Share

Chapter 02: Mimpi

Penulis: Nosaetre
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-15 19:47:31

Persis tiga jam sebelum Suku Mhthyr berubah menjadi lautan darah, Kaiâ menyelinap keluar dari rumah.

Malam pemberkahan sudah dekat, tapi dia tidak ingin terjebak dalam persiapan yang terasa membosankan. Diam-diam, dia menyelinap keluar dari jendela kamar. Rumah sukunya terbuat dari perpaduan tanah liat dan batang kayu, diapit oleh pohon besar kauri raksasa setinggi 50 meter yang berfungsi sebagai pagar alami antar bangunan rumah warga suku. Bentuknya yang besar menyerupai sebuah menara tinggi mampu untuk menyembunyikan tubuh kecilnya dari mata sang pengawas.

Niatnya hanya keluar sebentar, mencari ketenangan sebelum melewati malam pemberkahan. Paling-paling hanya tiga puluh menit, lalu kembali sebelum ada yang menyadarinya. Kemungkinan kecil Serèia tahu karena ibunya itu sedang mengikuti pertemuan dengan para tetua di rumah utama, kecuali seseorang mengadukannya kepada ibunya.

Maka dari itu, tidak ada yang boleh melihatnya saat keluar rumah. Titik!

“Kaia?” Ah, sial. Baru saja dia mengatakan tidak boleh ada yang melihatnya keluar rumah, tapi belum ada lima menit keluar seseorang sudah memergokinya. “Melihatmu bersembunyi di belakang pohon kauri. Kau pasti mau kabur lagi.”

Lagi? Ya, hobinya memang sering kabur dari rumah. Membuat saudari-saudarinya kalang kabut dengan tabiatnya yang selalu merepotkan Sereia.

Beruntungnya orang yang memergokinya hari ini bukan Roxy, yang hobinya suka mengadu ke Sereia. Melihat wanita itu pulang setelah sekian lama tak berjumpa, wajah Kaiâ langsung cerah. Wanita itu adalah Astrid, saudarinya. Tanpa berpikir panjang, Kaia berlari menghampirinya.

“Siur!”

Kaia menghantamkan tubuhnya ke dalam pelukan Astrid, yang hanya bisa terkekeh geli melihat antusiasme adiknya.

“Sudah lama, ya? Sekarang kau sudah dewasa.”

Benar, sudah lama mereka tidak bertemu. Terakhir kali adalah ketika Kaiâ baru saja menyelesaikan upacara kedewasaannya pada usia 20 tahun. Setelah itu, Kaia menjalani masa pembelajaran sebagai Mìonna, putri terpilih Mhyer, selama lima tahun. Sekarang, dia sudah 25 tahun.

Rumah belajar Mìonna cukup dekat dengan tempat tinggal Suku Mhthyr, tapi tempat itu tertutup dan tidak sembarangan orang bisa keluar masuk dengan bebas. Tempat itu dijaga ketat ketua suku dan diberkati langsung oleh pelindung Mhyer sehingga lokasinya tersembunyikan dari mata orang awam. Hanya orang-orang pilihan yang dapat melihat keberadaan rumah belajar Mionna. Sementara anak-anak yang ditunjuk sebagai calon Mionna, tidak diizinkan untuk keluar dari rumah belajar sebelum dinyatakan lulus selama masa belajar.

Selama lima tahun itu, Kaia tidak pernah bertemu dengan Astrid. Meski pembelajarannya sudah selesai sebulan yang lalu, mereka belum sempat bertemu karena Astrid sibuk menjalankan tugasnya sebagai utusan suku ke tanah asing.

Sebagai seorang utusan, Astrid seringkali melakukan perjalanan jauh ke berbagai negeri. Paling lama dia akan pergi selama setahun, paling cepat tiga bulan. Setiap kali pulang, Astrid membawa cerita-cerita menarik tentang tanah asing, serta pengetahuan baru yang ia bagikan kepada para wanita suku.

Sebenarnya masih ada banyak hal-hal menarik tentang kehidupan di tanah asing yang ingin Astrid bagikan kepada saudari sesukunya, tapi sebagai seorang utusan dan bagian dari Suku Mhthyr, dia harus mengikuti aturan suku agar tidak membahayakan keberadaan suku dengan menyebarkan budaya-budaya orang dari tanah asing secara berlebihan.

Para tetua khawatir budaya luar akan merusak tradisi leluhur. Sebab itu, mereka selalu mengawasi para utusan supaya tidak berlebihan bercerita dan mengupayakan untuk menyimpan hal-hal yang telah mereka ketahui di luar sana.

Sementara itu, tugas para utusan untuk memperdagangkan kekayaan Suku Mhthyr ke tanah asing, seperti batu permata dan kerajinan tangan. Selesai berdagang mereka akan pulang membawa masuk kebutuhan pangan, pengetahuan, serta budaya yang berasal dari tanah asing.

Kaia ingat, beberapa hari lalu dia mendengar berita bahwa para utusan, termasuk Astrid, akan pulang dari pejalanan jauh mereka. Karena itulah ia berencana keluar dari rumah untuk menjemput saudarinya. Namun, rencana itu terhenti saat ia tak sengaja melihat Tetua Rosalie.

“Hehe.” Kaia dengan bangga membusungkan dada, lalu berceloteh, “Aku sudah dewasa, Siur. Sekarang aku sudah siap menjelajah ke tanah asing bersamamu!”

Mimpi gadis itu adalah melakukan perjalanan jauh ke dunia luar, di tanah asing bersama saudarinya. Ia ingin merasakan sensasi kehidupan di luar sana, ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri seberapa luas dunia di luar Suku Mhthyr.

Selama ini dunia Kaia hanya sebatas Suku Mhthyr belaka. Sebagai seseorang yang mendambakan kebebasan, dia kerap membayangkan kehidupan dunia luar melalui buku-buku yang pernah dia baca tanpa mengetahui kebenarannya, betapa luasnya dunia itu. Dulu sekali, dia pernah menyelinap ke dalam perahu, tapi aksinya itu langsung tertangkap oleh Roxy.

“Di mana Mitera?” Sementara tak ingin membicarakan tentang mimpi saudarinya, Astrid menanyakan keberadaan ibu mereka sambil menuntun Kaia untuk pulang ke rumah bersama-sama.

Kaia yang patuh mengikuti saudarinya ke rumah, tapi mulutnya itu tak pernah berhenti mengoceh tentang mimpinya menjelajah tanah asing bersama Astrid. Baru-baru ini, dia menemukan hal-hal menarik dari buku-buku yang Astrid berikan padanya, membuat keinginannya untuk melihat dunia luar semakin besar.

Namun, tiba-tiba ekspresi Astrid berubah serius. “Sebelum petang, pergilah ke gua dekat danau, tempat kita biasa bersembunyi dari Mitera.”

Kaia memiringkan kepala, sedikit bingung mendengar kata-katanya. “Apa maksudmu? Aku harus berkumpul dengan anak-anak lain untuk malam pemberkahan. Siur, kau tahu aku akan menjadi Mionna.”

“Tdak ada yang menarik dari menjadi Mionna!”

“Siur! Kau mengejek sang Dewi?” Ekspresi Kaia menjadi merah padam. Ia marah, sangat marah. Ucapan Astrid barusan jelas sedang mengejek Mhyer karena Mìona adalah julukan untuk putri pilihan sang dewi.

“Sebagai saudarimu, kau harus mendengarku.” Meski mereka bukan saudara kandung, mereka telah tumbuh bersama sejak Sereia mengangkat Kaia sebagai putrinya. ““Pergilah ke gua sebelum petang. Jangan keluar sebelum aku dan Mitèra tiba. Dan apa pun yang kau dengar, jangan pernah tinggalkan gua itu!”

Apa maksudnya? Mengapa dia harus pergi ke gua bahkan sampai melarangnya keluar?

Kaia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Astrid terlihat sibuk mencari sesuatu di rumah sehingga melupakan keberadaannya untuk sesaat, sebelum perhatiannya tercurahkan lagi kepadanya. Wanita itu berhenti mencari sesuatu dan berjalan mendekat hingga jarak di antara mereka hanya tersisa beberapa senti belaka.

Kaia merasakan keseriusan dalam tatapan mata Astrid dan nada bicaranya yang tegas, menekankan bahwa ia harus mengikuti setiap perkataannya. Kaa terdiam, perasaannya campur aduk. Ini pertama kalinya ia melihat saudarinya terlihat aneh dan sedikit mengancam.

“Si-siur.” Dia gugup dan merasa sedikit terancam.

Seolah tak peduli dengan kegugupan saudarinya, Astrid memegang pundak Kaia dengan kuat. “Begitu kau meninggalkan rumah sebelum petang dan pergi ke gua dekat danau, aku berjanji akan membawamu pergi ke tanah asing.”

Untuk sesaat ekspresinya berubah cerah. Itu adalah mimpinya!

Kaia selalu bermimpi melampaui batas-batas Suku Mhthyr, tapi sekarang, saat Astrid memberikan tawaran itu, hatinya malah dipenuhi keraguan. “Tanah asing” terdengar seperti kebebasan, tetapi upacara Mionna telah tertanam dalam dirinya sejak dia masih kecil. Bagaimana mungkin dia mengabaikan takdir yang ditetapkan oleh Mhyer?

“Terima kasih sudah peduli padaku. Tapi aku tidak bisa pergi.”

“Bodoh!”

“Hm?”

“Kaia, lupakan soal menjadi Mionna. Kau tetap bisa menjadi Mionna tanpa harus mengikuti upacara konyol itu, selama Mhyer masih mengawasimu.”

“Siur!”

Lagi dan lagi, Astrid mengejek tradisi Suku Mhthyr. Sejak kapan saudarinya berubah begini? Menjadi serius dan gampang marah.

“Pergilah ke gua dekat danau sebelum petang. Aku akan segera menyusulmu bersama Mitera. Dan jangan pernah pergi meninggalkan gua sebelum aku tiba.”

“Tapi, Siur—”

Astrid sudah dulu pergi meninggalkan rumah dengan langkah tergesa-gesa, membiarkan Kaia yang tercengang bingung selama menatap punggung kepergiannya.

Lalu apa sekarang? Kaia bimbang. Apa dia harus pergi ke gua? Sebenarnya pun tadi dia berencana pergi ke gua dekat danau untuk bermain selama 30 menit sebelum Serèia pulang.

Gua itu sangat rahasia. Hanya Kaia dan Astrid yang tahu bahwa di dekat danau di tengah hutan, terdapat gua tersembunyi di antara semak belukar, dilindungi oleh bebatuan besar seperti menara. Bagi orang yang tidak mengetahui keberadaan gua tersebut, mereka pasti akan mengira itu hanya batu besar biasa.

Mungkin tidak apa-apa kalau hanya 30 menit ..., pikir Kaia akhirnya memutuskan tetap pergi ke gua dekat danau. Sebelum itu, dia harus berhati-hati agar tidak terlihat oleh mata pengawas, terutama Roxy yang selalu saja mengadu setiap kali memergokinya sedang bersembunyi atau pun kabur.

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

Di mana dia? Tempat ini jelas bukan gua dekat danau. Tidak ada tanah, bebataun, atau semak-semak yang menutupi pintu masuk. Kaiâ memandang sekeliling dengan ekspresi bingung.

Di sini pun tidak ada siapa pun, selain hanya ada dirinya yang berputar-putar kebingungan mencari jalan keluar. Sebenarnya tempat macam apa ini? Di sukunya tidak ada tempat sejenis ini. Ruang ini terasa kosong, seolah-olah tidak ada kehidupan. Sekelilingnya hanya berwarna putih bersih tanpa ada setitik noda hitam. Kaia seakan berada di dunia baru yang belum pernah dia jelajahi. Di dunia di belahan mana pun yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Aneh sekali. Semestinya dia ada di dalam gua rahasia dekat danau karena ingatan terakhirnya pergi ke sana. Lalu kenapa tiba-tiba dia berpindah kemari? Di tempat asing yang menyesatkan keberadaannya.

“Hallo?” Dia berteriak berharap menerima sahutan dari seseorang, entah dari arah mana pun. Kaia bergidik ngeri saat mendengar gaung suaranya yang memantul, menyerang balik indra pendengarnya.

Kaia meringis kecil sambil mengusap dadanya yang sempat mencelos panik saar mendengar gaung suaranya sendiri. Dia kemudian berjalan lagi, mencoba mencari petunjuk tentang keberadaannya sambil berteriak memanggil. Mungkin saja selain dirinya di sini masih ada orang lain bersembunyi di suatu tempat.

Ah, ketemu!

Kaia tampak lega saat dari jauh melihat seseorang berdiri membelakanginya. Dengan semangat, dia berlari mendekati sosok tersebut.

“Permisi?” Sebelumnya Kaiâ tidak mengharapkan apa pun dari sosok yang berdiri membelakanginya ini. Dia asal berlari karena mengira sosok itu dapat memberinya petunjuk tentang keberadaannya. Bahkan dia tidak memiliki pikiran sosok itu sebagai orang jahat atau orang baik.

Tindakan impulsifnya menyapa sosok tersebut, membuatnya sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan sebagai Suku Mhthyr.

Sebagai wanita dari Suku Mhthyr, dia tidak boleh menyapa laki-laki asing!

Kaia bergerak cepat untuk menjauh. Sebisa mungkin dia menjaga jarak antara dirinya dan laki-laki itu. Ketertarikannya sebelumnya terhadap seorang laki-laki, seolah hanyut ke dasar lautan ketika dia di hadapankan langsung dengan seorang laki-laki. Kaia mengigit bibir sambil menatap waspada sosok laki-laki di depan yang hanya diam dan menatapnya kosong.

“Kaia.”

DEG!

Seluruh tubuh Kaia gemetar ketika mendengar suara seorang wanita memanggil namanya. Suara itu terdengar merdu, semerdu deru ombak lautan, dan selembut kain sutra. Kaia merasakan kehangatan serta kerinduan yang begitu mendalam hingga tanpa sadar berlutut untuk memberi sebuah penghormatan.

“Mhyer,” gumamnya, tubuh merinding mendambakan kerinduan.

Dia sangat yakin bahwa suara wanita tadi adalah milik Dewi Mhyer yang agung.

“Putriku, Kaia.”

Jantungnya berdebar-debar, tak kuasa menahan haru ketika sang dewi memanggilnya sebagai putrinya. Kaia tersenyum hangat, menyambut panggilan sang dewi dengan penuh suka cita.

“Putriku Kaia, ingatlah wajah laki-laki di depanmu.”

Tatapan Kaia berpaling kembali pada sosok laki-laki yang berdiri di depannya dengan mata kosong. Apa maksudnya? Meski bingung dengan permintaan sang dewi, dia tetap menatap serius wajah laki-laki itu, mengamati, dan berusaha mengingatnya.

Kaa tidak mengatakan apa-apa selama mengamati laki-laki di depannya. Wajahnya putih dan bersih. Tidak ada yang istimewa dari sosoknya, kecuali matanya yang kosong, seolah tak ada jiwa di dalam sana. Laki-laki itu memiliki rahang tegas dan tulang pipi yang menonjol dengan sesuatu yang kelihatan seperti bekas luka pisau di pipi. Sulit baginya untuk mendeskripsikan laki-laki itu sebagai sosok yang tampan atau tidak, sebab konsep ketampanan sendiri tidak pernah ada di kepalanya.

Terbiasa melihat kecantikan Suku Mhthyr, membuat segalanya tampak serupa di matanya ketika dihadapankan pada jenis kecantikan lain. Semua garis keturunan Suku Mhthyr memiliki paras yang menawan hingga orang-orang dari tanah asing sering menyebut mereka sebagai “kecantikan dari tanah subur”.

Kaia merasakan simpul samar yang membuat hatinya gusar, dan entah mengapa, dia merasa sedikit tidak nyaman saat menatap laki-laki itu lagi. Kaia segera mengalihkan pandangannya, berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan kosong itu.

“Dewi, untuk apa saya harus mengingat laki-laki ini?” Kaia ragu apakah Mhyer telah meninggalkannya, dia pun bertanya lagi, “Apakah Anda ingin memberi peringatan pada putri Anda yang malang ini, Dewi?”

Kaia tiba-tiba teringat bahwa Mionna yang selalu diberi nubuat oleh sang Dewi melalui mimpi. Mengingat keberadaannya saat ini, Kaiâ mulai menyadari bahwa dirinya sedang berada di dunia mimpi bertemu dengan sang dewi.

Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Ketika Kaia hampir menyerah untuk bertanya lagi, Mhyer tiba-tiba membisikkan sesuatu kepadanya, “Takdirmu ada pada pilihanmu, Putriku.”

Nubuat sang dewi berakhir di situ, karena meskipun Mhyer adalah seorang dewi, “Dia” tidak bisa ikut campur tangan dalam roda takdir anak-anaknya.

Kaia mengangguk paham, lalu berterima kasih kepada sang dewi karena telah memberinya nubuat, meskipun dia secara resmi belum diangkat menjadi Mìonna.

Tunggu ... Mionna?

Sejak saat itulah dia terbangun. Kaia yang baru sadar langsung memeriksa sekeliling sebelum bergegas berdiri, menggerutu betapa cerobohnya dia tertidur di gua, padahal malam ini dia harus melewati malam pemberkahan.

Kaia yang baru hendak keluar mendadak berhenti saat samar-samar mendengar teriakan dan tangisan dari luar gua. Jantungnya mencelos. Mendadak rasa cemas merayapinya saat dia bersiap melangkah keluar dari gua dekat danau. Saat itu juga, peringatan saudarinya beberapa waktu lalu terngiang di kepalanya.

“... apa pun yang kau dengar nanti, jangan pernah keluar dari gua.”

Kaia yang sangat cemas meremas kedua tangannya yang dingin oleh keringat. Sebenarnya apa yang terjadi di luar sana?!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 19: It’s called a kiss

    Kaia berdiri terpaku, bingung, dengan mata melebar. Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan? Kenapa bibir mereka saling menempel? Dia tak punya sedikit pun pengalaman seperti ini dan rasa asing yang memenuhi pikirannya membuatnya bertanya-tanya—apa yang seharusnya dia lakukan? Bagaimana cara menghentikannya? Mengapa rasanya begitu aneh?Tak hanya sekadar bersentuhan, gigi Hunter pun sesekali mengigit bibirnya dengan lembut, seperti mencicipi sesuatu yang lezat. Mata Kaia terbelalak setiap kali bibir bawahnya terkena gigitan gigi Hunter. Tidak ada rasa sakit, sebaliknya rasanya asing dan cukup absurd untuk dijambarkan lewat kata-kata. Kaia bingung harus bereaksi bagaimana. Pengalaman seperti ini di luar batas pemahamannya. Mundur? Maju? Atau tetap diam seperti patung? Gerakan sekecil apa pun langsung direspons Hunter yang melingkarkan lengan di pinggangnya, menahan Kaia di tempatnya. Jika dia maju, bibir Hunter sepenuhnya menguasai bibirnya, menyerap semua respon

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 18: Little Bird

    “Are you awake, Sleeping Beauty?”Kaia tersentak terbangun saat mendapati Hunter duduk di sofa sebrang sambil mengamatinya dari balik lensa kacamata belajarnya. Dengan pakaian santai dan sebuah laptop di pangkuannya, Hunter tampak seperti sang dewa cinta yang menyamar sebagai pria rumahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa wajah tampan itu bagaikan sebuah mahakarya tingkat tinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan mahakarya mana pun. Meski dia memiliki bekas luka sayatan di wajah, itu sama sekali tak mengurangi keindahannya justru menambah ketampanannya.Hunter Riviera memiliki segala hal yang diinginkan semua wanita dalam diri seorang pria, tapi dia benar-benar di luar jangkauan. Sudah berapa banyak wanita yang dapat menaklukannya? Belum ada—sejauh ini. Pria itu mungkin pernah berkencan dengan tak sedikit wanita, tapi di antara mereka belum ada yang bisa mengendalikan Hunter. Karena itulah, hubungan pria itu jarang sekali berakhir dengan baik. Hampir selalu

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 17: Behind His Name

    Mengobrol bersama Jack meskipun hanya lewat telepon tetap terasa mengasyikan. Pria yang dijuluki “Don Juan” itu tidak pernah kehabisan topik obrolan. Selalu ada saja obrolan keluar dari mulut manisnya yang sering membuat para wanita terhanyut dalam gombalan cintanya. Sementara, Hunter lebih banyak diam, hanya menyimak. Dia menanggapi Jack dengan santai, menyisipkan komentarnya ketika dirasa memang perlu. Jack adalah seorang ekstrovert sejati dan social butterfly. Jaringan pertemanannya luas, mencakup semua lapisan masyarakat—dari kelas atas, menengah, hingga bawah. Namun, menurut Jack, dari semua lingkaran sosialnya, dia paling menikmati waktu bersama teman-teman dari kelas menengah dan bawah. Baginya, kelas atas cenderung membosankan. Mereka lebih sering berbicara tentang bisnis dan uang, hingga telinganya lelah mendengar topik itu di mana-mana. Jack merasa meskipun dirinya kini seorang pebisnis, waktu santai bersama teman-teman seharusnya bebas dari urusan peke

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 16: Crying in your arms

    Astrid mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan sambil meringis, matanya sembab dan kemerahan. Cahaya redup di kamar semakin mempertegas bayangan gelap di bawah matanya, sebuah tanda jelas dari malam-malam tanpa tidur yang dia paksakan. Selama tiga hari berturut-turut, dia bertahan, menahan kantuk yang berat dengan kafein yang bahkan sudah tak berpengaruh lagi. Matanya perih, sering kali berair, membuat pandangannya buram. Tapi bagi Astrid, tidur bukanlah pilihan. Setiap kali dia berusaha memejamkan mata, rasa waspada yang mencekam membuatnya terbangun. Siklus ini berulang terus—malam demi malam—hingga pada akhirnya, dia menyerah dan menerima penderitaan insomnia sebagai teman akrabnya.Astrid duduk bersila di lantai, dikelilingi puluhan potret seorang pria yang tersebar tak beraturan. Setiap foto itu dicetak dengan detail tajam, hasil unduhannya dari internet dan berbagai media sosial. Potongan wajah pria-pria asing itu terlihat seperti potongan puzzle yang

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 15: Distrik Mththyr

    Hunter merasakan telapak tangan Kaia yang dingin dan basah oleh keringat dalam genggamannya. Wajah gadis itu tampak pucat pasi, hampir seperti kertas—jauh lebih putih dari kulit aslinya yang seputih susu. Dengan gelisah, dia terus mengigiti bibir bawahnya hingga memerah, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa cemas.“Anda baik-baik saja, Miss Kaia?” Henrik bertanya dengan nada khawatir dari bangku seberang. Kekhawatiran terpancar jelas di wajah berkeriput pelayan senior itu. Kondisi Kaia yang belum sepenuhnya pulih dari demam, ditambah insiden misterius antara dia dan tuannya tadi pagi, membuat gadis itu terlihat terguncang. Sejak keluar dari kamar, dia tampak ketakutan, terutama saat berada di dekat Hunter. Kini adrenalin baru yang belum pernah dia rasakan sebelumnya memicu serangan panik yang kesekian.Ketakutannya akan ketinggian terpampang nyata.Mereka sedang berada di ketinggian 10.000 kaki, terbang melintasi awan dalam helikop

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 14: I Hate You (2)

    “Pergi dan mandilah!” perintah Hunter, suaranya memantul di antara dinding kaca yang dingin. Kaia hanya bisa berdiri terpaku, matanya melihat ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu bagaimana cara memulai. Ketidakpastian tampak jelas di wajahnya, dan kebingungannya semakin terlihat ketika dia menoleh ke arah pancuran di langit-langit, tidak yakin bagaimana menggunakannya. Detik-detik berikutnya, sebelum Kaia bisa memikirkan langkah selanjutnya, tiba-tiba air dari atas kepala mulai mengalir deras. Kaia menjerit kaget saat air dingin dari shower membasahi seluruh tubuhnya, meresap ke dalam pakaian yang masih melekat di kulitnya. Rambutnya basah kuyup, menempel di wajah pucatnya, dan tubuhnya bergetar akibat kejutan yang ia terima. Hunter, yang sejak awal berdiri di dekat kontrol shower, sengaja menyalakan air tepat di atasnya, memperlihatkan kekuasaan penuh atas situasi. Kaia yang belum pernah terbiasa dengan teknologi pancuran seperti ini,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status