“Diam kalian semua, apa kalian gak punya hati? Ibu Ucil lagi sakit dan kalian malah sibuk menjelek-jelekkannya!” Alea menggebrak meja dengan wajah penuh amarah.
“Bukannya Ucil emang jelek, siapa yang menjelek-jelekkan?” Bono menanggapi ucapan Alea dengan hinaan dan senyum sinis. Mendengar itu, teman-temannya malah lebih riuh bersorak. Kali ini mereka menyoraki Alea, dan melemparinya dengan kertas. “Huh, sok pahlawan!” “Pahlawan kesiangan!” Tiba-tiba seisi kelas diam, saat Pak Rahmat memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran. Dalam hati aku bersyukur, bukan karena terbebas dari hinaan mereka, tapi karena Alea. Aku tidak mau dia menjadi bulan-bulanan, cukup aku saja! Aku melirik sekilas ke arah Alea yang duduk dua kursi di depanku, tapi sepertinya dia baik-baik saja. Syukurlah. Seharian, aku tak bisa konsentrasi, tak satu pun pelajaran yang bisa diikuti, kata-kata Reza dan yang lainnya terus saja terngiang hingga bel tanda pelajaran usai berbunyi. Anak haram! Benarkah aku anak haram? *** “PUK!” Sebuah kerikil mendarat tepat di kepala. Aku menoleh, dan mendapati Agus sedang cengar-cengir, ditimangnya sebuah kerikil dan bersiap hendak melempar, refleks aku mengelak. Membuat mereka tergelak. Ternyata cuma gertakan saja. Aku melangkah maju, keempat anak di depan pun melakukan hal yang sama. Semakin dekat, lalu .... BUGH!! Tinjuku mengenai wajah Reza. Dia meringis kesakitan, tapi balas memukul. Kumiringkan kepala, dan tinjunya pun hanya mengenai udara kosong. Tak memberi jeda, langsung kulayangkan pukulan kedua. Kali ini rahangnya mendapat giliran. Disusul yang ketiga dan seterusnya. Tanpa ampun. Anak itu memang harus diberi pelajaran. Kulampiaskan kekesalan pada wajah bulat penuh lemak itu. Keempat temannya tak tinggal diam, mereka mulai mengeroyok. Perkelahian yang tidak seimbang pun terjadi, lima lawan satu. Bondan menyuruh Amir dan Bono untuk memegangiku, tapi keduanya mendapat tendangan di perut dan rusuk. Beberapa kali aku terkena pukulan, tapi tak kuhiraukan. Aku menghajar mereka habis-habisan. Luka seperti ini, sedikit pun tak terasa sakit. Bukan Ucil namanya jika harus kalah melawan lima orang bocah tengik yang tak pernah di ajari sopan santun oleh orang tuanya. Dalam hitungan menit mereka berlima terkapar di atas tanah becek bekas hujan semalam. Seluruh baju penuh lumpur, dengan wajah penuh luka memar. Aku meludah, bercampur darah. Menatap nanar kelima anak di depanku yang kini mengerang kesakitan. Aku sudah hendak beranjak, tapi berhenti saat mendengar suara Bono berteriak. “Kau memang anak haram, tak punya ayah yang bisa mendidikmu, hingga tumbuh menjadi berandalan seper ...." Belum sempat Bono menyelesaikan kalimatnya, sebuah tendangan mendarat tepat di rahangnya. BUGH!! “Arrgghhh!” Bono mengerang kesakitan, darah segar muncrat dari bibirnya yang pecah. Keempat temannya langsung beringsut, menarik Bono dan memapahnya berdiri. Aku menyeringai, sedikit terhuyung sambil menyeka sudut bibir yang pecah. “Pergilah, mengadu sama ayah dan ibumu.” Selesai berkata begitu aku berbalik, melangkah pulang. Kuraba siku sebelah kiri, perih. Rusuk, pipi, mulut, pelipis, perih! Aku mendesah, pasrah. Hidup memang tak pernah adil bagiku. Entah bagaimana jadinya, jika ibu tidak ada. Memikirkan hal itu, aku jadi ingin cepat-cepat ke Rumah Sakit, semoga saja hari ini ada kabar baik. *** Dahiku berkerut heran, melihat pintu rumah terbuka. Beberapa orang keluar masuk membawa berbagai macam barang. Aku melongok ke dalam, mungkinkah ibu sudah pulang? Memikirkan hal itu, hatiku jadi berdebar gembira. Aku langsung masuk dengan penuh semangat, tapi hanya mendapati Wak Samsul dan istrinya, Wak Marni di sana. Mereka beres-beres dan menggelar tikar di ruang tengah. Lalu beberapa orang tetangga datang, masih membawa barang dan perlengkapan seperti saat hajatan di rumah Paman Dulah. “Ada apa Wak?” kuhampiri Wak Samsul setelah meletakkan tas di kamar. “Kamu ganti baju dulu, nanti Uwak jelaskan. Itu wajah kamu kenapa? Berkelahi lagi?” Wak samsul menepuk pundakku, sambil geleng-geleng kepala. Aku tersenyum getir dan berlalu dari sana. Mengganti seragam dengan pakaian biasa lalu mengompres luka di pelipis dengan secarik kain yang sudah kurendam dengan air hangat. Melihatku keluar dari dapur, Wak Samsul melambaikan tangan sebagai isyarat agar aku mendekat. Kuambil posisi duduk di samping beliau, menunggu dengan hati berdebar. “Cil, Uwak tahu kamu anak yang kuat. Kamu juga tahu kan, kalau Uwak sudah menganggap kamu dan ibumu seperti saudara dan keponakan uwak sendiri. Jadi ...." “Sebenarnya ada apa Wak?” Aku tak sabar. “Sebenarnya, Ibu ... mu, su ... dah berpulang ke rahmatullah, sekitar satu jam yang lalu.” “I -bu!” Aku terhenyak. Tak mampu berkata apa-apa. Ini terlalu cepat untukku. Aku tidak siap! “Yang sabar, Cil,” Wak Samsul menepuk-nepuk pundakku, mencoba menguatkan, tapi apakah bocah seusiaku akan kuat menghadapi cobaan seberat ini? Seandainya saja, aku tidak berkelahi dengan Bondan dan teman-temannya, mungkin aku masih sempat bertemu dengan ibu untuk terakhir kali. Seandainya, aku tidak berangkat sekolah, tadi pagi. Seandainya ... Bermacam penyesalan memenuhi otak, aku berlari ke belakang rumah, di tepi sungai aku berteriak sekuat tenaga lalu menangis sepuasnya. *** Sehabis Ashar jenazah ibu sampai di rumah. Pak Lukman terlihat berbicara serius dengan Wak Samsul dan Pak RT. Tak kupedulikan, kembali kulantunkan ayat suci Al Qur'an, di samping jenazah. Menurut guru agama di sekolah, doa anak kepada orang tua akan langsung diterima. Aku mendoakan ibu, semoga beliau tenang dan di tempatkan di tempat yang sebaik-baiknya. “Jenazah ibumu akan segera dikebumikan, Cil. Harus disegerakan, itu wajib!” ucap Wak Samsul lirih di telinga, aku mengangguk lemah. Beberapa bulir air menetes dari sudut mata, menciptakan perih dalam dada. *** Seminggu telah berlalu sejak kepergian ibu. Kini aku hanya sendirian di rumah ini. Sebenarnya, Wak Samsul mengajak untuk tinggal di rumahnya, tapi kutolak dengan halus. Aku tahu niatnya baik dan tulus. Namun, aku juga tahu untuk makan sehari-hari saja beliau harus bekerja dari pagi hingga malam dan aku tak mau menambah beban beliau. Sama seperti saat ibu masih hidup, aku masih tetap memberi makan kambing Mang Ujang, juga membersihkan kandang lembu Pak RT. Dari sana aku mendapatkan upah dan bisa bertahan hidup. Di belakang rumah yang masih luas, ibu menanam ubi dan beberapa jenis sayuran serta buah. Dari sana, aku juga mendapat sedikit penghasilan. Di sekolah, aku hanya diam saja. Tak peduli apapun yang teman-teman katakan. Aku seolah ikut mati, hanya tubuhku saja yang masih bergerak. “Cil,” Alea duduk di sampingku. Saat itu jam istirahat, jadi kelas sepi. Sedikit menoleh, kemudian kembali sibuk dengan buku di depanku. Beberapa hari ini, aku memang sedikit mengabaikannya. “Cil, kamu gak boleh gini terus.” Lembut Alea berkata, aku tetap fokus pada buku di depan. “Sebentar lagi kita UN, kamu harus semangat. Ibu selalu bilang ....” “Aku mau berhenti sekolah,” sahutku cepat, sebelum dia mampu menyelesaikan kalimatnya. Netranya membulat, dengan sorot yang tak bisa kuartikan. Aku memandang wajahnya, secara terang-terangan, tidak seperti yang selama ini kulakukan, membuat gadis itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Kenapa?” Aku bertanya. “Eh, uhm, enggak ....” “Enggak, apa?” “Uhm ....” Sejenak Alea terdiam, menggigit bibir bawahnya. "Kamu kenapa, sih?” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. “Kamu yang kenapa!” ucapku, dengan nada sedikit tinggi. “Aku? Maksudmu, aku- ,” Alea tak menyelesaikan kalimatnya, berdiri dan pergi begitu saja. Aku menyesal berkata seperti itu padanya. Padahal aku tahu pasti, Alea hanya mencoba menghiburku. Tapi aku tidak bisa membiarkannya terus membelaku dan diejek teman-teman seperti saat itu. Dia terlalu berharga. Sedangkan aku? Aku hanya butiran debu ... Aku bangkit, mengambil tas dan keluar tepat saat bel tanda jam istirahat telah usai. Setelah izin ke kantor guru, aku pulang dengan alasan sakit. Bersambung. Udah bab 3 nih ... Gimana? Kasih tau pendapat kalian dongLeon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un