Habis yang bikin kesel2 gemes, sekarang aku kasih yang manis-manis kyak akoh
Inka tersadar jika ia kehilangan tasnya saat kejadian memalukan di cafe seminggu yang lalu. Inka mendesah lirih karena merasa kehilangan tas kesayangannya, tas selempang sederhana yang begitu sangat ia sayangi. berat rasanya jika kehilangan tas itu. tapi mau bagaimana lagi, di cari pun tak mungkin ketemu lagi, kan?
Untung saja ponsel Inka tak ikut tertinggal di dalam tas itu, saat itu ponsel miliknya sengaja Inka kantongi di dalam celana jeans yang saat itu ia kenakan. Kebiasaan Inka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal yang tak mengenakan, dan hal itu pun benar adanya, di saat ia kehilangan tas tetapi ponselnya tetap aman bersamanya.Tetapi, Inka harus merelakan uangnya yang tak banyak di dalam tas itu. Tak apalah, Inka bisa mencarinya lagi, mungkin memang bukan rezekinya memiliki uang itu."Huffftt," helaan nafas kasar Inka.Sampai sekarang Inka masih kepikiran dengan Mohan. Kenapa bisa pria itu ada di sana seminggu yang lalu? Hal itu masih menjadi tanda tanya besar bagi Inka. Bukankah Inka sudah resign dari pabrik sialan miliknya itu.Jadi, untuk apa Mohan bisa ada di sana. Apa cafe itu juga milik Mohan? batin Inka bertanya-tanya.Semuanya terasa aneh bagi Inka, kalaupun memang pertemuan memalukan itu karena dasar unsur kesengajaan, tapi tetap saja rasanya terasa mengganjal untuk Inka.Karena Inka masih melamun memikirkan antara sengaja atau tidak sengaja, Ina sang ibu masuk ke dalam kamar Inka, putrinya."Memikirkan apa, huh?" bisik bu Ina di telinga Inka."Aaaaa!" kaget Inka tersentak, suara bisikan mamanya terasa merinding di kulitnya."Mama, bikin kaget Inka aja!" rungut Inka kesal.Bu Ina terkekeh melihat anaknya. "Makanya jangan melamun saja, mama sudah ketuk pintu dan panggil nama kamu juga." elak bu Ina tak mau di salahkan.Inka tak menjawab lagi ucapan mamanya, bu Ina memilih duduk di samping putrinya yang duduk di tepi ranjang kamarnya."Katakan, apa yang sedang kamu pikirkan Inka?" tanyanya."Ehmm, tidak ada ma." jawab Inka cepat agar mamanya tak curiga.Bu Ina memperhatikan gerak-gerik tubuh putrinya yang tampak gelisah. "Sungguh?" pancing bu Ina meyakinkan jawaban Inka."Mo-mohan...." ucap Inka tanpa sadar menyebutkan nama sang mantan.Darah bu Ina terasa mendidih mendengar nama pria yang sangat ia benci. Dan nama itu pula yang keluar dari mulut Inka.Bu Ina bangkit berdiri dari duduknya, merasa kesal melihat sang putri yang sepertinya masih terbayang-bayang akan masa lalu menyakitkan itu."Apa kamu masih mencintai pria ba****an itu?" pertanyaan bu Ina membuat Inka gelabakan."Tidak, mama. A-aku hanya sedang berpikir karena merasa heran saja." "Heran bagaimana maksudnya?" "Seminggu yang lalu aku di permalukan oleh Mohan sih berengsek itu." "Di permalukan bagaimana maksudmu?" tanya bu Ina lagi merasa penasaran.Inka pun menceritakan kejadian memalukan seminggu yang lalu di cafe. Kedua mata bu Ina membelalak kaget mendengar penuturan sang anak.Apakah itu artinya Mohan menguntit Inka? batin bu Ina menebak dengan tepat."Kurang ajar!!" teriak bu Ina marah."Berani sekali dia mengatakan itu di depan banyak orang, dan bikin malu putriku." bu Ina menangkup kedua pipi tirus nan lembut milik Inka."Inka, mama mohon sekali sama kamu. Agar tak kembali terjerat dengan Mohan, mama yakin ini hanya jeratan palsu yang kembali Mohan lakukan untukmu, nak." pinta bu Ina sedih.Inka mengangguk. Namun ia tak mengucapkan kata, baik itu menjanjikan permintaan mamanya ataupun menolaknya.Bu Ina memeluk tubuh ramping Inka, berdoa semoga saja tidak terjadi hal buruk dan menyakitkan di kehidupan Inka ke depannya. Bu Ina berharap semoga mahluk yang bernama Mohan itu jauh-jauh sejauh mungkin dari hidup Inka.****** "Bang, jus jeruknya satu." ucap Inka pada abang-abang penjual jus keliling menggunakan food truck.Pria penjual jus itu menoleh ke arah Inka dan seketika wajahnya tersenyum ceria. Inka yang memainkan ponselnya pun tak begitu terlalu memperhatikan."Satu pesanan jus jeruk spesial untuk wanita cantik, Inka Maharani." mendengar namanya di sebut secara otomatis Inka menoleh ke arah depan."Hai," sapa Kanz menggerakkan ke lima jarinya.Inka mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, memastikan penglihatannya agar tak salah mengenali orang. Inka memang seperti pernah melihat pria ini, sih Abang penjual jus, tapi dimana?Terlihat Kanz berbicara pada teman sejawatnya yang sama-sama menjual jus bersama. Temannya itu menganggukkan kepalanya dan Kanz keluar dari food truck."Ini!" Kanz menyerahkan satu cup jus jeruk pesanan Inka.Inka menerimanya namun masih dengan pandangan yang mengingat-ingat. Oh, sepertinya Inka masih belum mengingat Kanz."Masih ingat aku?" tanya Kanz gemas melihat ekspresi raut wajah Inka yang bingung.Kepala Inka menggeleng, dan Kanz menepuk jidatnya pelan."Cafe," ujar Kanz mencoba mengingatkan Inka dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya."Ah, iya. Kau Kanz...." "Kanzeel, Kanzeel Laurent." potong Kanz memperkenalkan lagi nama lengkapnya pada Inka."Nah, iya benar. Kita bertemu lagi." ujar Inka seraya tersenyum senang."Eh, kau bekerja sebagai penjual jus keliling menggunakan bus?" Kanz mengangguk.
"Waah, hebat!" bangga Inka mengacungkan satu jari jempolnya pada Kanz."Terima kasih," jawab Kanz tersenyum senang. "Tapi, hebat bagaimana maksudmu?""Ya, hebat. Menurutku kau hebat, mandiri. Sebagai pria kau tidak malu usaha berjualan berkeliling seperti ini. Aku bangga padamu Kanz." "Yang penting halal Inka, lagian kenapa aku harus malu?" Inka mengangguk. "Nah, iya benar juga. Yang terpenting halal ya kan, Kanz." "Kau sendiri bagaimana? Sudah dapat pekerjaan baru?" Inka menggelengkan kepalanya lemas."Yang sabar, aku yakin pasti kau akan mendapatkan pekerjaan baru.""Amiinn." ucap Inka mengaminin doa Kanz."Ehmm, tapi Inka. Bagaimana jika kau ikut bergabung bekerja bersama kami." tawar Kanz membulatkan mata Inka seketika."Seperti kalian?" ulang Inka.Kanz mengangguk. "Serius?" tanya Inka lagi."Bagaimana, kau mau?" "Mauuu, aku mau Kanz." jawab Inka cepat sangking senangnya."Uhm, baiklah. Mulai besok kau sudah boleh bekerja, dan, sebentar...." Kanz menggantungkan kalimatnya seraya pamit pergi, Kanz masuk kembali ke dalam truk makanan.Kanz keluar dengan membawa sesuatu di tangannya yang ia sembunyikan di belakang punggungnya. Inka penasaran dengan sesuatu yang Kanz bawa itu."Apa itu?" tanya Inka sangat penasaran."Inka, apakah kau merasa kehilangan sesuatu seminggu yang lalu?" "Kehilangan sesuatu seminggu yang lalu?" ulang Inka membeo pertanyaan Kanz."Ya, ada, aku kehilangan tas selempang kesayangan ku." jawab Inka sedih."Tadaaaa!" Kanz mengulurkan tas milik Inka ke hadapannya.Seketika mulut Inka menganga lebar tak percaya, Inka menutup mulutnya dengan sebelah tangannya yang tak memegang cup jus."Astaga, Kanz! ini-" "Ya, ini tasmu. Terima-lah." Inka meraih tas kesayangannya, betapa bahagia sekali Inka karena telah menemukan kembali tas itu berkat Kanz."Buka tasnya, dan lihat isi di dalamnya. Siapa tahu saja hilang, dan aku khilaf sebagai pelaku pencurian." titah Kanz menggoda Inka."Dih, bicara mu itu. Aku tidak perlu mengeceknya, karena aku yakin isinya masih tetap sama. Karena apa? Karena aku percaya padamu Kanz." beber Inka mengatakan sejujurnya."Secepat itukah? Kau langsung mempercayai ku semudah itu. Padahal kita baru saling mengenal dua kali pertemuan ini.""Bagiku, itu sudah cukup. Pertemuan singkat sebanyak dua kali ini cukup membuatku mengenalmu Kanz." Kanz dan Inka saling menatap lekat, mengalirkan sinyal-sinyal aneh namun menggetarkan. Kanz tertawa ringan agar menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba kembali menyelimutinya.Apakah ini yang di namakan cinta, atau ketertarikan semata?"Selamat pagi Kanz." sapaan ceria Inka pada Kanz dan satu teman prianya.Kanz terperangah dengan penampilan Inka hari ini, Inka sungguh luar biasa sangat cantik."Selamat pagi juga Inka," Kanz membalas sapaan Inka setelah dirinya tersadar jika sudah terlalu lama mengangumi Inka."Apa aku terlambat di hari pertamaku bekerja?" tanya Inka cemas, karena ia memang sangat sulit untuk bangun pagi dan belum lagi berdandan.Kanz menggeleng. "Tidak Inka, lagian juga kita mulai buka jualannya agak siangan."Kepala Inka manggut-manggut sambil mulutnya menggerakkan huruf O."Oh iya, kenalkan ini temanku. Namanya, Bio." ujar Kanz memperkenalkan temannya."Hai, aku Bio." teman Kanz memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan ke arah Inka."Bio-Biodata?" kekeh Inka merasa geli mendengar nama teman Kanz ini."Bisa jadi," gurau Bio yang tak mempermasalahkan hal itu."Aku, Inka Maharani. Ehmm, kau bisa memanggilku Inka saja."
Mohan sudah sampai di tempat janji temu dengan kliennya, kliennya meminta pertemuan mereka di lakukan di luar kantor. Dan disinilah Mohan berada, menunggu sang klien sampai di cafe yang sudah mereka pesan.Cukup lama Mohan menunggu, tak lama seorang pria paruh baya namun masih terlihat sangat tampan dan gagah.Mohan langsung berdiri dari duduknya menyambut sang klien. "Selamat siang tuan Hans Laurent."Mohan mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan tuan yang ia panggil Hans Laurent itu. Tuan Hans Laurent menyambut uluran tangan Mohan."Selamat siang juga tuan Mohan.""Ah, mari silahkan duduk." Mohan mempersilakan tuan Hans untuk duduk di kursi di depannya."Terima kasih," balas tuan Hans seraya duduk."Baiklah, mari kita mulai saja tujuan kita kesini. Tentang rencana kerjasama mengenai bisnis kita."Tuan Hans mengangguk. "Tuan Mohan bisa memulainya lebih dulu."Mohan tersenyum dan langsung berbicara mengenai bi
Kanz menoleh ke belakang saat merasakan punggungnya di tepuk seseorang. Wajah wanita yang belakangan ini menarik sekaligus memikat hatinya lah sebagai pelaku yang menepuk punggungnya."Inka, ini sungguh kau?" tanya Kanz takjub sekaligus pangling dengan penampilan Inka hari ini.Inka mengangguk seraya tersenyum geli melihat tingkah Kanz yang seperti hampir tak mengenalinya."Iya, ini aku Inka, Kanz!" ucap Inka nyaris teriak gembira."Astaga! Aku hampir saja tak mengenalimu loh." kekeh Kanz mengacak rambut baru berponi Inka.Inka mendengus sebal seraya menepiskan tangan Kanz yang mengacak rambut barunya."Pipimu jadi kelihatan tirus Inka," goda Kanz memperhatikan wajah Inka dengan jarak dekat."Mana pipi cabimu yang selalu bikin aku gemas ini." Kanz mencubit gemas kedua pipi Inka, membuat Inka mengadu kesakitan."Uhm, sakit Kanz!""Masa sih? aku kan cuma menyubit pelan pipimu, seperti ini—" Inka langsung menghenti
Kanz menatap jalanan dari jendela rumah kontrakannya, rumah kontrakan sederhana yang ia sewa bersama Bio. Sedikit banyaknya Bio tahu tentang kehidupan seorang Kanzeel Laurent."Kau berbohong padanya Kanz," ujar Bio pada Kanz yang saat ini fokus menatap ke arah jalanan.Kanz sama sekali tak bergeming dengan ucapan temannya itu, membuat Bio merasa gemas melihatnya."Ayolah Kanz, sebaiknya kau jujur saja pada Inka mengenai dirimu yang sebenarnya." sambung Bio lagi agar Kanz mau jujur pada Inka."Aku takut dia tidak akan menerima ku lagi sebagai temannya, kau tahu kan Bio, hubungan pertemanan kami baru saja di mulai." lirih Kanz sedih."Dia akan lebih terluka jika kau tak jujur dari awal padanya Kanz, dia akan menganggap jika kau hanya memanfaatkan dirinya saja dengan kebohonganmu."Kanz terdiam, tampak ia sedang mencerna ucapan temannya yang sebenarnya ada benarnya juga."Aku tidak bisa Bio, Maaf." lirih Kanz lagi yang kini bangkit berdiri dan berjala
Bio mengkode pada Inka jika Mohan sudah pergi, secepat kilat Inka melepaskan pelukannya pada Kanz, menendang kaki Kanz serta mendorong tubuhnya. Membuat Kanz yang tak siap pun terjengkang jatuh terhempas ke belakang."Awhh!" ringis Kanz kesakitan saat punggungnya jatuh menyentuh tanah dan nyeri pada kakinya yang di tendang Inka."Rasakan itu!" ledek Inka kesal pada Kanz.Kanz dengan cepat bangkit berdiri susah payah dan langsung meraih memegang tangan Inka, tapi dengan cepat pun Inka menepisnya."Jangan sentuh aku, dasar pembohong!" umpat Inka menatap nyalang Kanz.Bio hanya terdiam di tempatnya tanpa bisa membantu ataupun menengahi suasana yang terjadi antara Kanz dan Inka."Dengarkan aku dulu Inka-""Tidak!""Aku bisa jelasin semuanya-""Tidak!" sentak Inka cepat dan selalu memotong ucapan Kanz.Hhhhh. Kanz menghela nafasnya berat seraya menghembuskan nafasnya kasar."Kau bilang, jika kau terlahir dari keluarga tak mampu dan s
Inka mengutuk mulut dan dirinya sendiri yang tadi malam dengan jelas menolak permintaan Kanz yang ingin Inka datang ke tempat bekerjanya sebagai penjual jus yang menggunakan food truck.Kanz berbinar melihat kehadiran Inka. Kanz memang sangat yakin jika Inka pasti datang menemuinya, semarah apapun wanita itu padanya, tapi lihatlah! Inka tetap datang sesuai keinginannya."Terima kasih," ucapan Kanz yang meluncur begitu saja akibat rasa bahagia yang membuncah di dadanya."Terima kasih sudah mau datang, Inka." sambungnya lagi saat melihat lipatan kerutan bingung di dahi Inka.Inka berdeham guna menormalkan suaranya. "Bukankah sudah aku katakan padamu, jika mulai sekarang aku berhenti bekerja sama dengan kalian berdua di tempat ini." ucap Inka sedikit angkuh.Bio yang sedari tadi hanya berdiam diri memperhatikan Inka dan Kanz, tiba-tiba menegang. Baiklah, atmosfernya sekarang berubah menjadi panas. Untuk itu Bio memilih tak ikut campur pada kedua orang itu.
Kanz membawa Inka ke sebuah rumah makan sederhana, itu menjadi pilihan mereka atas dasar permintaan Inka. Mereka berdua mencari tempat duduk di pojokan, setelah duduk seorang pelayan datang dan mereka pun memesan makanan yang mengunggah selera mata serta perut mereka yang keroncongan, terutama Inka yang sedari tadi perutnya berbunyi heboh."Kenapa kau tidak meminta makan di restoran mahal?" Kanz membuka obrolan.Inka melirik ke arahnya. "Aku meragukan jika kau mempunyai uang banyak untuk makan di restoran yang mahal.""Kau meragukan ku Inka?" Inka mengendikkan kedua bahunya tanda tak peduli."Hhh, ayolah Inka. Apa kau lupa, siapa diriku ini yang sebenarnya?" pancing Kanz yang kembali mengungkit perihal masalah kebohongan yang ia ciptakan sendiri."Jadi, sekarang ini kau sedang ingin memamerkan kekuasaanmu serta kekayaanmu, begitu?" Kanz menggeleng."Apa yang harus aku pamerkan Inka? Toh, yang kaya adalah kedua orang tuaku. Aku mungkin hanyalah salah sat
"Inka-""Cukup Mohan! ku mohon, hentikan kegilaan mu ini!" tekan Inka memotong ucapan Mohan.Inka berbalik badan ingin segera masuk ke dalam rumahnya, namun dengan cepat juga Mohan bertindak memeluk tubuh Inka dari belakang.Inka tersentak dengan pelukan tiba-tiba dari Mohan di belakang tubuhnya. Anehnya, Inka tak berusaha melepaskan pelukan itu. Hanya bibirnya yang bicara meminta di lepaskan."Mohan, lepaskan!" badan Inka menggeliat, meronta agar Mohan melepaskannya.Nyatanya, tangan Inka sama sekali tak menampik atau bergerak melepaskan kedua tangan besar Mohan yang melingkupi bagian perutnya.Mohan menjatuhkan dagunya di bahu kanan Inka, sedikit mengecup dari balik luar baju wanita itu."Aku merindukanmu, Inka. Kembalilah bekerja di pabrik." pinta Mohan berbisik di telinga Inka."Kenapa?" satu kata yang terlontar dari mulut Inka."Kenapa kau melakukan semua ini padaku? Apa tujuanmu sebenarnya Mohan, apa niatmu kali ini?!" bentak Inka s