Kuamati amplop putih di tangan, membolak-baliknya seolah akan ada sesuatu yang keluar dari sana. Sudah beberapa hari ini aku ingin membaca surat yang ditinggalkan oleh ibu untukku, tapi entah kenapa ada rasa enggan tiap kali aku hendak membukanya.
Surat terakhir ibu, juga sebuah kotak yang beliau titipkan pada Wak Samsul sesaat sebelum beliau meninggal kini sudah berada di pangkuanku. Perlahan kubuka kotak berwarna biru itu. Di dalamnya ada pakaian dan selimut bayi, sebuah foto juga sebuah kalung. Sedikit mengernyit, mengamati benda-benda di depanku. Masih tak mengerti, kenapa ibu meninggalkan ini untukku. Jika ini milikku, kenapa baru sekarang di berikan? Jika milik orang lain, kenapa diberikan padaku? Berbagai macam pertanyaan berkelebat di kepala. Kuraih amplop yang tadi sempat kuletakkan, dan membukanya. Ragu, aku membaca. Seketika mataku melotot membaca kalimat demi kalimat yang ibu tuliskan di dalam suratnya. Tidak! Ini tidak mungkin! Kuremas surat di tangan, seketika bangkit dan berlari ke rumah Uwak. Saat ini di pikiranku, hanya beliau yang bisa menjelaskan semua yang terjadi. Kugedor pintu rumah bercat biru itu, tapi hanya ada Siti di rumah. “Ayah lagi ke sawah,” katanya. Langsung kaki ini berlari ke sawah, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari situ. Hanya beberapa menit saja, aku sudah bisa melihat sosok Wak Samsul sedang beristirahat di dangau. “Wak!” teriakku membuat beliau kaget, seketika berbalik. Kini kami saling berhadapan, lelaki paruh baya yang masih tampak gagah itu terlihat sedikit canggung, seperti sedang berusaha menghindari sorot mataku yang meminta jawaban padanya. “Eh, Ucil! Tumben, ada apa?” tanya pria yang sudah kuanggap sebagai ayah ini berbasa-basi, sesaat setelah ia bisa menguasai keadaan. Kusodorkan surat dalam genggaman, alih-alih menerima, beliau malah mengalihkan pandangan ke arah hamparan padi yang mulai menguning. Terdengar helaan nafas panjang. Hening! Hanya suara binatang-binatang kecil yang terdengar saling bersahutan, seperti alunan musik orkestra, mengiringi drama yang sedang terjadi di dalam hidupku. “Tolong jelaskan, Wak!” kembali kusodorkan surat dari ibu. “Semua sudah jelas tertulis di dalam surat itu.” Lagi-lagi tak diambilnya surat yang kuberikan. “Jelas? Apanya yang jelas, Wak?” nafasku mulai memburu, sedangkan bulir-bulir kristal bening sudah berebutan keluar, berhamburan begitu saja dari sudut mata, yang kuhapus dengan kasar. “Bagaimana mungkin aku bukan anak ibu? Bagaimana bisa?” Aku meratap. Kujatuhkan bobot tubuh di atas lantai dangau yang terbuat dari bambu, dengan kedua kaki menggantung ke bawah. Aku terlalu lelah. “Uwak juga tidak tahu apa-apa Cil.” Akhirnya beliau bersuara. “Katakan Wak! Katakan apa saja, semua, yang Uwak tahu, tentang ... aku.” Kembali, beberapa bulir bening jatuh, saat mengucapkan kalimat itu. Tenggorokan rasanya kering. Perih, mengetahui bahwa orang yang selama ini kuanggap sebagai orang tua, ternyata bukan orang tua kandungku. “Aaarrghh!” Kuusap wajah kasar dengan kedua tangan. Wak Samsul menepuk-nepuk pundakku pelan kemudian duduk bersandar ke tiang dangau, lalu menyalakan api rokok. “Dulu, ibumu pergi ke kota, dia hendak menyusul suaminya yang sudah dua tahun tidak pernah memberi kabar.” Wak Samsul mulai bercerita. Asap rokok mengepul keluar dari sela-sela bibirnya yang menghitam karena tembakau. “Suatu hari, ibumu pulang, membawa kamu di gendongannya. Kampung pun geger, karena ayahmu, suami ibumu tidak ikut. Berbagai macam dugaan dan tuduhan diberikan warga pada ibumu. Tapi dia berkata, kalau suaminya sudah meninggal dalam kecelakaan. Setelah mendengar cerita ibumu, warga kampung pun tidak bergunjing lagi. Saat itu kami semua merasa yakin jika kamu memang anak ibumu. Siapa yang menyangka akan jadi begini.” Wak Samsul menunduk dalam. “Uwak juga baru tahu kalau Bapak Hutomo itu adalah ayah kandungmu.” Lirih beliau berkata. “Tapi kenapa aku bisa bersama ibu? Ke mana orang tuaku saat itu?” “Uwak tidak tahu, Cil. Tapi kamu bisa mencari tahu jawabannya.” Wak Samsul bangkit dari duduk lalu merogoh saku celana yang tergantung di tiang dangau. Sebuah kartu nama dikeluarkannya dari sana dan diberikan padaku. “Kamu bisa mencari jawabannya disana,” ucapnya sekali lagi. Lama tak kusentuh kartu nama pemberian beliau. Kubiarkan saja tergeletak di lantai. “Aku tak mengenal mereka.” “Mereka mengenalmu dan mereka juga punya jawaban atas pertanyaanmu. Bawa kotak yang diberikan ibumu, beserta isinya.” “Untuk apa?” keningku berkerut. “Itu adalah jati dirimu. Identitasmu yang sebenarnya. Orang tua kandungmu akan mengenali isi kotak itu. Karna mereka lah yang memakaikannya padamu, saat kau bayi.” Aku diam saja mendengar penjelasan Wak Samsul. Bagiku, itu bukan apa-apa. “Ingat, Cil! Itu adalah wasiat ibumu. Harus kamu laksanakan demi kebaikan semua.” Wak Samsul mewanti-wanti, saat melihat aku tak memedulikan ucapannya. Ragu, kuambil kartu itu, menimangnya sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk menyimpannya. “Aku pulang dulu, Wak!” “Hati-hati! ingat! Laki-laki itu menghadapi masalah, bukan lari dari masalah.” Ucap beliau seraya menghembuskan kepulan asap rokok dari bibirnya. “Tapi aku masih anak-anak Wak!” Sahutku setengah berteriak, sambil terus melangkah pergi, tapi masih sempat kudengar beliau berkata, “Usia dua belas tahun di jamanku, sudah ikut berperang Cil.” Beliau terkekeh. *** Pria itu kini ada di hadapanku. Pria yang mengaku sebagai sopir Pak Hutomo, ayahku. “Silakan duduk, Pak!” aku menawarkan. Pak Lukman membungkuk lalu berkata, “Saya berdiri saja tuan muda.” Aku tergelak mendengar ucapannya, membuat pria berpakaian rapi itu sedikit mengerutkan kening. “Kenapa Anda tertawa, tuan muda?” Astaga! lagi-lagi ... kata itu. “Saya bukan tuan muda. Saya Ucil.” Kuarahkan jari telunjuk ke arah dada, sambil menyebut kata Ucil. Tapi beliau malah tersenyum. “Baiklah, Tuan muda Ucil,” ucapnya kemudian. Ya Tuhan! Aku bisa gila! “Baiklah, langsung saja ke intinya.” Setelah berdehem aku melanjutkan. “Coba ceritakan siapa itu Bapak Aditya Hutomo,” ucapku dengan nada suara yang dibuat seserius mungkin. “Bapak Aditya Hutomo adalah ayah Anda, tuan. Beliau adalah putra pertama keluarga Hadi Hutomo, kakek Anda dan nama Anda, Leonard Adi Hutomo. Beliau juga pewaris delapan puluh persen saham Grup Hutomo. Sedangkan adik Tuan Aditya, Tuan Bagus Hutomo, yang berarti paman Anda, memiliki saham sekitar sepul ...,” “Stop! Stop! Bukan itu yang kumaksud.” Aku mendesah. Resah. “Aku tidak mengerti apa yang Bapak ucapkan. Rasanya seperti sedang di ruang ujian, Aku pusing!” Kugaruk kepala lalu merebahkan diri di lantai bambu. Kami memang sedang berada di samping rumah, tepatnya di balai-balai bawah pohon jambu. Aku mengajaknya kesini alih-alih masuk ke dalam rumah. Setidaknya embusan angin sore bisa sedikit memberikan rasa nyaman. “Lalu, apa yang ingin Anda ketahui?” tanya Pak Lukman bingung. Keningnya berkerut. Ya! Apa sebenarnya yang ingin kuketahui? Untuk beberapa saat lamanya, aku termenung. Memikirkan apa yang sebenarnya kuinginkan. Kami berdua saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. “Sebenarnya, saya ditugaskan untuk menjemput Anda, tuan muda.” Pak Lukman buka suara, dan kali ini dia berhasil membuatku terkejut. Lagi! “Apa Bapak selalu membuat orang yang Bapak temui terkejut?” aku bertanya, tapi dia malah terkekeh. “Ehm, maaf bukan maksud saya ..., tapi Anda benar-benar polos.” Sahutnya setelah tawanya reda. “Saya tidak polos, saya berandalan.” “Kata siapa?” “Kata teman-teman saya, kata tetangga yang anaknya saya pukuli. Kata warga kampung yang bosan setiap hari menghentikan saya berkelahi.” Aku mulai emosi. “Mereka salah.” “Salah?” “Iya, salah! Saya tahu Anda anak yang baik, walaupun baru beberapa kali bertemu, saya tahu Anda hanya mempertahankan harga diri Anda, tuan muda.” “Berhentilah memanggilku tuan muda. Aku tak suka.” Kembali dia terkekeh, entah apa yang lucu baginya. “Anda sangat mirip dengan Tuan Hutomo, ayah Anda.” “Benarkah? Lalu kenapa aku berada disini? Sebenarnya apa yang terjadi? Tunggu!” Aku mengangkat tangan ke udara, menghentikan gerakan Pak Lukman yang ingin berbicara. Kembali keningnya berkerut. “Ibuku tidak menjualku bukan? Maksudku, Bapak Hutomo tidak memiliki anak, dan karena ibuku sakit-sakitan, jadi ...,” “Anda sangat pintar bercanda, tuan Muda.” Pak Lukman tergelak. Kali ini dia tak bisa menahan tawa. Bahunya berguncang, dengan mulut terbuka lebar. Membuatku kesal! “Apakah Anda bersedia ikut dengan saya?” ucapnya kemudian. “Jika Anda bersedia, saya akan menceritakan semua pada Anda, tentang kejadian dua belas tahun yang lalu.” Disodorkannya foto sebuah keluarga kecil. Seorang pria dan wanita, serta bayi mungil di pangkuannya. “Itu ayah dan ibumu, juga dirimu saat masih bayi.” Kupandangi gambar wanita di foto itu, ada desir halus dan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Kualihkan pandangan menatap gambar pria di sebelahnya. Tampan! Garis wajah, bentuk hidung, sangat mirip dengan milikku. Benarkah pria di foto itu ayahku? Bersambung. Hai lovers, makasih banyak buat yang udah baca sampai bab 4. Kalo kamu suka ceritaku, jangan lupa vote ,sub dan komen ya 🥰Leon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un