Share

7. Bertemu kembali

Habis yang bikin kesel2 gemes, sekarang aku kasih yang manis-manis kyak akoh

Inka tersadar jika ia kehilangan tasnya saat kejadian memalukan di cafe seminggu yang lalu. Inka mendesah lirih karena merasa kehilangan tas kesayangannya, tas selempang sederhana yang begitu sangat ia sayangi. berat rasanya jika kehilangan tas itu. tapi mau bagaimana lagi, di cari pun tak mungkin ketemu lagi, kan?

Untung saja ponsel Inka tak ikut tertinggal di dalam tas itu, saat itu ponsel miliknya sengaja Inka kantongi di dalam celana jeans yang saat itu ia kenakan. Kebiasaan Inka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal yang tak mengenakan, dan hal itu pun benar adanya, di saat ia kehilangan tas tetapi ponselnya tetap aman bersamanya.

Tetapi, Inka harus merelakan uangnya yang tak banyak di dalam tas itu. Tak apalah, Inka bisa mencarinya lagi, mungkin memang bukan rezekinya memiliki uang itu.

"Huffftt," helaan nafas kasar Inka.

Sampai sekarang Inka masih kepikiran dengan Mohan. Kenapa bisa pria itu ada di sana seminggu yang lalu? Hal itu masih menjadi tanda tanya besar bagi Inka. Bukankah Inka sudah resign dari pabrik sialan miliknya itu.

Jadi, untuk apa Mohan bisa ada di sana. Apa cafe itu juga milik Mohan? batin Inka bertanya-tanya.

Semuanya terasa aneh bagi Inka, kalaupun memang pertemuan memalukan itu karena dasar unsur kesengajaan, tapi tetap saja rasanya terasa mengganjal untuk Inka.

Karena Inka masih melamun memikirkan antara sengaja atau tidak sengaja, Ina sang ibu masuk ke dalam kamar Inka, putrinya.

"Memikirkan apa, huh?" bisik bu Ina di telinga Inka.

"Aaaaa!" kaget Inka tersentak, suara bisikan mamanya terasa merinding di kulitnya.

"Mama, bikin kaget Inka aja!" rungut Inka kesal.

Bu Ina terkekeh melihat anaknya. "Makanya jangan melamun saja, mama sudah ketuk pintu dan panggil nama kamu juga." elak bu Ina tak mau di salahkan.

Inka tak menjawab lagi ucapan mamanya, bu Ina memilih duduk di samping putrinya yang duduk di tepi ranjang kamarnya.

"Katakan, apa yang sedang kamu pikirkan Inka?" tanyanya.

"Ehmm, tidak ada ma." jawab Inka cepat agar mamanya tak curiga.

Bu Ina memperhatikan gerak-gerik tubuh putrinya yang tampak gelisah. 

"Sungguh?" pancing bu Ina meyakinkan jawaban Inka.

"Mo-mohan...." ucap Inka tanpa sadar menyebutkan nama sang mantan.

Darah bu Ina terasa mendidih mendengar nama pria yang sangat ia benci. Dan nama itu pula yang keluar dari mulut Inka.

Bu Ina bangkit berdiri dari duduknya, merasa kesal melihat sang putri yang sepertinya masih terbayang-bayang akan masa lalu menyakitkan itu.

"Apa kamu masih mencintai pria ba****an itu?" pertanyaan bu Ina membuat Inka gelabakan.

"Tidak, mama. A-aku hanya sedang berpikir karena merasa heran saja." 

"Heran bagaimana maksudnya?" 

"Seminggu yang lalu aku di permalukan oleh Mohan sih berengsek itu." 

"Di permalukan bagaimana maksudmu?" tanya bu Ina lagi merasa penasaran.

Inka pun menceritakan kejadian memalukan seminggu yang lalu di cafe. Kedua mata bu Ina membelalak kaget mendengar penuturan sang anak.

Apakah itu artinya Mohan menguntit Inka? batin bu Ina menebak dengan tepat.

"Kurang ajar!!" teriak bu Ina marah.

"Berani sekali dia mengatakan itu di depan banyak orang, dan bikin malu putriku." bu Ina menangkup kedua pipi tirus nan lembut milik Inka.

"Inka, mama mohon sekali sama kamu. Agar tak kembali terjerat dengan Mohan, mama yakin ini hanya jeratan palsu yang kembali Mohan lakukan untukmu, nak." pinta bu Ina sedih.

Inka mengangguk. Namun ia tak mengucapkan kata, baik itu menjanjikan permintaan mamanya ataupun menolaknya.

Bu Ina memeluk tubuh ramping Inka, berdoa semoga saja tidak terjadi hal buruk dan menyakitkan di kehidupan Inka ke depannya. Bu Ina berharap semoga mahluk yang bernama Mohan itu jauh-jauh sejauh mungkin dari hidup Inka.

****** 

"Bang, jus jeruknya satu." ucap Inka pada abang-abang penjual jus keliling menggunakan food truck.

Pria penjual jus itu menoleh ke arah Inka dan seketika wajahnya tersenyum ceria. Inka yang memainkan ponselnya pun tak begitu terlalu memperhatikan.

"Satu pesanan jus jeruk spesial untuk wanita cantik, Inka Maharani." mendengar namanya di sebut secara otomatis Inka menoleh ke arah depan.

"Hai," sapa Kanz menggerakkan ke lima jarinya.

Inka mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, memastikan penglihatannya agar tak salah mengenali orang. Inka memang seperti pernah melihat pria ini, sih Abang penjual jus, tapi dimana?

Terlihat Kanz berbicara pada teman sejawatnya yang sama-sama menjual jus bersama. Temannya itu menganggukkan kepalanya dan Kanz keluar dari food truck.

"Ini!" Kanz menyerahkan satu cup jus jeruk pesanan Inka.

Inka menerimanya namun masih dengan pandangan yang mengingat-ingat. Oh, sepertinya Inka masih belum mengingat Kanz.

"Masih ingat aku?" tanya Kanz gemas melihat ekspresi raut wajah Inka yang bingung.

Kepala Inka menggeleng, dan Kanz menepuk jidatnya pelan.

"Cafe," ujar Kanz mencoba mengingatkan Inka dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya.

"Ah, iya. Kau Kanz...." 

"Kanzeel, Kanzeel Laurent." potong Kanz memperkenalkan lagi nama lengkapnya pada Inka.

"Nah, iya benar. Kita bertemu lagi." ujar Inka seraya tersenyum senang.

"Eh, kau bekerja sebagai penjual jus keliling menggunakan bus?" Kanz mengangguk.

"Waah, hebat!" bangga Inka mengacungkan satu jari jempolnya pada Kanz.

"Terima kasih," jawab Kanz tersenyum senang. "Tapi, hebat bagaimana maksudmu?"

"Ya, hebat. Menurutku kau hebat, mandiri. Sebagai pria kau tidak malu usaha berjualan berkeliling seperti ini. Aku bangga padamu Kanz." 

"Yang penting halal Inka, lagian kenapa aku harus malu?" 

Inka mengangguk. "Nah, iya benar juga. Yang terpenting halal ya kan, Kanz." 

"Kau sendiri bagaimana? Sudah dapat pekerjaan baru?" Inka menggelengkan kepalanya lemas.

"Yang sabar, aku yakin pasti kau akan mendapatkan pekerjaan baru."

"Amiinn." ucap Inka mengaminin doa Kanz.

"Ehmm, tapi Inka. Bagaimana jika kau ikut bergabung bekerja bersama kami." tawar Kanz membulatkan mata Inka seketika.

"Seperti kalian?" ulang Inka.

Kanz mengangguk. "Serius?" tanya Inka lagi.

"Bagaimana, kau mau?" 

"Mauuu, aku mau Kanz." jawab Inka cepat sangking senangnya.

"Uhm, baiklah. Mulai besok kau sudah boleh bekerja, dan, sebentar...." Kanz menggantungkan kalimatnya seraya pamit pergi, Kanz masuk kembali ke dalam truk makanan.

Kanz keluar dengan membawa sesuatu di tangannya yang ia sembunyikan di belakang punggungnya. Inka penasaran dengan sesuatu yang Kanz bawa itu.

"Apa itu?" tanya Inka sangat penasaran.

"Inka, apakah kau merasa kehilangan sesuatu seminggu yang lalu?" 

"Kehilangan sesuatu seminggu yang lalu?" ulang Inka membeo pertanyaan Kanz.

"Ya, ada, aku kehilangan tas selempang kesayangan ku." jawab Inka sedih.

"Tadaaaa!" Kanz mengulurkan tas milik Inka ke hadapannya.

Seketika mulut Inka menganga lebar tak percaya, Inka menutup mulutnya dengan sebelah tangannya yang tak memegang cup jus.

"Astaga, Kanz! ini-" 

"Ya, ini tasmu. Terima-lah." 

Inka meraih tas kesayangannya, betapa bahagia sekali Inka karena telah menemukan kembali tas itu berkat Kanz.

"Buka tasnya, dan lihat isi di dalamnya. Siapa tahu saja hilang, dan aku khilaf sebagai pelaku pencurian." titah Kanz menggoda Inka.

"Dih, bicara mu itu. Aku tidak perlu mengeceknya, karena aku yakin isinya masih tetap sama. Karena apa? Karena aku percaya padamu Kanz." beber Inka mengatakan sejujurnya.

"Secepat itukah? Kau langsung mempercayai ku semudah itu. Padahal kita baru saling mengenal dua kali pertemuan ini."

"Bagiku, itu sudah cukup. Pertemuan singkat sebanyak dua kali ini cukup membuatku mengenalmu Kanz." 

Kanz dan Inka saling menatap lekat, mengalirkan sinyal-sinyal aneh namun menggetarkan. Kanz tertawa ringan agar menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba kembali menyelimutinya.

Apakah ini yang di namakan cinta, atau ketertarikan semata?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status