Orvil dapat mendengar dentum kuku kakaknya di atas meja, seolah menunggu keputusannya, bersamaan dengan pelayan yang berada di depan mereka, masih berdiri dengan setia dan menunggu perintahnya.
“Nah,” ucap Jennifer, mengangkat alis. “Kau tak bisa membuat seorang gadis menunggu, Adik.”
“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan,” dia menghela nafas, menoleh pada pelayan tersebut. “Apa dia mengatakan sesuatu tentang kenapa dia berada disini?”
Pelayan itu berkedip, bibirnya terbuka sementara dia menoleh pada kakak tuannya — seolah meminta bantuan. Dan dia dapat mendengar kakaknya tertawa.
“Jangan lihat aku,” tegurnya. “Jawab dia.”
“Dia tak mengatakan apapun,” jelasnya. “Hanya bahwa dia perlu menemui Tuan Orvil. Dia berkata bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan.”
Dan jika dia menghela nafas sekali lagi, Orvil menyadari bahwa paru-parunya akan mengeluarkan protes jika mereka bisa bicara. Laki-laki itu tak mengerti kenapa Elizabeth Leigh memiliki keberanian untuk datang kemari — terutama ketika dia yakin sekali bahwa gadis itu tak memiliki suara dalam perjodohan ini.
Dia seharusnya tak menebak bahwa Elizabeth Leigh tengah merencanakan pelarian dirinya. Karena gadis itu telah memutuskan untuk mendatangi tempat yang akan menjadi sarangnya beberapa jam setelah Jennifer membawakan kabarnya.
Ada rasa tak peduli yang dia miliki, ketika dia menyeruput minumnya kembali dan kakaknya menggelengkan kepala, mengibaskan tangan untuk mengusir pelayan itu.
Dan Orvil sangat tahu bahwa Elizabeth Leigh (jika dia keras kepala) akan berada di pintu depan sepanjang malam.
Namun ada sedikit rasa penasaran, terutama tentang kenapa dia tiba-tiba datang kemari. Mungkin gadis hanya ingin menyapanya. Namun dia adalah seorang Leigh — mustahil baginya untuk memiliki pikiran sepolos itu.
“Tunggu,” sahutnya, dan dia dapat melihat mereka berdua menoleh padanya. “Bawa dia ke ruang tamu. Katakan padanya untuk menungguku.”
Jennifer tertawa, mengalihkan pandangan darinya. “Kau selalu menganggap dirimu keji, Adikku,” ucapnya. “Sayang sekali bahwa kau akan selalu gagal menutupinya.”
“Aku tidak,” dia membela diri, bangkit dari kursinya dan memperbaiki lengan kemejanya. “Akan kuhargai jika kau tak mengganggu kami.”
Wanita itu merentangkan tangan, menurunkan dua sudut bibirnya hingga sebuah senyum ke bawah terlihat. “Aku takkan berani.”
Orvil memberinya satu tatapan lain sebelum memutar mata, berjalan pergi. Dia dapat mendengar denting gelas dan botol dari belakangnya. Terserah. Jennifer dapat meminum seluruh alkoholnya jika dia akan menggantinya nanti.
Lorong-lorong tak pernah gelap, Orvil selalu memastikan bahwa dia menyalakan lampu di setiap tepinya. Dan dari lorong, muncullah ruang tamu dengan sofa-sofa yang jika tak selalu dibersihkan akan berdebu karena tak ada satu pun tamu yang datang.
Dia dapat melihat seorang gadis duduk disana, menunduk sementara tangannya terlipat di pahanya.
Elizabeth Leigh.
Laki-laki itu menaikkan alis. Dia pasti memiliki terlalu banyak pikiran, terutama ketika gadis itu tak bergeming sama sekali ketika dia duduk di depannya. Minuman yang ada di cangkirnya masih terisi penuh.
“Kau tak menyukai tehnya?”
Gadis itu mendongak, matanya membulat. Orvil menegakkan kepalanya. Elizabeth memiliki wajah angkuh para Leigh yang selalu dia ingat. Bahkan dengan hanya beberapa kali bertemu dengan mereka, dia segera memahami bahwa mereka memiliki garis yang sama.
“Kau Orvil Gellert?”
Dia mengangguk, menyandarkan tubuh ke sofanya, sementara dia mengawasinya meraih cangkirnya, meminumnya. Sebuah kerutan muncul di dahinya, dan gadis itu menunduk untuk melihat minuman tersebut.
“Teh rosella,” dia menyelesaikan rasa penasarannya. “Kau belum pernah meminumnya?”
“Belum,” gumam gadis itu, meletakkan cangkir tersebut kembali ke cawan. “Apa kau benar-benar Orvil Gellert?”
Laki-laki itu mengalihkan pandangan, sebelum menghela nafas dan menatapnya. “Untuk apa aku datang jika aku bukan?”
“Tak ada yang pernah melihatmu,” ucap Elizabeth, masih membalas tatapannya. “Bagaimana caraku tahu bahwa kau adalah Orvil Gellert jika aku tak pernah — bukan. Jika tak ada yang pernah melihatmu?”
Orvil menegakkan tubuhnya, menautkan semua jemarinya. “Berapa banyak rumor yang kau dengar tentangku?”
“Aku tak membicarakan rumor,” dia membalas. “Bahkan jika aku membahasnya, akan mudah bagimu untuk menepisnya. Aku tak tahu apapun — kau tahu segalanya.”
“Aku juga tak pernah melihatmu,” dia mengatakan, membalik ucapannya. “Bagaimana aku tahu bahwa kau adalah putri William Leigh?”
Gadis itu terdiam, mengalihkan pandangan.
“Kita tahu sesuatu yang salah satu dari kita tak ketahui,” dia menyimpulkan. “Itu adalah hal yang adil.”
Dia tertawa ketika melihat tatapan tajamnya. Dan sadarlah dia bahwa Elizabeth Leigh jarang memiliki lawan yang membuatnya merasa lebih bodoh dari mereka.
“Jika kita berdua palsu, kau akan segera berjalan keluar tanpa mengatakan apa yang ingin kau katakan. Jadi, Nona Leigh,” ucapnya. “Apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
Ketika Elizabeth menjejakkan kaki untuk kembali ke kediaman para Gellert, dia dapat merasakan sesuatu yang jauh melebihi rasa mencekam — sesuatu yang sama sekali tak pernah dia rasakan ketika dia pertama kali datang kesana. Namun dia memahami itu, karena bahkan bagaimana pun, dia begitu menyadari bahwa kediaman ini takkan pernah menjadi rumahnya.Tak ada satupun yang berada disana, bahkan Jennifer, yang terkadang datang untuk menghampiri mereka. Hanya ada Orvil, dengan punggung menghadapnya sementara dia menatap ke luar jendela, sebuah gelas di genggamannya.Laki-laki itu menoleh padanya.Dan Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan atau bahkan katakan padanya. Tidak untuk sekarang ini. Tidak ketika dia menyadari betapa salahnya dia. Mungkin akan lebih baik baginya untuk menutup mulut dan diam, menerima apapun yang akan dia berikan padanya.Baik itu surat perceraian, atau bahkan jika Orvil kembali mengulurkan tangan untuk kembali berdansa dengannya dalam setiap tipu muslihat yang
Elizabeth dapat merasakan pandangan Noah, tatapan itu begitu tajam hingga dia yakin bahwa kakaknya dapat membunuhnya dengan itu. Dan ketika dia dapat mendengar langkahnya, sebuah bayangan menghadang.Veronica berada di depannya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya.”Wanita itu dapat melihat bagaimana mata kakaknya berkedut. “Minggir, Veronica,” ucapnya. “Ini adalah urusan para Leigh.”Elizabeth merasakan genggaman gadis itu padanya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya,” ucapnya lagi, seolah itu adalah hal yang mutlak. “Dia adalah Gellert sekarang.”Gellert.Nama itu menancapkan duri yang lain ke dalam hatinya. Karena Elizabeth dapat merasakan bahwa dia telah mengkhianati keluarga yang seharusnya menjadi miliknya sekarang.Dia telah berbohong pada Orvil.Dia telah berbohong pada Jennifer.Semua itu karena dia tak melihat mereka sebagai seseorang yang seharusnya dia hargai. Namun ketika dia memikirkannya lagi — bukankah itu berarti ayah dan kakaknya tak menganggapnya sebagai seora
Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan ketika dia terduduk di ruangan tamu para Martin.Pulang ke rumah adalah sesuatu yang akan sulit dia lakukan sekarang — terutama dengan apa yang terjadi padanya dan Orvil pagi tadi.Dia dapat melihat rasa terluka yang begitu kentara di wajahnya, dan itu membuat Elizabeth tak sanggup untuk menjelaskan apapun — apapun yang akan dia katakan akan berujung untuk semakin menyakitinya. Dia tahu akan itu.Dan ketika suaminya itu tak mengatakan apapun dan melangkah pergi menjauh darinya, Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah bisa memperbaiki itu.Apapun itu, bahkan ketika dia telah memutuskan untuk melepaskan segalanya dan tetap bersamanya.Elizabeth takkan pernah memiliki rasa percaya dari Orvil kembali. Tidak setelah ini.Dia menangkupkan wajah ke kedua telapak tangannya, menghembuskan nafas ketika merasakan bahwa dia akan segera menangis.Dia tak pantas untuk itu.Walaupun dia ingin kembali untuk memohon padanya, Elizabeth tahu kapan untuk
Ketika Elizabeth terbangun di atas ranjangnya — ranjang Orvil, dia dapat merasakan dirinya tersenyum, memainkan dada yang ada di bawah telapak tangannya, jemari menelusuri kulit disana.Dengkuran laki-laki itu terdengar, nafas di atas rambutnya dan dia dapat merasakan betapa nyaman dirinya ketika pagi hari begitu lamban.Dia menoleh ke arah bantal yang mereka tinggalkan tadi malam di ruangan mereka, meninggalkan beberapa di setiap ruangan untuk berjaga jika Tilly mengantuk dan masih tak familiar dengan rumah barunya.Bantal tersebut kosong, dan Elizabeth harus menyimpulkan bahwa kucing tersebut berada di suatu bantal di ruangan lain.Ketika dia menoleh ke arah jam, Elizabeth dapat melihat angka enam tertunjuk di jarum pendeknya, membuatnya tergoda untuk menutup mata dan menyandarkan kepala kembali pada suaminya.Wanita itu tersenyum kecil.Mungkinkah ayah dan kakaknya akan menyadari bagaimana dia hendak melarikan diri?Mungkinkah mereka bertanya-tanya ketika dia tak dapat lagi dihubun
Orvil masih menatapnya, mengusapkan tangan pada wajahnya sementara mata melekat padanya. Laki-laki itu menaikkan alis.“Kau yakin?” dia bertanya. “Aku akan mengatakan bahwa entah kau terlalu naif atau kau menyembunyikan sesuatu. Dan mengenal dirimu, kita berdua tahu bahwa kau tak polos sama sekali.”Wanita itu terdiam, membalas tatapannya.Akan sangat lucu sekali jika dia tak menjawab apapun padanya, memastikan bahwa apa yang Orvil duga memiliki sedikit kebenaran di atasnya. Akan sangat lucu jika kedoknya diketahui dengan segera.Dia harus kembali ke rumahnya.Dia harus mengemban perjanjian yang tak dapat dia lalui.Dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya.Elizabeth menyentuh pipi suaminya, mengecup bibirnya kembali. “Tidak ada,” janjinya. “Aku hanya ingin kau mencintaiku.”Dia dapat melihat bagaimana mata Orvil berkedut, menyadari bahwa dia tak terlalu yakin tentang apa yang istrinya itu katakan. Namun dengan sebuah keajaiban — atau tidak, sebenarnya, laki-laki itu me
Elizabeth tak tahu apapun tentang pembicaraan apa yang ingin Orvil bicarakan, namun dia dapat melihat bagaimana laki-laki itu menatapnya, mencoba untuk bersikap baik-baik saja.Jadi wanita itu menganggukkan kepala, menurunkan Tilly kembali hingga kucing tersebut dengan bahagia masuk ke dalam belakang meja, yang harus dia akui membuatnya lega bahwa kucingnya tak berwarna putih.Dia mendongak, mendorong dirinya untuk berdiri di depannya, dekat dengannya hingga dia harus tetap menengadahkan kepala untuk melihatnya.“Apa yang ingin kau bicarakan?” mulainya.Dan Orvil mengalihkan pandangan. “Akan lebih baik bagi kita untuk tidak membicarakannya disini,” dia mengakui. “Aku tak yakin bahwa kakimu cukup kuat.”Mata Elizabeth membulat, berbalik ketika menyadari bagaimana suaminya tengah beranjak pergi melewatinya, mulut wanita itu terbuka penuh rasa tak percaya.“Otot kakiku cukup baik!”“Tentu saja, Sayangku,” sahutnya, tertawa — entah karena panggilan yang dia berikan atau karena humor yang
Tilly mengeong setiap kali mobil mereka berbelok, membuatnya mengulurkan jemari untuk mengelusnya.Mampir ke kediaman para Leigh adalah hal yang mudah, walaupun dia merasa bahwa dia tak pernah leluasa ketika dia berada di dalam sana — seolah ada sesuatu yang mencoba untuk menahannya jika dia ingin membuka diri disana.“Aku tahu,” gumamnya, menunduk pada kucing tersebut, yang mengeong kembali. “Apa kau merindukan tuanmu?”Tilly tak membalas, memilih untuk berputar di sekitar kerangkeng yang mengelilinginya. Itu sedikit membuat Orvil merasa bahwa dia sebaiknya melepaskannya. Namun ada sedikit rasa khawatir ketika menyadari bahwa dia tak mengenal kucing itu sama sekali, bahwa dia takkan mampu menenangkannya jika dia merasa tak nyaman.“Kita akan bertemu dengannya nanti,” dia berjanji. “Dia akan sangat senang ketika bertemu lagi denganmu,” ucapnya, tersenyum. “Kalian berdua.”Kucing hitam itu mendongak, menampakkan mata bulat ke arahnya, membuka mulut kembali dan mengeong. Dan Orvil berha
Orvil menatap kakaknya.Ada sedikit rasa tak terima yang dia rasakan ketika mendengarnya. Namun dia takkan mengatakan bahwa dia memahami setidaknya kenapa dia mengatakan semua hal itu pada Pentious.Aneh rasanya ketika dia mengatakan bahwa dia membebaskan Elizabeth untuk menemui siapapun yang dia inginkan, namun justru melarang satu-satunya orang yang sangat ingin dia ingin temui agar mereka tak bertemu.Aneh.Aneh sekali.Namun akan lebih aneh baginya untuk mengatakan bawa dia memiliki perasaan untuknya.Dia dan Elizabeth belum lama saling mengenal, bahkan dengan status mereka saat ini, keduanya sadar bahwa mereka berada dalam keterpaksaan.Laki-laki itu mengalihkan pandangan, enggan untuk melihat kakaknya yang menaikkan alis padanya, memberikan sebuah senyuman yang dia tahu tengah mengejeknya.“Apa kau meninggalkan istriku di rumah sendirian?”“Dia mengurung diri di ruangannya seharian,” ucap kakaknya. “Kau ingin aku memaksa masuk ke dalam sana. Aku yakin dia sedang bekerja.”“Aku t
Sejujurnya, Orvil tak tahu menahu tentang apa yang harus dia persiapkan untuk bulan madunya. Dia terpikir bahwa dia semestinya menganggap ini sebagai perjalanan liburan biasa, dimana dia akan menghabiskan waktu bersama seseorang yang disebut sebagai istrinya.Mungkin dia harus menyiapkan akomodasi dimana mereka akan beristirahat, lalu tempat yang bisa saja mereka kunjungi. Namun Orvil kembali mengalami krisis ketika menyadari bahwa dia tak pernah bertanya apa yang disukai Elizabeth.Atau bagaimana dia ingin menghabiskan harinya.Sekarang bukanlah saat dimana dia terlalu bangga untuk menanyakan hal itu padanya, namun dia telah berjanji untuk menyiapkan segalanya — mungkinkah Elizabeth akan meremehkannya jika dia tak menepati apa yang dia katakan?Mungkin dia akan membutuhkan bantuan kakaknya.Dia terduduk di depan mejanya, berkas-berkas yang telah dia selesaikan teronggok di depan sementara dia menghela nafas, menyentuh bagian tengah hidungnya di antara jemarinya.Pintu berderit terbuk