Mohan pulang dengan rasa amarah yang luar biasa, bagaimana mungkin ia bisa kehilangan jejak Inka saat keluar dari cafe tadi. Mohan tak menghiraukan tatapan takut dari bi Mirna sang asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.
Mohan melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas.Cklek...Amarah Mohan mendidih begitu membuka pintu kamarnya dan melihat tubuh seorang wanita yang nyaris telanjang. Wanita yang dengan santainya tidur di ranjang king size-nya hanya mengenakan pakaian dalam saja, belum lagi berpose seksi bak model majalah dewasa."Apa yang kau lakukan di sini!!!" bentak Mohan menggelegar.
Wanita itu bukannya takut malah tersenyum manis menyambut kedatangan Mohan. "Siapa yang mengizinkan mu menginjakkan kaki ke rumah ku!!" lagi Mohan membentak, rasanya amarahnya yang sejak tadi tak bisa ia tahan lagi."Bi Mirna!!!!!" teriakan Mohan kali ini yang memanggil nama bi Mirna pun sedikit membuat nyali wanita itu menciut.Tak lama bi Mirna datang ke kamar Mohan dengan nafas ngos-ngosan, sepertinya bi Mirna lari terbirit-birit begitu mendengar teriakan sang majikan."Siapa yang mengizinkan wanita ini masuk ke rumah saya?" tanya Mohan kali ini dengan nada sedikit menurun seraya menatap bi Mirna yang menunduk ketakutan."Sa—saya tadi sudah melarang nyonya tuan, ta—tapi nyonya Dewi yang bersikeras tetap memaksa ingin masuk." jelas bi Mirna tergagap menjelaskannya.Mohan mengusap kasar wajah tampannya dengan kedua tangannya, lalu ia menyuruh bi Mirna keluar setelah mendapatkan jawaban dari penjelasan bi Mirna tadi.Mohan kembali menatap ke arah Dewi yang masih tetap pada posisinya tadi. Pose yang seharusnya menggugah para lelaki yang melihatnya saat ini, tetapi tidak untuk Mohan. Ia merasa ingin muntah saat ini juga menatap tubuh wanita yang telah tega mengkhianatinya."Aku merindukanmu." ucap Dewi seraya turun dari ranjang dengan gerakan yang sangat seksi.Dengan santainya Dewi berjalan ke arah Mohan, tak memperdulikan dirinya yang saat ini hanya mengenakan pakaian dalam saja."Berhenti di situ!" tegas Mohan mencegah Dewi yang berjalan semakin dekat ke arahnya."Kenapa?" tanya Dewi yang berhenti hanya sesaat, dan kembali melanjutkan langkahnya mendekati Mohan."Aku bilang berhenti Dewi!" teriak Mohan kehilangan kesabarannya.Dewi tersenyum sinis. "Sungguh kau melarangku mendekati mu Mohan? apa kau tidak merindukan tubuh dan adegan kegiatan kita di ranjang, sayang?" Ucapan vulgar yang di lontarkan Dewi membuat mual Mohan. Kini Dewi sudah berdiri tepat di hadapan Mohan."Mohan...." Dewi sengaja sedikit mendesah saat menyebut nama Mohan seraya tangannya terulur ingin menyentuh pipi dan rahang pria itu.Mohan langsung menipis kuat tangan Dewi yang hampir sedikit lagi menyentuh pipi dan rahangnya. "Shitttt! berani sekali kau ingin menyentuh ku sialan! Apa kau tidak punya malu, huh?" maki Mohan menghina Dewi.Dewi bergeming masih dengan senyum sinisnya. "Kenapa aku harus malu? jika pria yang ku sentuh adalah suamiku sendiri." "Double shittt! Suami kau bilang, huh?" Mohan mencengkeram leher Dewi dengan satu tangannya."Suami apa yang kau maksud disini, hm? Apakah suami yang sudah menceraikan mu, huh, jawab!" bentak Mohan dengan amarah yang tak bisa terbendung lagi."Suami yang aku cintai, Mohan Alagra." "Cuiiihh," Mohan meludahi wajah Dewi."Apakah ketukan palu pak hakim di meja persidangan tak mampu menyadarkanmu dari kenyataan, huh?" ucap Mohan mengingatkan Dewi jika mereka sudah resmi bercerai."Aku tidak peduli itu! Bagiku, kita masih sah sebagai suami istri.""Istri?" ulang Mohan mengejek. "Istri yang dengan tega berselingkuh di belakangku, istri yang melakukan hubungan intim di depan mataku bersama pria lain. Apakah itu pantas di sebut istri? Apakah kau pantas mendapatkan gelar sebagai istri, huh?" cengkeraman tangan Mohan di leher Dewi semakin kuat.Hal ini membuat Dewi kesulitan untuk bicara, Dewi kesusahan ingin menjawab ucapan Mohan. Kedua tangan Dewi mencengkeram kuat tangan Mohan yang bebas, cengkeramannya mengingatkan Mohan akan tindakannya yang begitu menyakitkan Dewi.Tapi Mohan tak peduli, rasa sakit, kecewa, amarah menjadi satu dan siap meledak di diri Mohan. Ia sangat tidak suka dengan kehadiran Dewi yang seperti hilang ingatan akan status hubungan mereka, maka dari itu ia perlu menyadarkan Dewi dari FAKTA yang sebenarnya.Jika mereka bukanlah lagi suami-istri, melainkan mantan suami dan mantan istri."Dasar jalang sialan!" maki Mohan menatap jijik Dewi.Habis yang bikin kesel2 gemes, sekarang aku kasih yang manis-manis kyak akohInka tersadar jika ia kehilangan tasnya saat kejadian memalukan di cafe seminggu yang lalu. Inka mendesah lirih karena merasa kehilangan tas kesayangannya, tas selempang sederhana yang begitu sangat ia sayangi. berat rasanya jika kehilangan tas itu. tapi mau bagaimana lagi, di cari pun tak mungkin ketemu lagi, kan?Untung saja ponsel Inka tak ikut tertinggal di dalam tas itu, saat itu ponsel miliknya sengaja Inka kantongi di dalam celana jeans yang saat itu ia kenakan. Kebiasaan Inka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal yang tak mengenakan, dan hal itu pun benar adanya, di saat ia kehilangan tas tetapi ponselnya tetap aman bersamanya.Tetapi, Inka harus merelakan uangnya yang tak banyak di dalam tas itu. Tak apalah, Inka bisa mencarinya lagi, mungkin memang bukan rezekinya memiliki uang itu."Huffftt," helaan nafas kasar Inka.Sampai sekarang Ink
"Selamat pagi Kanz." sapaan ceria Inka pada Kanz dan satu teman prianya.Kanz terperangah dengan penampilan Inka hari ini, Inka sungguh luar biasa sangat cantik."Selamat pagi juga Inka," Kanz membalas sapaan Inka setelah dirinya tersadar jika sudah terlalu lama mengangumi Inka."Apa aku terlambat di hari pertamaku bekerja?" tanya Inka cemas, karena ia memang sangat sulit untuk bangun pagi dan belum lagi berdandan.Kanz menggeleng. "Tidak Inka, lagian juga kita mulai buka jualannya agak siangan."Kepala Inka manggut-manggut sambil mulutnya menggerakkan huruf O."Oh iya, kenalkan ini temanku. Namanya, Bio." ujar Kanz memperkenalkan temannya."Hai, aku Bio." teman Kanz memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan ke arah Inka."Bio-Biodata?" kekeh Inka merasa geli mendengar nama teman Kanz ini."Bisa jadi," gurau Bio yang tak mempermasalahkan hal itu."Aku, Inka Maharani. Ehmm, kau bisa memanggilku Inka saja."
Mohan sudah sampai di tempat janji temu dengan kliennya, kliennya meminta pertemuan mereka di lakukan di luar kantor. Dan disinilah Mohan berada, menunggu sang klien sampai di cafe yang sudah mereka pesan.Cukup lama Mohan menunggu, tak lama seorang pria paruh baya namun masih terlihat sangat tampan dan gagah.Mohan langsung berdiri dari duduknya menyambut sang klien. "Selamat siang tuan Hans Laurent."Mohan mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan tuan yang ia panggil Hans Laurent itu. Tuan Hans Laurent menyambut uluran tangan Mohan."Selamat siang juga tuan Mohan.""Ah, mari silahkan duduk." Mohan mempersilakan tuan Hans untuk duduk di kursi di depannya."Terima kasih," balas tuan Hans seraya duduk."Baiklah, mari kita mulai saja tujuan kita kesini. Tentang rencana kerjasama mengenai bisnis kita."Tuan Hans mengangguk. "Tuan Mohan bisa memulainya lebih dulu."Mohan tersenyum dan langsung berbicara mengenai bi
Kanz menoleh ke belakang saat merasakan punggungnya di tepuk seseorang. Wajah wanita yang belakangan ini menarik sekaligus memikat hatinya lah sebagai pelaku yang menepuk punggungnya."Inka, ini sungguh kau?" tanya Kanz takjub sekaligus pangling dengan penampilan Inka hari ini.Inka mengangguk seraya tersenyum geli melihat tingkah Kanz yang seperti hampir tak mengenalinya."Iya, ini aku Inka, Kanz!" ucap Inka nyaris teriak gembira."Astaga! Aku hampir saja tak mengenalimu loh." kekeh Kanz mengacak rambut baru berponi Inka.Inka mendengus sebal seraya menepiskan tangan Kanz yang mengacak rambut barunya."Pipimu jadi kelihatan tirus Inka," goda Kanz memperhatikan wajah Inka dengan jarak dekat."Mana pipi cabimu yang selalu bikin aku gemas ini." Kanz mencubit gemas kedua pipi Inka, membuat Inka mengadu kesakitan."Uhm, sakit Kanz!""Masa sih? aku kan cuma menyubit pelan pipimu, seperti ini—" Inka langsung menghenti
Kanz menatap jalanan dari jendela rumah kontrakannya, rumah kontrakan sederhana yang ia sewa bersama Bio. Sedikit banyaknya Bio tahu tentang kehidupan seorang Kanzeel Laurent."Kau berbohong padanya Kanz," ujar Bio pada Kanz yang saat ini fokus menatap ke arah jalanan.Kanz sama sekali tak bergeming dengan ucapan temannya itu, membuat Bio merasa gemas melihatnya."Ayolah Kanz, sebaiknya kau jujur saja pada Inka mengenai dirimu yang sebenarnya." sambung Bio lagi agar Kanz mau jujur pada Inka."Aku takut dia tidak akan menerima ku lagi sebagai temannya, kau tahu kan Bio, hubungan pertemanan kami baru saja di mulai." lirih Kanz sedih."Dia akan lebih terluka jika kau tak jujur dari awal padanya Kanz, dia akan menganggap jika kau hanya memanfaatkan dirinya saja dengan kebohonganmu."Kanz terdiam, tampak ia sedang mencerna ucapan temannya yang sebenarnya ada benarnya juga."Aku tidak bisa Bio, Maaf." lirih Kanz lagi yang kini bangkit berdiri dan berjala
Bio mengkode pada Inka jika Mohan sudah pergi, secepat kilat Inka melepaskan pelukannya pada Kanz, menendang kaki Kanz serta mendorong tubuhnya. Membuat Kanz yang tak siap pun terjengkang jatuh terhempas ke belakang."Awhh!" ringis Kanz kesakitan saat punggungnya jatuh menyentuh tanah dan nyeri pada kakinya yang di tendang Inka."Rasakan itu!" ledek Inka kesal pada Kanz.Kanz dengan cepat bangkit berdiri susah payah dan langsung meraih memegang tangan Inka, tapi dengan cepat pun Inka menepisnya."Jangan sentuh aku, dasar pembohong!" umpat Inka menatap nyalang Kanz.Bio hanya terdiam di tempatnya tanpa bisa membantu ataupun menengahi suasana yang terjadi antara Kanz dan Inka."Dengarkan aku dulu Inka-""Tidak!""Aku bisa jelasin semuanya-""Tidak!" sentak Inka cepat dan selalu memotong ucapan Kanz.Hhhhh. Kanz menghela nafasnya berat seraya menghembuskan nafasnya kasar."Kau bilang, jika kau terlahir dari keluarga tak mampu dan s
Inka mengutuk mulut dan dirinya sendiri yang tadi malam dengan jelas menolak permintaan Kanz yang ingin Inka datang ke tempat bekerjanya sebagai penjual jus yang menggunakan food truck.Kanz berbinar melihat kehadiran Inka. Kanz memang sangat yakin jika Inka pasti datang menemuinya, semarah apapun wanita itu padanya, tapi lihatlah! Inka tetap datang sesuai keinginannya."Terima kasih," ucapan Kanz yang meluncur begitu saja akibat rasa bahagia yang membuncah di dadanya."Terima kasih sudah mau datang, Inka." sambungnya lagi saat melihat lipatan kerutan bingung di dahi Inka.Inka berdeham guna menormalkan suaranya. "Bukankah sudah aku katakan padamu, jika mulai sekarang aku berhenti bekerja sama dengan kalian berdua di tempat ini." ucap Inka sedikit angkuh.Bio yang sedari tadi hanya berdiam diri memperhatikan Inka dan Kanz, tiba-tiba menegang. Baiklah, atmosfernya sekarang berubah menjadi panas. Untuk itu Bio memilih tak ikut campur pada kedua orang itu.
Kanz membawa Inka ke sebuah rumah makan sederhana, itu menjadi pilihan mereka atas dasar permintaan Inka. Mereka berdua mencari tempat duduk di pojokan, setelah duduk seorang pelayan datang dan mereka pun memesan makanan yang mengunggah selera mata serta perut mereka yang keroncongan, terutama Inka yang sedari tadi perutnya berbunyi heboh."Kenapa kau tidak meminta makan di restoran mahal?" Kanz membuka obrolan.Inka melirik ke arahnya. "Aku meragukan jika kau mempunyai uang banyak untuk makan di restoran yang mahal.""Kau meragukan ku Inka?" Inka mengendikkan kedua bahunya tanda tak peduli."Hhh, ayolah Inka. Apa kau lupa, siapa diriku ini yang sebenarnya?" pancing Kanz yang kembali mengungkit perihal masalah kebohongan yang ia ciptakan sendiri."Jadi, sekarang ini kau sedang ingin memamerkan kekuasaanmu serta kekayaanmu, begitu?" Kanz menggeleng."Apa yang harus aku pamerkan Inka? Toh, yang kaya adalah kedua orang tuaku. Aku mungkin hanyalah salah sat