Share

Pulang

Kupandangi gambar wanita di foto itu, ada desir halus dan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Kualihkan pandangan menatap gambar pria di sebelahnya. Tampan!

Garis wajah, bentuk hidung, sangat mirip dengan milikku. Benarkah pria di foto itu ayahku?

“Aku tidak mau ikut denganmu. Lagi pula aku tidak mengenal mereka. Di sini aku sudah hidup nyaman dan bahagia.” Aku berdiri, hendak melangkah masuk ke dalam rumah.

“Jangan berbohong! Aku tahu apa yang kamu alami. Aku memperhatikanmu, sejak pertama kali kesini.” Sanggahnya cepat dan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun, dia telah melanjutkan kalimatnya.

“Jika kamu muak dengan keadaan ini dan jika kamu ingin mengubah hidupmu, ikut lah denganku.” Aku tercekat mendengar penuturan pria setengah baya ini.

Benar apa yang di ucapkannya. Aku sudah muak dengan keadaan ini. Aku memang ingin mengubah hidup, tapi ....

“Kenapa? Apa kamu ragu?” Tanpa sadar, aku mengangguk.

“Karna Nona Alea?” refleks aku menoleh, dengan warna wajah yang mungkin sudah berubah. Hey, bagaimana dia tahu?

“Apa maksud Bapak? Aku tidak mengerti!” Aku mencoba mengelak.

“Sudahlah, jujur saja. Anda menyukainya, bukan?” ejeknya sambil menertawakanku.

Sesungguhnya, aku tidak tahu apakah aku menyukai Alea atau hanya sekedar kagum. Bagiku dia terlalu sempurna dan tak mungkin bisa kuraih. Menyadari hal itu aku kembali sedih.

“Seumur hidup, aku hanya memiliki ibu. Aku hanya merasakan kasih sayang beliau. Rasa nyaman dan hangat saat bersama dengan ibu, begitulah yang kurasakan saat bersama Alea. Hanya saja ... sedikit berbeda.” Akhirnya aku mengutarakan perasaanku.

“Berbeda?” Kembali Pak Lukman tersenyum, membuatku menyesal terlalu banyak bicara. Seandainya dia tahu, alasanku tetap bertahan hingga sekarang adalah Alea.

“Jika Nona Alea adalah alasan Anda hidup, maka hiduplah dengan baik! Buat diri Anda pantas berdampingan dengannya.”

“Hey! Bapak bisa membaca pikiran? Apa Bapak indigo?” kembali aku mendengar suara gelak tawa yang kubenci itu. Kali ini, aku ingin membunuhnya saja, agar dia tidak bisa lagi menertawakanku.

“Maaf ... maaf! Tapi saya sangat menyukai Anda, tuan muda. Saya merasa menjadi remaja lagi, hahaha!” aku menatapnya tajam, dia berdehem, kemudian merapikan letak dasinya yang agak miring. Huh! Kura-kura dalam perahu. Dasar sok tahu!

“Tentu saja saya tahu, karena saya juga pernah muda.” Dia tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. Ish!

Tanpa kusadari, kami sudah duduk bersama disini lebih dari dua jam, ini kali pertama ada orang asing yang bisa kuajak bicara dengan santai. Aku menikmatinya, walaupun membenci suara tawanya.

“Jadi, bagaimana? Apa Anda mau ikut bersama saya, atau –“

“Atau apa?”

“Atau saya terpaksa harus memaksa Anda, tuan muda.”

“Saya tidak suka dipaksa!”

“Baiklah, kalau begitu, saya anggap Anda setuju!”

“Ta -pi,”

“Hanya ada dua pilihan. Ikut dengan suka rela atau terpaksa. Lagi pula, Anda harus memiliki kekuatan, jika ingin melindungi hal yang Anda cintai.”

Aku merenung, membenarkan ucapan Pak Lukman.

***

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rumah besar dengan tiang-tiang besar dan tinggi. Halaman yang luas, dengan taman yang cantik dipenuhi beraneka jenis bunga dan tanaman hias. Di sisi sebelah kiri taman, ada air mancur berbentuk seorang wanita cantik sedang mengangkat kendi. Dari kendi itulah mengalir air jernih, ke sebuah kolam berisi ikan hias beraneka ragam. Di sisi kiri dan kanan berjejer lampu-lampu berbentuk obor. Sangat elegan.

 Seorang pria berpakaian seragam segera menghampiri dan membungkuk hormat ketika melihatku turun dari mobil yang dikendarai Pak Lukman. Setelah Pak Lukman turun dari mobil, pria tadi mengambil alih dan membawa mobil tadi ke sisi utara rumah besar itu.

“Selamat datang Tuan, nyonya besar sudah menunggu Anda.” Seorang wanita muda, berpakaian khas pelayan membukakan pintu untuk kami dan mempersilahkan untuk masuk.

“Tunggu, aku belum mengambil barang-barangku.”

“Biar saya saja tuan, Anda bisa langsung menemui nyonya di dalam.” Kembali wanita muda itu berkata.

“Tolong, langsung bawa ke kamar saja!” ucap Pak Lukman kepada pelayan itu, yang langsung di jawab dengan anggukan hormat.

“Sepertinya, Bapak bukan sekedar sopir disini.” Aku mencibir. Pak Lukman hanya tersenyum.

Saat sedang berjalan masuk, seorang wanita, seumuran ibu, datang lalu menghampiriku.

“Astaga, Leon! Ini beneran Leon, Lukman?” wanita itu memperhatikanku dengan tatapan menyelidik. Pak Lukman diam saja, kelihatannya dia kesal.

“Kamu sudah besar sekarang, keponakan Tante,” ucapnya dengan ekspresi wajah dibuat-buat. Matanya seolah menelanjangiku, dengan tatapan jijik. Aku memutar bola mata, malas.

“Maaf Tante, namaku Ucil bukan Leon. Tante salah orang,” ucapku lantang. Entah kenapa, aku tak menyukai wanita ini.

Wanita itu terkekeh. “U -cil? Namamu Ucil?”  dia memperjelas namaku hingga dua kali, apa dia tidak dengar, atau dia tuli? Aku mendengkus.

“Kampungan!” Wanita itu berlalu, tapi masih sempat kudengar dia mengucapkan kata itu.

“Sepertinya, anak itu bukan tandinganku, Lukman.” Bisiknya lirih, saat melewati Pak Lukman. Wajah pria itu seketika menegang. Dia memandang wanita tadi dengan tatapan membunuh. Tapi wanita itu hanya tertawa sinis menanggapi tatapan Pak Lukman, tanpa menghentikan langkah.

 Apa aku salah membuat keputusan dengan datang ke rumah ini? Aku bergumam pada diri sendiri.

“Leon, cucuku.” Seorang wanita tua keluar dari dalam, berjalan menghampiri dengan tongkat di tangan. Dia terlihat kesusahan. Aku berlari dan membantunya. Naluri sebagai manusia.

“Hati-hati, nek!” ucapku, meraih tangannya dan meletakkan di pundak.

“Aku tidak kuat memapah nenek dengan tangan, karna aku masih terlalu kecil. Tapi aku bisa membantu nenek dengan pundakku.” Lanjutku lagi. Wanita tua yang masih tampak cantik di usia senja itu pun tersenyum, lalu mengelus pucuk kepalaku.

“Iya, kamu benar sayang. Kamu benar-benar mirip ayahmu.” Setetes bening air menetes membasahi wajah keriput itu, menciptakan haru diantara kami.

“Ayo, kita masuk!” di genggamnya tanganku, masuk ke dalam rumah.

Di dalam, aku lebih terkejut lagi melihat pemandangan  menakjubkan. Bagian dalam rumah layaknya istana raja-raja, hanya saja ini lebih modern. Aku berdecak kagum.

“Ayo, masuk! Ini rumahmu. Rumah peninggalan almarhum ayahmu.” Saat mengucapkan kata ‘almarhum’, raut wajah nenek kembali muram. Seperti ada luka yang sangat membekas. Aku tak tahu apa, tapi aku bisa merasakannya.

“Nenek,” hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Kupeluk tubuh renta itu, dan merasakan bahunya sedikit berguncang. Kuajak beliau duduk dan memberikan waktu untuk beliau mengurai sesak karena luka di hatinya. Luka karena kehilangan anak.

“Nyonya, Anda baik-baik saja?” Pak Lukman merasa khawatir melihat keadaan Nenek. Dia langsung memanggil seorang pelayan dan memintanya membawakan minuman untuk kami.

“Ternyata, apa yang kamu ceritakan benar, Lukman. Tidak sia-sia aku hidup sampai sekarang!” Hamidah, nenek Ucil terkekeh. Sorot matanya bersinar menggambarkan rasa terima kasih pada orang kepercayaannya itu. Lukman hanya tersenyum simpul sambil sedikit menundukkan kepala.

“Apa semua sudah kamu urus?” tanya nenek pada Pak Lukman.

“Iya, Nyonya!”

“Kalau begitu antar Leon ke kamarnya. Dia pasti lelah karena perjalanan jauh.” Yang di suruh langsung mengangguk.

“Kamu istirahat dulu, besok ada banyak hal yang harus kamu lakukan.” kali ini nenek menatapku, yang kubalas dengan anggukan.

“Ayo, tuan muda!” Pak Lukman mulai lagi, dan aku memutar bola mata, terserah!

Bersambung

Kelihatannya Ucil, eh ... Leon, sudah bisa menerima identitas barunya dan menerima neneknya. 

E tapi sebenarnya dia masih canggung banget loh, cuma kan Leon anaknya cerdas, dan dia sangat tanggap sama keadaan.

Hayoo .. 

Makin penasaran kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status