenapa Mama ada disini, padahal Mama tidak kelihatan sakit sama sekali.” Aku penasaran. Mama dan nenek tampak saling berpandangan. Lalu mereka menatap Pak Samsul. “Aku sudah cukup besar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Ma!” Kuyakinkan mama dan mempererat genggaman tanganku. Mama kemudian mengangguk. “Kira-kira, dua belas tahun yang lalu, waktu kamu masih berumur dua bulan, seseorang mengambil kamu dari Box bayi di kamar, saat Mama sedang ke dapur membuatkan susu untukmu.” Mama mulai bercerita. “Saat kejadian itu, papa kamu sedang berada di kuar kota. Karena panik, Mama menelepon papa, dan meminta papa untuk pulang.” Raut wajah mama seketika berubah muram, di elusnya punggung tanganku berulang kali, dengan tangan yang mulai bergetar. “Papa pulang dengan pesawat tercepat. Tapi saat dalam perjalanan dari bandara ke rumah .... Mama tak mampu meneruskan ceritanya. Beliau terisak. Bersambung. Sedih ya 😥😥 Yang nangis pas baca Leon ketemu Mamanya siapa, hayooo..Leon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un